X - Hubungan Yang Rumit
Satu lagi hari yang lain dalam hidup Freya. Setelah minggu yang melelahkan dengan kedua keponakan tersayangnya. Freya harus kembali menghadapi realita kerja. Meski ada sedikit perdebatan kecil antara dirinya dan Raikan kemarin, Freya tak ingin memikirkannya. Mungkin ia dan pria itu tak berjodoh. Karena mereka tak memiliki prinsip yang sependapat perihal pernikahan. Tapi biarlah, Freya akan tetap pada rencana awalnya. Mencari pria yang pantas menjadi calon menantu Mama.
Pagi di kantor Freya lalui dengan sarapan di gerai kopi yang berada di lantai bawah gedung kantornya. Ini semua karena Mama yang tak bisa menyiapkan sarapan. Pagi-pagi sekali Mama sudah dijemput oleh adiknya karena kondisi Nenek Freya sedang tak baik. Sejak semalam Neneknya memang sudah dirawat di salah satu rumah sakit. Karena itu Freya terpaksa pergi ke kantor lebih pagi untuk bisa sarapan di tempat itu. Bukan karena Freya tak bisa menyiapkan sarapannya sendiri. Tapi Freya tak sempat.
“Tumben sarapan di sini Frey?” Kiren menghampiri gadis itu tiba-tiba.
“Enggak sempat sarapan di rumah.”
“Oh ya, udah dengar berita terbaru belum?”
“Apa? Pak Yudhistira mau nikah?”
Kirena terperangah mendengar jawaban Freya. Perempuan itu menatap Freya penuh selidik. Beberapa waktu belakangan Freya memang tak lagi mengeluhkan perihal sikap tegas Yudhistira sejak pria itu memarahi Freya. Meski tak tahu apa yang tepatnya terjadi pada keduanya. Tapi Kirena yakin ada sesuatu di antara Freya dan atasannya itu.
“Kenapa tiba-tiba ngomongin Pak Yudhistira?”
Freya menggigit lidahnya yang keceplosan. “Eh, itu...”
“Kamu udah baikan sama Pak Yudhistira?”
Dahi Freya mengerut mendengar pertanyaan Kirena. “Baikan? Memang aku sama Pak Yudhistira kenapa?”
“Ya kan kemarin kamu kayak yang berseteru gitu sama si Bapak. Apalagi sejak insiden yang dia marah-marah di kantor.”
Freya menyeruput kopinya sebelum bicara. “Saat itu memang aku yang salah kok.”
“Tapi...”
“Apaan?”
Kirena ingin bicara, tapi gadis itu bingung ingin mengatakan apa. Hingga akhirnya memilih bungkam dan memilih memesan menu seperti halnya Freya. Tak lama Kirena kembali dengan nampan sarapannya.
“Tadi mau kasih tahu berita apaan sih Ki?” tanya Freya mengingat tadi Kirena mendatanginya untuk menyampaikan informasi.
Kirena menepuk dahinya karena melupakan hal itu. “Tuh kan, untung kamu ingatin. Katanya akhir pekan ini ada acara outing gitu dari kantor. Dan bakal diadakan di luar kota. Katanya juga boleh bawa keluarga.”
Freya hanya menggumankan oh tanpa suara. “Eh tapi dalam rangka apa?” tanya Freya akhirnnya.
“Katanya sih buat mempererat hubungan antar karyawan gitu. Juga untuk meningkatkan kinerja. Ya gitu-gitulah.”
Freya akhirnya hanya menggangguk saja. Kalaupun Freya mengikuti acara tersebut hanya dirinya saja yang akan hadir. Mama mana pernah mau diajak mengikuti acara gathering atau outing yang pernah diselenggarakan kantornya. Selain Mama merasa malas untuk ikut serta, beliau juga pasti tak akan mampu mengikuti acara yang biasanya banyak kegiatannya tersebut.
Selesai sarapan Freya dan Kirena kembali ke kantor. Untung saja waktu belum menunjukkan pukul delapan pagi. Masih tersisa sepuluh menit sebelum aktifitas kerja di mulai. Dan beruntung Freya dan Kirena tiba sebelum Bu Mira melakukan inspeksi pagi seperti biasanya. Jadi mereka bisa selamat dari amukan pagi atasan tersebut.
