XI - Rumor

Pekerjaan kantor menyita waktu Freya belakangan ini. Gadis itu bahkan tak banyak meluangkan waktu bersama Mamanya. Pun juga dengan usahanya mencari pria pendamping. Hampir dua minggu lamanya Freya tak menghabiskan waktu untuk misinya. Lagipula hingga saat ini belum ada satu kandidatpun yang memenuhi kriterianya.

Ah, ada. Deniz. Pria itu memang sempat Freya coret dari daftarnya karena memiliki track record yang menurut Freya buruk. Tapi beberapa waktu lalu Freya kembali memikirkannya. Bukan untuk mematenkan bahwa Deniz lah pria yang Freya inginkan menjadi satu bagian hidupnya. Tapi Freya sadar rasanya tak adil menggugurkan pria itu hanya karena masa lalunya.

Mungkin Freya adalah gadis dengan kategori nol koma sekian persen yang pernah melakukan hal buruk. Hidupnya sejak dulu selalu berada di jalur yang aman-aman saja. Tapi bukan berarti Freya menolak untuk berada di lingkungan yang menganut kehidupan bebas. Ia bisa menetapkan batasan dalam menerima apa lingkungan berikan padanya. Dan sangat tak etis rasanya membiarkan masa lalu seseorang menjadi tolok ukur untuk masa depannya. Dan saat itu inilah yang sedang Freya pikirkan.

Deniz, pria itu begitu mudah mengambil hati Mama. Meski Freya sempat membentengi kesempatan yang pria itu miliki, tapi bisa saja Mama menerimanya. Freya belum pernah membicarakan gaya hidup Deniz sebelumnya dengan Mama. Mungkin saja Mama memiliki pemikiran yang berbeda dengannya.

“Kamu belum pulang?”

Hampir saja Freya jatuh dari kursinya. Suara Yudhistira mengagetkan gadis itu. Freya membenarkan posisi duduknya sebelum berhadapan dengan pria itu.

“Bapak sendiri, masih di sini? Lembur juga?” Freya balik bertanya.

Yudhistira mengangguk. “Tapi sudah selesai. Kamu?”

“Sebentar lagi.”

“Sudah makan malam?”

Pertanyaan Yudhistira satu itu membuat Freya terperanjat. Sejak berbagi cerita saat di acara outing yang lalu, pria ini memang menjadi semakin ramah pada Freya. Bahkan di depan karyawan lainnya, Yudhistira tak segan menegur atau melempar senyum simpul pada Freya. Sempat ada berbagai rumor dan spekulasi di kantor. Namun semua menghilang seiring berjalannya waktu karena baik Freya dan Yudhistira jelas menunjukkan interaksi yang sewajarnya di kantor.

“Kebetulan belum. Tapi setelah pekerjaan selesai, saya pasti makan.”

Freya pikir pembicaraan akan selesai sampai di situ. Tapi tak dinyana, Yudhistira malah melangkah mendekati Freya. Berdiri di depan kubikel gadis itu dengan mata menatap lurus ke layar komputer.

“Masih lama?”

“Hah? Maksudnya Pak?” Freya benar-benar tak mengerti akan maksud pertanyaan yang dilontarkan Yudhistira.

“Tidak baik perempuan sendirian di kantor sampai jam segini. Kalau memang masih banyak, lebih baik lanjutkan besok saja. Ini juga sudah lewat jam makan malam kan? Kamu bisa sakit kalau terlalu sering telat makan.”

Freya menatap takjub pada Yudhistira. Tak pernah ada pria yang begitu cerewet padanya dalam hal waktu makan. Hanya Mama. Sejak Papa pergi, Freya tak pernah lagi merasakan bagaimana diperhatikan seorang pria dewasa. Dan perlakuan Yudhistira kali ini benar-benar membuat Freya menghangat.

“Kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau makan malam sama saya?”

Lagi, dua kali Freya dibuat takjub. Pria dingin nan tegas ini berubah menjadi sehangat udara musim panas. Sesuatu yang benar-benar di luar dugaan. Tapi Freya tahu mungkin Yudhistira melakukannya hanya karena sebuah keramahan semata.

