IV - Reuni

Memiliki beban moral terhadap seseorang itu rasanya tak menyenangkan. Seperti ada beban berat yang menghimpit dada. Dan serasa kepala juga akan pecah jika tak dituntaskan. Seperti itulah kiranya yang dirasakan Freya. Sejak salah sangkanya pada putra Yudhistira, Freya merasa tak tenang. Meski sudah meminta maaf, tapi ia belum merasa lega. Ada rasa yang mengganjal di hatinya.

Terlebih juga sikap Yudhistira yang rasanya makin dingin terhadapnya. Ingat, hanya terhadap Freya. Karena untuk karyawan lain yang berpapasan dengannya, Yudhistira hanya memasang wajah datarnya. Tapi dengan Freya. Tatapan tajam nan menusuk pria itu membuat Freya bahkan tak berani mengangkat kepala saat mereka berpapasan.

Dan suasan bekerja yang serba menakutkan dan menegangkan seperti itu sama sekali tak membuat Freya nyaman. Ingin ia menghampiri Yudhistira langsung saat ada kesempatan. Tapi ia juga tak ingin berbagai gosip miring menyebar hanya karena keinginannya yang meminta maaf secara pribadi terhadap Yudhistira. Dan Freya benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

“Frey, mau makan siang di mana?” tanya Firda dan Kirena membuyarkan lamunan Freya.

“Hah? Memang sudah masuk jam makan siang?”

Kirena terang-terangan mencibirnya. “Ini nih penyakitnya. Kalau sudah melamun nggak ingat waktu.”

Freya hanya mendesah pasrah dengan cibiran Kirena. Memang beberapa hari ini Freya seakan tak konsentrasi dalam bekerja. Tak hanya bekerja, karena nyatanya di rumah Mama sering kali menegurnya. Bahkan Mama sempat khawatir perubahan diri Freya ini adalah dampak dari rencana perjodohan yang gagal dengan Arka. Jelas saja Freya langsung membantah anggapan tersebut. Bukan Arka yang membuatnya banyak pikiran. Tapi Arjuna dan Yudhistira.

“Makan di kafe seberang kantor aja deh. Kayaknya aku lagi pengin makan steak,” pinta Freya pada keduanya yang langsung disetujui.

Ketiga gadis itu berjalan beriringan ke kafe yang berada tepat di seberang kantor. Sesekali Firda dan Kirena berbincang hal apapun. Sedang Freya hanya menjadi pendengar. Kembali larut dalam beban pikirannya. Bahkan saat akan masuk ke kafe, gadis itu sampai menabrak pintu yang tertutup karena tak ditahan oleh Firda. Freya meringis ngilu sembari memegangi bagian depan kepalanya yang terbentur.

“Kenapa sih Frey? Kok hari ini kamu ceroboh banget? Melamun terus?” cecar Firda tak habis pikir. Antara kasihan dan merasa bersalah karena tak menahan pintu ketika Freya akan masuk.

“Maaf deh,” ucap Freya masih sambil memegangi kepalanya.

Tak ingin menjadi menjadi pusat perhatian, Freya segera berlalu mencari meja kosong. Firda dan Kirena hanya menggeleng pelan melihat kelakuan gadis itu. Tapi keduanya kemudian menyusul Freya yang sudah duduk manis dengan buku menu di tangan.

Saat ketiga gadis itu sibuk memilih menu, mata Freya tak sengaja menangkap pemandangan tak biasa. Di meja yang berada cukup jauh dari mereka, Freya melihat Yudhistira juga tengah makan siang dengan wanita yang disebut-sebut sebagai kekasih pria itu. Bahkan saat bersama kekasihnya saja ekspresi pria itu masih sama datarnya. Tak ada raut penuh cinta atau memuja yang ditunjukkan Yudhistira pada wanita di depannya. Membuat Freya berpikir mungkin memang Yudhistira tak memiliki banyak ekspresi pada wajahnya. Tapi dia begitu penuh perhatian pada Arjuna. Mungkin karena anak lelaki itu adalah putranya.

Freya masih saja terus terpaku pada Yudhistira dan kekasihnya. Ia bahkan tak sadar saat Kirena bertanya menu yang diinginkannya. Membuat Firda gemas dan mencubit pipi gadis itu untuk mengalihkan keasyikan Freya dari menatap orang lain.

“Aduh, sakit Fir?” keluh Freya.

“Ya kamu, ditanyain sama Kiren daritadi mau makan apa malah bengong. Apa sih yang dilihatin sampai nggak sadar begitu?”