Saat makan siang tiba, Freya memilih delivery food. Ia malas beranjak dari kubikelnya. Kebetulan seharian ini ia harus menyusun kembali laporan bulanan yang diperintahkan Bu Mira. Bahkan kemungkinan Freya harus lembur untuk hari itu. Hingga pukul lima sore pekerjaan Freya bahkan belum selesai.
Tepat ketika Freya berhenti sejenak dari tugasnya untuk makan malam, seseorang menghubunginya. Nama Deniz terpampang jelas di layar ponselnya. Tadinya Freya tak ingin menjawabnya. Namun ia ingat saat pria itu bertanya apa mereka masih bisa bertemu, Freya pun menjawab panggilannya.
“Halo?”
“Lagi ngapain Fey?”
“Em... lembur di kantor.”
Deniz di ujung sana seperti mendapat sebuah ilham. Pria itu langsung bertanya apa ia bisa bertemu dengan Freya. Terlebih saat Freya mengatakan ia ingin mencari makan malam. Deniz langsung menawarkan diri untuk membawakan makan malam ke kantor Freya. Mati-matian Freya berusaha menolaknya. Tak ingin merepotkan Deniz. Namun pria itu terus memaksa hingga Freya akhirnya menyerah kalah. Dan mengizinkan Deniz menghampirinya ke kantor.
Lebih kurang satu jam kemudian Deniz sudah tiba di kantor Freya. Pria itu mengangkat bungkusan bertuliskan salah satu restoran Jepang ternama. Tersenyum lebar kala Freya menyambutnya di lobi.
“Kamu lembur sampai jam berapa?” tanya Deniz ketika mereka sudah tiba di kubikel Freya.
Tak ada seorangpun lagi di ruangan tersebut. Namun Freya sama sekali tak merasa takut berada sendirian di ruangan itu. Karena ia tahu ada beberapa karyawan juga yang masih berada di kantor. Meski tak berada satu ruangan dengan Freya. Terutama petugas keamanan yang selalu berpatroli hingga membuat Freya merasa aman.
Tapi tetap saja Deniz merasa tak habis pikir dengan gadis itu. Bagaimanapun Freya seorang perempuan. Siapa yang tahu apa yang ada dalam pikiran orang lain. Bisa saja mereka punya niat yang tak baik kala menemukan seorang gadis berada sendirian di satu ruangan.
“Lain kali jangan lembur sendirian Fey. Atau paling nggak kalau lo lembur, kasih tahu gue. Gue usahain buat bisa nemanin lo.”
Freya terperanjat, menghentikan sejenak suapannya. “Maksudnya?”
Deniz menyingkirkan noda di sudut bibir Freya dengan jemarinya. Sontak membuat Freya membeku. Gadis itu hanya bisa mengerjapkan mata menerima perlakuan tak terduga Deniz.
“Gue khawatir sama lo. Gimanapun lo perempuan. Nggak seharusnya berada sendirian. Butuh perlindungan.”
Freya berusaha membantah ucapan Deniz. Namun seketika kepalanya serasa kosong. Tak tahu harus melakukan bantahan seperti apa. Yang bisa gadis itu lakukan hanya memandangi Deniz dengan bingung.
“Gue tahu lo berusaha jaga jarak dari gue, Fey. Dan itu semua karena apa yang lo temuin di dompet gue kan?” tebak Deniz.
Bibir Freya rasanya kering dan terasa sulit untuk menjawab. Tapi dengan diamnya saja sudah membuat Deniz tahu apa jawaban gadis itu.
“Gue memang bukan laki-laki baik seperti yang lo harapkan dari seorang pria. Tapi Fey... gue juga nggak ngerti. Awal kita ketemu jujur gue tertarik sama lo. Dan gue berusaha untuk dekat sama lo. Tapi saat tahu lo membangun batas, gue malah nggak terima. Gue malah kecewa. Bukan sama lo, mungkin sama diri gue sendiri. Dan gue juga nggak habis pikir kenapa gue harus kecewa dan nggak terima kalau sejak awal gue dekatin lo cuma berdasarkan modal ketertarikan semata.”
“Aku... nggak ngerti,” ucap Freya terbata.
