Trust Me

"Kukira pengecut sepertimu sudah mati dibunuh rasa takut." Untai kalimat bernada datar nan dingin mengisi atmosfer yang kelewat hening. Jisung memandang pantulan diri di cermin, lalu mencetak seutas senyum miring. "Padahal aku sudah senang kau tak pernah bangun." 

Secara visual, kaca di hadapan menampakkan bayangan diri dalam balutan kaos oversize berwarna abu-abu—selayak cermin biasa yang berfungsi memantulkan segala sesuatu yang terpapar cahaya. Namun secara batin, di mata Jisung, sosok di depan sana bukanlah dirinya. Penampilan boleh sama, tetapi jiwa keduanya tidaklah sama. Dia orang yang mengambil rupa dan fisik Jisung secara keseluruhan. Dia adalah sosok lain yang menyatu dalam diri; salah satu kepribadiannya yang kesekian. 

"Bukankah seharusnya aku yang berkata demikian?" balas bayangan itu. Air mukanya terlihat santai, berbeda jauh dengan Jisung yang memasang tampang sinis. "Kau sudah terlalu lama menghilang, tidak baik memasuki hidup orang seenaknya." 

"Hidup orang, huh?" Jisung mendecih, seketika buang pandang lantas berucap sarkas, "Hidupku, maksudmu?" 

"Hidupku tak pernah menjadi milikmu, pun sebaliknya. Kita memang satu, tetapi kita berbeda. Itu fakta yang kubenci. Bisakah kau kembali tidur saja? Aku merindukan kehidupanku sebelum kau merenggutnya." 

Park Jisung mengepal erat kedua tangan di samping badan. Emosi merayap naik bahkan hanya dengan merasakan keangkuhan sosok di hadapan yang―sialnya―mengambil penampilan fisik miliknya secara menyeluruh; mengambil tubuhnya, bahkan tanpa ijin. "Kau berbicara seolah aku adalah seorang pencuri. Padahal nyatanya, aku korban di sini. Kau yang merenggut hidupku.”

Amarah yang tersirat jelas itu mungkin tampak seperti lelucon bagi sosok dalam cermin. Dia tertawa, bahkan terbahak. "Kau menyalahkanku? Kau seharusnya berterima kasih. Berkatku, kau masih hidup sampai sekarang setelah kau lelah menjalani hidupmu itu. Kau boleh mengelak, tetapi kenyataannya memang seperti itu." 

"Hah! Kau gila!" Jisung mendengkus. "Siapa yang menyelamatkan siapa di sini? Siapa yang melarikan diri ketika ada bahaya di depan mata? Siapa yang kabur di saat keadaan darurat? Siapa yang tidak bisa bertahan hidup di sini? Kutanya sekali lagi, siapa?" 

Setiap kali berada di situasi yang mengancam keselamatan dan kenyamanan diri, orang itu selalu pergi. Membangunkan Jisung yang tidak tahu apa-apa untuk mengambil alih tubuh dan menghadapi semuanya seperti orang ling-lung. Jisung yang menanggung sakit juga traumanya. Dia lemah, tidak lebih dari seorang pengecut. Namun, bisa-bisanya dia berkata demikian. Jisung muak berbagi tubuh kepada pecundang seperti dia. 

Mendengar penuturan Jisung, sosok dalam bayangan mengangguk-angguk pelan sembari mengulum bibir. Mendesis panjang, dia berkata, "Tidak ada seorang pun yang ingin berada dalam kondisi seperti itu, termasuk aku. Bila aku punya tameng, untuk apa membiarkan badan ditebas pedang. Bukankah begitu?" 

"Lagipula, semua orang tahu bahwa Park Jisung di sini adalah aku, bukan kau. Sepertinya, Na Jaemin sudah menampakkan dengan jelas keraguannya terhadapmu. Dari Jaemin, kemudian yang lain. Lalu, kau akan diminta lenyap, agar aku bisa kembali dan, tada! Park Jisung yang ramah dan lugu kesayangan mereka telah kembali!" 

Jisung masih diam, membiarkan bayangan semu itu berceloteh. Dalam hati ia mencibir, ramah dan lugu apanya? Itu hanya sampul luar, bagian dalam jauh berbeda. Licik dan manipulatif, picik dan tak tahu diri. Tamak, dia menginginkan semua milik Jisung: termasuk tubuhnya. 

"Semua orang mencariku, lalu mengusirmu pergi, Tuan Muda," imbuh si bayangan, mengejek. "Mereka tidak percaya padamu." 

Rahang Jisung bergemelatuk. Orang ini benar-benar menyebalkan. "Aku tidak peduli, aku tidak butuh mereka."  

"Oh, kau tidak butuh Chenle? Kau serius tidak apa-apa kalau―" 

Kalimat itu terpangkas begitu saja. Jisung tak sanggup menahan diri untuk menghantamkan kepalan tangan ke arah cermin di hadapan. Ia tahu dengan jelas bahwa itu hanya bayangan, tidak nyata. Namun, amarah yang membubung tinggi telah menumbuhkan hasrat untuk menghancurkan sosok itu. Sayangnya, itu tak akan bisa. Sebab, dia adalah Jisung, pun sebaliknya. Mereka satu, tapi tak pernah menyatu. 

