VI - Bisa Kembalikan Kunci Mobil Saya?
Hampir tiga jam Freya menunggu pria bernama Deniz di studio foto. Sedang Arik meninggalkannya sendiri karena pria itu juga memiliki pekerjaan lain. Selama menunggu yang bisa dilakukan Freya hanya mengutak-atik ponsel pintarnya. Sesekali juga membalas pesan di grup chatt-nya. Sambil mata Freya memindai tempatnya berada saat ini.
Sviatlo Studio, nama tempat ini. Studio foto yang didirikan Arik beberapa tahun lalu, menurut pria itu. Arik sama sekali tak memiliki keahlian dalam fotografi. Tapi dia pintar dalam melihat peluang. Saat pertama kali mendirikanSviatlo, Arik memang menginginkan Deniz yang menjadi fotografer utamanya. Ia sudah menyadari bakat sang sahabat sejak mereka duduk di bangku SMP. Deniz yang dari dulu terkenal sebagai anak pembangkang tak pernah lepas dari kameranya. Namun sayangnya Deniz memilih untuk tak terikat. Tapi kapan pun Arik membutuhkannya, pria itu akan selalu datang membantu.
“Mau sampai kapan aku di sini?”
Baru saja Freya mengeluh pria yang sejak tadi dinantikannya akhirnya muncul. Seperti tak mengenal Freya, Deniz malah melenggang bebas tanpa menyapanya. Hingga Freya harus berdiri dan menghentikan langkah Deniz.
“Hei...” pekik Freya sembari menarik ujung jaket kulit yang dikenakan Deniz.
“Apa?” tanya pria itu tanpa dosa.
Freya membulatkan matanya. Serius? Pria ini sama sekali tak ingat apapun? Apa dia penderita diorientasi?
“Apa? Maksudnya?” Freya balik bertanya membuat Deniz akhirnya ingat.
Deniz mengamati gadis di depannya. Perempuan berkemeja hijau ini terlihat manis di matanya. Freya tidak cantik, tapi gadis itu jelas memiliki pesona. Saat bertabrakan tadi, Deniz tak terlalu memerhatikannya. Namun kini ia bisa lebih jelas melihat seperti apa Freya.
“Oh, maaf. Lama menunggu?” tanya Deniz akhirnya.
“Kalau menurut kamu duduk diam seperti orang tolol selama tiga jam itu, lama atau tidak?”
Senyum Deniz makin melebar. Tak pernah ia bertemu dengan gadis blak-blakan seperti Freya. Selama ini tipe gadis yang biasa berdekatan dengan Deniz kalau bukan tipe nona besar, maka jelas wanita penggoda. Tapi bertemu Freya yang memiliki karakter tak biasa membuat Deniz terpukau.
“Maaf kalau begitu. Jadi, sebagai permintaan maaf, gue bakal traktir lo.”
Baru Freya akan bersuara, ponselnya berbunyi. Memberikan tanda pada Deniz untuk menunggu, Freya menjauhi pria itu untuk menjawab panggilan.
“Kamu ke mana Fey?” tanya Mama panik.
Astaga, Freya lupa. Bukankah ia berjanji untuk menjemput Mama di rumah Tante Linda. Tapi karena kejadian nahas yang menimpanya membuat Freya melupakan tugasnya. Anehnya mengapa bukan sejak tadi Mama menghubunginya? Itu artinya Mama sejenak juga melupakan Freya kan. Mungkin terlalu asyik bercerita di sana bersama sanak keluarga membuat Mama juga lupa untuk menghubungi Freya.
“Ma, maaf. Fey lupa. Tadi itu ada sedikit kecelakaan...”
“Apa? Terus gimana? Kamu nggak apa-apa? Apa yang kecelakaan? Parah?”
Dan rentetan pertanyaan bernada khawatir terlontar dari bibir Mama membuat kepala Freya mendadak diserang rasa pusing. beginilah jika Mama sudah diberitahu perihal kecelakaan. Meski sekecil apapun kecelakaan yang dialami Freya, Mama pasti akan panik berlebihan.