“Kayaknya gue kemakan sikap sombong gue sendiri. Gue nggak hanya sebatas tertarik sama lo. Mungkin menjurus suka. Dan gue sendiri nggak bisa memprediksi apa yang selanjutnya bakal gue rasain ke lo.”
Sungguh, Freya masih belum bisa menarik kesimpulan dari apa yang Deniz ungkapkan. Benar Freya memang membangun batas untuk pria seperti Deniz. Tapi untuk sekedar berteman, Freya tak akan menutup dirinya. Namun kemudian pria ini mengungkapkan hal yang sama sekali tak Freya prediksi. Dalam bayangan Freya, pria seperti Deniz yang pasti mudah saja mendapatkan gadis yang diinginkannya tak akan pernah datang padanya ketika sudah diberi tanda larangan. Tapi nyatanya justru pria ini datang kembali padanya.
“Fey, izinkan gue mengenal lo lebih dekat,” pinta Deniz kemudian.
Freya belum menjawab. Gadis itu masih sibuk dengan pikirannya. Bahkan dengan mudahnya Freya menyuapkan potongan sushi ke mulutnya. Seolah Deniz tak mengatakan apapun. Hingga pria itu kembali memanggil namanya.
“Untuk apa?” tanya Freya akhirnya.
Deniz diam. Dia sendiri masih bingung akan keinginannya. Freya benar, untuk apa Deniz ingin mengenal gadis itu lebih dekat.
“Jika ingin memuaskan rasa penasaran kamu, lebih baik jangan.” Deniz melebarkan mata mendengar penolakan Freya.
“Kenapa?” tanya pria itu ingin tahu.
“Karena aku nggak ingin mengenal seorang pria hanya untuk hubungan kepuasan semata. Kamu tahu, dalam beberapa waktu ini, sudah ada beberapa pria berseliweran dalam hidupku.”
Pengakuan Freya cukup mengejutkan Deniz. “Gimana bisa?”
“Karena aku sedang mencari calon suami. Uh No, tepatnya, calon menantu untuk Mama. dan tipe pria seperti kamu pastinya akan langsung tereliminasi dalam daftarku. Aku mencari pria yang siap berkomitmen. Meski tanpa cinta. Tapi dia siap berkomitmen untuk membangun rumah tangga denganku. Tentu saja dengan beberapa kriteria yang menjadi acuan calon menantu idaman untuk Mama sesuai versiku.”
Deniz terperangah. Pria itu benar-benar kehilangan kemampuan bicaranya setelah Freya membeberkan panjang lebar misi hidupnya saat ini.
“Calon menantu idaman Mama? Menikah tanpa cinta dan pendekatan?”
Freya mengangguk mantap membuat Deniz semakin tak mengerti dengan jalan pikiran gadis ini yang baginya begitu ruwet. Bagaimana Freya bisa menjalani kehidupannya nanti jika ia menikah dengan seseorang tanpa cinta. Pemikiran yang mungkin siapapun akan pertanyakan. Tapi Freya tetaplah Freya. Ia akan menjalani apa yang menurutnya benar. Meski bagi sebagian orang itu tak masuk akal.
...
Bus yang membawa rombongan kantor Freya sudah tiba di vila yang disewa sebagai tempat pelaksanaan acara outing kantor. Banyak yang tak bisa hadir. Namun begitu tak mengurangi antusiasme peserta yang hadir. Terutama mereka yang membawa keluarga turut serta. Acara tersebut pun mereka jadikan ajang rekreasi keluarga. Dan di antara peserta yang hadir, keberadaan Yudhstira dan putranya menjadi perhatian. Oh jangan lupakan juga kekasih Yudhistira yang masih merupakan putri salah satu pemegang saham di perusahaan mereka. Ketiganya bak keluarga bahagia. Meski berada dalam kendaraan tersendiri.
Freya sendiri mengikuti rombongan yang sudah dibagi dalam beberapa kelompok. Beruntung gadis itu ditempatkan di kelompok yang sama dengan Kirena dan Firda. Jadi gadis itu tak perlu merasa canggung dan harus menjalin kedekatan dengan anggota lainnya.
