Frenezeco - END
"Mau sampai kapan kau terpaku pada ini terus? Sampai dapat melihat mayat anak cucumu membusuk nantinya di masa depan?"
"..."
"Kau itu bisu atau tuli sebenarnya? Sudahi kebebalanmu ini Miyoshi! Mau seberusaha sampai dunia kiamat pun, kau tidak dapat membangkitkan orang yang sudah mati!"
Mendengarnya Miyoshi sedikit tersinggung, "Bisakah kau untuk berhenti mengataiku bebal, Hatano? Aku tak ingin mendengar perkataan itu dari seseorang yang bahkan tak tahu bagaimana caranya mengatur ego."
Yang disindir menggertakkan giginya tak terima, ia lantas mengambil dua langkah maju ke depan sebelum akhirnya ditahan oleh seseorang.
"Hatano, hentikan! Kau hanya akan memperkeruh keadaan!"
"Lepaskan aku, Kaminaga! Biar kuhajar wajahnya agar sadar dan menerima kenyataan bahwa [name] sudah mati! Aku akan menyadarkannya sebelum dia menjadi sinting!" Ryousuke Hatano memaki sambil memberontak.
"Terlambat jika kau ingin melakukannya, jangan buang tenagamu sia-sia dengan hal seperti ini!" Izawa Kaminaga masih terus berusaha untuk menyelamatkan temannya yang lain.
Tangan ditampik kasar, Hatano menatap Miyoshi kecewa. Kilat kemarahan memancar dari kedua manik coklat Hatano, ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengenyahkan diri dari hadapan pemuda berambut coklat kemerahan tersebut.
"Jiwamu sudah sakit, Miyoshi, kuharap saat kau mati dan bertemu dengan [name], ia takkan menangis sedih mendapati kekasihnya menjadi gila karna ditinggal mati."
Sebelum ia melangkah keluar, manik tersebut menatap sebentar.
"Itupun kalau surga mau menerimamu dan tak menendang bokongmu kembali ke neraka."
Dan pintu pun menutup.
AoiKitahara present
Frenezeco
Joker Game belongs to Koji Yanagi
Warn: Typo(s), OOC, Alternate Universe, sci-fi, crime, riddle, etc.
Happy reading!
.
.
.
Menenteng seberkas puluhan gulungan perkamen, berjalan menuju meja kerja dengan langkah konstan, kemudian menebarkan berkas-berkas tersebut secara asal di atas permukaan meja. Penelitian lagi-lagi di mulai.
Deretan huruf yang ditulis dengan huruf romaji dan istilah-istilah sains diteliti tanpa ada tanda-tanda bosan atau lelah. Penerangannya hanya berasal dari cahaya rembulan dari jendela di samping tubuh berada, kebetulan malam ini langit begitu cerah.
Katsuhiko Miyoshi selalu merasa tak butuh cahaya lain, kebutuhan hidup yang dapat membuatnya menjadi penuh hanyalah cahaya rembulan, langit malam, harga dirinya, kecantikan yang hakiki, dan tentunya sang kekasih- [full name].
Satu dari lima hal penopang hidupnya kini telah sirna, bersembunyi di dalam bagian bumi, menyatu menjadi bumi itu sendiri sejak 4 tahun silam. Kelopak mawar menggugurkan diri setelah selama beberapa hari dipajang pada meja kerja Miyoshi.
Pena bulu angsa masih terus menari, mengutarakan persepsi selogis mungkin, berspekulasi dengan pemikiran anomali seakan-akan tengah menantang Tuhan.
Miyoshi mencintai sebuah keindahan, seni, dan simetris.
Miyoshi benci pada kebebalan, kerendahan, dan ketidakberdayaan.
Namun satu-satunya hal yang dicintai oleh seseorang seperti Miyoshi adalah-
"Miyoshi, kau sibuk?" Tak ada sapaan formal, langsung menyelonong masuk tanpa mengucap permisi, setidaknya Miyoshi sudah hapal di luar kepala siapa gerangan tamu tak diundang ini.
"Ada keperluan apa, Sakuma- san?" tanya Miyoshi seraya melepas kacamatanya dan menatap balik sang pria di belakang tubuhnya.
"Aku hanya ingin menyerahkan beberapa teori yang kukumpulkan dari beberapa buku-buku lawas di perpustakaan." Setumpukan kertas yang dijilid rapi pun ditampar pada permukaan meja oleh Sakuma.