“Mama tenang. Fey nggak apa-apa. Cuma mobil yang sedikit lecet.”
Di seberang sana Mama mengembuskan napas lega. “Jadi, kamu gimana sekarang? Enggak bisa jemput Mama? Atau Mama pesan taksi aja ya?”
“Ma, nggak usah pesan taksi. Biar Fey jemput Mama. Tunggu ya.”
Freya mengakhiri panggilan setelah mengucap salam pada Mama. Gadis itu kemudian kembali menghampiri Deniz yang sejak tadi hanya memerhatikan gadis itu yang begitu serius bertelepon.
“Siapa?”
“Hah?” tanya Freya bingung.
“Siapa yang telepon lo?”
Freya menyipitkan matanya menatap Deniz. “Saya rasa itu bukan urusan kamu.”
Deniz mengangkat tangan pertanda menyerah. “Oke. gue tahu. Sekarang lo mau gimana?”
“Mau gimana, maksudnya?”
Deniz gemas pada perempuan di hadapannya satu ini. Sejak tadi mereka bicara terus berputar tak tentu arah. Rasanya ia ingin mengarungkan Freya saking gemasnya. Tiba-tiba sebuah pemahaman menghampirinya. Ia sudah bicara panjang lebar pada gadis ini. Tapi ia bahkan tak tahu nama gadis di depannya ini.
“Ada satu yang luput dari pembicaraan kita. Gue Deniz.” Deniz mengulurkan tangannya.
Beruntung Freya memiliki sopan santun yang cukup baik. Ia membalas uluran tangan Deniz sembari menyebutkan namanya.
“Freya.”
Nama yang bagus, batin Deniz. Tanpa sadar ia tak jua melepas genggaman tangannya pada Freya. Hingga gadis itu harus menggoyang-goyangkan tangannya yang berada dalam genggaman Deniz agar telepas.
“Oh, sori.” Deniz menyunggingkan cengirannya kala mendapati wajah masam Freya. “Kalau gitu, gimana dengan urusan kita?”
“Sepertinya saya nggak punya waktu saat ini. Mungkin kita bisa bicara lain waktu.”
Senyuman lebar Deniz terpatri di wajahnya. Tanpa sungkan pria itu mengulurkan ponsel dari sakunya ke hadapan Freya.
“Untuk apa?” tanya gadis itu. Semakin lama menghabiskan waktu dengan Deniz membuat Freya semakin tak mengerti dengan tabiat pria ini.
“Masukin nomor handphone lo di sini. Nanti gue hubungi.”
Mata Freya mengerjap tak percaya. Ini modus atau Deniz memang ingin benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Kalaupun pria ini ingin bertanggung jawab, tidakkah lebih baik Deniz menyerahkan kartu namanya pada Freya. Atau sebaliknya. Tapi mungkin saja Deniz tak memiliki kartu nama mengingat dia seorang fotografer lepas. Karena itu Freya mengambil ponsel di tangannya. Mengetikkan nomor ponselnya lalu mengembalikan benda tersebut pada pemiliknya.
Deniz sendiri tak ingin buang waktu. Pria itu langsung menghubungi nomor yang baru saja Freya ketikkan. Deringnya langsung menggema. Membuat Freya mau tak mau mengeluarkan ponsel dari tasnya. Memerhatikan benda persegi tersebut. Kemudian menatap Deniz dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Hanya mengecek,” ujar Deniz saat Freya menaikkan alisnya kala menatap Deniz.
Menggelengkan kepalanya, Freya memutus panggilan dan memasukkan kembali ponsel ke tasnya. Kemudian gadis itu mengulurkan telapak tangannya pada Deniz. Kali ini giliran Deniz yang bingung akan tindakan Freya.
“Apa?” tanyanya.
“Bisa kembalikan kunci mobil saya?”
Deniz langsung tertunduk malu kala mendengar permintaan Freya. Seraya menggaruk kepalanya, Deniz menyerahkan kunci mobil Freya yang masih disimpannya.
“Here!”
“Terima kasih. Kalau begitu, saya permisi.”
