XII - Mengambil Keputusan

Tak perlu ada rawat inap bagi Mama. Sore itu juga beliau dinyatakan boleh beristirahat di rumah. Hanya saja dokter Rafkan menyarankan lusa harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh untuk Mama. Meski awalnya menolak, tapi karena paksaan Freya akhirnya Mama setuju untuk melakukan pemeriksaan.

“Kalau ada apa-apa dengan kondisi Ibu Rubi, kamu bisa hubungi saya.” Dokter Rafkan memberikan kartu namanya pada Freya sebelum gadis itu meninggalkan ruang rawat.

“Terima kasih, dok.” Freya menerima kartu nama tersebut dan menyimpannya di dalam tas.

Keduanya kemudian berpamitan pada dokter Rafkan. Meski Mama terlihat bugar tapi tetap saja Freya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Jantung bukan pernyakit yang main-main. Siapapun juga pasti tahu, penyakit jantung adalah salah satu penyakit mematikan di dunia. Dan Freya tak ingin mengambil resiko apapun. Lebih baik mencegah dan mengantisipasi hal buruk terjadi. Daripada Freya menyesal kemudian. Walau umur manusia tak ada yang tahu. Tapi Freya akan berusaha sebisa mungkin memberikan penanganan yang terbaik untuk mamanya.

“Mama mau dimasakin apa untuk makan malam?” tanya Freya setibanya mereka di rumah.

“Apapun yang kamu  masak Mama pasti makan kok.”

Setelah mengantarkan Mama beristirahat di kamarnya, Freya bergegas ke dapur. Gadis itu bersiap-siap untuk memasak makan malam. Tepat sebelum memutuskan menu apa yang akan ia masak untuk makan malam, Freya menghubungi dokter Rafkan. Ia tak ingin yang awam akan penyakit tak ingin mengambil resiko dengan memberikan Mama makanan yang justru akan memperburuk kondisi tubuhnya.

Kamu punya ikan salmon?” tanya Rafkan membuat Freya mengangguk. Sadar pria itu tak akan melihat responnya, Freya pun segera menjawab.

“Punya.”

Kamu bisa masak olahan dari salmon dan usahakan mengolahnya dengan minyak sayur. Untuk sayuran hindari sayuran yang mengandung gas seperti kubis dan kembang kol. Nanti akan saya coba bantu untuk atur pola makan Mama kamu.

Freya mencoba mengingat apa yang dikatakan dokter Rafkan. Gadis itu mengucapkan terima kasih dan meminta maaf karena sudah mengganggu waktu sang dokter. Setelah sambungan diputus, Freya pun mulai memasak. Membuat menu sesuai dengan yang dianjurkan dokter Rafkan. Setelah semua tersedia, Freya memanggil sang Mama.

“Kamu masak semua ini?” tanya Mama kala menikmati sajian yang dihidangkan Freya.

“Memangnya siapa lagi?” Freya mengunyahh perlahan makanannya. “Ma, kita pekerjakan satu asisten buat temanin Mama ya?”

“Hah? Buat apa?”

“Fey khawatir sama Mama. Nanti kalau ada apa-apa sama Mama, sudah ada yang bantu.”

“Fey, Mama nggak apa-apa. Jangan khawatir. Mulai sekarang Mama akan lebih hati-hati lagi. Enggak akan banyak bergerak yang bikin Mama capek.” Mama mencoba meyakinkan putri satu-satunya.

“Ma...”

“Sudah makan dulu yuk.”

Mama kembali memenangkan pertarungan. Freya akhirnya tak bisa mendebbat dan memilih untuk menuruti Mamanya. mengisi piringnya dengan nasi dan lauk-pauknya. Keheningan menghiasi sejenak meja makan sampai Mama kembali bersuara.

“Fey, gimana pencarian jodoh kamu?”

Freya tersedak makanannya. Gadis itu segera meraih segelas air. “Hah?”

“Gimana perkembangan kamu cari calon suami? Kok Mama nggak dengar lagi? Deniz juga sudah jarang kelihatan. Kamu sama dia...”

Freya menggelengkan kepalanya. “Bukan gitu, mungkin Deniz banyak pekerjaan. Lagipula Fey dan dia kan nggak ada hubungan apa-apa.”

Mama mengunyah pelan makanannya. “Masa sih? Mama pikir kamu dan dia sedang dalam masa, apa itu kata anak sekarang?”

“Pendekatan,” timpal Freya membuat Mama mengangguk.

“Iya, pendekatan. Apa Deniz nggak sedang dekatin kamu?”

Freya menimbang-nimbang apakah akan memberitahu Mamanya perihal Deniz atau tidak. Tapi mengingat kembali kondisi Mamanya, membuat Freya berpikir untuk bicara jujur. Meski dokter belum mengatakan apapun yang riskan terhadap kondisi ibunya. Tetap saja Freya ingin berjaga-jaga. Dan kebahagiaa Mama adalah yang utama saat ini.