"Terima kasih atas kerja kerasmu, kau bisa mengambil cuti untuk beberapa hari. Aku tahu, Sakuma- san sudah bekerja selama 5 hari berturut-turut dengan istirahat yang kurang." Miyoshi berdiri, mendekat ke arah jendela sambil terus memandang bulan purnama.
Alis sebelah terangkat heran, "Apakah aku terlihat seperti orang yang tengah sekarat sampai-sampai kau menyuruhku untuk cuti?"
Tak ada keinginan untuk menoleh barangkali sedikit, "Sesuatu hal yang berlebihan itu tidaklah baik, Sakuma- san. Cobalah untuk menerima kebaikanku ini tanpa mempertanyakannya."
Miyoshi benci pembangkang serta kelemotan, dan Sakuma adalah perpaduan antara keduanya dalam satu paket. Namun, nyatanya Miyoshi tak benar-benar membenci Sakuma, sebab Sakuma adalah satu-satunya orang yang berdiri di sampingnya saat seluruh semesta mengutuk perbuatannya.
"Miyoshi, kau benar-benar yakin akan penelitian ini? Maksudku- kau tahu, semua hal yang kita teliti melawan kodrat alam, menentang kuasa Tuhan." Sakuma mulai menyuarakan pendapat yang terpendam.
Sekarang Sakuma pun mulai meragukan penelitian mereka?
Sudut bibirnya menyungging, merasa baru saja mendengar kekonyolan. Sejak kapan Sakuma malah terlihat seperti epikuris sekarang? Apakah Sakuma yang berada di hadapannya ini adalah perwujudan dari sebuah kloning ataukah hologram?
"Lucu sekali, Sakuma- san, sejak kapan kau menjadi penganut suatu agama? Siapa gerangan yang sudah mencuci otakmu?"
"Kau harus hentikan ini, orang-orang di sekitarmu mengkhawati-"
"Jikalau kau memang tak lagi sudi melanjutkan penelitian, tak apa. Kau bisa berhenti sekarang, aku akan memberimu gaji beserta bonusnya, tinggal kau sebut saja nominalnya," ucap Miyoshi, tubuhnya berbalik menatap Sakuma dengan wajah yang tak mengisyaratkan sesuatu hal berarti.
Miyoshi menambahkan kembali daftar sesuatu yang dibencinya setelah satu menit berlalu yaitu, pengkhianatan.
Tangan terkepal kuat di samping garis celana, dahinya mengerut penuh rasa yang menggebu-gebu, "Apa karna kematian [name] kau jadi semakin sinting, Miyoshi?"
"Biarkan aku memberi pembelaan, kau pun sama sintingnya denganku, semua manusia nyatanya dilahirkan untuk sinting." Manik anggur itu menatap tajam dan penuh intimidasi pada Sakuma.
"Atas dasar apa kau mengatakan itu?"
"Simpel, karna kita adalah manusia."
"Alasan tak logis." Sakuma makin menggeram panas.
"Ketidakwarasan punya bibit dalam setiap individu, kau tak merasa sinting karna kau menilai dirimu sendiri. Sama halnya sepertiku, aku tak merasa sinting, sebab aku menilai diriku sendiri." Red wine dituang pada gelas, Miyoshi mengangkatnya tinggi-tinggi di depan Sakuma.
"Hal itu punya bumbu tersendiri dalam kehidupan, penyeimbang bentuk simetris yang sesungguhnya."
Miyoshi tertawa kecil sambil terus menatap riak dalam gelas, refleksi diri di balik red wine begitu memukau, ia memuji dirinya sendiri.
*.-.*
"Kalian benar-benar berniat membiarkan hal ini terjadi!?" Hatano menggebrak meja dengan murka.
"Kau tak bisa menghentikan obsesi Miyoshi yang sekarang, Hatano. Berhentilah marah dengan kenyataan." Tazaki membuka suara, mewakili orang-orang yang berkumpul dalam satu meja bundar.
"Apa perlu kita mencuri jasad [name] dari pemakaman agar ia menghentikan segala penelitian gilanya itu?!" Hatano mengacak rambutnya lelah, ia merasa tak berguna sebab tak bisa menolong teman baiknya tersebut.
"Tidakkah kalian berpikir bahwa kematian [name] sedikit ganjil?" tanya Amari hingga mencuri seluruh atensi.
