II - Usaha Freya

Memenuhi permintaan Mama memang bukan perkara mudah. Freya sudah mencoba mencari berbagai pria dengan beberapa kriteria yang telah ia tentukan. Bahkan ia sudah mencoba menjalin komunikasi dengan Bayu, teman Ferdi yang kemarin dikenalkan padanya. Akan tetapi menemukan kecocokan dengan seorang pria tak semudah bermain candy crush. Hanya mencocokkan jenis dan warna, maka semua masalah selesai.

Komunikasi yang coba Freya bangun dengan Bayu tak berjalan sesuai dengan yang ia bayangkan. Bayu memanglah orang yang pemalu. Meski aktif ketika mereka berkomunikasi via pesan. Kenyataannya saat berhadapan dengan Freya, Bayu bahkan susah membangun pembicaraan. Harus Freya yang lebih dulu membuka pembicaraan. Membuat Freya kesulitan saat ia sendiri kehabisan topik untuk bicara.

Freya memang tak terlalu suka dengan pria yang banyak omong. Tapi bukan berarti dia juga menyukai pria pasif seperti Bayu ini. Ia ingin pria yang bisa menuntunnya. Mampu membangun komunikasi dengannya. Jika di awal saja mereka sudah sulit bicara seperti ini, bagaimana mereka akan melanjutkan hubungan ke depannya.

“Ya Bu?” Freya menjawab telepon dari manajernya, Bu Mira.

“Laporan yang saya minta tadi pagi sudah ada?”

“Iya Bu, sudah. Sebentar saya antarkan ke ruangan Ibu.”

Freya bergegas mengerjakan tugas yang menjadi bagiannya. Setelahnya gadis itu mengantarkan apa yang atasannya minta. Begitu memasuki ruangan, Freya cukup terkejut karena tak hanya ada Bu Mira di sana. Tapi juga beberapa petinggi di perusahaannya. Dan mereka dengan terang-terangan menatap Freya. Membuat gadis itu mati kutu.

“Ini laporan yang Ibu Minta.” Freya berucap sopan.

“Oh iya, setelah ini kamu temani Pak Yudhis ya. Meninjau di bagian gudang. Jangan lupa kamu catat juga apa yang perlu.” Perintah Bu Mira yang hanya bisa diangguki Freya.

Yudhistira Araga, Direktur operasional di kantornya. Beberapa kali Freya memang sempat berpapasan dengan atasannya itu. Namun Freya tak pernah secara khusus berhubungan dengan Yudhis. Dan ini kali pertama Freya akan berhubungan dengan pria yang menjadi incaran para wanita di kantornya.

Yudhistira atau mereka biasa memanggilnya Yudhis memang memiliki apa yang perempuan kebanyakan inginkan. Wajah tampan, tubuh proporsional. Terlebih latar belakang keluarga yang mumpuni. Membuat Yudhis benar-benar target empuk para wanita. Dan Freya tak memungkiri jika dirinya juga mengagumi sosok Yudhis. Dia juga tak akan munafik seandainya seorang Yudhis juga tertarik padanya. Dengan senang hati Freya pasti akan membuka hati selebarnya. Namun sayang, Yudhis bukan satu dari kriteria yang ditetapkan Freya sebagai calon menantu idaman Mama. Status Yudhis yang tak sendiri jelas menjadi jalan buntu bagi Freya jika menargetkan Yudhis dalam pencariannya.

“Silakan Pak,” ucap Freya setelah membuka pintu gudang kantor.

Yudhis memang ingin melakukan inspeksi terhadap barang produksi yang ada di gudang. Padahal jelas ini bukan merupakan bagian dari pekerjaan Freya. Namun karena Bu Mira sendiri yang memerintahkannya, Freya bisa apa.

“Berapa kali dalam sebulan dilakukan pengecekan di gudang ini?” tanya Yudhis sembari mengamati sekeliling.

Perusahaan tempat Freya bekerja bergerak di bidang pengadaan barang kebutuhan rumah tangga. Apapun akan diproduksi selama itu memberikan keuntungan. Perusahaan ini memang selalu melihat peluang pasar. Bahkan tak jarang perusahaan tempatnya bekerja memproduksi benda berbau kekinian demi menarik minat kaum milenial. Walau memang fokus utama jelas adalah kebutuhan rumah tangga.

“Sebenarnya, saya juga kurang tahu Pak. Karena jujur ini bukan tugas saya. Saya lebih banyak berkutat di meja kerja dan menyelesaikan laporan.”

