3 - Midnight Sale at the Club
Isa yang baru masuk ke dalam mobil segera memasang safebelt di kursi penumpang depan, bersebelahan dengan Abi yang menyetir.
"Pintu depan udah di kunci?"
Isa mengangguk menanggapi.
"Jendela samping, jendela kamar, pintu kamar mandi belakang, lampu depan-"
"Bang, jalan." Isa memotong tenang ucapan cepat yang di lontarkan Abi.
Abi mengangguk, lantas tancap gas menuju club malam langganannya yang sempat ia tinggalkan beberapa bulan terakhir.
Mamanya sedang ada konvensi di luar kota. Sebagai seorang penyidik senior di kepolisian, Anna harus ikut semua kegiatan yang di adakan. Tak heran, ia lebih sering meninggalkan kedua anaknya di rumah. Ada asisten rumah tangga yang bisa di andalkan tapi setiap sore ia harus pulang ke rumah, berkumpul bersama keluarga yang juga dimilikinya.
"Sa,"
"Hm," Isa kembali menjawab singkat.
"Jangan bilang ke mama ya," Abi berucap lirih dengan nada suara yang terdengar meragu.
Isa yang menyandarkan lengannya ke jendela mobil sambil memainkan jarinya di rambut menatap remeh kakak lelakinya, "masih mikirin mama lo bang?"
Abi yang fokus menyetir sesekali melirik Isa dengan pandangan bingung dan menyesal. Ia tak membalas. Jeda lima menit hingga Isa kembali berucap.
"Gue tahu dan sadar mabuk itu urusan pribadi masing-masing bang, bukan urusan gue juga sebenernya. Tapi Lo tahu sendiri kan, yang kemarin lo lakuin itu berlebihan. Lo udah bikin Mama khawatir, cemas, dan buang-buang uang secara percuma," Isa menjeda "Lo masih punya gue kalau sama mama takut bikin dia khawatir. Ada masalah bisa ngomong, bukan mabok berlebihan dan nggak tahu aturan kayak gitu."
Abi diam membiarkan. Ia tak berniat menjeda apalagi membalas perkataan dari Isa. Ia sadar adiknya tak pernah sok menggurui atau sok menasehati, semua yang di ucap seorang Louisa berasal dari keresahannya.
"Sori bang kalau ada kata-kata yang nyakitin, gue emang orangnya kasar, tapi menurut gue, yang barusan gue ucapin itu udah versi paling sopanya,"
Isa tergelak setelah sadar dari ucapan omong kosongnya barusan. Abi ikut tersenyum mendengar tawa langka Isa. Ia melirik adik perempuannya, lantas mengacak lembut rambut coklat gelap milik gadis itu.
"Turun yuk, udah sampai!"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Abi keluar terlebih dahulu dari dalam mobil, meninggalkan Louisa yang kini membeku dengan tampang kesal sekaligus jengkel.
"Gue kira setelah lo denger ceramah panjang lebar dari gue lo bakal puter balik pulang kerumah, bang, nggak taunya tetep pengen mabok!"
Isa mendumel sendiri. Ia lantas keluar dari mobil, menyusul Abi yang telah menunggunya di luar.
Isa berjalan lunglai menghampiri kakak lelakinya yang terlihat meregangkan tubuhnya. Ia menarik kedua tangannya yang disatukan ke depan sambil memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Isa jelas gatal ingin berkomentar menyaksikan kelakuan abangnya yang aneh ini.
"Lo mau mabuk apa lari maraton bro, begaya pakai pemanasan segala!"
Isa menyilangkan kedua tangannya di depan dada lantas menyenderkan bokongnya ke kap mobil depan.
"Abang nervous Sa, udah lama nggak masuk tempat beginian!"
Abi membalas komentar adiknya dengan tangan yang kini ia goyangkan kasar, telapak tangannya berkeringat.
"Oh yaudah, kita pulang aja," Isa bangkit berdiri, hendak masuk ke dalam mobilnya, kepalanya mendongak ke atas, menatap beton berhias pipa, "udah mau hujan juga,"
"Eh, eh, mau kemana?" Abi menarik tudung jaket yang Isa kenakan, mencegah perempuan tersebut pergi.