Manik hitam Jitsui menyipit penuh selidik, "Apa maksudmu, Amari- san?"
"Hasil otopsi dari pihak polisi mengatakan bahwa penyebab kematian [name] akibat overdosis obat tidur, lagipula untuk apa dia mengkonsumsinya? Yang kutahu [name] tak pernah menderita insomnia selama ini." Amari membuka penyelidikan, membuat spekulasi sepihak.
Kaminaga tertawa ragu, "Tak mungkin kan."
"Siapa yang tahu? Miyoshi sudah melangkah lebih jauh daripada yang seharusnya," ungkap Odagiri.
"Yang terpenting sekarang kita harus menyelidikinya dan menghentikan kegilaan Miyoshi sebelum semuanya menjadi lebih ruwet," tukas Tazaki, bara rokok dijejalkan pada asbak hingga padam.
"Kita tidak pernah bisa menebak tindakan Miyoshi selanjutnya." Kini giliran Fukumoto yang angkat bicara.
Ketujuh orang membisu dalam keheningan yang mengisi malam tanpa bosan. Asyik bergelut dengan opini yang diciptakan dalam tempurung kepala, mencari solusi aman untuk permasalahan yang terlanjur menjadi kumpulan benang gimbal.
"Bagaimana kita coba untuk memeriksa kembali kediaman [name]- san? Siapa tahu kita bisa menemukan sedikit petunjuk," tutur Jitsui.
Tanpa mereka ketahui, segera setelahnya sesuatu hal akan terungkap.
Cepat atau lambat.
*.-.*
Sinar dari sang baskara terlihat menyilaukan, berkali-kali Miyoshi menggeram sambil terus melontarkan cacian pada siang hari yang panas ini. Saat bumi disinari, Miyoshi selalu lebih memilih untuk terlelap kemudian terjaga kala bumi memunggungi matahari.
Baru saja mata memejam, suara ketukan menginterupsi tidur tenangnya. Dalam batin, Miyoshi terus mengutuk siapapun yang mengganggu tidur siangnya.
"Selamat siang, Miyoshi. Hari yang indah kan?" Suara ceria tersebut berceloteh setelah Miyoshi membuka pintu.
"Kalau kedatanganmu kemari hanya untuk berbasa-basi, lebih baik pulanglah, Kaminaga," gerutu Miyoshi.
"Whoo! Tenanglah kawan, aku kemari ingin meminjam kunci rumah [name]," terang Kaminaga.
Alis bertaut tanda curiga berlebih pada sesosok kawannya tersebut, "Untuk apa? Tak ada apa-apa yang bisa kau temukan di sana."
Kaminaga menggaruk tekuknya canggung, "Aku baru ingat pernah meninggalkan catatan penting di kediamannya."
"Kenapa baru sekarang?"
"Itu karna ... kemarin aku baru membongkar barang lama dan seketika itu teringat akan buku catatan pentingku." Kaminaga mencoba mencari-cari alasan dengan harapan Miyoshi takkan curiga lebih jauh.
"Kalau begitu kutemani, tunggulah sebentar." Pintu hampir menutup jika Kaminaga tak cepat- cepat menahannya.
"Tak apa, tak perlu repot-repot. Aku hanya akan mengambil buku catatan itu dan langsung pergi, aku berjanji."
Miyoshi menatap Kaminaga penuh selidik, kemudian menghela napas beberapa saat. Merogoh saku celananya dan memberikan kunci rumah dengan gantungan kelinci kecil kepada Kaminaga.
"Setelah selesai, kembalikan kuncinya dan rapikan rumah [name]," ucap Miyoshi sebelum benar-benar menutup pintu.
Meninggalkan kediaman Miyoshi dengan segera tanpa membuang-buang waktu, Kaminaga sudah berpesan kepada ketujuh orang lainnya untuk menanti di depan rumah [name]. Pencarian bukti sebentar lagi akan dimulai.
Satu hal yang mendeskripsikan kediaman [name] saat ini, bersih dengan sedikit debu. Padahal rumah tersebut tak pernah tersentuh sejak 4 tahun silam.
"Kenapa rumah ini masih sebersih biasanya?" tanya Hatano heran.
"Kudengar Miyoshi membayar seseorang untuk membersihkan rumah ini setiap minggunya," balas Fukumoto.