Firda mencoba mencari tahu ke arah pandangan Freya tadi. Saat tahu siapa yang membuat Freya begitu instens memandang, perempuan itu hanya bisa berdehem maklum.

“Enggak usah begitu banget mandangnya Frey. Yang ada nanti iri.” Kali ini Kirena ikut bicara.

Ck, bukan begitu,” kilah Freya.

Gadis itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada pelayan yang masih menunggu. Setelah menyebutkan apa yang menjadi pesanannya, ketiga gadis itu kembali terlarut dalam perbincangan. Karena tadi Freya begitu terpaku pada Yudhistira, maka topik perbincangan ketiga gadis itu pun berpusat pada pria itu. Dari penuturan Firda dan Kirena yang memang lebih senior di kantor dibandingkan dirinya, Freya cukup mendapat informasi tentang pria tersebut. Seperti Freya yang baru mengetahui jika Ayah Yudhistira adalah salah satu pemegang saham terbesar di kantor mereka. Pantas saja jika pria itu memiliki posisi yang cukp tinggi di kantor mereka. Selain itu, Freya juga baru tahu jika kekasih Yudhistira juga adalah anak salah satu pemegang saham. Membuatnya kembali berspekulasi jika hubungan keduanya didasari oleh bisnis.

“Jadi... Pak Yudhistira itu... duda?” tanya Freya.

“Katanya sih begitu.” Kirena menjawab sambil sibuk memotong steak pesanannya.

“Tapi nggak ada yang pernah tahu siapa mantan istrinya. Hubungan mereka memang nggak di ekspos ke media.” Firda ikut menimpali.

Kembali Freya mengarahkan tatap ke meja Yudhistira. Berbagai spekulasi berkelebat di kepala gadis itu. Bahkan sangking intensnya ia menatap, Freya begitu terkejut saat Yudhistira menangkap basah dirinya. Pria itu tak melepaskan tatapan tajamnya dari Freya. Membuat sekujur tubuh gadis itu serasa membeku. Kaku, itulah yang Freya rasakan. Ingin berkedip ia tak mampu. Ingin menyunggingkan senyum pun seperti bibirnya diberi ramuan pengeras yang tak bisa digerakkan.
Hingga akhirnya Yudhistira lah yang lebih dulu melepas pandangan. Pria itu berdiri dari kursinya diikuti sang kekasih. Tak lama keduanya pun pergi dari hadapan Freya. Sesaat setelah kepergian Yudhistira dari tempat itu, Freya baru bisa bernapas lega. Entah mengapa setiap kali berhadapan dengan pria itu, nyali Freya selalu menciut. Seperti ia telah melakukan kejahatan besar tak termaafkan.

“Kamu kenapa sih Frey? Daritadi aneh banget. Ada masalah sama Pak Yudhistira?” tanya Firda yang ternyata mengetahui gelagat Freya.

“Hah? Masalah?” Freya balik bertanya.

“Kamu ngelihatin Pak Yudhistira begitu banget. Ada masalah?”

Sejenak Freya hanya memandang kedua rekannya. Seperti ingin berucap namun kemudian gadis itu urungkan. Sebagai ganti Freya hanya menggeleng dan mengulas senyum simpul. Karena tak mendapat jawaban dari Freya, Kirena dan Firda pun memilih diam dan tak memperpanjang apapun keingintahuan keduanya terhadap gadis itu.

...

Biasanya akhir pekan adalah waktu bagi Freya untuk mengistirahatkan diri. Gadis itu akan lebih memilih menghabiskan waktu di rumah. Atau terpaksa keluar jika Mama sudah memberi perintah. Hanya saja berbeda dengan sabtu ini. Freya tak bisa melakukan aktifitas akhir pekannya yang biasa. Semua karena ia harus menghadiri reuni akbar SMA-nya. Padahal Freya tak begitu tertarik mengikuti acara seperti itu. Setiap tahun biasanya gadis itu akan absen di acara semacam itu.

Bukan tanpa sebab Freya akhirnya memilih datang. Semua itu tak lepas dari keinginan sang Mama yang masih berusaha menemukan calon suami untuk Freya. Sempat beberapa kali mengalami kegagalan untuk menjodohkan Freya, membuat Mama makin gencar menanyai Freya perihal usahanya. Dan acara reuni mungkin bisa menjadi jalan bagi Freya menemukan tambatan hatinya. Ralat, menemukan pasangan hidupnya. Karena bagi Freya saat ini yang terpenting menemukan seseorang yang bisa diajak berkompromi mengarungin bahtera rumah tangga. Urusan cinta bisa belakangan.