“Ma, Fey mau cerita boleh?” tanya Freya hati-hati.

“Cerita apa?”

“Deniz?”

Freya mengamati reaksi sang Mama. Tapi tak ada apapun di wajah tua itu. Freya pun akhirnya mengambil keputusan untuk bicara jujur pada Mamanya perihal Deniz. Bagaimana pria itu ingin mengenal Freya namun terhadang karena masa lalu hidupnya dulu. Bagaimana Freya yang pelan-pelan membangun tembok untuk Deniz mendekat. Juga Deniz yang berusaha menjadi pribadi yang lebih baik agar Freya bisa memberinya kesempatan. Tak ada yang Freya tutupi. Semua diceritakan pada sang Mama.

“Menurut Mama, Fey harus apa?” tanya Freya pada akhirnya.

“Kamu bukan Tuhan yang bisa mengatur jalan hidup manusia. Kamu juga bukan orang suci yang tidak pernah berbuat kesalahan. Meski dalam konteks yang berbeda.”

Freya menunduk, merasa tertohok dengan ucapan Mamanya. Ia pun menyadari bahwa dia bukanlah pribadi tanpa cela layaknya malaikat. Namun ketika Mama yang mengucapkannya membuat Freya merasa tertampar berkali-kali.

“Manusia punya masanya untuk tumbuh, dewasa dan belajar, Fey. Jadi menurut Mama nggak ada yang salah dengan hidup Deniz. Kecuali dia masih dengan dunianya tapi bisa-bisanya mau masuk ke dunia kamu tanpa mau belajar dan berubah.”

“Jadi... Mama nggak masalah jika yang Tuhan takdirkan jadi jodoh Freya adalah orang seperti Deniz? Yang punya kehidupan bebas seperti itu?”

“Kamu pilih mana? Mantan ustadz apa mantan preman, hayo?”

Freya mencibir. “Ya mantan preman lah.”

“Jadi...”

Sekali lagi Freya bertanya. “Mama yakin?”

“Fey, jodoh kamu bukan Mama yang atur. Kita hanya mengusahakan. Tetap yang menentukan Tuhan. Jadi nggak usah berpikir aneh-aneh. Jalani saja kalau menurut kamu itu baik. Kamu kan sudah dewasa, sudah bisa berpikir logis juga kan?”

Tiba-tiba saja sosok Yudhistira melintas di kepala Freya. Gadis itu kembali memandang Mamanya. Ia jadi penasaran dengan jawaban Mamanya jika Freya mengangkat Yudhistira sebagai subjek pembicaraan mereka.

“Kalau duda cerai, Ma?” suara Freya agak memelan, membuat Mama tak begitu jelas mendengar.

“Apa Fey?”

“Hah?”

“Tadi... kamu ngomong apa? Kok Mama ada dengar kata duda?”

“Hah? Enggak kok.”

“Fey...”

Freya menggigit bibir bawahnya sebelum bicara. “Kalau jodoh Fey itu duda cerai gimana Ma?”

Mama menatap penuh selidik pada Freya. Kemudian beliau mengulas senyum. “Bos kamu ya?” goda Mama.

Freya sangat tahu Mama begitu cerdik. Mana pernah dia bisa membohongi Mamanya.

Akhirnya Freya pun bercerita perihal Yudhistira. Bukan Freya ingin menjadi penggosip. Tapi ia hanya ingin mendengar pendapat Mama akan sosok Yudhistira. Jika Mama saja bisa bereaksi biasa saja terhadap hidup Deniz, mungkin Mama juga akan memiliki respon yang biasa juga terhadap Yudhistira.

“Jadi dia duda cerai karena nggak cinta sama istrinya?” tanya Mama agak bingung ketika Freya selesai bercerita.

“Katanya sih begitu. Dia bilang bukan tipe orang yang gampang jatuh cinta.”

“Dan anaknya lahir karena bentuk pertanggung jawaban, begitu?”

Freya mengangguk. Gadis itu mulai sibuk membereskan sisa peralatan makan mereka. Sementara Freya mulai mencuci piring di wastafel, Mama masih duduk di kursi sambi l berpikir.

“Kok bisa ya Fey?”

Gadis itu mengendikkan bahu. “Fey juga nggak tahu Ma.”

“Dan kenapa kamu tiba-tiba nanya soal dia? Kamu suka sama dia?”

Freya berdecak karena spekulasi Mama. “Bukan. Fey penasaran saja gimana reaksi Mama andai jodoh Fey itu duda.”

Giliran Mama yang mengendikkan bahu. “Buat Mama nggak masalah. Selama dia baik, bertanggung jawab, dan pastinya sayang sama kamu, Mama nggak peduli statusnya.”