"Baiklah, kita mulai memeriksa. Masing-masing dari kita mengecek setiap ruangan," titah Tazaki yang langsung disetujui oleh ketujuh orang lainnya.
Jitsui memeriksa ruang tamu, namun hasilnya nihil. Fukumoto menyisir dapur, sama seperti Jitsui ia tak jua menemukan hasil. Setelah mencari selama dua jam lebih, mereka berkumpul di ruang tamu kembali, kecuali Hatano.
"Di mana Hatano?" tanya Kaminaga, mereka lantas menoleh ke sana kemari.
"Hatano- san memeriksa kamar [name]- san kalau kau mau tahu," ujar Jitsui.
Mereka pun memutuskan untuk menyusul Hatano, takut terjadi sesuatu. Kala sampai di depan pintu kamar, dapat terlihat Hatano sedang dengan serius membaca suatu buku, diary?
"Hatan-"
"Kau tahu, buku diary ini berisi kalimat yang ambigu. Pesan tersirat," sela Hatano.
23 April xxxx
Cinta? Omong kosong! Ia terlalu memuja sesuatu hal yang tak dapat diraih. Berulang kali aku menyadarkannya, berulang kali pula aku menerima sikap acuh tak acuhnya.
17 Mei xxxx
Ini sudah tak waras, kemungkinan aku pun juga akan ikut menggila sama sepertinya. Meraih sesuatu hal yang ada di atas sana dengan tangannya? Hal yang sinting kan?
19 Mei xxxx
Siapapun tolong, hentikan kegilaan Miyoshi sebelum ia mencelakai dirinya sendiri. Ia tak bisa terus-terusan memandang ke atas, cintanya abnormal dan menentang takdir.
Tulisan tersebut berhenti pada tanggal 19 Mei. Meninggalkan tanda tanya besar di dalam benak, ada bagian yang tak disebutkan di sini. Ketujuh pemuda tersebut saling melempar tatapan, dan sudah yakin sepenuhnya.
Bahwa Katsuhiko Miyoshi adalah orang dengan jiwa yang paling gila.
*.-.*
Miyoshi punya rasa takjubnya sendiri saat menatap langit malam bertakhtakan gemintang serta rembulan.
Dan Miyoshi selalu punya kepuasan tersendiri kala menemukan satu langkah maju dari hasil seluruh penelitian.
Dibutakan oleh cinta semu
Miyoshi- sang manusia biasa menjadi lumpuh
Jiwa dan raga
Pikiran dan jasmani
Menjadikan dirinya ketidakwarasan itu sendiri
Menyatu dalam jurang kegelapan
Tersesat dalam labirin sunyi
Ia berjalan menuju sebuah lemari dan membukanya. Menghirup dengan dalam aroma rambut manusia yang sengaja ia rekatkan pada kepala manekin. Sepasang maniknya berpendar penuh obsesi.
"Sebentar lagi aku akan membuktikan hal-hal yang selama ini kau salahi, [name]," ucapnya pelan.
Tak ada [name] bukan berarti ia akan berpisah selamanya dengan sang kekasih, mereka selalu bersama selama ini.
Miyoshi adalah perwujudan dari pendosa mati
Iblis birahi dengan harga diri tinggi
Dua iblis dalam satu wadah
Kesakralan enggan menyentuh raganya
Biarlah ia membusuk di neraka paling dasar
Hukuman bagi pendosa bebal sepertinya
Selamanya
Helaian tersebut dilepas, Miyoshi membelai sayang rambut dari kekasihnya yang telah ia kuliti dengan tangannya sendiri, kemudian terus mencintainya.
Meskipun cintanya terbagi dua-.
Hatano mendobrak pintu dengan kasar hingga menyebabkan engselnya rusak. Ia berjalan tak sabaran, menggerutu sambil membawa buku kecil seukuran buku agenda yang dapat ditebak bahwa itu adalah diary.
Kerah jas putih Miyoshi ditarik, wajah Hatano dan dirinya hanya terpaut beberapa senti. Kemurkaan mengobar dari balik iris Hatano, penuh dengan perasaan tak tergambarkan, enigma.
"Jelaskan padaku apa maksud dari seluruh tindakanmu ini ... Miyoshi!" Hatano berteriak garang di depan muka Miyoshi, bersamaan itu pula keenam teman baik mereka tiba dengan raut wajah cemas.
