Woodruff

"Hidup adalah tentang seberapa bermanfaat kita bagi lingkungan sekitar"

Hujan baru saja mereda, membuat mereka yang tadi berteduh di tepi-tepi pertokoan mulai melanjutkan perjalanan.  Viqas dan  kelima rekannya pun kembali melanjutkan kegiatan membagikan nasi kotak pada mereka yang terlantar di jalanan.  Itu sudah menjadi rutinitasnya sejak dua tahun yang lalu, sebagai ungkapan syukur atas berdirinya  Daffodil Cafe and Restaurant.

Tak jauh dari Viqas, seorang pemuda tampak berjalan tertatih dengan jemari yang menekan kuat perutnya. Perutnya terasa sangat perih karena sejak  kemarin, tak ada makanan yang bisa mengurangi rasa laparnya. Hanya beberapa teguk air putih yang berhasil ia dapatkan dari tempat sampah.  Ia tahu itu kotor,  tetapi  ia tak punya pilihan lain.  Pemuda itu mendekat ke sebuah toko, meminta belas kasihan pada pemiliknya.  Ia  berharap bisa mendapat sebungkus roti untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar.

"Pak,  boleh saya minta sebungkus roti?  Sejak kemarin, saya belum makan apa pun," lirih Rifki.

Pemilik toko itu mengamati Rifki dengan saksama,  pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Pemuda itu bahkan berjalan tanpa alas kaki. Bukannya iba,  lelaki itu justru merasa jijik dan mengusir Rifki dengan kasar. Sebelum pergi,  Rifki berhasil mengambil sebungkus roti. Namun,  ia  diteriaki sebagai pencuri. Membuat warga berbondong-bondong mengejarnya.  Tubuh lemahnya ia paksakan untuk berlari, walaupun pada akhirnya tertangkap dan dihakimi oleh masa. 

Warga memukul tubuh ringkihnya dengan brutal,  wajah,  perut,  dada,  menjadi sasaran empuk mereka.  Rifki merasakan sakit di sekujur tubuhnya .  Ia ingin bangun dan kembali berlari, tetapi tubuhnya tak lagi sanggup. Ia pasrah,  jika memang harus mati di tangan masa yang semakin brutal menendang bahkan menginjak dada dan perutnya. Perhatian Viqas teralih pada kerumunan orang yang tampak marah.  Ia mendekat dan mendapati seorang pemuda tergeletak dengan mengenggenggam sebungkus roti.  

"Hentikan!" seru Viqas.

Membuat masa berhenti menghakimi pemuda itu. Rifki bertahmid dalam hati,  akhirnya ada orang baik yang menolongnya.  Samar ia masih melihat wajah malaikatnya dan mendengar ucapannya.  

"Apa yang telah dia lakukan, hingga membuat kalian memukulnya secara brutal? " tanya Viqas.

"Dia itu pencuri,  dia pantas mendapatkan hukumannya!" 

"Apa yang dia curi? Biar kuganti kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya?" Viqas kembali bertanya. 

Semua diam,  tak ada yang menjawab. Mereka sebenarnya tidak tahu, barang apa yang sudah dicuri oleh pemuda itu.  Mereka saling pandang kemudian menggeleng satu sama lain.  

"Pak Doni,  apa yang sudah dia curi dari, Bapak?" Seorang warga bertanya. 

Doni tak kunjung menjawab,  ia bingung harus menjawab apa. Sebenarnya hanya sebungkus roti yang dicuri dari tokonya. 

"Berapa kerugian Anda atas tindakan pemuda itu?" Viqas menunjuk Rifki. 

"Sebenarnya dia hanya mengambil sebungkus roti dari toko saya," lirihnya.  

Mendengar itu, Viqas menghela napas kasar.  Mereka menghakimi hingga korbannya tak berdaya hanya karena sebungkus roti,  sungguh ia tak habis pikir. 

"Hanya sebungkus roti,  dan kalian semua membuatnya terluka parah.  Aku akan bertanggung jawab dan mengganti kerugiannya. Sekarang,  siapa yang akan bertanggung jawab atas pemuda itu?" tegas Viqas. 

Lagi,  semua tak ada yang menjawab.  Viqas berjongkok dan membantu pemuda itu bersama rekan-rekannya.  

"Bang,  bisa berdiri tidak?" tanya Viqas. 

Rifki berusaha bangkit,  tetapi ia tak sanggup melakukannya. Ia menggelang,  tubuh itu justru terkulai lemas tak sadarkan diri.  

"Jika ada hal buruk yang terjadi padanya, kalian semua akan mendapat balasannya. Ingat itu," tegas Viqas. 

Viqas membawa pemuda itu ke rumah sakit,  dan bertanggung jawab atas semua biaya pengobatannya.  Ia menunggu dengan cemas di depan ruang rawat. Tak lama kemudian dokter yang menanganinya keluar.  

"Rusuk kirinya patah,  dan harus segera menjalani operasi. Segera hubungi keluarganya," ucap Dokter  Ramdhan.   

"Lakukan yang terbaik untuknya, Dok. Saya yang akan bertanggung jawab atasnya," timpal Viqas.  