“Kamu jadi pergi ke acara reuni sekolah, Fey?”

“Jadi. Mama nggak lihat Fey sudah rapi begini?”

Mamanya mengamati Freya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita yang sudah berumur hampir setengah abad itu tampak puas melihat tampilan putrinya. Freya mengenakan setelan blouse berlengan tiga perempat bercorak floral. Dilengkapi dengan celana denim dan wedges. Sedang untuk tatanan rambut, Freya membiarkan rambut sebahunya tergerai. Tanpa aksesoris apapun. Hanya jam tangan yang melengkapi penampilan Freya. Memang sejak kecil Freya tak terlalu suka dengan penampilan dan aksesoris berlebih di tubuhnya.

“Cantik. Anak Mama memang selalu cantik,” puji Mamanya membuat Freya hanya memutar mata. “Tapi Fey, Mama yang bawa mobil ya? Ada arisan nanti di rumah Tante Santi.”

Freya membulatkan matanya. “Kok Mama baru kasih tahu sekarang? Kalau dari kemarin kan Fey bisa siap-siap pesan taksi.”

“Ya maaf Fey, Mama lupa. Kemarin malam tadi pagi baru baca pesannya Tante Santi.”

Freya cemberut. Jika Mama lebih dulu memberi tahu maka Freya bisa melakukan antisipasi. Siapa yang bisa menebak jalanan di kota meski saat ini akhir pekan. Tapi melihat wajah bersalah Mama membuat Freya tak tega untuk merasa kesal berlebihan. Bagaimanapun Mama adalah satu-satunya orangtua Freya yang tersisa. Mana bisa gadis itu memusuhi Ibunya hanya karena masalah mobil.

“Ya udah deh. Mama hati-hati ya nyetirnya. Fey pergi dulu.”

Setelah berpamitan pada Mama, Freya segera memesan taksi online. Beruntung ia tak perlu menunggu lama. Karena keberadaan taksi yang tak jauh dari rumahnya. Selama diperjalanan, Freya berpikir apa yang akan ia lakukan di acara reuni nanti. Jujur saja, ia tak memiliki pengalaman sama sekali denga acara seperti itu. Bukan Freya ingin menjadi manusia anti sosial. Tapi ia memang terlalu malas jika harus direpotkan dengan acara begitu. Lagipula Freya bukan tak sering bertemu dengan teman-teman sekolahnya. Meski hanya sebatas ketemu di jalan karena kebetulan. Terlebih ia juga masih tergabung dengan grup chat yang digagas teman-teman sekolahnya. Jadi walau tak sering ikut dalam obrolan, Freya cukup tahu perkembangan teman-temannya.

Tanpa terasa Freya sudah tiba di gedung tempat di mana reuni diadakan. Sebuah gedung serbaguna yang disewa panitia untuk menyelenggarakan acara reuni akbar tersebut. Sebelum masuk Freya sempat menarik napas panjang. Ia berharap hari ini berjalan dengan baik. Dan yang pasti satu harapan utamanya Freya menemukan calon menantu idaman Mama.

“Halo selamat datang...” seorang wanita yang Freya yakin panitia acara menyambut kedatangan para undangan di pintu masuk sembari memberikan pamflet.

Freya menerima pamflet dan membacanya sekilas. Kemudian memasukkan kertas tersebut ke dalam tas. Berusaha berbaur dengan undangan yang lain sembari matanya mencari keberadaan teman sekelasnya dulu.

“Freya...” teriak seseorang yang langsung Freya kenali sebagai Rachel, teman sebangkunya dulu.

Freya melambaikan tangannya sekilas. Berniat menyusul Rachel dan teman-temannya yang lain. Namun nahas bagi Freya, dirinya malah bertabrakan dengan tamu lainnya.

“Maaf...” ucap keduanya bersamaan.

“Kamu baik-baik aja, Rin?” tanya seorang pria mendekat ke arah mereka. “Freya?”

Freya yang tadi sibuk memperbaiki tampilannya seketika menoleh pada orang yang baru saja memanggil namanya.

“Hai,” balas Freya singkat karena bisa melihat keterkejutan di wajah wanita yang berdiri bersisian dengan Arga, teman sekaligus tetangganya.

“Kamu kenal dia, Ga?” tanya wanita yang tadi dipanggil Rin oleh Arga.

Arga tertawa renyah. “Freya, tetangga sekaligus teman main dan teman sekolah dari kecil,” jelas Arga.