Yudhis menatap Freya dengan pandangan tak setuju. Membuat gadis itu menggigit bibirnya. Takut melakukan kesalahan terhadap Bos besar. Bagaimanapun Freya hanya pegawai kecil yang masih membutuhkan pekerjaan ini. Jangan sampai ia melakukan kesalahan dan berakhir dengan pemecatan.

“Harusnya kamu juga tahu hal ini. Bukankah kamu yang bertugas mengelola data dan laporan?”

Tuh kan? Freya ingin mengumpat dalam hatinya. Tapi melihat bagaimana pandangan menuntut dari seorang Yudhis terhadapnya membuat Freya tak berdaya.

“Maaf Pak. Lain kali saya akan lebih teliti. Karena laporan yang saya dapatkan berkala setiap minggu, jadi mungkin pemeriksaan gudang juga dilakukan setiap minggu.”

Kali ini Yudhis mengangguk pertanda puas dengan jawaban Freya. Sekarang gadis itu bisa bernapas lega. Kembali ia mengekori Yudhis yang berkeliling. Hingga suara berisik dari ponsel milik pria itu menghentikan langkah mereka.

“Halo?”

Freya hanya diam di samping Yudhis. Memainkan jemari tangan dan berusaha untuk tak mendengarkan percakapan yang sedang Yudhis lakukan. Tapi bagaimanapun Fryea ingin tak peduli, tetap saja ia bisa mendengar. Suara Yudhis lebih tepatnya. Entah apa yang terjadi antara Yudhis dan lawan bicaranya. Tapi dari cara bicara Yudhis yang terdengar lelah dan pasrah, mungkin ia dan lawan bicaranya sedang berdebat.

“Sudah selesai mengupingnya?” sindiran Yudhis terdengar jelas. Membuat Freya terperanjat.

“Hah?” tanyanya bingung.

“Kamu. Harusnya jika ada orang yang sedang bertelepon di depan kamu, kamu bisa menjaga jarak. Bukannya tetap diam dan mendengarkan isi pembicaraan orang lain.”

Oke, ralat jika Yudhis pernah masuk dalam daftar Freya. Nyatanya sikap arogan pria itu membuat nilainya jatuh ke dasar jurang baginya. Tadinya Freya pikir Yudhis adalah pria berwibawa dengan sikap kharismatik. Ternyata ia salah menilainya selama ini. Jika tak ingat bahwa nasibnya di perusahaan ini ada di tangan Yudhis juga walau secara tak langsung. Mungkin Freya sudah membalas sindirannya. Tapi karena ia tahu di mana posisinya, yang bisa Freya lakukan hanya meminta maaf pada Yudhis. Setelahnya pria itu melanjutkan inspeksinya. Dan sesekali bertanya yang Freya jawab seadanya. Sesopan mungkin. Jangan sampai Freya menaikkan nada suara padanya.

“Pastikan dilakukan pengecekan minimal seminggu dua kali. Karena kita tidak tahu mungkin ada penyelewengan di bagian gudang dan produksi. Mengerti?” ucapnya tegas sebelum pergi meninggalkan Freya.

Freya hanya bisa menghela napas lega setelah kepergian Yudhis. Meratapi kesialannya hari ini karena bertemu dengan seorang iblis berwujud pria tampan seperti Yudhis. Lupakan soal ketampanan, nyatanya sikap pria itu tak lebih baik dari pegawai rendahan yang tahu bagaimana caranya bersikap sopan. Mungkin benar kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya. Karena hal yang terlihat indah dari luar, belum tentu memberikan keindahan juga di dalamnya.

...

Ini sudah kali ketiga Freya mencoret daftar nama pria dari list-nya. Tak ada satupun yang sesuai dengan keinginan Freya. Jika satu pria menonjol di beberapa syarat, maka akan satu syarat yang tak memenuhi kriteria Freya. Padahal Freya tak menerapkan standard tinggi untuk para pria yang akan dijadikan pendampingnya. Wajah tampan bukan kriteria terpenting yang Freya inginkan. Tapi mengapa sulit sekali bagi gadis itu menemukan ‘lelaki’-nya.

Freya bahkan ingin menyerah saja mencari sendiri pendamping hidupnya. Mungkin menerima saran Mama untuk mencarikan calon suami tak ada salahnya. Jikapun nanti Freya dan pria tersebut tak memiliki kecocokan, mereka bisa berhenti. Namun satu yang Freya takutkan jika menerima saran Mama. Andai hubungannya dan pria tersebut tak berjalan lancar, bukankah akan mempengaruhi hubungan Mama dan keluarga si pria. Karena sudah pasti Mama akan mengenalkan Freya dengan anak teman-temannya. Kalau harus merusak hubungan Mama dan temannya, Freya lebih baik mencari sendiri calonnya. Tak perlu mengambil resiko membuat Mama kehilangan hubungan baik dengan orang lain.