"Kepalang tanggung Sa, udah di depan tu tempatnya. Tinggal berapa langkah,"
Abi mengarahkan pandangannya ke lift di depan mereka. Mereka saat ini memang sedang berada di basemant. Beberapa mobil memadati area parkir, menandakan para pengunjung di club malam ini cukup ramai.
"Lah lagian grogi, kalau setengah-setengah mending nggak usah. Kita pulang!"
Isa berucap final, tapi Abi tak mau menyerah.
"Ayo dong Sa, tadi di awal lo udah bilang iya, jangan jadi-"
"Tau ah! Udah ayo masuk!"
Isa ngacir duluan menuju lift, Abi di belakangnya tertawa gemas. Adik perempuannya ini memang selalu bisa di andalkan.
Setelah sampai di lantai yang di tuju, kini Abi yang bergerak lebih dulu. Ia berjalan mendahului Isa, menghampiri dua orang penjaga pintu masuk club. Abi di geledah kemudian ia di suruh menunjukkan kartu identitasnya.
Dari semua kartu-kartu yang ia miliki, Abi memilih kartu member exsclusive dari club malam ini yang ia tunjukkan.
Ia lalu menunjuk Isa yang berdiri dengan tampang datar di belakangnya.
"Dia sama gue," ucapnya. Kedua lelaki tersebut mengangguk kemudian mempersilahkan Ali bersaudara, memasuki kawasan club malam ini.
Isa memang bukan pengonsumsi alkohol, tapi ini bukan kali pertama Isa memasuki sebuah club malam. Beberapa kali ia ke tempat seperti ini hanya untuk mencari Abi atau terkadang karena memenuhi undangan pesta yang di adakan kawanya di dalam club.
Tapi walau sudah cukup sering, kepala Isa selalu sakit setiap mendengar suara alunan musik EDM yang di putar kencang. Apalagi lampu sorot berwarna yang nyalanya tidak tentu menggangu pandangannya. Ditambah ingar bingar orang-orang yang berjoget kesetanan serta bau alkohol dan asap rokok sembarangan yang mengganggu semua inderanya, membuatnya tidak betah berlama-lama di area ini.
Tapi Isa sadar, ini memang tempatnya, ia yang minoritas memang tak seharusnya ada di tempat ini. Jika tak suka, jangan datangi. Tapi demi Abi tidak berbuat di luar batas, ia akan temani ke tempat terkutuk ini.
Isa yang sadar kemana Abi pergi meraih tangan Abi kemudian membawanya menepi, jauh dari area dance floor, tempat orang-orang berjoget ria.
"Lo open table di atas?" Isa berteriak. Suaranya terkalahkan oleh alunan musik yang di putar.
Abi mengangguk, Isa tertawa masam. "Lo benar-benar pengen mabuk," ucap Isa.
"Gue tunggu di meja bar, jatah lo cuma setengah-"
"Satu botol." Abi memotong, Isa mendengus sambil memalingkan wajahnya.
"Gini, setengah botol dengan kadar alkohol nggak lebih dari 25%, plus segelas beer! Itu final!" Isa membuat keputusanya. Abi mendengus pasrah.
"Setiap tiga puluh menit gue check lo! Jangan macem-macem!"
"Kenapa nggak ikut ke dalem?"
Mendengar pertanyaan Abi, Isa menghembuskan nafasnya kasar, "setiap teguk yang lo telan dan itu gue liat, gue pasti bakal ke inget mama, jadi lebih baik gue nggak liat bang, itu ngurangin rasa bersalah gue ke mama, walau cuma dikit," aku Isa.
Abi memeluk Isa, di sela pelukan itu Abi berbisik yang entah di dengarkan adik perempuannya atau tidak,
"Sori Sa, gue bawa masalah ke hidup lo,"
Setelah berpelukan erat, keduanya terpisah, Abi menuju lantai atas sementara Isa ke arah meja bar. Letaknya yang di sudut, agak jauh dari keramaian cukup membuat sakit kepala Isa berkurang.
Ada tujuh kursi di sana, dan Isa memilih duduk di kursi yang letaknya paling ujung, dekat dengan tembok di sudut. Dua kursi lainnya terlihat di isi oleh seorang pria bersama wanita bergaun seksi. Mungkin seorang jalang yang bertemu pelanggan barunya.