Freya selesai mencuci seluruh peralatan. Setelah mengeringkan tangannya, Freya berbalik menghadap sang Mama. Cukup terkejut dengan jawaban yang didapat.

“Mama serius?”

“Asal bukan suami atau pasangan orang, Fey.”

Mama berdiri dari duduknya, kemudian berjalan meninggalkan ruang makan. Ruang televisi adalah tujuannya. Beliau langsung duduk dan menyalakan televisi. Meninggalkan Freya yang masih berdiri sambil bersandar di wastafel dengan segala pikirannya.

...

Hari ini Freya kembali ke kantor setelah kemarin gadis itu mengajukan izin cuti. Semua karena ia ingin menemani Mamanya melakukan pemeriksaan. Meski belum mendapatkan hasil karena dokter Rafkan akan membacakan hasilnya esok. Tapi Freya merasa sedikit lega karena dari apa yang disampaikan dokter Rafkan secara tersirat mengisyaratkan kondisi Mama cukup stabil. Hanya saja ia tak ingin mengendurkan pengawasan dulu terhadap Mama. Bahkan Freya tadi mengantarkan sang Mama mengungsi ke rumah Tantenya. Semua demi keselamatan Mama.

Meski tak masuk selama sehari, tapi pekerjaan Freya sudah cukup menumpuk. Tapi ia tak ingin mengambil resiko lembur. Freya memilih membawa pekerjaan ke rumah. Agar ia bisa menjemput Mama dan menghabiskan lebih banyak waktu dengannya.

“Mau langsung balik?” Kirena menyapa Freya yang sudah bersiap-siap.

“Iya, masih harus jemput Mama di rumah Tante.”

“Hah? Kenapa?”

“Kemarin itu Mama tiba-tiba pingsan. Setelah diperiksa, dokter bilang ada potensi jantung. Kemarin kan aku izin cuti untuk temanin Mama check up. Nah hari ini, aku minta Mama habiskan waktu di rumah Tante biar ada yang pantau.”

“Tante sakit jantung?” tanya Kirena tak percaya. Freya mengangguk. “Sekarang?”

“Kondisinya masih stabil. Besok aku mau ketemu dokternya untuk baca hasil laporan kesehatan Mama. Aku duluan ya Ki.” Freya melambaikan tangan kemudian bergegas pergi.

Baru saja tiba di parkiran basemen, Yudhistira menyapa Freya. Pria itu bahkan sudah ada di hadapan Freya tanpa gadis itu bisa menghindar. Terlebih tatapan tegas Yudhistira mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin dibantah.

“Bisa kita bicara?” itu perintah, bukan permintaan.

Freya mengembuskan napas pelan sebelum mengangguk. Namun baru Freya akan masuk ke mobilnya, Yudhistira mencekal pergelangannya. Membuat gerakan gadis itu tertahan. Terlebih saat Yudhistira justru membawa Freya ke arah mobilnya. Membukanya, lalu memerintahkan Freya untuk masuk.

“Mau bicara di mana? Lalu mobil saya?” protes Freya kala Yudhistira sudah melajukan kendaraannya.

“Bicara di rumah saya. Arjuna mau ketemu kamu.”

Andai jantung Freya tak sehat, saat ini ia pasti sudah terkena serangan jantung. Tak ada angin dan hujan, mengapa Arjuna ingin bertemu dengannya?

“Bapak serius?” tanya Freya menyelidik.

“Arjuna menagih janji kamu untuk makan bersama lagi.”

‘Tapi... saya harus hubungi Mama dulu.”

“Bagaimana kalau kita sekalian makan malam di luar dengan Mama kamu?”

Gerakan tangan Freya yang akan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya terhenti seketika. Gadis itu berpaling cepat ke arah Yudhistira. Menatap pria itu dengan pandangan tak percaya.

“Hah?”

“Kita jemput Arjuna, lalu jemput Mama kamu, bagaimana?”

Jika ada pria yang bisa memanipulasi pikiran, mungkin Yudhistira lah ornagnya. Freya bahkan tak bisa berkutik tiap kali pria itu memberi titah. Gadis itu hanya bisa diam menerima. Hingga mobil berhenti di depan sebuah rumah cukup besar.

“Kamu tunggu di sini, biar saya panggil Arjuna.”

“Saya ikut.”

Freya melepas seatbelt dan ikut turun bersama Yudhistira. Gadis itu dibuat takjub saat memasuki kediaman Yudhistira. Namun seketika Freya membeku kala mendapati sosok wanita tengah duduk di sofa ruang tamu.

“Baru pulang?” sapa wanita bernama Cindy yang Freya tahu sebagai kekasih Yudhistira.