“Kenapa?”

Sebuah suara mengagetkan Freya. Gadis itu hampir terlonjak dari bangku taman yang sedang ia duduki. Tanpa ia sadari di sampingnya sudah duduk seorang pria. Mata Freya meneliti sosok yang ada di sebelahnya dengan seksama.
Senyumnya kemudian terbit. Tak biasanya Arkana Salim tampil di muka umum seperti ini. Selama hampir separuh hidupnya Freya mengenal Arka, jarang sekali Freya melihat pria ini muncul di taman komplek. Arka tak begitu suka ke luar rumah. Berbaur dengan orang lain. Sangat berbeda dengan Argani Salim, adik lelakinya. Teman Freya seusia Freya. Dan melihat pria satu ini berada di taman, dengan keringat membasahi tubuhnya membuat Freya takjub.

“Kenapa apanya?” Freya balik bertanya.

“Kamu. Daritadi seperti banyak pikiran begitu.”

Freya mengangkat bahu. “Bukan apa-apa.”

“Perempuan selalu begitu ya.”

“Begitu apanya?” tanya Freya tak mengerti dengan pernyataan Arka barusan.

“Ya begitu. Kalau ditanyain kenapa, pasti jawabnya nggak apa-apa.”

Freya tersenyum simpul. “Kamu kebanyakan baca novel kayaknya.”

Arka tak menjawab. Pria itu hanya mengendikkan bahu. Persis gestur yang tadi Freya berikan. Arka seolah tak ambil pusing dengan sikap Freya. Pria itu bahkan lebih memilih meneguk air dari botol minuman yang dibawanya. Membuat Freya kembali mengarahkan tatapan padanya.

“Kenapa?” kini Arka yang bertanya.

“Sejak kapan kamu suka olahraga di sini? Biasanya lebih suka diam di rumah.”

Pria itu menaikkan sebelah alisnya. “Darimana tahu kebiasaanku?”

Ck, kita bukan kenal sehari dua hari. Hampir separuh umur kita saling kenal. Gimana aku nggak tahu. Dan aku sering olahraga keliling komplek begini. Dan biasanya cuma ketemu Arga.”

Sudut bibir Arka tertarik ke atas. Tak menyangka perempuan di sampingnya ini bisa banyak bicara juga. Arka memang tak terlalu mengenal sosok Freya. Ia hanya tahu, anak perempuan tetangga rumahnya ini hanya teman bermain dan teman sekolah Arga. Bahkan Freya tak terlalu sering menghabiskan waktu bersama Arga. Karena memang mereka hanya sebatas teman. Bukan sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama.

“Lagi mau mulai hidup sehat. Mama suka cerewet kalau aku cuma berkutat di kamar saja.”

Freya hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai respon. Kemudian gadis itu berdiri yang membuat Arka juga ikut menegakkan tubuhnya.

“Mau ke mana?” tanya Arka ingin tahu.

“Pulang. Matahari makin naik, makin panas,” jelas Freya sembari mengipasi wajahnya dengan telapak tangan.

Freya mulai melangkah meninggalkan taman disusul Arka yang mengekorinya. Keduanya berjalan bersisian sembari berbincang di sepanjang jalan. Saling bertanya perihal pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Hingga Freya tiba lebih dulu di rumahnya. Gadis itu berpamitan pada Arka yang kembali melanjutkan langkah menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah Freya.

“Mama lihat tadi kamu pulang nggak sendiri?” pertanyaan Mama menyambut Freya yang baru menginjakkan kaki di ruang tamu.

“Mama lihat atau ngintip?”

“Sama aja,” balas Mama cepat. “Sama siapa?”

Freya memutar mata. Mama dan segala keingintahuannya yang besar. Tak akan pernah dipisahkan. Dan tak akan pernah puas hingga Freya menjawab jujur semua yang ingin Mama ketahui.

“Sama Arka.  Tadi nggak sengaja ketemu pas olahraga di taman.”

“Arka?”

Freya mengangguk. Gadis itu mencomot potongan mangga milik Mamanya. Membuat sang Mama menghadiahi tepukan di tangan Freya. Gadis itu langsung cemberut karena Mamanya melarangnya.

“Cuci tangan dulu. Kamu bau keringat gitu. Mana dari luaran. Pasti banyak kuman yang nempel di tangan kamu.”