Tak ingin membuang waktu lagi, Freya segera beranjak meninggalkan Deniz. Namun belum lagi gadis itu menjauh, Deniz berteriak memanggilnya. Membuat Freya mau tak mau membalik tubuhnya untuk berhadapan dengan pria itu.
“Sampai ketemu lagi, Freya.” Deniz melambaikan tangan dengan senyum tersungging.
Freya sendiri tak menanggapi ucapan pria itu. Ia hanya menggeleng pelan lalu meneruskan langkahnya. Ia harus segera menjemput sang Mama. Tapi saat sudah berada di balik kemudinya, Freya kembali mengingat bagaimana kecelakaan yang mempertemukan dirinya dan Deniz. Agak aneh, layaknya sebuah drama. Tapi itulah yang terjadi. Mau tak mau Freya ikut tersenyum akan takdir yang tak biasa ini.
...
Tiga hari lamanya Freya tak mendapat kabar apapun dari Deniz. Bukan karena Freya ingin bertemu pria itu lagi. Tapi karena ia ingin menuntut pertanggung jawaban Deniz. Mama sempat mengomel kala melihat baret yang membuat bodi mobil yang mulus menjadi tercela. Bahkan berniat menuntut pria yang sudah menabrak Freya. Untungnya Freya bisa menenangkan Mama dan mengatakan bahwa Deniz sudah berjanji akan bertanggung jawab.
Tapi hingga hari ini, bahkan nomor Deniz tak bisa dihubungi. Membuat Freya makin pusing saja. Bukan karena gadis itu tak bisa membiayai sendiri perbaikan mobilnya. Tapi Freya hanya tak ingin Mama kembali mengomel dan ujung-ujungnya akan membuat masalah ini semakin membesar.
“Heuh...”
Kirena yang sejak tadi memerhatikan Freya yang tak fokus pada pekerjaannya pun menegur gadis itu. “Frey?”
“Ya?”
“Hari ini ada inspeksi dari Bu Mira.”
“Oh.”
Hanya itu jawaban Freya. Gadis itu kembali larut pada ponselnya. Ia bahkan tak sadar jika Kirena sudah beberapa kali memperingatkannya. Hingga kehadiran seseorang yang mengambil paksa ponsel dari tangan Freya.
“Kembalikan handphone sa... ya.”
Freya meneguk salivanya. Di depannya saat ini berdiri Yudhistira dengan tatapan tajamnya. Gadis itu mencuri pandang ke arah Kirena yang hanya bisa meringis ngeri akan apa yang akan didapatkan Freya dari atasan mereka yang terkenal tegas itu.
“Kantor ini tidak menggaji anda untuk bersantai dan bermain dengan ponsel.”
Tajam dan cadas seperti biasa. Membuat Freya membeku bagai tersiram satu ton air es. Mengapa Tuhan selalu mengirimkan cobaan berupa Yudhistira dalam hidup Freya. Sejenak saja bisakah Freya bebas dari pria ini?
“Maaf Pak.” Freya hanya mampu melontar kata maaf.
“Ini peringatan untuk kalian semua. Saat waktunya bekerja, fokuslah pada pekerjaan. Kalian bukan robot yang tak memiliki jadwal istirahat di kantor ini. Jadi tolong gunakan waktu bekerja seefisien mungkin. Saya paling benci dengan pegawai yang tak becus bekerja. Memanfaatkan jam kerja sesukanya hanya karena tak selalu terpantau oleh atasan. Kalian datang ke sini untuk bekerja. Maka bertindaklah seperti niat awal kalian masuk ke perusahaan ini.”
Selesai memberi ultimatum, Yudhistira memberikan kembali ponsel milik Freya ke genggaman gadis itu. Cara yang digunakan pria itu sama sekali tak menyiratkan kelembutan. Freya tahu dirinya bersalah. Tapi tak bisakah pria ini bersikap lunak terhadap karyawannya. Terlebih untuk menegur Freya secara pribadi. Bukan mempermalukannya di depan rekan-rekan kerja yang lain.
