41. Bully

Huffftt ... bab ini benar-benar menyita waktuku. Susah sekali ternyata menghayalkan penindasan lalu menuangkannya ke sebuah tulisan.

Bab ini aku buat khusus untuk RismaWaty227 pembaca pertamaku yang aku janjikan bab bully dari awal-awal bab heheeee.... Makasih ris masih setia terus sampai sekarang hihiii😍

Oh, ya, aku punya cerita baru yang berjudul Salahkah bila Aku Mencintaimu?

Kalau yang belum mampir, disempatin mampir ya, siapa tau suka, modus promosi wkwk😂

Ok selamat membaca😊

.............................***...............................

Jika tidak ada guru, di mana-mana yang namanya ruang kelas, ujung-ujungnya pasti ramai. Ada aja bahan untuk omongan. Seperti halnya kelas X-1.

Kata Rafa, selaku ketua kelas X-1, pelajaran ekonomi hari ini kosong. Itu disebabkan karena Pak Eko sedang sakit. Tugasnya kali ini harus membuat pertanyaan yang berhubungan dengan bab ketiga, lalu diberikan jawaban sendiri menurut cara pandang kita masing-masing.

"Hahaha ... ini sih gampang. Pertanyaan tergantung kita, kan? Kita sendiri yang disuruh buat pertanyaan, kan?" sesumbar Udin seraya tertawa keras.

"Gaya lo, Din! Emang lo mau bikin pertanyaan apa?" sahut Andika menimpali.

"Lo kayak nggak tau Udin aja, Dik. Palingan yang dibuat pertanyaan nggak jauh-jauh sama perdagangan sepatunya. Terus entar diselipin tuh, bagian paling bawah kertasnya, alamat pabriknya sendiri," seloroh Daniel yang kini sudah duduk di sebelah Udin.

"Ya kan, nggak apa-apa. Hitung-hitung sambil promosi, gitu," jawab Udin cengengesan sembari menggaruk kepalanya. Kontan ruang kelas menjadi lebih gaduh karena ledakan tawa kami begitu mendengar kelakar Daniel dan Udin.

Keluarga Udin memang tergolong kaya. Orang tuanya mempunyai beberapa pabrik sepatu berhak tinggi yang saat ini sedang digemari oleh wanita karier. Aku juga baru tahu, kenapa Udin selama ini sangat takut sama Dara. Alasannya karena butik Mamanya Dara selain menjual beraneka macam baju terkenal dan bermerek, beliau juga menjual sepatu yang ternyata pesannya dari pabrik orang tuanya Udin.

Seperti beberapa hari yang lalu, setelah Dara mengetahui siapa Kenn yang sebenarnya, besoknya tanpa aba-aba ia langsung memerintah Udin untuk bertukar tempat kembali. Tanpa perlawanan Udin mengangguk patuh ketika Dara mengancam butik mamanya nggak akan lagi bekerja sama dengan pabriknya jika aja dia berani membantah. Hahaha ... ada-ada aja Dara.

"Udah-udah. Sekarang buka buku bab ketiga tentang perbedaan antara perusahaan dagang dan perusahaan jasa," ucap Rafa tegas dengan suara yang agak ditinggikan, hingga sukses membuat seisi kelas diam dan mematuhinya.

***
"Waktu udah habis. Sekarang kumpulkan semua di atas meja guru." Rafa beranjak maju ke depan dan menaruh buku tugasnya terlebih dahulu.

Melihat waktu yang sebentar lagi akan berganti dengan jam pelajaran berikutnya, Rafa akhirnya berteriak dan memerintahkan kami semua untuk segera mengumpulkan tugas ekonomi. Ia lalu beralih menatap daftar urutan nama para siswa di sebuah lembaran kertas yang tertempel di samping papan tulis. Daftar tersebut berguna untuk melihat siapa aja yang bertugas membantu para guru di jam pelajaran mereka setiap hari.

"Hari ini yang bertugas mengumpulkan tugas ekonomi ke meja kantor Pak Eko adalah Frela Lidiana Putri," ucap Rafa terdengar sampai di telingaku. Tapi seperti biasa, aku tak bergerak sedikit pun jika ada yang memanggilku dengan nama lengkapku.

"Raf, lo kayak nggak tau Frel aja. Sampai mulut lo berbusa, nggak bakalan tuh si Frel mau dipanggil nama lengkapnya," celetuk Maya sambil menatapku sinis.

