I - Permintaan Mama

Bunyi krasak-krusuk terdengar jelas dari arah dapur. Ini tak enaknya punya rumah yang terlalu sederhana. Walau jarak dapur dan kamarnya tidak terlalu dekat. Tetap saja suara berisik dari arah sana membuat Freya terganggu. Atau mungkin memang itu Mama yang sengaja berulah. Padahal hari ini minggu, saatnya Freya beristirahat. Mengapa juga hari besarnya diganggu dengan kegiatan Mama yang tak jelas di dapur sana. Padahal Freya baru tidur pukul empat pagi. Bukan karena mengerjakan tugas kantor sih. Tapi karena maraton menonton drama Korea yang telah ia unduh namun belum sempat ditonton.

Semakin Freya berusaha memejamkan matanya, suara berisik di luar kamar sana semakin menjadi. Freya yang tak mungkin bisa lagi terlelap ke alam mimpi akhirnya memaksa tubuhnya untuk bangun. Dengan mata yang sudah pasti membengkak karena terus begadang selama dua malam berturut-turut. Freya akhirnya keluar dari tempat persemediannya.

“Mama ngapain sih?” tanya Freya dengan wajah kusut di depan seraya menyandarkan tubuh di depan pintu dapur.

“Oh, sudah bangun?” ucap Mama.

Freya tahu itu hanya sekedar basa-basi Mama. Karena bisa Freya lihat mata nakal Mama yang bersinar saat berhasil mengganggu putri semata wayangnya. Bukan sekali-dua kali Mama bersikap begini. Hampir setiap minggu. Entah itu dengan membuat keributan di dapur. Memasang musik dengan suara keras dengan dalih membangkitkan semangat pagi ketika membersihkan rumah. Atau bahkan menyalakan televisi dengan suara menggelegar. Semua itu dilakukan agar Freya bangun dari tidur panjangnya di hari libur. Berkali-kali Mama menasehati bahwa anak gadis tak boleh bangun siang. Takut rezekinya dipatuk ayam. Dan berkali-kali Freya juga mengatakan bahwa di hari libur rezeki Freya itu adalah tidur. Terus saja kedua ibu dan anak itu berdebat tak ada habisnya.

Padahal rezeki yang dimaksud Mama tak melulu soal materi. Hal yang selalu Mama inginkan dari Freya di usianya yang menginjak usia perak, Mama menginginkan Freya untuk segera menikah. Putrinya itu sudah cukup umur untuk berumah tangga. Tapi Freya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri masa lajangnya. Jangan pertanda untuk menikah, pacar saja Freya tak punya. Bagaimana ia bisa menikah.

“Kamu mandi sana, terus sarapan. Anak gadis kok bangunnya siang. Malu. Nanti...”

“Rezekinya dipatuk ayam,” sambung Freya yang membuat Mama berdecak gemas.

“Mandi Fey...”

“Siap Nyonya...”

Freya segera kembali ke kamarnya. Bukan untuk kembali tidur, tapi melaksanakan titah Mama. Bagaiman seringnya mereka berdebat namun Freya sangat menyayangi Mama. Meski cerewet tapi Freya tahu Mama melakukan semua itu untuknya. Terlebih sejak kematian Papa saat Freya masih berumur sepuluh tahun. Mama lah yang membesarkan Freya seorang diri. Bahkan di usianya yang saat itu masih terbilang muda, Mama tak berniat menikah lagi. Mencari suami dan Papa baru untuk Freya. Beliau bertahan menjadi ibu tunggal yang melakukan apapun untuk membesarkan anaknya.
Hingga Freya lulus kuliah, Mama masih bekerja di perusahaan swasta. Barulah ketika Freya lulus dan untungnya langsung mendapatkan pekerjaan, Mama memilih resign. Ingin mengistirahatkan diri. Walau hidup serba mewah, namun Freya dan Mama bersyukur bisa hidup berkecukupan. Tak kekurangan suatu apapun. Karena itu juga Mama ingin Freya segera berumah tangga. Beliau sudah ingin menimang cucu seperti ibu lainnya yang memiliki anak gadis.

