6. MOS Hari Ketiga
Ada nggak yang sesial aku hari ini?
Gara-gara tantangan bodoh itu, semalaman aku nggak bisa tidur, hanya sibuk memikirkan kalimat apa yang cocok kugunakan untuk merayu Kak Kevan besok. Akhirnya, hari ini, aku fix telat.
Nggak tanggung-tanggung, telatku sudah melewati batas wajar. Hampir 1 jam. Bahkan, semua murid sudah bubar 10 menit yang lalu.
Kalian mau tahu, aku sekarang ada di mana?
Aku sekarang berada di ruang OSIS dan dikepung mereka semua, berjumlah 35 anggota OSIS, lengkap.
Di depanku, ada Kak Farah yang berkacak pinggang, gayanya seperti mau ngajak berantem.
"Lo sengaja ya, mentang-mentang hari ini, hari terakhir acara MOS, lo mau buat sensasi datang semaumu, hah!"
Cara bicaranya sudah nggak seformal seperti kemarin-kemarin. Sudah pakai elo, gue, sama kayak Kak Alvin dan Kak Ari. Lalu, matanya melirik ke arah kalungku yang berbahan tali rafia ini.
Wajahku langsung pias, habislah aku!
Matanya melotot. "Elo kemanain, kerupuk uyelnya? Kok, tinggal 2?"
Mak lampir ini, matanya benar-benar awas!
Aku gelagapan. "Ee ... i-itu, Kak, yang 2 aku makan saat di perjalanan tadi, aku ... bangun kesiangan, dan belum sempat sarapan, Kak."
Tiba-tiba matanya terbelalak kaget, dan mulutnya terbuka lebar. Kulihat ada beberapa dari mereka yang frontal tertawa, terkikik geli, melongo, dan ada juga beberapa cewek yang menatapku semakin tajam, setajam silet.
Semalam di rumah cuma ada aku. Kakek dan nenek sudah memberiku pesan, kalau malam ini mereka akan menginap di rumah teman yang sedang sakit parah. Tapi sayangnya, wekerku nggak mau berbunyi di saat yang tepat. Saat aku periksa ternyata battery habis total. Aku sukses bangun kesiangan.
Setelah mandi kilat, aku segera berangkat. Tapi sialnya, aku harus berlari kencang mengejar angkot yang kata sopirnya, ia nggak lihat kalau ada orang di halte. Memangnya, aku dikira jin?
Perutku mulai keroncongan, terpaksa di dalam angkot kumakan 2 kerupuk uyel putih yang menggantung di leherku. Toh, kerupuknya tiap hari selalu kuganti. Masih bersih dan aman. Kan sayang, kerupuk uyel itu harusnya buat dimakan bareng sama gado-gado, bukan malah digantungin aja di leher buat acara beginian.
"Elo tuh, ya!" ucap Kak Farah, geram.
Ketika kedua tangannya berniat akan mencekikku, tangannya segera ditahan Kak Kevan. Kak Farah seketika menurunkan kedua tangan dan emosinya, berubah tersenyum genit ala tante-tante yang ada di emperan. Huek.
"Biar gue yang kasih hukuman," ucap Kak Alvin, mengambil alih.
Dengan santai ia menarik pergelangan tanganku dan mengajakku ke tengah lapangan. Ia mengambil mic dan menyerukan agar semua murid segera berkumpul di lapangan sekarang juga.
"Ada teman kalian yang terlambat sekolah hampir 1 jam. Dan untuk kali ini, hukuman yang pantas buatnya akan dipersembahkan untuk kalian semua."
Suara tepuk tangan dan sorakan terdengar riuh dari semua murid yang ada di sana.
Kemudian ia berbisik di telingaku, "Gue harap lo masih ingat tantangan kita kemaren. Dan, sekarang saatnya."
Mampus!
Kak Alvin kembali bersuara, "Kalian akan terkejut, karena tidak hanya teman kalian ini saja yang ikut berperan, melainkan pemeran utama kita adalah Ketua OSIS kita sendiri."
Seketika suara riuh siswi cewek berteriak histeris begitu melihat Kak Kevan berjalan memasuki lapangan. Ia mengambil napas sejenak sebelum meraih mic. Ia menoleh ke arahku, memandang lembut seakan-akan mengatakan semua akan baik-baik aja.
"Saya sebenarnya tidak pernah ingin terlibat dalam hal menghukum seseorang, saya lebih memilih memberikan tugas untuk mereka yang lebih mendidik." Semua diam, menunggu kelanjutan dari Kak Kevan. "Tanpa sepengetahuan saya, wakil saya sendiri telah membuat keputusan secara sepihak. Dan saya putuskan, hukuman ini sudah tidak berlaku lagi."
Huuuuuuuuuuuuuu ... sontak semua murid berseru, menolak.
Amaaaaaaaann ... aman. Aku mengelus dada beberapa kali. Seakan batu besar terangkat dari bahuku. Tapi, ketika aku melirik Kak Alvin, senyum miringnya menunjukkan betapa pengecutnya aku. Aku buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahku.
Sebelum mengambil keputusan, aku menghela napas panjang. Aku segera mendongak dan menghampiri Kak Kevan, memantapkan keputusanku dan berbicara di depan mereka semua.
"Kamu yakin?" tanya Kak Kevan.
Aku tersenyum sembari mengangguk yakin.
Kuraih mic pemberiannya. Kusapu pandangan ke seluruh murid yang ada di depanku. "Maafkan saya. Karena saya yang salah, saya akan terima hukumannya."
Preet! Hukuman apaan? Bukannya ini tentang kesepakatan konyol itu, dan untungnya, hanya kita berempat yang tahu.