Wanita yang bersama Arga hanya mengangguk paham. Kemudian mengulurkan tangan pada Freya. Membuat gadis itu mengernyit bingung.

“Aku, Airin. Calon istri Arga.”

O, Freya seketika paham. Wanita bernama Airin ini ingin mengukuhkan statusnya. Padahal tanpa perlu ia mengatakan hal tersebut, Freya sama sekali tak berniat untuk menjadi ‘sesuatu’ dalam hubungan mereka. Mengenal Arga sejak masih kecil sama sekali tak menimbulkan getaran apapun bagi Freya. Arga hanya temannya, tidak lebih.

“Freya.” gadis itu menyambut uluran tangan Airin. “Aku ke sana ya Ga,” ucap Freya kemudian sembari menunjuk ke arah Rachel dan yang lainnya. Teman-teman Freya tersebut juga tak lepas memandangi insiden yang baru saja terjadi.

“Oke.”

Tanpa menunggu lagi, Freya melangkahkan kakinya ke tempat di mana teman lainnya berada. Mereka saling sapa dan berpelukan dengan erat. Meluapkan rasa rindu karena ada beberapa yang belum pernah lagi bertemu.

“Itu tadi siapa?” tanya Rachel tiba-tiba.

Freya yang tahu maksud pertanyaan Rachel hanya mengendikkan bahu. “Arga dan calon istrinya.”

“Oh,” ujar Rachel akhirnya. Kemudian wanita itu bertanya lagi. “Kamu, kapan mau nikah?”

Freya kembali menarik napas. Ia tahu pertanyaan tersebut tak akan pernah terhindarkan. Karena itu lebih baik jujur saja pada Rachel dan beberapa teman yang bergabung dengannya. Freya menceritakan perihal keinginan Mamanya. Juga usaha apa saja yang sudah ia lakukan untuk mencari pendamping. Pun alasan ia datang ke reuni tersebut, ia beberkan kepada teman-temannya. Tapi sepertinya memang mencari jodoh tak semudah yang dikatakan orang-orang.

“Mau aku kenalin sama sepupuku nggak?” tawar Rachel.

“Atau kenalan sama senior kita deh. Kak Dion. Itu loh mantan ketua OSIS. Aku dengar katanya masih single,” Kemala menimpali.

“Atau...”

Belum sempat Hendra berucap, tiba-tiba keriuhan mewarnai seisi ruangan. Freya dan yang lainnya mencari tahu apa yang terjadi. Ternyata keriuhan tersebut karena ulah Arga dan beberapa teman mereka. Pria itu mengambil alih panggung hiburan. Memang sejak SMA, Freya tahu Arga memiliki band yang didirikan bersama teman-temannya. Dan kini, pria itu seolah ingin memberi pertunjukan. Suasana pun makin bersemangat kala Arga melantunkan salah satu lagu milik band lawas. Semua pun turut serta menyanyikan liriknya.

Jeda sejenak, Arga kembali memulai aksinya. Kini ia meletakkan gitarnya dan hanya memegang pada mikrofon. Pria itu menyanyikan lagu cinta milik Elvis Presley. Bahkan di tengah aksinya Arga melakukan sesuatu yang membuat wanita manapun akan terharu dan terpesona. Di tengah ramainya acara reuni, pria itu menghampiri Airin. Mengeluarkan kotak cincin dari saku celana. Dan memberikannya pada Airin. Membuat semua mata terpana akan aksi Arga. Ya, pria itu melamar wanita yang dicintainya.

Freya yang berdiri tak jauh dari sana hanya bisa melihat dengan tatapan iri saja. Mengapa wanita di sekitarnya begitu mudah menemukan pria yang tepat. Sedang dirinya, mau berusaha sekeras apa tetap saja jodohnya entah di mana.

Merasa tak mungkin menemukan calon suami di tempat tersebut, Freya pun berpamitan pada teman-temannya. Meski heran, tapi Rachel dan yang lainnya tak bisa menahan Freya lebih lama lagi. Hanya saja mereka berpesan agar Freya sering-sering ikut bergabung dalam grup chat yang sudah mereka bentuk. Dan gadis itu hanya mengangguk kecil saja.

...

Note : memang cari jodoh itu gak mudah Fey. Jadi sabar saja. Tuhan sudah menentukan kapan jodohmu itu muncul. Atau mungkin seperti dugaanmu, jodohmu belum lahir. Tapi di sini, jodohmu ada di tanganku Fey sebagai tukang nulisnya hahaha.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 16/18/12

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top