Bukan Freya tak ingin membahagiakan Mama dengan mengabulkan keinginannya. Masalahnya menemukan calon menantu potensial tak semudah menemukan rumah makan Padang. Menemukan seorang pria yang bisa menerima Freya apa adanya. Juga Mama. Menemukan seseorang yang akan mengerti keinginan Freya saat mereka menikah nanti.

Ya, Freya ingin ketika dirinya nanti menikah, ia tak akan berpisah dengan Mama. Satu-satunya orangtua yang ia miliki. Masalahnya kadang seorang pria itu memiliki harga diri tinggi. Sangat jarang lelaki yang mau diajak tinggal seatap dengan Mama mertua. Bahkan tinggal seatap dengan orangtua sendiri juga belum tentu mereka mau. Memang ketika menikah itulah momen di mana anak akan melalui bahtera kehidupannya yang benar-benar mandiri. Membangun keluarga dan masa depan dengan kemampuan mereka sendiri. Tapi sayangnya satu syarat utama Freya ketika akan menikah adalah tetap tinggal bersama Mama.

“Mama masak apa?” tanya Freya ketika kembali lagi ke ruang makan. Sudah segar dengan penampilannya setelah mandi.

“Nasi goreng. Ada bakso goreng juga itu.”

Freya hanya mengangguk. Gadis itu lantas duduk dan mulai menyendokkan menu sarapan ke piringnya. Sedang Mama kini tengah duduk santai di sofa ruang tv. Memang, ruang makan dan ruang keluarga tak bersekat. Hanya sebuah lemari hias berbahan kaca saja yang menjadi pemisah. Hingga siapapun yang berada di antara kedua ruang tersebut bisa saling melihat.

“Fey, siang ini kita belanja yuk?”

Freya membulatkan matanya. Padahal ia sudah berencana untuk membalaskan dendamnya siang ini dengan tidur sepuasnya. Namun apa daya ketika Mama meminta, Freya sama sekali tak bisa menolak. Apapun keinginan Mama, sebisa mungkin akan dipenuhi gadis itu. Karenanya ketika Mama meminta menemani berbelanja, maka sudah pasti Freya akan menggangguk patuh.
Maka seperti rencana, siang ini juga aku dan Mama berbelanja ke salah satu mal. Sebelum belanja seperti biasa, Mama akan membawaku menyusuri jejeran toko pakaian atau sepatu. Padahal Mama bukanlah penggila belanja. Namun beliau bilang senang saja hanya melihat-lihat. Iya, boleh saja melihat asal para pegawai toko tak terganggu dengan ulah Mama.

Belum lagi memulai berbelanja kebutuhan, kembali Mama mengajak Freya untuk makan siang. Kali ini mereka memilih sebuah restoran yang baru dibuka. Di mana para pegawainya tengah memberikan selebaran untuk mempromosikan restorannya. Tadinya Freya menolak, takut rasanya tak akan sesuai selera. Tapi Mama bersikukuh untuk mencoba. Tak ada salahnya. Kalau memang makanan restoran tersebut tak sesuai selera, lain kali mereka tak perlu mencoba lagi.

“Fey, gimana kerjaan di kantor?”

Freya mengernyit. Makanan yang baru dimasukkan ke mulutnya sejenak tertahan dari kunyahan.

“Baik. Kenapa Mama tanya?” tanya Freya heran. Mama sangat jarang bertanya perihal urusan kantor jika mereka tengah berada di luar.

“Mama kan cuma mau tahu.”

Freya menatap Mama menyelidik. “Apa yang mau Mama tahu?”

Seperti biasan, tak ada yang bisa disembunyikan antara mereka. Merasa percuma saja memancing Freya dengan umpan kalimat tak jelas, maka MAma memutuskan untuk bicara langsung ke intinya.