“Apa tidak mengganggu Bapak?”

“Kebetulan tidak. Lagipula saya juga ingin menjemput Arjuna.”

Arjuna? Dahi Freya mengernyit. Apa yang dilakukan putra Yudhistira malam-malam begini? Dan menjemput anak itu di mana?

“Arjuna sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Harusnya sore tadi dia sudah di rumah, tapi anak itu minta izin untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan temannya. Jadi ya, saya izinkan.”

Freya mengangguk paham. “Lalu, kenapa bukan sopir yang menjemput?”

“Karena saya ingin menghabiskan sedikit waktu dengan anak itu. Akhir-akhir ini waktu saya terlalu tersita dengan masalah kantor. Jadi saya ingin menebus waktu yang sering kami lewatkan.”

Jika tadi Freya kagum dengan Yudhistira yang bertanggung jawab terhadap Ibu anaknya, kali ini rasa kagum Freya bertambah. Ia benar-benar salut dengan tanggung jawab yang dimiliki Yudhistira. Tak sekalipun ia merasa putranya adalah beban. Seperti yang pernah Yudhistira sebutkan bahwa Arjuna bukan kesalahan.

“Tapi nanti saya mengganggu quality time Ayah dan anak?” Freya berucap ragu.

“Tidak sama sekali.”

“Tapi... mobil sa-ya?”

“Kamu bisa tinggal di kantor.”

Mata Freya membulat. “Hah?”

Bagaimana ia bisa meninggalkan mobilnya di kantor. Lantas, bagaimana caranya besok Freya akan ke kantor?

“Saya bisa jemput kamu.”

Astaga! Freya berteriak dalam hati. Tak pernah terbayangkan olehnya Yudhistira bisa berucap seenteng itu. Bahkan dalam bayangan terliarnya, ia tak pernah menyangka seorang Yudhistira akan menawarkan tumpangan padanya.

“Ayo, Arjuna sudah menunggu.”

Kembali Freya dibuat terkejut. “Eh?” tanyanya.

“Rapikan barang-barang kamu agar kita bisa segera pergi.”

Seperti tersihir mantra, Freya malah menuruti apa yang dikatakan Yudhistira. Gadis itu merapikan meja kerjanya. Menyimpan tugasnya kemudian memeriksa tak ada yang tertinggal untuk dimasukkan ke dalam tasnya. Kemudian Freya mengikuti langkah Yudhistira menuju parkiran.

“Memang rumah temannya Arjuna dekat dari kantor?” tanya Freya ketika keduanya sudah berada di jalan

“Iya. Nggak terlalu jauh.”

Benar saja, tak lama mobil Yudhistira berhenti di sebuah rumah. Arjuna telah menunggu di depan gerbang bersama anak seusianya. Setelah berpamitan dengan temannya, Arjuna bergegas masuk ke mobil sang ayah. Namun anak itu terkejut saat mendapati Freya duduk di kursi depan.

“Eh, maaf Tante.”

Freya tertawa saat anak itu justru meminta maaf. Arjuna kemudian segera masuk ke kursi belakang.

“Kita mau makan apa?” tanya Yudhistira pada putranya.

“Pizza boleh, Pa?” tanya Arjuna.

Yudhistira melirik Freya. Sejujurnya ia tak terlalu suka jika putranya gemar mengonsumsi junk food. Namun karena adanya Freya, pria itu tak langsung menjawab. Ingin mendengar pendapat Freya.

“Tante mau kan makan pizza?” tanya Arjuna. Nadanya penuh bujukan. Membuat Freya tak tega untuk menolaknya.

“Kalau Papa kasih izin, Tante nggak masalah kok makan pizza,” balas Freya diplomatis.

“Yei, mau ya Pa?”  sorak anak itu sembari memohon pada Papanya.