Isa mengacuhkannya. Membuka telepon seluler di antara orang-orang yang sedang berpesta merupakan ide tolol menurutnya. Maka yang ia lakukan hanya mengamati pemandangan orang-orang yang sedang menambah dosa mereka. Bartender sudah beberapa kali menawarinya minum tapi Isa menolak. Ia tidak bodoh untuk mengharapkan air putih dari lelaki tersebut.
"Mbak, udah tengah malam ni, beberapa merek ngadain diskon, lumayan, 30% loh mbak diskonnya,"
Si bartender kembali menawari Isa, kini dengan iming-iming diskon tengah malam. Isa yang duduk sambil menyangga kepalanya menatap si bartender, kemudian bangkit berdiri.
Ia menatap smart watch di pergelangan tangan kirinya, lantas menatap si bartender kembali, Isa tersenyum masam, "makasih mas, tapi sori, saya mau seret Abang saya pulang dulu, udah over time mainya!" Isa ngacir pergi, "makasih mas udah ngajak ngobrol!" Teriaknya sekali lagi sambil melambaikan tangan.
Si bartender tersenyum kikuk "i-iya mbak... "
Isa melangkahkan kakinya, menerobos lautan manusia yang menghalangi jalanya menuju tangga lantai atas. Ia tidak menghampiri Abi setiap setengah jam sekali seperti yang ia ucapkan karena ingin memberikan privasi pada kakaknya. Tapi bukan berarti ia membiarkan Abi lepas begitu saja.
Dari ibunya Isa belajar ilmu tingkat dasar penyadapan. Dan dari chip yang memang sudah di tanamkan di telepon genggam milik Abi, Anna tahu persis keberadaan puteranya. Bukanya ia tidak percaya pada puteranya sendiri, itu hanya untuk berjaga-jaga agar kedua anaknya masih masuk ke dalam pantauannya.
Isa memang mengetahui masalah ini, tapi ia tidak keberatan untuk di untit seperti ini. Demi kepentingan dan keselamatannya sendiri.
Dan setelah dari tadi Isa amati, Abi tak berpindah sedikitpun dari tempatnya sejak ia datang memasuki ruangannya.
Benar saja, Abi ada di ruangan itu bersama empat pria dan satu wanita yang Isa sendiri mengenalnya dengan baik. Tiga di antaranya Isa kenali sebagai tetangga di tempat tinggal Isa, dan dua lainnya adalah teman kampus abangnya yang sering main kerumah. Tak ada jalang. Botol alkohol pun hanya beberapa. Sepertinya Abi benar-benar mendengarkan ucapannya.
"Lo ikut, Sa?"
Isa melirik Kadito, tetangga satu kompleknya. Laki-laki itu juga merupakan kakak kelasnya di SMA Mulia Bakti, teman main basket Isa di kompleks rumah juga.
Isa mengganguk, "bang Abi nggak ngomong?"
Kelimanya menggeleng, terlihat segar walau bau alkohol ada di mana-mana.
"Dia minum berapa gelas?"
Kini Isa berjalan menghampiri kakak lelakinya. Abi terlihat menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Matanya memejam. Isa belum tahu apakah Abi sedang tidur atau teler karena mabuk.
"Nggak lebih dari lima gelas, tapi mungkin karena dia udah lama berhenti minum, sekarang jadi gampang teler,"
Isa meraih botol alkohol di meja depan Abi, gadis itu mengangkatnya, ia membaca label dan kandungan alkoholnya. 18%, aman, di bawah standar yang Isa terapkan. Isinya pun masih jauh di bawah setengah. Ia juga tak mendapati gelas beer di sana.
Isa melirik abangnya yang masih terpejam, "nggak ada setengah aja udah teler lo bang, begaya minta satu botol, yang ada masuk angin lo!"
Isa mengomentari abangnya yang tidak sadar. Lantas menepuk pipi Abi beberapa kali. Abi tak terbangun.
Isa berdecak, lantas menatap kelima kawan mabuk abangnya, "bang Abi nggak kebangun, bantuin Isa bawa dia ke mobil ya?"