Setelah meletakkan perlengkapan masing-masing di kamar yang telah tersedia, semua peserta diminta berkumpul di halaman vila. Panitia yang bertanggung jawab mulai membacakan daftar acara apa saja yang akan mereka laksanakan hari ini hingga esok. Namun terlihat tak banyak peserta yang mendengarkan. Mereka sudah sibuk dengan rencana masing-masing. Hingga panitia tampak bingung bagaimana menarik perhatian para peserta.
“Oke kalau begitu acara akan kita mulai dengan permainan yang sudah disiapkan panitia.” Mira, atasan langsung Freya yang menjadi pemandu.
Meski tak begitu antusias tapi nyatanya para peserta cukup menghormati instruksi Bu Mira. Mereka mulai berkumpul dan melaksanakan rangkaian acara yang sudah dipersiapkan. Mulai dari permainan hingga acara hiburan. Karena tak terlalu berminat dengan acara yang sudah disusun, panitia bahkan berencana meniadakan acara yang sudah dirancang esok. Dan diganti dengan acara bebas.
“Kayaknya kerja keras Bu Mira dan panitia nggak ada hasilnya. Lihat aja malah pada sibuk foto-foto sama keluarga. Dikira kantor ngadain acara piknik keluarga kali ya,” ucap Firda geli disela waktu bersantai dan menikmati hidangan.
Kirena dan Freya yang mendengarnya ikut terkekeh. Karena memang benar apa yang disampaikan Firda. Peserta yang membawa keluarganya justru menjadikan acara kantor sebagai ajang piknik keluarga.
Malam itu diakhiri dengan berkumpul di sekitar api unggun yang disediakan panitia. Saling bermain lempar kata dan tebakan. Juga hiburan yang dilakukan beberapa peserta yang memiliki bakat bernyanyi dan bermain gitar. Freya sendiri tak ingin berlama-lama. Ia memilih untuk segera kembali ke kamar. Namun di tengah perjalanannya kembali ke kamar, Freya mendapati pemandangan yang tak biasa kembali. Yudhistira dan kekasihnya lagi-lagi terlibat perdebatan. Tak ingin terlihat oleh mereka, Freya memilih mengabaikan dan melanjutkan perjalanannya ke kamar.
Pagi sekali Freya sudah bangun dari tidurnya. Gadis itu memilih untuk berjalan-jalan di sekitar vila. Suasana masih sepi karena banyak yang masih belum bangun dan memilih bergelung nyaman di ranjang. Tapi tidak dengan Freya yang memilih untuk menikmati udara pagi yang sejuk.
“Aku nggak bisa berlama-lama di sini. Aku mau balik.”
Freya mendengar suara perdebatan tak jauh darinya. Gadis itu pun mencoba mencari sumber suara. Dan kembali menemukan Yudhistira dan kekasihnya berdebat. Bahkan saat hari masih pagi seperti ini.
“Apa salahnya sih menghabiskan waktu denganku dan Arjuna? Gimana kamu bisa dekat dengan Arjuna kalau meluangkan waktu saja kamu enggan.”
“Terserah. Aku balik!”
Tanpa peduli dengan permintaan Yudhistira, wanita yang menjadi kekasihnya tersebut meninggalkan pria itu. Masuk ke mobil dan melajukannya tanpa melihat kembali pada Yudhistira. Pria itu sendiri hanya menghela napas dengan kepala tertunduk. Sebelah tangan digunakan Yudhistira untuk menyugar rambut bagian belakangnya. Seakan ada beban berat yang dipikul pria itu.
Seharusnya Freya segera menyingkir. Tapi gadis itu malah membatu memerhatikan Yudhistira yang tampak tertekan. Hingga pria itu mengangkat kepala dan mata mereka saling mengunci. Tak ada satupun dari mereka yang mau mengalihkan tatap. Hingga Yudhistira bergerak ke arah Freya.
“Mau jalan pagi?” tanya pria itu yang diangguki Freya. “Ayo jalan sama-sama.”
“Tapi...”
“Hem?” tanya Yudhistira berupa gumaman.
“Nanti Arjuna...”
“Dia aman. Anak itu cukup mandiri dan nggak akan merepotkan siapapun. Lagi pula banyak orang di vila ini yang bisa menjaganya.”
Freya akhirnya menurut. Melangkah berdampingan dengan Yudhistira. Belum ada satupun dari mereka yang bicara. Keduanya tampak asyik melangkah sembari menikmati pemandangan pagi.