Teguran Mama membuat Freya sadar apa yang dikatakan Mama memang benar. Gadis itu cepat-cepat mencuci tangannya kemudian menyusul Mama duduk di sofa ruang tv. Lalu ikut menikmati potongan mangga segar milik Mamanya. Jika biasanya Freya masih berada di ranjang empuknya, namun pagi ini tidak. Pagi-pagi sekali saat matahari bahkan belum menunjukkan keperkasaannya, Freya sudah bergegas bangun dan melakukan ritual pagi. Kemudian berolahraga di seputaran komplek rumahnya. Mama saja dibuat heran dengan kelakuan putrinya, tapi merasa senang juga. Tak perlu lagi melakukan hal aneh-aneh hanya demi membangunkan Freya.

Keduanya kini duduk nyaman menikmati buang mangga sambil menyaksika tayangan memasak di televisi. Walau bukan ahlinya di dapur, tapi paling tidak Freya bisa memasak. Satu hal yang Mama tekankan harus Freya kuasai sebagai seorang perempuan. Bagi Mama modal utama seorang perempuan untuk bisa berumah tangga ada di kemampuan tangannya mengolah isi dapur. Meski hanya masakan sederhana dan seadanya. Tapi paling tidak Freya bukan perempuan yang bermusuhan dengan dapur dan enggan berkutat dengan kompor, minyak dan kwan-kawannya. Itu sudah cukup bagi Mama. Karena keberhasilan seorang istri nanti bukan hanya bisa memuaskan suami untuk urusan ranjang. Tapi juga urusan perut. Karena itu sejak memasuki usia remaja, Mama sudah memaksa Freya untuk bisa berkutat di dapur. Dan hasilnya memang tak sia-sia. Freya tak anti dengan percikan minyak goreng dan bumbu dapur.

Bicara perihal pria, wanita dan urusan dapur, Mama seketika ingat sesuatu. Beliau memandangi putrinya yang masih asyik mengunyah dengan tatapan tak lepas dari layar televisi. Kemudian ingatannya berputar pada Freya dan Arka yang berjalan beriringan tadi.

“Fey?” panggil Mama yang hanya dijawab berupa gumaman dari Freya. “Kalau Arka gimana?”

Gadis itu mengernyitkan dahi, bingung dengan pertanyaan Mamanya. “Maksud Mama?”

“Menurut kamu, Arka gimana?”

Freya berhenti menyuapkan potongan mangga ke mulutnya. Meletakkan kembali ke piring. Dan kini sepenuhnya menghadap ke arah Mama.

“Maksudnya?”

“Mama enggak pernah dengar Arka punya pacar atau apa. Kalau kamu mau, nanti Mama tanya ke Tante Rika.”

Freya membelalakkan mata tak percaya. “Mama ih?”

“Loh kenapa? Arka kayaknya baik. Dia mapan, matang. Dari segala sisi Arka itu calon yang potensial. Kita juga kenal dia dan keluarganya. Kurang apa coba?”

“Tapi Fey nggak kenal dekat dengan Arka, Ma.”

“Itu soal gampang. Kamu dan Arka kan udah saling tahu dari kecil. Kalau untuk saling dekat pasti bisa. Rumah keluarganya juga di depan mata.”

Freya cemberut menatap Mama. “Tapi nggak semudah itu Mama.”

“Makanya dicoba Fey,” bujuk Mama. “Mau kan?”

Freya mengembuskan napas lelah. “Terserah Mama deh. Asal Mama senang. Tapi kalau Fey sama Arka nggak cocok, Mama nggak akan maksa kan? Hubungan MAma dan keluarga Arka nggak akan kenapa-kenapa kan?”

“Enggak lah. Kan cuma saling kenal lebih dekat dulu.”

“Oke,” putus Freya.

Wajah Mama langsung berubah semringah. Seperti baru saja menang undian. Mungkin tak sabar untuk bertemu dan bicara dengan Mama Arka. Freya sendiri memilih mengalah dan tak mau membuat semangat Mama memudar. Ia kemudian beranjak meninggalkan Mama yang mungkin sudah merancang berbagai hal di kepalanya. Freya butuh mandi, badannya sudah gerah butuh dibersihkan. Dan lagi, dia juga mulai lapar karena sebelum berolahraga tadi hanya sempat memakan sepotong donat sebagai pengganjal perutnya.

...

Note : yeiy... bisa update akhirnya!!! Hahaha. Udah ada kapal siap berlayar kah dipikiran pembaca akan nasib Freya? Masih abu-abu kayaknya ya? hm.....

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 30/18/11

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top