Miyoshi tertawa remeh, tersenyum merendahkan, "Kau ingin aku menjelaskannya? Apa otakmu yang dangkal itu mampu menangkapnya?"
Cengkeraman menguat, giginya mengatup penuh kemuakkan, "Cepat katakan bangsat! Aku sudah cukup muak mendengar ucapan sarkasmu ini! Sudahi basa-basimu dan jelaskan semuanya!"
"Kau ingin aku menjelaskan tentang apa lagi?" tanya Miyoshi yang masih bergeming di hadapan Hatano.
Diary [name] dilempar pada wajah Miyoshi, tak ada lagi yang namanya menahan diri, Hatano sudah lelah melakukannya.
"Akui saja, kau membunuh [name] 'kan? Kau terlalu terobsesi dengannya, cintamu pada [name] tak normal seperti yang dikatakan dalam buku hariannya," tukas Hatano.
Miyoshi tertawa bagai mendengarkan lelucon dari komedian ternama. Tawanya menggema, menimbulkan suasana mencekam, bayangan menutup sebagian wajahnya sampai ujung hidung, memperlihatkan seringaian eksentrik.
"Kau salah dalam satu hal, Hatano." Miyoshi mendorong pundak Hatano mundur selangkah hingga cengkeraman pada jasnya terlepas.
"Apa maksudmu?" tanya Hatano.
"Miyoshi, sadarlah! Kau sudah melangkah lebih jauh dari batas yang ada! Kalau kau semakin jauh lagi, kau takkan bisa kembali!" timpal Kaminaga.
"Aku memang tak berniat untuk kembali ke titik awal, Kaminaga. Kembali sama dengan sebuah kegagalan, tak cocok padaku," balas Miyoshi.
"Berhenti mengulur-ulur dan katakan apa maksudmu itu, brengsek!" Hatano mulai kehabisan kesabaran.
Seringaian yang memandang rendah lawan bicara tersebut diperlihatkan oleh Miyoshi, "Kau salah bahwa obsesiku ini semata-mata untuk [name] seorang."
"Cintaku terbagi dua- ya, dua." Kedua tangannya merentang seolah hendak minta dibebaskan.
Miyoshi menoleh, menjauhkan pandangan pada langit malam. Mengingini untuk dibalas berupa dicintai, Miyoshi mendambakannya.
"Inti dari penelitianku ini adalah keinginan untuk menghentikan rotasi bumi, menyelimuti kota kita ini dengan kegelapan malam hari yang indah!"
Terlalu tinggi.
Angan-angan Miyoshi jauh dari kata waras, sebuah kegilaan tingkat tinggi selevel menara Tokyo- mungkin jauh lebih tak tergapai lagi.
Ketujuh teman lainnya menganga tak percaya, jiwa Miyoshi tak lagi bisa diselamatkan.
"Kau ... gila, Miyoshi," ucap Amari.
Ini bukan kegilaan
Kau tidak mengerti bagaimana mempesonanya langit malam kala berbagai benda luar angkasa menghiasinya.
"Gila? Ini bagian dari seni, kecantikan yang hakiki sesungguhnya dari napas kehidupan, Amari. Kau tak mengerti itu," ujar Miyoshi lantang.
"Kau tak bisa melakukannya! Kau menyalahi napas kehidupan itu sendiri dasar sinting!" Hatano masih berteriak lantang kala yang lainnya telah terbungkam.
Miyoshi berdecih pelan, wajahnya tak memperlihatkan kesan berarti.
Kebencian melahap keseluruhan dari apa yang diandaikannya
Mimpinya yang tanpa batas
Satu-satunya hal yang berusaha mencurangi takdir
Kutuk mati dia
Dalam genggaman tangan-Nya
Rasanya seperti dikhianati tiga kali oleh orang-orang sekitarnya. [Name], Sakuma, dan sekarang teman-temannya terlalu menentang impiannya. Apakah memuja sesuatu adalah hal yang tabu untuk dilakukan manusia?
Selama ini, ia sangat memuja langit malam, melebihi apapun bahkan kekasihnya sendiri.
Ia tak segan untuk mencintainya selama napasnya belum ditarik oleh malaikat maut. Ia akan terus mengelu-elukan kecantikan sesungguhnya yang tak dapat dideskripsikan dengan persamaan lain.
"Kalian semua, Sakuma -san, bahkan [name] tak mengerti apapun. Terlalu menilai menggunakan mata, kalian bisa dibodohi tahu?" gumam Miyoshi.