Semua terdiam, aku pun malas menanggapi perkataan Maya. Terserah mereka mau berpikir apa tentangku. Yang jelas aku tak akan merubah keputusanku untuk membenci nama itu.

"Sorry, gue lupa. Ya udah, Frel bawa semua ini ke kantor, ya," ucap Rafa.

Aku mengangguk lalu kutolehkan kepalaku ke belakang, memberi isyarat pada Kenn agar mengikutiku. Meski nggak ada tanda ia menyetujui permintaanku, toh ia tetap berdiri dan menuruti semua keinginanku.

Lihat ini, dengan cekatannya ia langsung mengambil setengah lebih buku tugas dari tanganku, sementara para cewek yang lainnya melongo tak berkutik menyaksikan kejadian langka ini.

Kami berjalan keluar kelas beriringan. Di sepanjang jalan menuju kantor guru, hanya suara langkah kami yang terdengar. Aku diam-diam tersenyum, rasanya ingin sekali tertawa setiap kali teringat reaksi berlebihan para cewek waktu melihat Kenn berubah drastis padaku.

Semua sudah tahu, bagaimana hubunganku selama ini dengan Kenn. Bagaikan kucing dan tikus, kami selalu aja bertengkar tiap ada kesempatan. Tidak pernah akur satu sama lain. Wajar aja mereka heran melihat kami tiba-tiba rukun. Tapi tetap aja respons mereka terlalu berlebihan, kurasa.

Ketika kami sudah berdiri tepat diambang pintu ruang kantor guru, tahu-tahu Kenn melarangku untuk masuk. "Lo duluan."

"Kenapa? Kan, tinggal beberapa langkah lagi kita masuk?"

"Gue ada urusan sama Pak Ahmad. Buku yang lo pegang, biar gue aja yang bawa."

Aku mengedikkan bahuku. "Ya udah terserah lo."

Aku berbalik menuju kelas. Agak jauh juga jarak antara gedung kantor guru dengan gedung para siswa. Aku harus menyeberangi lapangan basket, lalu Ruang UKS, ruangan khusus untuk budi daya jamur tiram, baru sampai di gedung utama belajar mengajar.

Sepi. Mungkin semua siswa sedang mengikuti pelajaran di kelasnya masing-masing. Kulangkahkan kakiku santai sambil sesekali kuangkat kaki kiriku dan melompat kecil di lantai keramik kotak-kotak di depanku. Mumpung nggak ada yang lihat, sekali-kali boleh dong bernostalgia dengan permainan semasa kecilku.

Kaki kiri angkat, kaki kanan melompat. Lompat, lompat, kemudian kedua kaki mendarat ke lantai. Hap! Lagi. Lompat, lompat, hap. Lompat, lompat, hmppp....

Ya, ya, ya ... tangan siapa ini? Kenapa mulut gue dibekap?

Aku memekik panik dengan suara tak jelas, terdengar seperti orang lagi berkumur-kumur.

"Diem lo!" bisiknya tajam tepat di telingku.

Kutarik sekuat tenaga tangan kekar yang membekap mulutku. Namun seketika itu juga tangan kananku dipelintir ke belakang. Aku terus meronta-ronta saat tubuhku ditarik ke belakang secara paksa oleh seseorang yang tak kukenal sama sekali.

Mendadak aku teringat kejadian seperti ini beberapa tahun lalu. Peristiwa itu terus-menerus berkelebat di benakku. Sial!

Untung aja mataku tidak ditutup seperti di film-film. Aku terkekeh dalam hati, dalam keadaan genting gini, otakku masih aja berpikir yang bukan-bukan. Tapi, apa salahnya?! Ini membuktikan bahwa mereka hanya penjahat amatir yang tak selihai di dunia perfilman.

Aku dibawa ke belakang gudang sekolah. Tiba-tiba aku teringat Kak Ari pernah bercerita tentang aksi Kak Farah yang mem-bully tepat di belakang gudang. Mungkin tempat ini yang dimaksud Kak Ari.

Kini mulutku sudah tidak dibekap lagi namun kedua tanganku ditarik ke belakang dengan kuat. Aku memutar kepalaku sedikit ke samping. Damn! Aku melihat dua cowok berandal yang pernah kutemui di dekat toilet, berjalan bersisian di dekat cowok yang menarik tanganku. Sudah bisa dipastikan cowok yang tepat di belakangku ini pasti pemimpinnya.

Ternyata di tempat ini, bukan hanya kami berempat. Ada tiga cewek lagi yang tengah berdiri menanti kedatangan kami. Dari gelagatnya, aku yakin merekalah yang memerintahkan ketiga cowok berandal ini.