“Kamu meihat perdebatan saya tadi?”
Freya mengangguk. “Iya. Beberapa kali.”
Jawaban mengejutkan gadis itu membuat Yudhistira terkesiap. “Kapan?”
“Di pesta saat itu dan... tadi malam,” jawab Freya jujur. “Maaf Pak.”
“Kenapa kamu minta maaf?”
“Ya saya takut disemprot lagi seperti kejadian di gudang waktu itu.”
Yudhistira tertawa mendengar penuturan Freya. Ia tak menyangka gadis itu masih mengingat kejadian di gudang dulu.
“Saya tidak tahu kamu masih ingat itu. Dan saya minta maaf kalau saat itu saya keterlaluan.”
“Saya maafin. Tapi... maaf kalau saya lancang lagi, Bapak dan pacarnya baik-baik saja kan?”
Sejenak Yudhistira tersentak atas pertanyaan Freya. Lama pria itu hanya menatap Freya membuat yang ditatap merasa bersalah dan menundukkan pandangan. Tapi ada keinginan Yudhistira untuk bicara. Seperti memang ia butuh seseorang yang bisa mendengarkannya. Dan mungkin gadis ini orang yang memang dibutuhkannya untuk menjadi pendengar.
“Hubungan saya dan Cindy tidak baik-baik saja.”
Freya langsung mengangkat kepalanya. “Hah?”
“Seperti yang mungkin kamu dengar dari rumor yang beredar bahwa saya dan Cindy terikat hubungan juga karena ada keterlibatan bisnis. Dan itu benar.”
Freya makin terkejut mendengar pengakuan dari Yudhistira. Tapi satu hal yang Freya tak habis pikir, mengapa pria ini dengan mudahnya bercerita pada Freya. Tak takutkah Yudhistira mungkin saja Freya jenis perempuan bermulut usil yang senang bergosip.
“Saya yakin kamu bukan tipe perempuan bermulut besar.”
Freya mengernyit kemudian. “Darimana Bapak tahu?”
“Insting?” Freya tertawa saat Yudhistira menyebutkannya. “Tapi saya benar kan?”
Gadis itu mengendikkan bahu sebagai jawaban. “Lalu, kalau memang Pak Yudhistira nggak merasa nyaman dengan hubungan kalian, kenapa terus bertahan?”
“Saya sendiri juga tidak tahu. Sampai saat ini saya hanya menjalani.”
“Pak Yudhistira... cinta sama Bu Cindy?” tanya Freya hati-hati. Pria itu menggeleng. Makin bingunglah Freya. “Kok?”
“Kalau kamu tanya perihal cinta, sungguh, sampai saat ini saya belum pernah jatuh cinta. Tertarik, sering. Tapi sampai jatuh cinta sejatuhnya terhadap perempuan, saya belum pernah merasakannya. Mungkin kamu pikir saya berbohong atau bahkan gila. Tapi... itu kenyataannya.”
Daebak! Freya bersorak dalam hati ketika Yudhistira membeberkan satu fakta lagi yang membuat Freya tercengang. Lelaki jenis apa Yudhistira ini. Kalau ia mengaku belum pernah merasakan jatuh cinta, lalu darimana hadirnya putranya saat ini?
“Lalu Arjuna?” Freya menyuarakan lantang rasa penasarannya.
“Kamu benar-benar ingin tahu?” Freya mengangguk cepat. “Tapi tolong jangan menghakimi.”
Melihat wajah Freya yang ekspresif membuat Yudhistira melayangkan tatapan menegur. Freya langsung meringis sembari menggigit bibirnya. Kemudian mengucapkan kata maaf pada Yudhistira.
“Arjuna hadir karena kesalahan satu malam. Tapi demi Tuhan, dia bukan kesalahan. Perbuatan kami yang salah. Tapi tidak anak itu. Kamu juga pasti tahu kan setiap nyawa yang terlahir ke dunia adalah jiwa yang suci?”
Freya mengangguk. Ia pun sependapat dengan hal itu. Jiwa yang hadir ke dunia meski karena sebuah kecelakaan tetaplah jiwa yang murni. Karena itu Freya selalu marah pada orangtua yang menelantarkan anaknya hanya karena nyawa tak berdosa tersebut lahir dengan cara yang salah.