Tak hanya Freya, Yudhistira pun cukup terkejut saat mendapati Cindy berada di rumahnya. Wanita ini jarang sekali bertandang ke rumahnya tanpa pemberithuan. Bahkan mereka lebih sering bertemu di luar.

“Kapan kamu datang?” Yudhistira balik bertanya.

Tatapan Cindy mengarah pada Freya sebelum wanita itu menjawab. “Sepuluh menitan yang lalu.”

Kini tatapan Cindy sepenuhnya terarah pada Freya. Wanita cantik itu memindai Freya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Membuat Freya merasa tak nyaman. Untunglah dari arah tangga tiba-tiba suara Arjuna menggema. Anak lelaki tersebut berteriak girang kala melihat Freya ada di rumahnya.

“Tante kenapa baru datang sekarang?” cecar Arjuna kala memeluk tubuh Freya yang hampir limbung.

Gadis itu tertawa akan reaksi Arjuna kala bertemu dengannya. Dan semua itu tak lepas dari pandangan Yudhistira dan Cindy.

“Maaf ya. Tante sibuk di kantor. Jadi nggak sempat ketemu kamu.”

“Papa ayo makan bareng lagi sama Tante.” Arjuna meminta dengan lantang pada Papanya. Membuat Freya membelalakkan mata. Terlebih kala melihat respon Cindy yang sama terkejutnya.

“Main sama Tante Freya sebentar ya. Papa mau bicara dengan Tante Cindy dulu.”

Arjuna mematuhi perintah ayahnya. Bocah lelaki itu menarik Freya untuk ikut ke kamarnya. Menunjukkan seisi kamarnya pada perempuan yang baru dikenalnya. Namun sudah berhasil membuatnya merasa nyaman.

Sementara di bawah, Cindy memandang Yudhistira dengan tatapan menuntut. Ingin diberi penjelasan mengapa seorang wanita asing bisa begitu dekat dengan putranya.

“Itu Freya, salah satu karyawan di kantor,” jelas Yudhistira dengan nada tenang.

“Oh. Pantas wajahnya familiar. Kamu suka sama dia?” tanya Cindy.

Raut wajahnya biasa saja, namun nada tak suka jelas terdengar dari suaranya. Bagaimanapun ia dan Yudhistira masih terikat hubungan. Meski ia tahu pria itu tak sedikitpun melibatkan rasa dalam hubungan mereka. Dan memang Cindy pun awalnya tak ingin. Tapi seiring berjalannya waktu, ia menjadi terbiasa dengan hubungan mereka. Dan kini saat orang asing berusaha masuk, Cindy jelas merasa tak suka.

“Arjuna menyukainya.”

“Dan kamu juga?” tebak Cindy.

Yudhistira diam tak menjawab. Memang awalnya ia tak memiliki perasaan apapun pada Freya. Tapi rasa nyaman yang didapatkan pria itu kala berbicara dengan Freya mempengaruhinya. Terlebih dengan Freya yang begitu mudah dekat dengan Arjuna. Membuat Yudhistira merasa tak akan sulit untuk menyukai seorang seperti Freya. Masih hanya sekedar suka, tapi siapa yang tahu rasa yang akan berkembang dalam hati pria itu saat ia menjadi semakin dekat dengan Freya.

“Yudhitira, kamu tahu kan kalau kita itu...”

“Saya tahu,” potong Yudhistira cepat. “Tapi hari ini, maaf saya tidak bisa menemani kamu. Saya sudah janji sama Arjuna untuk bawa dia ketemu Freya. Kamu bisa pulang sendiri kan?”

Cindy menatap tak percaya pada Yudhistira. Ia akui selama ini memang hubungan mereka tak benar-benar lancar. Tapi selama berhubungan tak pernah sekalipun Yudhistira bersikap tegas padanya. Pria itu selalu mengalah padanya. Namun berbeda untuk kali ini. Tanpa banyak bicara wanita itu angkat kaki dari kediaman Yudhsitira. Ia makin kesal karena pria itu bahkan tak mau repot-repot mengantarkan hingga ke depan pintu.

Sepeninggal Cindy, Yudhistira sendiri menjatuhkan dirinya di sofa. Pria itu menyugar rambutnya kasar. Ia tahu apa yang dilakukannya saat ini sungguh tak biasa. Tapi dalam hati ia sama sekali tak menyesal. Ia sudah memikirkan segalanya. Keputusan apa yang akan diambilnya terkait kehidupan dirinya dan Arjuna nanti.

...

Note : hoya! Silakan berpusing-pusing ya 😂😂😂

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : baca work baru ya, Abstrak. Disitu pemeran utamanya Om-Om kayak lapaknya si Eda

Pss : masih ada sisa cetak 5 eks Oh, My Boss! Yang minat bisa hubungi via WA- ya. makasih

Rumah, 17/19/01

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top