"Well, akhirnya lo datang juga pendek." Persis sesuai dugaanku. Kak Farah-lah dalangnya.

Kami berhenti tepat di depan Kak Farah. Aku hanya bergeming sambil mengamati keadaan. Aku sudah menduga sebelumnya, cepat atau lambat Kak Farah pasti akan menindasku.

"Woaah, gue sedikit kagum liat reaksi lo. Dari sekian banyak cewek yang gue bawa ke sini, cuma lo doang yang bersikap tenang kayak gini." Kak Farah bertepuk tangan sambil tersenyum. Senyuman menjijikkan. Cih! "Coba kita liat, sejauh mana keberanian yang lo punya."

Bukannya aku tidak takut, kalau boleh jujur sejak mulutku dibekap tadi, lututku serasa gemetar tak karuan. Bukan hanya sekali dua kali aku menerima perlakuan seperti ini. Di sekolahku yang dulu-dulu, sering kali aku di-bully, penyebabnya selalu sama, karena aku ini dari keluarga kurang mampu dan tak pantas bergaul dengan mereka, atau karena aku yang selalu gencar menarik perhatian cowok incaran mereka. Tapi sungguh sayang, mereka tidak pernah bisa semudah itu melawanku. Aku selalu mempunyai seribu cara untuk membalas kelakuan mereka terhadapku.

Kak Farah semakin mendekatiku. Tangannya mengangkat daguku. "Gue denger, lo berhasil ngajak kencan Kevan?"

"Kenapa? Lo ngiri ya nggak bisa kayak gue?" Aku tersenyum mengejeknya.

Selanjutnya ia membuang wajahku kasar. Lalu sedetik kemudian, ia beralih menjambak rambutku ke belakang hingga membuat kepalaku tertarik ke atas.

"Akh!" Aku menjerit keras. Ubun-ubunku berdenyut hebat, rasanya sakit sekali.

"Lo bilang apa, hah? Ngiri lo bilang?" Ia semakin menarik rambutku dengan kuat hingga membuat rasa sakitnya berkali-kali lipat di kepalaku. "Gue nggak sudi iri sama cewek miskin kayak lo. Asal lo tau, derajat lo jauh di bawah Kevan. Jadi, jangan sok kecentilan. Lo itu nggak pantas sama Kevan. Yang lebih pantas buat dia, cuma GUE!"

Aku menarik napas panjang, mencoba tenang. Aku melawan pun nggak ada gunanya. Sedari tadi aku sudah mencoba melepaskan kedua tanganku dari cekalan cowok brengsek di belakangku, tapi selalu gagal.

Aku tidak boleh marah, aku harus tenang dan mengikuti alurnya. Jalan satu-satunya hanya memancing kemarahannya dan mencari celah untuk membalasnya. "Benarkah? Kalau gue nggak pantas, lantas kenapa Kak Kevan mau kencan sama gue, ya?"

Ia melotot ke arahku sedangkan yang lainnya terus aja mengoceh, mendukung Kak Farah untuk menyiksaku. "Lo bener-bener bosan hidup, hah! Gue nggak bakalan lepasin lo. Gue bakalan nyiksa lo sampai mengucap ampun ke gue."

"Gue nggak takut. Kalian denger semua, GUE NGGAK TAKUT!"

"Woooww ... di saat seperti ini lo nantangin gue? Nyali lo besar juga, ternyata." Ia menoleh ke salah satu anak buahnya, dan seketika itu ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Jus jeruk di dalam cup plastik transparan. "Oh? Gue rasa lo perlu mandi agar lo terlihat cantik di depan Kevan nanti."

Kak Farah mengguyur jus jeruk itu dari atas kepalaku. Aku berusaha memberontak namun apa daya, tanganku bahkan semakin ditekan membuatku tak bisa berkutik. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku menghindarinya, tapi tetap aja tak terelakkan.

Semuanya tertawa membahana, tak terkecuali Kak Farah. Mereka terlihat menikmati sekali menyiksaku. Rasa lengket dan dingin menerpa rambut dan kulit kepalaku, lalu meluncur turun ke seragam sekolahku. Shit! Akan teramat sulit mencuci nodanya.

"Gimana, nyerah? Atau, mau melawan gue lagi, hm?"

"Lo pengecut!"

PLAAKK

Kak Farah menamparku keras. Rasa panas menjalar di pipiku. Brengsek, beraninya dia menamparku. Aku benar-benar akan membunuhnya nanti.

