8. MOS Hari Ketiga - III

Sesampainya di panti asuhan Cinta Kasih, kami segera turun dari bus.

Khusus untuk para murid yang memperoleh tanda tangan anggota OSIS di bawah 20 orang, termasuk aku, berhak mendapat hukuman mengangkat semua barang bawaan yang akan disumbangkan untuk anak panti.

Nggak peduli cewek maupun cowok, semua harus saling bantu angkat barang dan segera dimasukkan ke dalam aula panti yang fungsinya selain sebagai tempat pertemuan dan ruang tamu, aula ini juga digunakan sebagai tempat untuk kegiatan kunjungan dari pihak luar.

Setelah semua bawaan diturunkan dari tiga truk pengangkut barang, mataku langsung membulat sempurna. Ini sih bukan sumbangan biasa namanya, melainkan lebih pantas disebut pameran barang mewah.

Mulutku terbuka lebar, takjub akan apa yang terlihat di depanku. Baru kali ini aku lihat sumbangan yang segini banyak dan mewahnya.

Mataku masih meneliti dan menghitung barang apa aja yang keluar dari truk-truk itu. Di antaranya ada sofa, tv layar datar 50 inchi, radio, komputer, laptop, gitar, lemari, kipas angin besar, magic com, juicer, kulkas, AC, mesin cuci dan banyak lagi barang mewah lainnya.

Ck, ck, ck ..., begini ya jadinya kalau anak orang kaya lagi kumpul bareng, semua berlomba-lomba unjuk kekayaan.

Aku telusuri lagi satu per satu, sampai mataku hanya tertuju pada satu benda, handphone keluaran terbaru yang sering aku pelototi iklannya di televisi, yang harganya sampai puluhan juta rupiah. Aku mengambilnya dan hampir berteriak histeris, jangan sampai ini mulut kelepasan seperti cewek katrok.

"Ehm!" Ada suara cowok yang berdeham di depanku.

Aku baru sadar, ternyata dari tadi aku lagi senyam-senyum sendiri sambil memegang kotak handphone incaranku dan mengkhayalkan menjadi milikku, lalu aku pamerkan di depan Dara sepuasnya.

Huft ... memang kenyataan tak seindah khayalan. Hiks.

Masih sekitar jam sepuluh pagi, tapi sinar matahari kali ini memang tak bersahabat sama sekali. Sinarnya sangat terik dan panas.

Kulihat cowok itu berdiri mengangkat kotak besar yang ia letakkan di atas bahunya. Kotak sebesar itu, dengan mudahnya ia angkat sendiri tanpa bantuan siapa pun. Bajunya basah kuyup oleh keringat sehingga otot-otot di badannya tercetak jelas. Aku sempat melihat dada bidangnya yang kekar. Tiba-tiba otak kotorku melalang buana.

Andai aja, gue bisa menyentuhnya, merabanya....

Hey, apa perutnya juga six pack?

Apa boleh, gue liat dikiiit, aja? Mencium keringat yang bercampur parfumnya, pasti rasanya....

Aku tersenyum malu nggak bisa bayangin yang lebih jauh lagi. Tubuhku bergoyang ke kiri dan kanan dengan tampang bodoh. Kulanjutkan pandanganku agak ke bagian bawahnya lagi. Tapi, sebelum mata ini jatuh melihat bagian perutnya, ada dehaman lagi yang keluar dari mulut yang sama.

Aku tersentak, lalu beralih memandang tepat di wajahnya. Aku kaget setengah mampus, melihat siapa cowok yang ada di hadapanku. Dahinya berkerut kemudian tergantikan satu alisnya terangkat dan menatapku tajam.

"Lo melamun mesum ya?"
ASTAGA, mulutnya....

Aku gelagapan, nggak bisa berkutik.
"Ah, iya. T-tidak, kok. Mak, maksud gue, s-siapa bilang!" Kutabok bibirku, kenapa tiba-tiba nih mulut jadi kayak Mpok Atik.

Ia berdecak tak suka, "Bahkan mulut lo itu nggak sinkron sama wajah lo." Ia semakin tajam menatapku. Wajahku sudah merah padam seperti kepiting rebus. Duh, malunya!