“Di kantor apa nggak ada teman kantor yang cocok sama kamu? Sudah tiga tahun masa nggak ada satupun yang nyantol di kamu, Fey. Kantor kamu isinya pegawai laki-laki dan perempuan kan?”

Freya cemberut. Walau sudah tahu kalau belakangan ini Mama memang makin gencar meminta Freya untuk segera menikah. Tapi tetap saja didesak begini membuat Freya pusing juga. Bukan tak ingin, tapi memang belum bertemu yang pas.

“Ma, Fey bukannya nggak mau menuhi keinginan Mama yang satu itu. Fey ingin banget bikin Mama bahagia. Tapi mau gimana lagi? Fey belum ketemu sama yang cocok.”

“Sudah berapa lama kamu nggak pacaran?”

Kembali wajah Freya berubah masam. Harus sekali Mama membahas kisah cintanya? saat Freya ingin melupakan semua kisah asmara yang beberapa kali dijalaninya. Tapi selalu berakhir di tengah jalan. Padahal dalam berhubungan Freya bukan perempuan yang ingin bermain-main. Namun entah mengapa belum ada pria yang ingin mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. Karena itu Freya tak ingin lagi kecewa. Berpacaran dengan pria hanya buang-buang waktu. Karena itu ketika Mama memintanya untuk segera menikah, Freya mengamini dalam hati. Dia juga lelah jika harus terus berpacaran tanpa kata akhir ke hubungan yang lebih sakral.

“Fey, kalau Mama jodohkan saja mau?”

Freya tersedak jus mangganya. Gadis itu meneguk air putih untuk meredakan batukya. Matanya melotot horor ke Mama. Dijodohkan? Tak adakah pilihan lain? Bukan Freya tak percaya dengan pilihan Mama. Tapi ia ingin mencari sendiri calon imamnya. Jika sudah mentok hingga kepala tiga tak juga menemukan, mungkin Freya akan mempertimbangkan.

“Aku bisa cari sendiri Mama...”

“Mana?” cibir Mama.

“Nanti Mama. Sabar ya. Fey akan berusaha. Freya Janji,” bujuk Freya.
“Jangan kelamaan. Kalau bisa tahun depan kamu sudah menikah. Sudah siap kasih Mama cucu.”

Freya hanya menjawab berupa gumamam. Tak ingin berdebat lagi dengan Mama. Gadis itu memilih untuk menghabiskan makan siangnya. Karena mereka masih harus berblanja kebutuhan sehari-hari. Namun begitu dalam hati Freya berjanji. Ia akan berusaha untuk memenuhi permintaan Mama. Mencari menantu potensial sebagai pendampingnya. Agar Mama bahagia.

...

Cuaca siang ini cukup panas. Padahal Freya bekerja di ruangan ber-AC. Tapi tetap saja gerahnya hari tak membuat Freya nyaman walau dengan kondisi AC yang menyala cukup dingin. Mungkin tak hanya Freya yang merasakan penatnya hari, karena teman-teman satu ruangan dengannya juga. Terlihat beberapa dari mereka bahkan mengipasi tubuh dengan kertas berkas, buku atau apapun. Bahkan ada yang membawa kipas kecil.

“Panas banget sih hari ini, AC rusak ya?” keluh Firman. Penghuni dua kubikel di belakang Freya.

“Iya nih. Neraka bocor kali ya?” celetuk Eka yang mendapat pelototan dari Mashita.

“Sembarangan! Mana ada neraka bocor. Kamu pernah ke neraka emangnya?” cibir gadis itu.

Freya yang melihat perdebatan rekan-rekannya hanya bisa menggeleng. Kemudian melanjutkan pekerjaannya. Laporan produksi yang ditugaskan pada Freya harus segera diserahkan pada manajer mereka secepatnya.