Setelah punggung pria itu tak lagi terlihat, Freya bergegas keluar ruangan. Toilet adalah tujuan gadis itu. Ia sudah bisa merasakan gumpalan airmata di sudut matanya sejak Yudhistira memberi peringatan keras tadi. Hanya saja sekuat tenaga Freya menahannya. Dan kini rasanya rasa sesaknya tak bisa dibendung lagi. Begitu mencapai pintu toilet Freya semakin mempercepat langkanya. Memasuki salah satu bilik dan mengunci pintu. Freya menduduki closet dan menumpahkan tangisnya di sana.
Entah untuk berapa lama gadis itu terisak. Ia kembali mengingat betapa dingin suara Yudhistira tadi kala memarahinya. Juga tatapan membekakukan dari pria itu. Rasanya Freya ingin menyerah dan berhenti bekerja. Tapi jika ia berhenti saat ini, bagaimana kelanjutan karirnya nanti. Tak mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafit seperti saat ini. Terlebih Freya akan bersaing dengan para lulusan baru yang pastinya tak kalah kompeten dengan dirinya.
Setelah dirasa cukup Freya keluar dari tempat persembunyiannya. Hanya ada seorang petugas kebersihan di dalam toilet. Freya pun memilih tak menghiraukan wanita tersebut. Ia mencuci wajahnya yang terlihat sembab. Tak peduli dengan make up yang sudah luntur. Wajah tanpa make up-nya terlihat pucat. Terlebih matanya yang sedikit membengkak. Tapi Freya tak peduli. Ia harus kembali ke ruangannya. Jika tak ingin mendengar cacian Yudhistira lagi.
Namun baru saja gadis itu keluar dari toilet, seseorang menghentikan langkahnya. Mata Freya membelalak lebar kala melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Yudhistira mengulurkan sebuah sapu tangan padanya. Membuat Freya makin tak percaya apakah ini nyata atau hanya khayalan gadis itu saja.
“Maaf kalau saya terlalu kasar pada kamu.”
Harusnya Freya tak perlu merasakan apapun atas ucapan pria itu. Tapi nyatanya Freya kalah. Entah apa sebabnya. Tapi mendengar Yudhistira meminta maaf padanya meski bukan dengan ucapan manis nan lembut justru membuat tangis Freya kembali pecah. Membuat Yudhistira panik tak karuan karena ulah gadis itu.
“Hei, kenapa kamu malah menangis?” tanyanya gelagapan.
Freya hanya menggeleng tak mengerti. Tapi tangisnya tak juga reda. Bukan keinginannya untuk menangis di hadapan pria ini. Tapi Freya juga tak mengerti mengapa ia tak bisa menghentikan tangisnya.
“Hei, saya minta maaf. Benar-benar minta maaf. Sekarang bisa kamu berhenti menangis?” pinta Yudhistira.
Dan demi apapun, jantung Freya rasanya berdebar tak karuan. Mengapa saat ia seperti ini Yudhistira baru mengeluarkan sisi lembutnya. Suara ketika meminta maaf dan meminta Freya berhenti menangis benar-benar lembut. Ada rasa panik dan rasa bersalah terdengar dari nada suaranya. Harusnya Freya senang. Tapi yang Freya rasakan justru kebingungan kala mendapati Yudhistira yang seperti ini.
“Freya... tolong, bisa berhenti menangis?”
Freya menggeleng sembari menyusut airmata dengan sapu tangan yang tadi diulurkan pria itu.
“Sa... saya juga nggak tahu... kenapa nggak bisa berhenti... nangis...” balas Freya dengan suara tersendat-sendat.
Yudhistira mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa dia bisa terjebak dalam situasi membingungkan seperti ini. Niat untuk meminta maaf malah berakhir dengan gadis ini yang tak berhenti menangis. Tak ingin menjadi pusat perhatian, pria itu membawa Freya ke ruangannya. Beruntung saat ini lift khusus direksi sedang tak berpenghuni. Hingga ia bisa dengan leluasa membawa Freya memasuki ruangannya.
Saat melewati meja Sekretarisnya, Yudhistira bisa melihat keterkejutan di wajah sang Sekretaris. Tapi tatapan tajam Yudhistira cukup untuk membungkam Sekretarisnya untuk tak membuka mulut. Ada gunanya juga selama ini Yudhistira menampilkan kesan otoriter terhadap karyawannya.