"Jangan pernah bilang gue pengecut!" katanya dengan marah.

Udah tau pengecut, tapi nggak mau dibilang pengecut. Dasar bodoh!

"Lo pengecut. Lo itu cuma beraninya main keroyokan. Apa ini? 1 lawan 6? Apa kalian bertiga nggak sanggup lawan gue sampai-sampai minta bantuan tenaga cowok, hah?"

PLAAAK

Kak Farah kembali menamparku. Lebih keras lagi. Perih. Aku mencecap rasa asin di mulutku. Tamparan itu membuat ujung bibirku berdarah. Kak Farah mundur beberapa langkah untuk menikmati kondisiku. Ia memainkan ujung rambutnya sambil tertawa kencang dan disambung oleh tawa yang lainnya.

Mataku melotot. "Lo berani nampar gue lagi? Brengsek. Gue balas lo, gue bunuh lo sekarang juga. LEPASIN GUE! Pengecut lo, Farah."

"Dasar adik kelas kurang ajar. Panggil gue Kak!"

"Cih. Lo nggak pantas dipanggil Kak. Lo pantasnya dipanggil JALANG!"

"APA LO BILANG?"

"GUE BILANG LO JALANG! Apa lo? Sini kalo berani."

Ia menatapku terkejut, lalu setelahnya ia kembali mendekatiku. Saat ia berada tepat di depanku dan hendak menamparku lagi, aku lebih dulu menendang betisnya dengan tenaga penuh. Ia membungkuk, mengaduh dan berteriak kesakitan. Kulihat anak buahnya yang lain berusaha membantunya.

Aku menyeringai iblis. Ini baru permulaan pembalasanku!

"Lo punya senjata lain buat nyiksa cewek ini, Far?" tanya si pemimpin cowok sambil mempererat kedua tanganku. Semakin aku berusaha melawan, tanganku semakin ngilu dan kram.

Pertanyaan dari cowok barusan, membuat Kak Farah kontan menegakkan tubuhnya. Ia berusaha sedikit tenang. Ia tersenyum miring, lalu detik berikutnya ia memberikan aba-aba pada kedua cowok yang lain dengan gerakan tangannya untuk memegangi kedua kakiku. Aku berusaha memberontak untuk melepaskan diri namun usahaku sia-sia belaka.

Kak Farah mendekatiku dan menyambar kerah seragamku dan menatapku tajam. Aku balas menatapnya tak kalah tajam. "Lo bakalan nyesel berhadapan sama gue."

Ia lalu bertepuk tangan dua kali, seketika cewek di belakangnya maju dan memberikan sebuah kotak persegi berwarna hitam. Kak Farah meraih kotak tersebut.

"Mungkin, gue perlu kasih pelajaran lo sekali lagi," katanya. Ia tersenyum lembut tapi sangat memuakkan buatku. Jari telunjuknya membentuk pola lingkaran di atas kotak itu. "Lo tau di dalam kotak ini isinya apa?"

Aku mendengus. Aku harap di dalamnya terdapat ular kobra dan langsung mematuknya saat kotak itu terbuka!

"Lepaskan dia!" perintahnya. Segera setelah Kak Farah memberikan aba-aba perintah, kedua cowok yang mengunci kakiku langsung melepaskan tangannya.

"Gue akan kasih pelajaran yang nggak bisa lo lupain seumur hidup lo," katanya sambil menyeringai kejam. "Lo liat ini?"

Kaget. Itu yang muncul pertama kali melihatnya. Mataku membulat begitu mengetahui benda apa yang dipegang Kak Farah.

Sebuah plastik transparan yang di dalamnya terdapat kumpulan hewan kecil yang sangat menjijikkan. Bentuk tubuhnya oval dan pipih. Warnanya cokelat kehitaman dan biasanya kita temukan di daerah lembap dan kotor. Sontak aku langsung teringat kejadian tadi pagi saat aku akan membuang sampah, hewan jorok itu menyembul dibalik sisa makanan yang sudah dibuang.

Tiba-tiba tubuhku menegang, perutku bergemuruh dan rasanya ingin mual mendadak. Kaki dan bibirku sudah bergetar hebat. Tak pernah terpikirkan olehku, hewan yang selama ini masuk ke dalam daftar kategori paling aku jauhi, kini menjadi alat mereka untuk menakut-nakutiku. Ini sudah sangat keterlaluan.