"Sampai kapan lo mau berdiri di situ? Minggir!" Aku menepuk kedua pipiku dengan cepat agar warna merahnya kembali lagi seperti semula. Risiko punya wajah putih, ya gini, cepat sekali ketahuan berubahnya.

"Nggak usah pakai bentak segala, bisa nggak sih? Lo yang harusnya minggir. Lo kan cowok!" Aku berkacak pinggang, ikut berteriak.

"Enggak. Kalau gue cowok emang kenapa?" Minta ribut nih anak!

Cowok ini benar-benar membuatku marah. Baru kali ini ada cowok yang nggak mau mengalah sama cewek. Ingin rasanya kubanting tubuhnya sekarang juga, tapi apa daya, tubuhku terlalu kecil dihadapannya. Ini aja aku melotot sambil mendongak sampai leher ini rasanya mau copot.

"Kenapa, lo bilang?" Aku menggertakkan gigi geram. sengaja aku menatapnya dari bawah ke atas. "Oh, gue tau, emang lo dasarnya banci." Kutekankan kata banci untuk menyulut kemarahannya.

"Lo bilang apa? Lo nggak lihat seberapa besar barang yang gue angkat, hah?" Bagus. Ia mulai terpancing. Ini yang kuinginkan.

Beberapa murid yang ikut kena hukuman, sudah mulai berhenti dan melihat kami, bahkan semua yang sudah masuk ke dalam aula kembali keluar ketika mendengar ada keributan di luar.

"Enggak. Kalo gue lihat, emang kenapa?" Sengaja kubalik pertanyaan yang pernah ia lontarkan padaku.

Raut wajahnya berubah menjadi tegang, memerah menahan marah. Matanya menatapku sengit, menggeram pelan sebelum membuka mulut, "DASAR CEWEK MESUM, CEWEK KACANG ATOM. MINGGIR NGGAK LO!"

APA?? CEWEK MESUM? CEWEK KACANG ATOM?

Sebutan apa lagi, itu? Sialan, sialan, sialan, sialaaaaaan.

Emang brengsek, tuh cowok. Seumur-umur aku nggak pernah dapat dua panggilan selaknat itu. Aku benar-benar marah sekarang.

"Lo...!" Kutunjuk tepat di depan wajahnya.

"Apa lo?" tantangnya. Ingin rasanya kucakar wajah songongnya biar sampai bonyok.

Kutarik kedua lengan seragamku ke atas, bergaya kayak orang yang mau lagi berantem. Sebenarnya, aku mau aja disuruh minggir, dengan senang hati malah, asalkan sama cowok yang bicaranya lembut, ramah, nggak kayak cowok di depanku ini. Pedes!

Melihat aku yang nggak mau minggir dan malah menantangnya, ia semakin geram dan terpaksa menurunkan kotak besar itu.

"Lo dengar ini baik-baik. Lo itu banci, cowok brengsek, terkutuk, bajingan, mulut pohon cabe, bedebah, sok banget tau nggak, lo!" Aku berteriak kalap, memaki cowok terkampret di depanku dengan membabi buta, sekencang yang aku bisa. Ingin rasanya aku mencari kapak dan memenggal kepalanya.

Ia menggeram kesal, memejamkan matanya lalu membukanya kembali. Wajah songongnya terlihat mati-matian menahan amarah, urat-urat di pelipisnya sampai menonjol keluar.

"Lo—"

"Apa lo?"

"Apa lo?

Kami sama-sama saling adu mulut, saling melemparkan death glare. Kemudian datanglah beberapa OSIS termasuk Kak Kevan yang melerai kami, memaksa kami untuk masuk ke dalam, dan terpaksa sisa barang yang belum dimasukkan ke dalam aula, akhirnya diserah tugaskan kepada sopir truk dan dibantu beberapa pengurus panti.

***
Sebelum acara inti dimulai, tanganku ditarik paksa oleh Dara dan Tomi ke taman kecil di belakang panti.

"Ada masalah apa lo sama dia?" tanya Tomi dan Dara bersamaan.

"Lo ngapain berurusan sama dia, sih?" tanya Tomi, frustrasi.