Tak tega menolak keinginan Arjuna, Yudhistira pun mengalah. Pria itu melajukan mobilnya menuju gerai pizza terdekat. Membuat Arjuan makin bersorak kegirangan.

Selama di dalam mobil pembicaraan di dominasi oleh si kecil Arjuna. Anak itu begitu aktif dan ceriwis. Bertanya ini-itu pada Freya. Gadis itu tak merasa keberatan dengan berbagai tanya yang terlontar dari bibir Arjuna. Bahkan ia senang dengan anak yang aktif seperti Arjuna. Meski kadang kewalahan dengan pertanyaan beruntun anak itu.

“Sudah dulu dong, Tante Freyanya mau makan. Kalau kamu tanya terus kapan Tante Freya bisa makan?” Yudhistira mengiterupsi putranya yang tak henti mengoceh.

Arjuna menurut meski dengan wajah tak rela membuat Freya mengulum senyum melihatnya. Terlihat sekali Arjuna masih ingin bercerita banyak hal pada Freya. Tapi karena terguran sang ayah membuatnya harus berhenti bicara. Ketiganya pun makan dengan lahap. Dengan Arjuna yang kembali berceloteh tanpa henti. Dan hanya ditanggapi seadanya oleh Freya dan Yudhistira.

Selama itu, Yudhistira mengamati bagaimana interaksi putranya dan Freya. Hatinya menghangat kala melihat bagaimana Freya memberi perhatian atas setiap pertanyaan Arjuna. Sikap yang tak pernah Yudhistira lihat pada diri Cindy. Wanita itu bahkan terlihat enggan berinteraksi dengan anaknya. Padahal Yudhistira setuju untuk menjalin hubungan dengan Cindy tak semata atas dasar kerja sama. Pria itu juga setuju karena mengira Cindy akan mengisi kekosongan sosok Ibu dalam hidup Arjuna. Namun nyatanya semua tak seindah yang diharapkannya.

Dan kini di hadapannya ia melihat interaksi hangat yang tak pernah Arjuna dapatkan. Freya memang tak terlihat sebagai sosok ibu bagi Arjuna. Tapi bagaimana perempuan itu bersikap dan menghargai setiap hal kecil dari tanya putranya adalah interaksi paling indah yang Yudhistira pernah lihat. Bahkan dengan ibu kandungnya pun Arjuna tak mendapatkan interaksi sehangat itu.

“Lain kali kita makan pizza lagi ya, Tante?” ucap Arjuna kala Freya sudah diantarkan ke rumahnya.

“Iya. Tapi jangan pizza dong. Yang lain. Makanan yang lebih sehat, oke?” balas Freya. Arjuna tampak berpikir, kemudian mengangguk.

“Oke!” ucapnya setuju.

“Terima kasih untuk makan malam dan tumpangannya, Pak.” Freya beralih pada Yudhistira.

“Besok saya jemput kamu.”

Belum sempat Freya menjawab, Yudhistira sudah siap menjalankan kendaraannya. Yang terdengar hanya suara teriakan Arjuna yang berpamitan. Sedang Freya sendiri masih terpaku di tempatnya. Sedetik ia seakan mengalami kelumpuhan otak. Hingga suara gerbang yang terbuka menyadarkan Freya dari keterpakuannya. Sang Mama sedang memandang Freya dengan tatapan heran.

...

Sejak kejadian Freya yang berangkat semobil bersama Yudhistira, gadis itu menjadi sorotan di kantor. Semua berpikir Freya dan sang atasan memiliki hubungan dekat. Bahkan ada yang berbicara di belakang Freya dan mengatai gadis itu sebagai perusak hubungan orang. Padahal Freya hanya berangkat sekali itu saja bersama Yudhistira. Itu pun karena mobil gadis itu yang sengaja ditinggalkan di kantor. Tapi tetap saja tak ada yang peduli dengan fakta itu. Apa yang mereka lihat sudah cukup menjadi bahan gosip.