“Saya dan Mamanya Arjuna adalah teman kampus. Saya tahu dia menyukai saya. Cinta mungkin. Itu yang selalu dia katakan. Dan yang saya dengar dari teman-teman yang lain. Tapi saya sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padanya. Sekedar tertarik pun tidak. Hanya mengaggapnya seperti gadis lain. Sebatas teman. Dan malam itu, kami sama-sama menghadiri pesta yang dirancang teman kampus. Dan... terjadilah peristiwa itu.”
Freya masih berusaha mencerna. Kalau memang Yudhistira tak memiliki perasaan pada Mama Arjuna, mengapa mereka sampai bisa melakukan hal tersebut.
“Saya mabuk. Ralat dibuat mabuk tepatnya.” Yudhistira menjawab keingin tahuan Freya.
“Hah? Sampai seserius itu?” Yudhistira mengangguk. “Mamanya Arjuna cinta banget sama Bapak ya? Sampai nekat berbuat begitu.” Freya menggekengkan kepala tak habis pikir.
“Entahlah. Saat sadar, saya tahu itu kesalahan. Tapi saya bukan pria brengsek yang bisa meninggalkan perempuan begitu saja setelah saya melakukannya. Meski bukan keinginan saya. Jadi...”
“Bapak nikahin Mamanya Arjuna,” potong Freya. Kembali pria itu mengangguk. “Lalu? Kenapa berpisah?”
“Dia yang menyerah.”
“Menyerah?”
“Iya. Karena saya sama sekali tidak bisa mencintai dia. Kami menikah. Tapi benar-benar sebatas tanggung jawab. Tepat saat Arjuna berusia dua tahun, dia menyerah. Katanya dia lelah menunggu saya. Dan akhirnya mengajukan gugatan cerai.”
“Dan Bapak langsung setuju begitu saja?”
Anggukan Yudhistira tak mampu membuat Freya menahan desahannya. Gadis itu kehabisan kata-kata. Semudah itu Yudhistira menyerah.
“Apa Pak Yudhisitra nggak berusaha mencoba cinta sama Mamanya Arjuna. Demi Arjuna?”
“Saya mencoba. Tapi kamu pasti tahu, hati tidak bisa dipaksa. Sekeras apapun saya berusaha, saya tetap tidak bisa menumbuhkan rasa cinta itu.”
“Selama menikah kalian?”
Yudhistira tersenyum geli. Ia mengerti maksud pertanyaan Freya. “Tidak. Dua bulan setelah menikah, dia hamil.”
Bibir Freya terbuka. Matanya menatap tak percaya pada Yudhistira. “Tapi Bapak nggak...”
Yudhistira gemas. Gadis satu ini memancing suatu rasa asing dalam dirinya. Dengan beragam ekpresi wajahnnya. Tatapan matanya. Juga isi kepalanya yang tak terduga. Karenanya Yudhistira mengacak gemas puncak kepala Freya. Membuat si empunya cemberut.
“Sudah. Ayo kembali ke vila.”
Yudhistira memimpin jalan. Meninggalkan Freya yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Pembicaraan mereka kembali berputar di kepala Freya. Sampai ia hampir pusing sendiri memikirkan hubungan rumit yang terjalin dalam hidup Yudhistira. Namun seketika Freya tersadar ia sudah tertinggal jauh di belakang kala tak mendapati Yudhistira lagi. Gadis itupun menggelengkan kepala mencoba mengusir semua pikirannya. Bukan haknya untuk mengurusi hidup orang lain. Biarlah ia menjadi pendengar yang budiman saja. Freya kemudian segera berlari menyusul Yudhistira.
...
Note : noh panjang hahaha sepanjang cintaku untuk teman-teman pembaca. Heeeyaaak. Selamat memulai hari baru di tahun yang baru. Semoga hidup kita makin baik ke depannya. Dan dunia juga makin damai. Aamiiin.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Pss : udah lihat pengumuman PO-nya belum? Gimana cover si marimar dan dayung? Cakep gak? Cakep dong ya. *maksa mode on*
Psss : itu mulmed dalam bayanganku hubungannya Freya sama Yudhistira, kaku-kaku gemas gimana gitu 😁 setuju gak?
Rumah, 01/19/01
Numpang lagi ya 😋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top