"Lo kenapa nggak bilang sama gue, kalo dia juga ikut dihukum, Frel?" tanya Dara.

Baru aja nih mulut mau jawab, mereka berdua sudah sahut-sahutan sambil berjalan mondar-mandir di depanku kayak setrikaan.

"Ngapain lagi, main sinetron sama dia di panti! Memalukan," ucap Tomi, berjalan ke arah kanan.

"Astaga Freeeeeeeel, lo kenapa milih berantem sama dia, Freeeeel?" tanya Dara, geregetan, berjalan ke arah kiri, berlawanan arah dengan Tomi.

"Lo ngapain cari masalah sama dia? Emang lo kenal sama dia?" Kini giliran Tomi bertanya tanpa memandangku dan mengacak rambutnya, berjalan balik ke kiri.

"Lo curang Frel. Lo mencuri start dari gue." Berjalan balik ke kanan.

"Mulai sekarang, lo harus jauhi dia!" perintah Tomi, balik ke kanan lagi.

"Dia itu cowok idaman gue, Freeel. Kenn. Lo denger, Frel? Cowok itu namanya Kenn. Kenn Alvaro Pratama. Cowok terkeren sepanjang masa. Sejagat Raya. Seluruh dunia. Se—"

"STOP!" potongku. Kuputar bola mataku, malas. Dasar lebay. "Kalian berdua bisa diam nggak, sih. Nyerocos terus kayak tawon. Ini kuping gue panas, tau nggak."

Enak aja nyeret aku ke sini cuma buat dengerin ocehan mereka berdua. Bukannya khawatir kondisiku gimana, malah marah-marah nggak jelas.

Ck, apalagi Dara. Tuh anak dari dulu lebaynya nggak hilang-hilang.

"Dan lo, Ra, gue udah tau itu cowok namanya Kenn. Nggak perlu diulang-ulang, deh. Lagian, kalian nggak ngerti kan gimana rasanya jadi gue. Tuh cowok omongannya pedas banget, persis kayak pohon cabe. Entah berapa banyak cabe yang ia telan dalam sekali makan."

"Emang Kenn ngomong apa sama lo?" tanya Dara. Wajar aja mereka nggak tahu, karena mereka baru menonton pertunjukan kami setelah dua sebutan itu meluncur dari mulut Kenn.

"Emm, i-itu." Aku sebutin nggak ya? Masalahnya dua anak ini juga sama sableng kayak Kak Alvin dan Kak Ari. Sikap Tomi malah lebih gila dari Dara, jika menyangkut tentangku.

Tiba-tiba aku mengingat kembali sebutan cowok brengsek itu lagi. Kepalaku rasanya ingin meledak, kemarahanku datang kembali. Rasanya belum puas jika ini tangan, belum mencekik lehernya dan membuangnya ke laut.

Dara berkacak pinggang dan melotot seperti bola pimpong. Sedangkan, Tomi menatapku penuh selidik.

"Ok, gue ngomong. Dia itu benar-benar cowok brengsek. Baru kali ini gue dengar sebutan selaknat ini. Terkutuklah mulutnya. Masa gue dibilang cewek m-mesum, sama kayak k-kacang atom." Aku gelagapan ketika mau menyebut dua sebutan itu yang benar-benar memalukan.

Aneh, kenapa mereka berdua malah melongo?

1 detik

2 detik

3 detik

"Bwahahahahahahahaha ... hwahahahahahahahaha ... hahahahaha...."

Asli, wajahku sekarang pasti seperti cewek idiot.

Cengo.

Mereka berdua ketawa ngakak, kencang banget.

BUGH!

"Auw, sakit."

BUGH!

"Adow."

Sepasang sepatuku mendarat sukses di kepala mereka berdua.
Dasar teman kurang ajar!

Kuambil tongkat kayu yang bersender di sebuah pohon mangga dan kuarahkan ke mereka berdua.
Seketika mereka berlari tunggang langgang, kabur entah ke mana. Persis kayak orang yang lagi dikejar setan.
SIIIIIIIIIIAAAAAAAALLLL!

..........................***............................
Ditunggu commentnya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top