Isa meminta tolong, kelima orang tersebut mengangguk. Kadito bersama Elan, teman kampus Abi memapah menuju mobil. Sisa tiga lainya, Rafa dan Raisa, dua kembar kakak Kadito, serta Genta, temen kampus Abi mengikuti di belakang, berjalan bersisian bersama Isa.
"Kak Raisa, bang Rafa sama bang Genta sekalian mau pulang?" Isa bertanya, ketiganya mengangguk.
"Abi ada masalah apa Sa, kok dia minum lagi?" Raisa bertanya.
Isa mengangkat bahu, "nggak tahu, mungkin dia mau nge-tes, masih kebal enggak sama alkohol. Eh taunya setengah botol nggak ada, udah tepar,"
Celotehan Isa membawa gelak tawa bagi ketiganya.
Cukup sulit membawa Abi yang kini mulai mengoceh keluar dari dalam club.
Semakin malam, semakin riuh pengunjung yang berdatangan. Mereka berlima berjuang memapah tubuh besar Abi, menerobos lautan manusia menuju parkiran mobil. Sempat terlintas untuk kembali ke ruangan, menunggu pagi datang dan para pengunjung sudah berkurang. Tapi niat itu di batalkan mengingat ada Isa sebagai perempuan di sini.
Sampai di parkiran, Isa berlari menuju mobil yang di bawa Abi tadi. Ia membuka pintu penumpang depan, lantas menyingkir, membiarkan Elan bersama Dito, sapaan akrab Kadito, memasukkan Abi ke dalam mobil.
"Thank you, ya semua. Sori, bang Abi rese kalau mabuk!"
Isa berseru setelah memasang safebelt ke badan Abi kemudian menutup pintu mobil.
Ia masih berdiri di pelataran parkir. Kelimanya mengangguk mengiyakan.
"Santai kali Sa, Abi temen kita juga," Elan berkomentar, "tapi soal Abi rese pas mabuk, itu emang fakta, sih!"
Cibiran Elan mendapatkan toyoran dari Genta. Elan berontak, mencoba membalas tapi Genta gesit menghindar.
"Lo sendiri yang nyetir mobil?" Menghiraukan perselisihan Elan dan Genta, Raisa berkomentar.
Isa mengangguk sebagai jawaban.
"Lo nggak perlu raguin kemampuan mantan timnas Taekwondo, kak." Dito berucap lantas pergi duluan menghampiri mobilnya yang terparkir lumayan jauh dari mobil Isa.
Rafa, Raisa, Elan, serta Genta kemudian berpamitan kepada Isa, lantas menyusul Dito ke dalam mobil.
"Lo beneran mau nyetir sendiri Sa? Gue, Rafa, atau Dito bisa kok nggantiin lo buat nyetir, kita bertiga tadi berangkat semobil, pulangnya tinggal nyebrang jalan doang kalau dari rumah lo," Raisa memberikan tawaran terakhirnya.
"Yes Sa, after all, you will be bothered to mind Abi from the car later," tambah Rafa.
Rafa sedari kecil tinggal di London, ikut keluarga ibunya, sementara kembarannya Raisa, besar di Jakarta. Rafa tahu apa yang di ucapkan orang-orang dengan bahasa Indonesia tapi ia kesusahan untuk menjawabnya dengan bahasa yang sama.
Liburan musim panas ini ia pulang untuk menemui kembaran serta adik laki-lakinya, termasuk kedua orangtuanya tentunya.
Isa tersenyum kecil. Ia selalu senang berkumpul bersama kelima kawan abangnya ini. Mereka tipe orang yang selalu bersikap hormat dengan wanita, yang punya harga diri maksudnya.
"Tenang, bang Abi bakal Isa seret kalau dia bertingkah," Isa menjawab enteng, membawa tawa bagi para manusia di depannya.
Hai! Sekarang saya akan kasih lihat visual tiga dari lima orang yang nongol tadi, yang enggak mau imajinasinya saya rusak, kalian bisa skip aja kok xD
So this ia they are!
1. Kadito Bimantara Jati
2. Raisa Karina Jati dan Rafasya Bimasena Jati
Yoi gaezz, ketiganya dari keluarga Jati!
Sekian, silahkan di voment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top