1. MOS Hari Pertama
Namaku Frela Lidiana Putri. Cukup panggil nama depanku aja, Frel, tanpa A.
Sejak setengah jam yang lalu, aku mematut diri di depan kaca. Kuputar beberapa kali tubuhku ke kanan dan ke kiri, melihat penampilanku dari bawah ke atas.
Sepatu hitam, polos dan bertali. Kaos kaki 15cm dari mata kaki. Ikat pinggang kecil, hitam dan polos. Kuku tidak panjang. Tidak membawa hp dan perhiasan. Tas dari karung terigu cakra kembar berbentuk ransel dan memiliki tutup, tali tas terbuat dari sumbu kompor yang dililit rafia hijau dan ungu, diberi identitas nama dan kelas pada tutup tas. Rambut dikuncir pakai pita warna emas, sebanyak urutan kelas masing-masing.
Nah, kalau soal rambut, ini nih yang paling kusuka, karena aku berada di kelas X-1, otomatis kunciran rambutku cuma 1 sesuai urutan nomer kelasku. Kelas X ada 10 kelas. Bayangin aja mereka yang berada di kelas paling ujung sana, kunciran mereka pastinya bertebaran di semua sisi kepalanya. Biar nyaho, hahahahaha....
Selanjutnya, kalung tali rafia biru pakai bandul 4 kerupuk uyel putih. Rok 5cm di bawah lutut. Kulirik rok seragamku, 3cm di atas lutut. Aku meringis, nggak sanggup bayangin hukuman apa yang menantiku nanti.
Ah, bodo amat!
Setelah beberapa kali melihat perlengkapan lainnya, yang sudah kumasukkan semua ke dalam karung terigu yang kusulap jadi tas, aku langsung berangkat ke sekolah baruku, setelah sarapan pagi dan pamit sama kakek-nenek, tentunya.
***
Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku nggak mau terlambat di awal kegiatan MOS. Tapi apa daya, meskipun aku berubah jadi supergirl, terbang dengan kecepatan super, nggak akan merubah kenyataan bahwa hari ini pasti telat. Karena posisi sekarang ini, memang sudah telat lima menit.
Sial!
Ini gara-gara si sopir angkot kampret. Angkotnya mogok di tengah jalan. Bilangnya, apa tadi? Tadi malam sudah dicek?
Ah, alesan!
Mana ada malem-malem ngecek mesin angkot? Tante kunti, kali.
Padahal jarak tinggal 200m lagi, eh, kena macet beruntun. Alhasil, ini kaki terpaksa aku ajak lari tunggang langgang.
Hosh ... hosh ... hosh....
Napasku ngos-ngosan.
Jam tujuh lewat dua puluh menit, aku tepat di depan gerbang sekolah SMA Bakti Airlangga. Aku berhenti berlari dengan badan membungkuk dan kedua tangan bertumpu di lutut.
Kuseka keringatku yang beberapa kali jatuh dari pelipisku dengan rasa gusar.
Tapi tiba-tiba ada 4 kaki, eh, 1, 2, 3, 4, 5 ... 6 kaki! Kuhitung sekali lagi, eh, salah, maksudku 3 pasang sepatu hitam berada tepat di depanku. Sekilas kudengar ada yang hampir ketawa, mungkin melihat tingkah konyolku yang lemot saat menghitung itu sepatu, tapi ditahannya mati-matian.
Aku mendongakkan kepalaku ke atas, mataku membulat saat melihat siapa yang ada di depanku.
Wowww...!
Ada satu cowok ganteng dan super keren, berdiri bersama kedua cowok di depanku. Kulirik name tag cowok yang paling ganteng, tanpa nama hanya bertuliskan gelar "Ketua OSIS". Cowok di bagian tengah bertuliskan "Wakil Ketua OSIS", dan terakhir bertuliskan "Sekretaris".
Sedetik kemudian, "Hai, Kaaaakkkk...." Aku cengengesan dan menyapa mereka dengan ceria.
"Ehm!" Suara dehaman seseorang yang berada di tengah, wajahnya terlihat lebih garang dari kedua cowok lainnya.
Mati aku!
"Kak, boleh ya, saya masuk? Boleh ya, ya, ya?" Rayuan kedua meluncur, sambil memasang wajah semelas-melasnya. Niru adegan Upin Ipin saat merayu Opa.