Setelah menutup rapat pintu ruangannya, Yudhistira mendudukkan Freya di sofa. Kemudian pria itu mengambilkan air mineral dari lemari pendingin yang ada di ruangannya. Kemudian menyerahkannya pada Freya.
“Minum ini biar kamu lebih tenang.”
Masih dengan isakan tertahan, Freya menerima botol tersebut. Membuka dan meneguk isinya. Ada rasa lega yang Freya rasakan meski tak bisa menghentikan sepenuhnya isakan dari bibirnya.
“Te.. terima kasih,” ucap gadis itu lirih.
Lama Yudhistira hanya memerhatikan gadis itu. Ada rasa iba menyusup di hatinya kala melihat Freya masih tertunduk ketakutan. Mungkin ia bersikap terlalu kejam pada gadis itu. Tapi entah mengapa ia tidak bisa mengontrol emosinya setiap kali berhadapan dengan Freya. Mungkin ada yang salah dengan gadis ini, atau dirinya?
Freya sendiri masih terus menunduk sembari berusaha meredakan isakannya. Meski masih belum reda sepenuhnya, tapi Freya bersyukur ia sudah bisa mengontrol dirinya. Namun satu hal mengusik pikirannya. Untuk apa Yudhistira membawa Freya ke ruangannya.
“Sudah tenang?” tanya Yudhsitira akhirnya.
Memberanikan diri, Freya mengangkat wajah bertatapan dengan pria yang masih berdiri di depannya ini.
“Sudah. Terima kasih, Pak.”
Yudhistira tiba-tiba saja duduk di sebelahnya. Membuat jantung Freya makin menggila tak karuan. Tak cukupkah dengan sikap pria ini yang selalu membuatnya ketar-ketir. Kini pria itu malah duduk di sampingnya.
“Saya minta maaf untuk sikap saya tadi. Saya tidak bermaksud untuk mempermalukan kamu di depan karyawan lain. Tapi kamu tahu kan jika sikap kamu juga salah?”
Yudhistira yang tegas sudah kembali. Freya yang tak tahu harus menjawab apa hanya menganggukkan kepalanya. Kembali menundukkan pandangan karena tak akan sanggup menatap lama wajah pria itu.
“Untuk selanjutnya, saya ingin kamu tidak lagi melanggar peraturan di kantor ini. Mengerti?”
Kembali Freya hanya mengangguk. Yudhistira tahu gadis ini tak berani menghadapinya. Tapi melihat sikap Freya yang ketakutan seperti ini membuat sudut bibir pria itu terangkat.
“Bukan begitu cara berbicara dengan orang lain. Kamu harus menatap mata lawan bicaramu sebagai bentuk sopan santun kalau kamu menghargainya.”
Ada nada geli dalam suara Yudhistira barusan. Freya tahu itu. Tapi tetap saja ia tak berani mengangkat wajahnya. Sebagai ganti ia malah menggelengkan-gelengkan kepalanya sebagai tanda penolakan.
“Kenapa?” tanya Yudhistira kemudian.
“Saya takut sama Bapak.”
Tawa Yudhistira berderai membuat rasa penasaran bergejolak dalam diri Freya. Tanpa sadar Freya bahkan mengangkat kepalanya demi melihat bagaimana seorang Yudhistira tertawa. Dan Freya tak bisa memungkiri mengapa begitu banyak wanita di kantor ini yang jatuh hati pada Yudhistira. Meski terkesan galak dan tak berperasaan, Yudhistira adalah sosok rupawan yang tak bisa ditolak. Terlebih seperti saat ini, ketika pria itu tengah tertawa. Rasanya seisi dunia Freya tersedot dalam pesona Yudhsitira. Mungkin Freya akan mati muda jika selalu disuguhi sosok Yudhistira yang seperti ini.
...
Note : oke, sudah siap kapal berlayar? Jadi... dukung Freya sama siapa ini?
Ps : makasih koreksi Typo dan lainnya.
Rumah, 24/18/12
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top