“Freya..” Kirena, rekan sebelah kubikelnya menyapa Freya.

“Apaan?”

“Nanti malam mau ikut aku nggak?”  tanya gadis itu lagi.

“Ke mana?”

“Ada temannya Ferdi yang suka sama kamu,” jelas Kirena setengah berbisik.

Freya mengerutkan dahinya. Ia mengenal Ferdi, kekasih Kirena. Tapi Freya tak merasa pernah bertemu dengan teman Ferdi. Karena bahkan ia bertemu Ferdi hanya jika ikut berkumpul bersama Kirena dan yang lainnya. Yang tentu saja Ferdi juga akan selalu hadir walau pria itu tidak bekerja di kantor ini.

“Teman? Darimana teman Ferdi bisa tahu aku?” tanya Freya penasaran.

“Kamu kan pernah bilang mau cari laki-laki yang serius. Nah pas aku kasih tahu Ferdi, eh dia bilang dia punya teman yang juga mau cari pasangan untuk diajak serius. Ya udah deh, Ferdi coba tunjukin foto kamu. Dan dia tertarik.”

Agak sedikit terkejut mendengar penuturan Kirena. Tapi ada rasa kesal juga terselip dalam hati Freya. Bagaimana tidak, Ferdi dengan seenaknya menunjukkan foto Freya pada orang lain. Harusnya jika ingin begitu mereka bisa kan lebih dulu mengatakan pada Freya. Bukan seenaknya menunjukkan fotonya pada orang lain.

“Gimana Frey?” suara Kirena kembali mengusik Freya.

Gadis itu berpikir sejenak. Sudah hampir sebulan memang sejak Freya berjanji pada Mama untuk berusaha. Namun belum ada satu langkahpun yang dilakukan gadis itu. Dan mendapati Kirena mengajaknya untuk berkenalan dengan seorang pria, membuat Freya mempertimbangkannya. Mengapa tidak? Jika cocok mereka bisa saling mengenal hingga ke jenjang yang lebih lanjut. Jika tidak, Freya bisa mengatakan maaf pada pria tersebut.

Bukankah sama saja Freya menerima orang lain menjodohkannya?

Sesuai dengan janji yang sudah Freya dan Kirena sepakati, selepas bekerja Freya dan Kirena menemui Ferdi dan temannya. Mereka sudah memesan tempat di sebuah restoran Jepang bernama Sushi Me. Begitu tiba di pintu masuk, Freya dan Kirena sudah melihat Ferdi yang melambaikan tangan ke arah mereka. Keduanya kemudian melangkah menghampiri Ferdi dan temannya.

“Hai, Frey, apa kabar?” tanya Ferdi ketika Freya dan Kirena sudah bergabung.

“Baik.” Freya menjawab singkat. Sekilas ia melihat teman Ferdi melirik ke arahnya.

Kesan pertama yang Freya dapatkan dari teman Ferdi adalah pemalu. Karena pria itu tak berani secara terang-terangan menata p Freya. Tapi mungkin saja Freya salah. Mungkin pria itu memang segan karena bagaimanapun ini pertemuan pertama mereka.

“Oh ya Frey, ini Bayu, teman kantorku. Nah Bayu, ini Freya. Teman kantor Kire.” Ferdi memperkenalkan keduanya.

Baik Freya dan Bayu tak saling mengulurkan tangan. Keduanya hanya saling menyapa sambil tersenyum. Tak ingin suasana makin canggung, Kirena langsung berinisiatif memanggil pelayan untuk memesan. Setelah menyebutkan pesanan masing-masing mereka memulai obrolan sambil menunggu pesanan datang.

“Umur kamu berapa?” tanya Freya tiba-tiba karena sejak tadi Bayu lebih banyak diam. Benar-benar tipe pemalu sepertinya.

“Ah? Bulan depan 29 tahun.”

Freya mengangguk. “Oh, lebih muda setahun dari Ferdi?”