Ketua OSIS di sebelah kanannya, tersenyum melihat tingkahku. Dan satu lagi, senyumnya itu lho, cuit ... cuit ... teh manis buatan Pak Mamat, warung kopi 24 jam di sebelah rumahku, yang masang banner segede layar tancep, itu sih, lewaaaat.
Tapi tiba-tiba, cowok garang itu menggeser badan ke kanan menutupi cogan yang sempat tersenyum manis padaku.
Yaah, gagal lagi!
Nih cowok, kayaknya memang sengaja menutupi cogan deh, biar nggak kena rayuan melasku.
Aku melotot ke arahnya.
"Jam berapa sekarang?" tanya si cowok garang yang tak lain adalah Wakil Ketua OSIS, sambil menunjuk jam di pergelangan tangannya.
Nyaliku menciut setelah menyadari kesalahanku. Sempat kudengar tawa yang ditahan lagi. Terdengar seperti bunyi mengi. Kemudian kulirik ke arah suara yang sedari tadi mengusik pendengaranku.
Tepat di samping sebelah kiri cowok garang, ada cowok berpenampilan kalem, lumayan manis, menjabat sebagai "Sekretaris", menahan tawa sekuat tenaga sampai-sampai wajahnya berubah jadi tomat.
Oh, kasihan banget nih, cowok. Perlu dikasih pertolongan!
"Kak, menahan tawa itu dapat mengakibatkan penyakit Gelotophobia loh, Kak. Jadi, ungkapan tertawalah sebelum kamu ditertawakan itu salah banget. Yang bener nih ya, Kak, tertawalah kamu sebelum penyakitan," ucapku polos, tanpa berniat mengesampingkan pertanyaan si cowok garang.
"Bwahahahahahahahahaha...." Tawanya meledak keras. Bahunya terguncang-guncang, dipegangi perutnya sambil sesekali membungkuk. Terlihat juga cogan sang Ketua OSIS tersenyum geli dan menggelengkan kepalanya, sedangkan cowok garang yang masih berdiri di depanku, matanya melotot seakan mau keluar.
Aku melongo. Nah, loh?
Ditolongin biar nggak kena penyakit, kok malah ketawa, sih.
Aku pernah membaca dari internet, tapi aku lupa sebenarnya ini artikel siapa penulis aslinya, karena yang kuingat banyak sekali yang menulis kutipan ini dengan kalimat yang hampir sama tetapi para penulisnya berbeda-beda. Artikelnya kalau tidak salah seperti ini, "Dalam sebuah studi, peneliti dari University of Zurich, Swiss, sudah melakukan survei kepada orang-orang dari berbagai negara. Mereka menemukan bahwa tidak sedikit orang yang mempunyai penyakit malu atau takut tertawa. Menurut seorang psikolog dari Autonomous University of Madrid, Spanyol, alasan orang takut atau malu tertawa disebabkan ketakutan akan respons dan reaksi yang muncul terhadap lingkungan sosialnya. Sehingga ia lebih memilih menahan ketawanya daripada nanti ia dapat malu."
Lihat, berarti nggak ada yang salah dong sama ucapanku, terus kenapa mereka tertawa, coba!
"Kamu bisa masuk sekarang," ucap cogan, lembut. Masih tersisa sedikit senyum di bibirnya.
"Saya, Kak?" tanyaku, sambil menunjuk diriku sendiri.
"Ya, kamu. Siapa lagi?" jawabnya lembut, lagi.
Hampir aja aku pingsan tiap kali dengar suaranya. Suaranya dalam dan empuk.
Hmm ... ini suara, apa alunan piano ya?
Dan, mata itu, benar-benar menghipnotisku.
"I-iya, Kak." Aku tergagap, dan segera berlari dari sana.
Ah, aku baru sadar. Kok, aku bisa masuk dengan mudah? Kubalikkan lagi badanku ke arah belakang, kali ini terlihat si cowok garang itu tertawa terpingkal-pingkal.
Samar-samar kudengar si cowok garang itu berkata, "Itu cewek tadi ngomong apa? Tertawalah kamu sebelum penyakitan? Bwaahahahahaha...."