"Miyoshi, jawab pertanyaanku. Kau yang membunuh [name]?" tanya Tazaki.
Miyoshi menutup matanya sejenak, kepala mendongak ke atas, menarik napas sedikit lebih dalam. Mengorek kembali kenangan sebelum ini.
"Hentikan ini semua, Miyoshi! Kau tahu hal itu tidak mungkin! Jika bumi berhenti berotasi, itu adalah akhir dari peradaban manusia di dunia ini!" [Name] berulang kali memaksakan pikirannya pada Miyoshi.
"Akhir dari bumi? Kau pikir apa yang akan terjadi saat bumi berhenti berotasi?" tanya Miyoshi.
"Ap-"
"Kau berpikir manusia akan terlempar ke sana kemari seperti peluru? Lautan-lautan akan terseret ke kutub dan menyebabkan banjir besar-besaran? Ataukah manusia-manusia yang mati terpanggang akibat dari sinar matahari abadi?" Miyoshi memotong ucapan [name] yang belum rampung.
[Name] membisu.
"Bayangan akan bagaimana nasib bumi saat berhentinya berotasi itu terlalu berlebihan, dear. Nyatanya, manusia pernah mengalami hal ini sebelumnya, jauh saat era Eksodus Bangsa Yahudi masih ada."
"Miyoshi ... ini sudah keterlaluan, kau harus membuka matamu bahwa Tuhan tak pernah mengkehendaki cintamu! Itu hanyalah hasrat sesaat!" Kaki [name] menghentak lantai dengan geram.
Kilat amarah muncul, Miyoshi berjalan maju dan menjepit rahang [name] dengan jemarinya, menekannya seakan berniat untuk menghancurkan rahang sang kekasih dengan asa.
"Kau yang rendahan ini menyebut bahwa cintaku pada kecantikan yang sebenarnya itu hanyalah hasrat? Omong kosong apalagi hm?"
"D-dear, kau harus melihat kenyataannya ...." [name] meringis pelan.
"Diam," Miyoshi meraih botol berisi obat untuk gangguan tidur berupa tablet, "kau tidak tahu apa-apa tapi berlagak tahu semuanya. Kau bukan lagi kecantikan yang kucari, kau sudah rusak."
"A-apa yang mau kau lakukan?!" [Name] bertanya dengan nada panik yang kentara.
"Kau tak menawan, aku tak membutuhkan sesuatu hal yang sudah rusak lagi sekarang." Miyoshi membuka paksa mulut [name], memaksanya menelan butir-butir pil tersebut dalam takaran berlebih.
[Name] tak mampu melepaskan diri, matanya menyipit sebelum akhirnya meregang nyawa ditangan kekasih yang dicintainya tersebut. Menutup cerita sepak terjangnya yang berusaha mengembalikan jiwa sehat Miyoshi.
"Kau benar-benar iblis brengsek, Miyoshi," Hatano mendaratkan tinju pada tulang pipi Miyoshi, "kupastikan kau akan membusuk di balik jeruji besi."
Hatano keluar, bersamaan dengan keenam pemuda lainnya. Ia meraih ponsel dan menelpon pihak kepolisian.
"Setidaknya kita bisa mengakhiri kegilaan Miyoshi," ucap Kaminaga pelan.
PRAKK!
Suara pecahan kaca tersebut mengejutkan mereka, lantas langsung membawa diri ke tempat suara berasal. Mereka mendapati kaca jendela yang pecah, bersamaan dengan menghilangnya eksistensi Miyoshi.
*.-.*
Sang pendosa berlari menjauh dari keramaian
Meninggalkan kehidupan lamanya
Mencari kebahagiaannya sendiri secara membabi buta ditengah sepertiga malam
Menuju pujaan hati yang menanti
Miyoshi kabur, mencari tempat di mana takkan ada orang yang menghalanginya, menjauh tanpa bisa digapai. Ponsel diraih dari saku celana, menghubungi seseorang yang mungkin dapat dipanggil sebagai teman saat ini.
"Halo?" Suara diseberang sana menyapa.
"Johan- san, ini aku. Sesuai rencana yang kuberitahukan padamu, sekarang aku sedang menuju tempatmu. Jangan hubungi nomor ini setelah telpon kututup," ucap Miyoshi.
"E-eh? Sekarang?" tanya Johan.