"Baik,  tolong segera tanda tangani surat persetujuan ini, dan segera urus administrasinya," ucap Dokter Ramdhan.  

Usai mengurus semuanya,  Viqas menunggu di depan ruang operasi. Hampir tiga jam menunggu,  tetapi belum ada tanda  ruangan di hadapannya itu akan terbuka. Karena terlalu lelah,  pemuda itu bahkan tertidur di sana.  Tepukan lembut di lengannya,  membangunkannya dari alam mimpi.   Ia mengucek matanya yang masih terasa perih. Ia segera beranjak bergitu menyadari yang membangunkannya adalah Dokter Ramdhan. 

"Bagaimana keadaannya,  Dok?" tanya Viqas. 

"Alhamdulillah, operasinya berhasil.  Dia boleh dijenguk, jika sudah dipindahkan ke ruang rawat," jawab Dokter  Ramdhan.  

"Terima kasih, Dok." Viqas tersenyum. 

"Sama-sama, saya permisi."  Ramdhan berlalu pergi.  

Viqas menjenguk Rifki di ruangannya. Sesampainya di sana,  ia duduk di kursi samping ranjang.  Mengamati  wajah pemuda yang baru dikenalnya itu.  Di wajahnya  terdapat beberapa jahitan terutama di bagian pelipis.  Dadanya juga tampak terbebat  perban, dengan selang infus tertancap rapi di tangannya.   

Ia berpikir, ternyata masih ada banyak orang yang memiliki nasib yang kurang beruntung  dibanding dirinya.  Rifki, misalnya.  Hanya karena mengambil sebungkus roti untuk mengganjal perutnya yang lapar,  ia sampai  harus mengalami patah tulang rusuk dan babak belur. Viqas,  jauh lebih beruntung, bukan?  Hidup berkecukupan,  hanya saja ia kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Viqas rasa Allah itu memang adil,  tidak ada kebahagiaan  yang sempurna begitupun sebaliknya. Perhatiannya teralih ketika melihat jari-jari Rifki bergerak, disusul netra pemuda itu yang terbuka perlahan.

"Terima kasih," lirih Rifki begitu menyadari kehadiran Viqas. 

Viqas  mengangguk,  kemudian tersenyum. "Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong-menolong.  Jika, Bang Rifki, yang ada di posisiku, pasti akan melakukan hal yang sama bukan?" 

Rifki tersenyum samar. Viqas benar,  ia pasti juga akan melakukan hal yang sama. Andai  Viqas tidak menghentikan masa yang menghakiminya dengan brutal, mungkin bukan hanya rusuknya yang patah. Namun,  nyawanya juga tidak bisa diselamatkan.  Pemuda itu berhutang nyawa, di pertemuan pertama mereka. 

"Bagaimana keadaannya,  Bang?" tanya Viqas. 

"Alhamdulillah, sudah lebih baik.  Saya,  Rifki. Kalau boleh tahu namamu siapa?" Rifki mengulurkan tangannya.  

"Viqas,  Bang." Viqas menyambut uluran tangan Rifki. 

Keduanya berbincang tentang banyak hal, saling bertukar cerita. Dari cerita Rifki,  Viqas tahu bahwa pemuda itu seorang yatim-piatu. Dia baru saja diusir dari kontrakan karena tidak mampu membayar uang sewa selama dua bulan terakhir.  Sebenarnya ia masih punya rumah peninggalan orang tuanya,  tetapi rumah itu ternyata sudah dijual oleh pamannya.Pada akhirnya, Rifki diminta tinggal bersama Dimas–asisten Viqas– di rumah yang tak jauh dari restoran.  Rumah itu sebagai salah tunjangan bagi Dimas selaku asisten pribadinya. 

"Setelah sembuh, Bang Rifki bisa tinggal bersama asisten saya.  Abang juga bisa bekerja di restoran, tetapi untuk sementara ini masih harus dirawat di sini."

"Terima kasih, Viqas.  Abang enggak tahu harus bicara apalagi." Rifki tersenyum.  

Viqas balas tersenyum, ia senang bisa membantu. Setidaknya ia bisa melakukan sesuatu yang berguna di sisa hidup yang mungkin tidak lagi lama.  Berharap, jika kelak telah tiada masih ada orang yang mau mendoakan kebaikan untuknya. Pertemuannya dengan Rifki membuat Viqas tersadar, bahwa masih ada banyak orang di luar sana yang hidupnya masih kurang beruntung.  Selama ini ia telah kufur nikmat dengan tanpa sengaja menggugat takdir-Nya karena orang tuanya yang terlalu sibuk.  Pemuda itu lupa bahwa  ia masih lebih beruntung dari mereka yang telah menjadi yatim-piatu.  

Viqas merapal istigfar dalam hati,  tanpa terasa liquid bening lolos dari sudut matanya. Ia menyesal karena sering menuntut ayah dan ibunya untuk selalu ada, padahal kesibukan keduanya untuk memastikan ia dan sang kakak hidup layak tanpa kurang suatu apapun.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top