Karenanya Freya memilih menjauh dari Yudhsitira. Pria itu pasti menyadarinya. Sebab Freya beberapa terlihat menghindari pria itu. Namun karena mereka berada di kantor, Yudhistira tak mungkin mengonfrontasi gadis itu. Jadilah mereka kembali seperti sedia kala seolah tak saling mengenal satu sama lain.

“Mau ke mana, Freya?” Mira, Manajer Freya menegur gadis itu yang tampak terburu-buru.

“Ke rumah sakit, Bu,” jelas Freya. Nada gusar terdengar jelas dalam suaranya.

“Ada apa?” tanya Bu Mira penasaran.

“Mama masuk rumah sakit.”

Mira tampak terkejut dengan penjelasan Freya. “Oke, kamu boleh pergi. Masalah perizinan kamu nanti saya yang urus. Titip salam untuk Mama kamu ya.”

Freya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Gadis itu kemudian bergegas menuju parkiran mobilnya. Dengan tergesa Freya menyetir agar segera tiba di rumah sakit. Ia begitu terkejut saat mendapat telepon dari Mama Arka yang mengabarkan Mamanya tiba-tiba pingsan. Untung saat itu Tante Rika sedang berkunjung. Jika tidak entah bagaimanan kondisi Mama saat ini. Tanpa kendala Freya tiba di rumah sakit dan langsung bergegas menuju ruangan Mamanya di rawat.

“Gimana keadaan Mama, Tante?” Freya langsung memberondong Rika dengan tanya begitu menginjakkan kaki di rumah sakit.

Rika meletakkan telunjuk ke bibirnya. Mengisyaratkan Freya untuk tenang. Kemudian wanita itu menarik Freya untuk duduk di sofa yang ada di kamar rawat tersebut.

“Mama kamu lagi istirahat tadi setelah diperiksa,” jelas Rika.

“Mama sakit apa, Tante?” Freya jelas tak bisa tenang sebelum mengetahui penyakit yang diderita Mamanya.

Rika menunduk sejenak. Membuat jantung Freya berdegup kencang. Dalam hati ia berharap apa yang akan disampaikan Tante Rika bukan hal yang membahayakan. Tapi melihat gestur Tante Rika yang tak biasa, membuat Freya tanpa bisa dicegah menitikkan airmata.

“Kamu tanya dokter ya?”

Satu kalimat itu saja sudah mampu membuat Freya kesulitan bernapas. Apa yang ia takutkan makin menjadi. Sebisa mungkin Freya menenangkan dirinya. Meski tak sepenuhnya bisa tenang.

“Siapa dokternya Tan?”

“Namanya dokter Rafkan.”

Hanya informasi itu yang bisa diberikan Rika. Gadis itupun mengerti dan berpamitan pada Rika untuk menemui pria bernama dokter Rafkan tersebut. Dengan sebelumnya Freya berterima kasih karena Tante Rika mau direpotkan untuk menjaga Mamanya.

Dengan langkah bergetar Freya menghampiri meja informasi. Bertanya di mana ruangan dokter Rafkan. Dan betapa terkejutnya Freya saat tahu bertugas dalam bidang apa dokter Rafkan tersebut. Tapi kembali Freya berusaha menguatkan dirinya.

“Silakan masuk,” seru suara berat dari dalam ruangan yang diketuk Freya.

Sekali lagi Freya membaca tulisan yang ada di depan pintu ruangan tersebut. Di sana tertulis dr. Rafkan Gunawan Sp. JP. Freya memejamkan mata sejenak sebelum berhadapan dengan seseorang di dalam sana.

“Permisi dok,” sapa Freya saat membuka pintu ruangan dokter Rafkan.

Pria yang saat ini Freya temui benar-benar jauh dari bayangannya. Ia pikir dokter Rafkan pastilah dokter yang sudah berumur mengingat profesinya sebagai spesialis jantung. Tapi pria yang saat ini Freya lihat jauh lebih muda dari bayangannya. Freya menebak usia pria itu mungkin tak lebih dari tiga puluh lima tahun. Sesuatu yang membuat Freya tak yakin. Benarkah pria itu yang bertanggung jawab atas Mamanya.