"Ya, sepertinya aku memang harus menjalankan rencana B." Miyoshi menatap bulan purnama dari balik kaca taksi yang ia kendarai.
"Baiklah, hati-hati di jalan, Miyoshi."
"Ya, akan kututup telponnya." Miyoshi memutuskan panggilan, melempar ponselnya ke samping jok.
Setengah jam berselang, Miyoshi tiba di kediaman Johan Bauer dan langsung menuju halaman belakang. Johan menyambutnya dari dalam helikopter yang terparkir, menganggukkan kepala seolah memberi tanda siap pada Miyoshi.
Tanpa membuang waktu lagi, Miyoshi melompat masuk ke dalam helikopter dan terbang pergi bersama Johan, meninggalkan kampung halamannya.
Keduanya terbang pada ketinggian 3427 meter. Miyoshi masih terus bergelut dalam pikirannya sendiri.
Pendosa besar
Diam.
Tak ada yang berada dipihakmu lagi sekarang
Diamlah.
Budak cinta
Diam.
Kebebalan, iblis merasuki jiwamu
DIAM.
Cinta semu berisikan hasrat tak mendasar
Miyoshi menjambak rambutnya sendiri, dihantui suara-suara yang sedari tadi terus berucap, hendak merobek gendang telinga hingga tuli permanen.
Ia menjerit tertahan, membuat Johan yang berada di sampingnya pun menatap khawatir.
"Miyoshi, ada apa?" tanyanya panik.
Bidak catur iblis yang tak berharga, sebentar lagi kau akan dilahap
Miyoshi menggeram, segala macam kutukan ia utarakan. Tangan terulur membuka pintu co-pilot, pupil biru Johan melebar sesaat.
"Apa yang hendak kau lakukan, Miyoshi?!" teriak Johan, ia tak bisa menghentikan Miyoshi sebab keduanya tengah berada diketinggian yang cukup untuk melayangkan nyawa mereka jika ceroboh.
Dan setelahnya kau hanya akan menjadi bagian dari sampah
"Aku bukan sampah, brengsek! Dasar rendahan yang tak punya nilai estetika, keparat sesungguhnya adalah kau!" jerit Miyoshi, rambutnya basah oleh kucuran keringat.
Ia tak tahan lagi, pintu membuka, angin berembus ribut menerpa tubuh. Ia tak lagi mendengarkan seluruh peringatan dan teriakan Johan, Miyoshi menulikan pendengarannya.
Ia meloncat keluar, membiarkan Johan yang berteriak memanggil namanya.
Gravitasi terus menariknya, Miyoshi menatap langit malam berbintang dengan penuh cinta, tangannya terulur seakan hendak merengkuhnya, namun tak bisa.
Terlalu jauh.
Terlalu tinggi.
Miyoshi melupakan bahwa dirinya berpijak pada bumi dan tentang kenyataan bahwa- setinggi apapun kau terbang sekalipun dengan sayap burung merpati, kau takkan pernah menjangkaunya.
Miyoshi memejamkan mata, tersenyum dalam kedamaian. Hatinya terlalu dipenuhi cinta, sekalipun abnormal ia tetap akan mencintai langit malam.
Sebab ia perwujudan dari kecantikan yang hakiki.
-FIN-
Total words: 3190
a/n.
Halo! Hampir aja telat ikut challenge-nya, save fiuh~
Kubuat dark romance dengan campuran gado-gado yaitu plot twist, riddle, crime, dan beberapa teori sci-fi. Judulnya sendiri kuambil dari bahasa esperanto yang berarti ketidakwarasan.
Aku sendiri membuat fict ini bagai orang kesurupan di tengah malam dengan 20% kerangka dan 80% sisanya hasil improvisasi.
Jujur ternyata aku butuh waktu lebih lama untuk menyusun kerangkanya, tapi langsung blank seketika saat mengetik, jadi aku mengetik sesuai kata hati sambil buka-tutup kbbi (mengecek apa sudah betul penulisannya).
Special thanks for Akabane_Yu alice_dreamland Panillalicious Natsu_Roku yang udah nyemangatin:'' huweee kucinta kaliannn
Dan makasih untuk mamah yang udah ngingetin mulu sampe serasa gak punya pilihan lain selain menulis Vessalius04 done ya hutang challenge-nya:''))
Diakhir kata
Thanks for reading!
Regard,
AoiKitahara♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top