Kupicingkan mataku, cowok garang itu benar-benar sialan. Tadi sok cool, sok galak, sekarang apa nih? Lebay! Ketawa aja sampai mukul-mukul pohon.
"Apa dia nggak tau, elo kan sengaja nahan tawa untuk jaga image, bukannya penyakitan. Hahahahaha...."
Ih, lagi-lagi tawanya makin kencang.
Apa? Jaga image? Jadi, tadi cuma akting?
Aku menepuk jidatku. Ya, iyalah akting. Kan, ini acara MOS.
***
Memasuki lapangan, terlihat siswa cowok disuruh duduk semua, sedangkan para cewek disuruh berlari mengelilingi lapangan.
Hah? Ada apa, ya? Tapi-tapi ... oh, sial! Sepertinya aku tahu penyebabnya.
Aku berjalan mendekat menghadap sekumpulan Kakak OSIS, sengaja kuperlambat jalanku untuk mencari alasan yang tepat supaya nggak terdengar berlebihan.
"Kamu tau, kesalahan kamu apa?" tanya cewek yang dandanannya kayak artis lagi nungguin panggilan manggung.
"Selamat pagi, Kak ..., salam dulu ya, Kak," ucapku, tersenyum ala Dian Sastro.
"Pagi. Sekarang alasan kamu apa?" balasnya geregetan, sambil melotot ke arahku.
"Datang terlambat, Kak" jawabku polos.
"Menurutmu hanya itu?" Waduh, pelototannya makin lebar aja. "Kamu bisa liat, kenapa yang lain bisa keliling lapangan?" lanjutnya.
Aku menggeleng pelan dengan mempertahankan wajah polosku.
"Liat lagi, CEWEK PENDEK."
Apa? Pendek?
Ugh, dari SMP, julukan itu sudah melekat seperti lem. Biasanya, ada yang menyebut pendek, mungil, anak kecil, anak bayi, anak belum baligh, dan macam-macam sebutannya. Itu semua gara-gara tinggiku yang nggak lebih dari 150cm.
Kupikir di sekolah yang baru, julukan itu akan segera kutanggalkan. Siapa tahu pertumbuhanku berkembang pesat saat memasuki masa SMA-ku. Oh, nyatanya, harapan tinggal harapan.
Tawa membahana dari belakang mengagetkanku.
Brengsek!
Aku tahu siapa pelakunya. Tawa yang paling kenceng suaranya. Siapa lagi kalau bukan cowok sableng yang pernah satu sekolah saat di SMP-ku dulu.
Dasar Tomi, brengsek! Sekolah di sini nggak bilang-bilang?
Hemm ... Pantesan, dia kan tergolong anak konglomerat, nggak seperti aku.
Kualihkan pandanganku ke tempat lain, tempat di mana ketiga anggota OSIS yang mencegatku di depan gerbang tadi.
Sudah kembali rupanya!
Sekretaris itu tertawa cekikikan yang disamarkan menjadi batuk. Aku mendengus. Saat detik ini juga, harapanku untuk menanggalkan julukan itu pupus seketika.
"SEMUA HARAP DIAM," teriak Kakak Pembina, cowok berkulit sawo matang, yang ada di samping cewek artis dadakan tadi. "Silakan dilanjut," ungkapnya tegas.
Hening. Huft ... kenapa rasanya seperti di pengadilan?
Aku menarik napas kuat-kuat sebelum mengeluarkannya.
"Rok di atas lutut, Kak." Kujawab aja penyebab yang sesungguhnya. Toh bakalan percuma kalau berlagak bego kayak tadi. Bisa-bisa nanti lebih dipermalukan lagi. Mana ada cogan lagi, hihihihi...
"Bagus. Tunggu apa lagi? Ayo, lari 25 putaran."
Lamunanku buyar setelah mendengar kata 25 putaran.
Busyet dah! Siapa coba, yang sanggup keliling lapangan segitu banyaknya?
Woy ... Ini kaki, bukan mesin.
"Ayo, cepat. Atau mau saya tambah lagi putarannya, hah?"
Terpaksa kuikuti kemauan si artis jadi-jadian itu.
Dasar nenek lampir!
Aku yakin, sebentar lagi tuh cewek akan menyandang gelar "Kakak Tersadis" di acara ini.
..........................***........................
Part selanjutnya masih di MOS hari pertama ya. Pliss coment....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top