Tak ada percakapan berarti antara Freya dan Bayu. Obrolan bahkan didominasi oleh pasangan Ferdi dan Kirena. Sedang mereka hanya menjadi pendengar yang budiman saja. Bahkan hingga hidangan mereka datang.

“Gimana Bayu?” tanya Kirena saat keduanya berada di toilet.

Lima belas menit yang lalu mereka sudah menyelesaikan makan malamnya. Kedua gadis itu memohon diri untuk ke toilet. Meninggalkan dua pria itu di meja. Padahal itu hanya alasan Kirena saja ke toilet. Yang sebenarnya ia ingin mendengar tanggapan Freya tentang pria bernama Bayu itu.

“Pemalu. Kayaknya bukan tipe pria yang bisa kasih move. Gimana bisa jalan hubungan kalau dia terlalu pemalu,” ungkap Freya sejujurnya.

“Mungkin karena baru pertama kenal kali Frey. Ferdi bilang Bayu anaknya baik kok.”

“Baik bukan patokan Kir. Kamu juga tahu semua pria bisa bersikap baik. Tapi kalau dia terlalu pemalu, gimana selanjutnya. Masa aku terus yang mulai.”

“Atau aku kasih nomor handphone kamu ke dia ya? Siapa tahu kalau tanpa orang lain dia lebih berani.”

Freya menatap datar Kirena. Kemudian berucap, “terserahlah.”

Selepas makan malam keempatnya saling berpamitan. Ferdi dengan Kirena. Sedang Freya dan Bayu kembali dengan kendaraan masing-masing. Tadinya Ferdi menyarankan agar Bayu bisa mengantarkan Freya. Namun gadis itu menolak karena ia juga membawa kendaraan sendiri. Berkendara sendirian di malam hari bukan hal yang menakutkan bagi Freya. Sejak kuliah ia sudah biasa membawa mobil. Selain untuk berkegiatan, Freya juga merangkap sopir sang Mama. Kapanpun Mama butuh sopir dan Freya sedang bebas. Maka Freya harus bersedia mengantar Mama. Karena itu kemampuan berkendara Freya tak perlu diragukan.

Tepat pukul setengah sembilan Freya tiba di rumah. Saat masuk, Mama sedang menonton tayangan talkshow yang dipandu oleh dua komedian terkenal. Acara yang menjadi favorit Mama itu selalu bisa membuat beliau tertawa. Melihat Freya yang baru tiba, Mama hanya melirik sekilas. Kemudian memfokuskan pandangan kembali ke televisi. Tidak repot bertanya perihal Freya sudah makan atau belum. Karena sudah menjadi kebiasaan, jika Freya pulang terlambat maka sudah pasti gadis itu sudah makan malam.

Baru saja Freya membaringkan tubuhnya setelah mandi, ponselnya berdering. Cepat-cepat Freya mengeluarkan benda tersebut dari dalam tas. Melihat satu nomor baru mengiriminya pesan. Segera Freya membuka dan sebuah kalimat sapaan terpampang di sana. Tak lupa dengan nama pengirimnya. Freya berpikir sejenak, haruskah ia membalas? Tapi tak lama gadis itu segera membalas pesan dari si pengirim. Memberi kesempatan bagi pria itu untuk mencoba peruntungannya bersama Freya.

...

Note : Work baru... yeyeye. Ada yang berbeda gak dengan tulisanku di work ini? kerasa gak sih bedanya tulisan di sini dengan work lainnya. Di Freya’s project ini aku mau coba bikin cerita yang ringan dan mengalir ala ciklit banget. Konflik juga gak bakal berat. Sesuai dengan judul dan deskripsi cerita aja. Konflik di sini hanya akan berputar di tokoh Freya. Kalau suka silakan baca, kalau bosan, masih banyak cerita menarik yang bisa kalian baca di wp kok.

Ps : Makasih koreksi typo dan lainnya

Rumah, 24/18/11

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top