Riuh suara tepuk tangan terdengar kembali. Busyet dah! Ada orang mau dapat hukuman, malah dikasih tepuk tangan, ck, ck, ck....
Ok, puas-puasin deh kalian. Setelah tahu hukuman apa yang aku maksud, dijamin kalian para cewek pasti mewek berjamaah, hahaha....
Aku berusaha mengingat-ingat kalimat apa yang sudah aku rangkai semalam. Aku berpikir keras, alisku sampai berkerut berkali-kali lipat.
Shit!
Aku baru ingat, semalaman aku sudah menghabiskan berpuluh-puluh kertas untuk merangkai kata yang indah, bukannya jadi karya yang indah, malah jadi seperti rayuan cewek genit yang malu-malu nista.
Ujung-ujungnya semua kertas nasibnya berakhir di tong sampah. Aaaaarrrrrrggh!
Apa yang harus aku perbuat sekarang?
Tiba-tiba aku dilanda kecemasan yang luar biasa. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi, pipi, bahkan di belakang leherku. Wajahku memerah, aku menggigit bibirku, biarlah, sampai jontor pun aku rela.
"Wooyy, sampai kapan berdiri terus?! Panas, woyy, panas."
Tomi sialaaaaan. Dasar setan alas!
"Cepetan dong, panas nih," keluh salah satu cewek dan disetujui yang lainnya.
Aku berdeham sekali lagi. Ayo dong, mikir, mikir! Ke mana nih, otak. Aduh, duh, duuuh, kenapa kakiku ikut gemetaran, gini?
Mataku menari ke sana kemari untuk mencari bala bantuan dari wajah asing yang berada di depanku. Beberapa dari wajah itu ternyata sudah aku kenal, teman-teman satu sekolah di SMP-ku dulu. Tapi, hanya 2 orang yang akrab denganku, siapa lagi kalau bukan Tomi dan Dara.
Ah, iya, Dara! Kenapa baru terpikir sekarang?
Aku mencari sosok itu, ternyata nggak jauh dari tempatku berdiri. Aku menoleh ke arahnya yang berada di depan, baris pertama sebelah kanan. Ia menangkap sinyal daruratku, tapi ia malah menggeleng dan mengedikkan bahu, bertanya balik tanpa suara.
Oh, Tuhan! Kenapa aku benar-benar bodoh, Dara kan belum tahu tantangan konyol ini.
Bodoh, bodoh, bodoh!
Aku menarik napas panjang. Suasana saat ini benar-benar sunyi senyap karena mereka semua sedang menantikanku untuk membuka suara. Kualihkan tatapanku ke arah Kak Kevan. Tepat di sana, cowok yang mempunyai mata sayu dan indah. Kutatap mata itu, mata yang sekarang juga menatapku.
Tiba-tiba ilham datang di kepalaku. "Emm ... baiklah. Begini." Tanpa sadar aku sudah berjalan maju mendekati Kak Kevan. Aku mendongak, dan tatapanku tak pernah lepas darinya. Ia masih berdiri di tempat yang sama. Menatapku.
"Kak Kevan tau, pertama kali aku melihat mata Kakak, aku merasakan beribu-ribu kenyamanan dan ketenangan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya.
"Entah kenapa, saat melihat senyum Kakak, serasa ada sesuatu yang hangat mengaliri dadaku, namun juga luar biasa membuatku senang, Kak. Bahkan, aku merasa ikut bahagia ketika melihat tawa Kakak.
"Mungkin ini aneh, tapi, emm ... aku merasa kita sudah lama saling mengenal, Kak. Seperti déjà vu.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Kak? Siapa tau di kehidupan yang lain atau jangan-jangan di kehidupan yang akan datang? Hehehe ... Ehm, tapi, kuharap bukan hanya aku sendiri yang merasakannya, melainkan ... Kak Kevan juga."
Aku menajamkan mata indra pendengaranku, tak satu pun ada suara. Sepi.
Apa mereka terkesima? Atau, akan mengejek dan menertawakanku?
Aku nggak berani menoleh sedikit pun. Rasanya kepala ini susah digerakkan. Terlintas dipikiranku ingin mengetahui apa yang dipikirkan Kak Kevan saat ini.
Aku menatapnya penuh selidik.
Ekspresinya seperti orang yang sedang kaget dan tegang. Tatapannya seperti ... ah, susah sekali untuk menebak raut wajah seseorang. Sepertinya aku harus menyelesaikan ini semua, sebelum aku pingsan karena malu.
Aku meringis lebar. "Kak, pasti akan sangat menyenangkan menghabiskan liburan akhir pekan nanti bersama-sama. Kak Kevan mau, kan?" Kak Kevan menatapku bingung, ketika kuarahkan mic kepadanya.
Namun sedetik kemudian, ia tergelak pelan, dan segera menjawab, "Ya. Akhir pekan nanti, aku akan menjemputmu." Jawab Kak Kevan, tersenyum tulus.
Hah? Aku nggak salah dengar, kan? Ini bukan mimpi di siang bolong, kan?
Dengan mata yang berbinar-binar aku memandangnya. "Benar, Kak?" Tanyaku sekali lagi, untuk memastikan.
Kak Kevan mengangguk sambil tersenyum geli.
"Yeayyyy...." Aku bersorak kegirangan, melompat-lompat di tempat dan memutar tubuhku seperti anak kecil.
Ups!
Aku langsung berhenti melompat dan menciut ketika semua cewek menatapku tajam, seakan-akan ingin menerkamku saat ini juga.
.........................***.............................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top