"Gimana? Lo pasti sangat senang lihat hadiah apa yang gue pegang ini, kan? Ini gue pesan khusus buat lo," ucapnya sembari tersenyum jahat dan menggoyang-goyangkan plastik yang ia pegang.

Aku refleks mundur tapi tubuhku dihadang dari belakang. Aku didorong semakin maju mendekati Kak Farah. Aku menghadapi jalan buntu. Aku berteriak minta tolong pun akan percuma, gudang ini tempatnya memang paling belakang dan jauh dari gedung utama. Mustahil jika ada orang yang datang ke sini atau sekadar lewat, di belakang gudang ini tidak ada apa-apa kecuali tembok tinggi menjulang untuk pembatas area sekolah.

"Oh? Liat, siapa tadi yang dengan sombongnya bilang nggak takut pada kita? Mana keberanian lo tadi? Manaaaa?" Mereka semua tertawa merendahkanku. Aku benar-benar muak pada mereka. "Gue peringatkan sekali lagi. JAUHI KEVAN! Atau, gue dengan senang hati akan melepas kecoak-kecoak ini dan memasukkan ke dalam seragam lo, hahahaha...."

"Kalian brengsek! Pengecut! Kelakuan kalian menjijikkan sama seperti kecoak di depan kalian. Kalian dengar, kalian menjijikkan!" teriakku kencang.

"Kurang ajar! Berani-beraninya—"

Sebelum Kak Farah menyelesaikan kalimatnya, kakiku sudah terlebih dahulu terayun ke belakang dan menendang tepat di tulang kering cowok sialan yang mengunci tanganku. Serta merta tanganku terbebas dari cekalan tangannya. Cowok itu spontan mundur ke belakang dan berteriak kesakitan. Ia berkali-kali memakiku dan mengumpat kasar sambil memegangi kakinya.

Tak tinggal diam, aku mencoba berlari namun kaki kiriku ditarik salah satu cowok di belakangku, hingga membuatku jatuh terjerembap dengan muka mengenai tanah. Aku menendang-nendang sekuat tenaga dengan kaki kananku, akan tetapi kakiku juga ditangkap oleh cowok satunya lagi.

Sempat kulihat tak jauh dari hadapanku, ada sebuah pecahan kaca yang menancap ke tanah. Tanpa pikir panjang kuulurkan tanganku dengan susah payah untuk menjangkaunya. Ya. Kurang sedikit lagi.

"Lo pikir bisa membalas gue dengan mudah, hah!" Aku meringis saat tanganku sengaja diinjak oleh Kak Farah dan mengenai beling tepat di telapak tanganku.

Ia semakin menekan tanganku sampai-sampai aku merasa ada tusukan tajam menembus kulitku. Aku menjerit dan meronta-ronta dengan sisa kekuatanku. Tangan kiriku berusaha memukul-mukul kakinya, tapi anak buahnya yang lain maju membekap mulutku dan memegangi tangan kiriku.

"Bagus," kata Kak Farah. Ia memandangi semua ini dengan wajah puas. Mataku panas. Dasar psikopat gila! Dia akan mati setelah ini.

Kini yang membekapku bertambah menjadi lima orang, karena baru aja pemimpin cowok yang kutendang tadi sudah bergabung memegangi tangan kananku setelah mendapat perintah dari Kak Farah.

"Sekarang, lo akan ditemani kecoak-kecoak ini di sini. SELAMAT MENIKMATI!" ucapnya senang sambil perlahan melepas tali plastik yang ia pegang.

Beberapa detik kemudian, ia berjalan dan berhenti di sampingku. Kerah seragamku ia tarik ke belakang, dan aku tahu setelah itu ia akan memasukkan semua kecoak ke dalamnya. Aku berteriak tanpa suara, aku tak tahu lagi dengan cara apa aku harus menggagalkan niat busuk mereka.

Mereka terus aja menertawaiku, dan sekarang aku hanya pasrah dengan menutup mataku rapat-rapat.

Beberapa detik aku menunggu, berlanjut beberapa menit, namun tidak ada pergerakan hewan kotor itu dari balik seragamku. Tangan dan kakiku juga rasanya seperti terlepas dari tangan-tangan yang menahanku.

Aku menoleh ke belakang dan berusaha bangun dengan susah payah. Betapa terkejutnya aku, setelah tahu ada Kenn menahan tangan Kak Farah dan menatapnya tajam.

Kenn??

.................................***.............................
Semoga aku sukses bikin bab bully ini. Maaf kalau jelek.

Oh, ya, untuk pemenang kuis kedua Frel, besok ya.

Semoga suka.😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top