“Ada apa?” suara dokter Rafkan membuyarkan pikiran Freya.

Freya mendekat. Menarik kursi untuk duduk di hadapan dokter Rafkan meski belum dipersilakan.

“Saya Freya. Putri dari pasien atas nama Rubi. Pasien yang dokter tangani,” jelas Freya.

Dokter Rafkan tampak terperanjat. Namun pria itu kemudian membuka catatan pasien yang ditanganinya. Dan menemukan pasien atas nama yang tadi Freya sebutkan.

“Anda pasti ingin mendengar kondisi Ibu anda?” Freya mengangguk.

“Mama saya, baik-baik saja kan, dok?”

Raut wajah dokter Rafkan berubah. Seakan tak tega menyampaikan apa yang harus disampaikannya pada perempuan muda di hadapannya tersebut. Tapi itu sudah menjadi tugasnya. Baik atau buruk kabar pasien, Rafkan harus menyampaikan yang sebenarnya. Kecuali dari pasien sendiri yang meminta agar kondisinya dirahasiakan.

“Mama kamu didiagnosa menderita penyakit jantung.”

Tubuh Freya seketika terkulai lemah. Tak sanggup menerima kabar yang disampaikan. Meski sempat berspekulasi apa yang diderita Mamanya. Tetap saja Freya tak siap saat dokter memaparkan penyakit sang Mama.

“Tapi... Mama...” Freya tak sanggup meneruskan kalimatnya.

“Untuk saat ini belum ada yang membahayakan. Tapi lebih jelasnya saya sarankan untuk Ibu Rubi melakukan pemeriksaan menyeluruh. Agar kita bisa melakukan penanganan yang tepat terkait kondisi beliau.”

Freya mengangguk. Saat ini pikiran gadis itu tengah bercabang. Setelah mendapatkan penjelasan rinci perihal kondisi Mamanya, Freya berpamitan pada dokter Rafkan. Begitu keluar dari ruangan sang dokter, kaki Freya melemas. Ia bahkan tak sanggup meneruskan langkahnya dan jatuh dengan posisi berjongkok di depan pintu ruangan dokter Rafkan. Tak peduli dengan keadaan sekeliling Freya malah menumpahkan isaknya. Membuatnya menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang.

Sampai suara pintu berderit membuat Freya tersentak. Gadis itu menolehkan wajahnya dan mendapati dokter Rafkan berdiri menjulang di belakangnya. Menatap bingung pada Freya yang masih dalam posisi berjongkok dengan mata yang sembab.

“Kamu baik-baik saja?” tanya dokter Rafkan.

Freya berdiri hingga kini berhadapan dengan dokter Rafkan. Gadis itu tak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Sampai Rafkan menyodorkan sebuah sapu tangan untuk Freya yang diterima gadis itu dengan ragu.

“Sepertinya kamu butuh tempat untuk melampiaskan perasaan. Saya tahu tempat yang tepat. Mau saya tunjukkan?” tawar dokter Rafkan.

“Tidak usah, dok. Saya harus jaga Mama. Terima kasih untuk sapu tangannya. Setelah saya cuci akan saya kembalikan.”

Setelah berpamitan Freya beranjak pergi dari hadapan dokter Rafkan. Dengan airmata yang kembali mengalir. Freya menundukkan wajahnya. Berusaha menyembunyikan wajah sedihnya dari pandangan orang-orang. Sedang Rafkan hanya memerhatikan gadis itu hingga menghilang dari pandangan matanya.

...

Note : siapa lagi dokter Rafkan? Hehehe. Cerita ini kayaknya bakal kelar di chapter 20. Mulai sekarang aku nggak mau nulis banyak-banyak deh. Cukup 20an chapter aja. Kulelah kalau nulis banyak-banyak. Enaknya nulis sedikit dan cepat kelar jadi bisa nulis cerita lainnya.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : PO Oh, My Boss! Sisa tiga hari lagi, buruan yang mau ikutan, masih ada waktu.

Rumah, 12/19/01


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top