Kaca itu pecah, membagi permukaannya ke dalam berbagai ukuran. Darah dari punggung tangan seakan tak ada rasa, kalah jauh dengan emosi dalam jiwa. "Dia percaya padaku. Dia tak akan meninggalkanku. Tak akan ada yang meninggalkanku. Aku punya kunci yang mereka cari, sedang kau tidak. Jadi, lebih baik tutup mulutmu sebelum aku jujur kepada Dokter Na dan memintanya untuk membantuku melenyapkanmu. Paham?" 

"Kau tidak akan mengatakannya."

"Ya, aku akan mengatakannya." 

"Dan membiarkan tubuh ini terendus kepolisian? Membiarkan dunia tahu apa yang terjadi sebenarnya? Terlebih, apa kau tega membiarkan kakak kesayanganmu itu mati di tangan atasanya atau membusuk di penjara?"  

Jisung menarik tangannya, membiarkan tetesan darah membasahi lantai. Sorot matanya setajam mata pisau yang baru diasah. Cermin itu sudah retak, tetapi bayangan di permukaannya masih terlihat jelas oleh Jisung. "Aku bisa melakukan apa yang aku mau. Ini tubuhku, dan aku lebih kuat darimu. Jadi, lebih baik kau diam sebelum aku benar-benar melenyapkanmu, melenyapkan kalian semua dari hidupku; dari tubuhku." 

"Jisung, aku mendengar sesuatu dari sini. Kau baik? Kenapa lama sekali gosok giginya?" 

Ketukan pintu diiringi teriakan nyaring sukses mengalihkan Jisung dan dunianya. Ia menoleh ke arah pintu, meneguk ludah guna membasahi kerongkongan sebelum balas berucap dengan sedikit lantang, "Sebentar lagi keluar." 

"Oke!" 

Lelaki jangkung itu menghela napas dalam dan diembuskan kasar. Ia dapati cermin kamar mandinya telah retak berkeping-keping. Sosok yang menjadi penyebab hancurnya cermin pun kini telah tiada, Jisung hanya mendapati dirinya sendiri. Saat itulah perih di punggung tangan kanan mulai kentara. Lagi ia buang napas. Cermin boleh pecah, tetapi luka di badan seharusnya tidak boleh sampai terjadi atau ia akan mendengar khotbah panjang semalam penuh. 

Lebih tepatnya, dia tidak ingin membuat seseorang cemas dan berpikir kelewat jauh tentang dirinya. 

Maka dari itu, Jisung basuh tangannya sampai bersih semua darah di permukaan. Sayangnya, itu luka terbuka. Cukup dalam, mungkin. Menghentikan darah ternyata tak semudah mematikan keran air. Jisung merutuki kebodohannya yang lahir akibat emosi yang terpancing hanya karena umpan seorang pengecut dalam cermin. 

Setelah membuat darah setidaknya berhenti mengalir, Jisung akhirnya keluar dari kamar mandi. Ia mendapati Chenle menatapnya dengan tatapan tajam, cenderung pada rasa ingin tahu. Sosok yang sedikit lebih pendek itu berdiri bersidekap tepat di depan pintu. "Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali?" 

Jisung tanpa sadar tersenyum, lembut dan halus. Seolah segala bentuk gejolak emosionalnya beberapa saat lalu tak pernah ada sama sekali. "Aku hanya di dalam kamar mandi, kenapa penasaran sekali? Apa kau seperti ini juga ketika aku tidak berada di sekitarmu?" ujarnya dengan nada bercanda. 

Tangannya mendarat di puncak kepala sang kekasih hati, mengacak-acak kasar agar si empu kepala kehilangan fokus selagi Jisung menutup pintu kamar mandi dengan tangan lainnya. Ia akan bergerak mengganti kaca yang pecah itu tepat setelah Chenle tertidur. 

"Park Jisung, jangan terlalu ditekan! Sakit tahu!" protes Chenle. 

Terkekeh gemas, Jisung maju satu langkah dan mendekap Chenle erat-erat sampai yang lebih tua meronta karena sesak dan sulit bernapas. Mengabaikan ocehan tunangannya, Jisung berjalan ke arah meja yang terletak di bawah televisi, tepat di depan ranjang. Ia butuh tisu atau sejenisnya, segera. Kalau boleh jujur, ia sedang berusaha mengulur waktu dan sedikit panik karena ternyata luka di tangan masih berdarah. Sial. 

"Ji…." panggil Chenle. Jisung balas dengan dehem ala kadarnya. Tak merasa puas, Chenle menaikkan intonasi. "Jiji!" 

"Iya, ada apa, manisku?" Jisung menyahut, lantas berbalik. Ternyata Chenle masih berada di depan kamar mandi, dengan pintu terbuka. Dari raut muka, ia seolah berkata, "Kau apakan cerminnya?" 

Dengan gerakan kepala dan tatapan setajam pedang, Chenle memerintahkan Jisung segera ke arah ranjang. Ia mengambil kotak P3K dari dalam laci bagian bawah meja rias. Meletakkannya di ranjang, ia lantas duduk tepat di samping Jisung. Hebatnya, ia langsung menarik tangan besar Jisung yang terluka lalu menghela napas untuk kesekian kali. 

Chenle dengan telaten mengobati luka di punggung tangan Jisung. Keduanya saling diam. Jisung yang tertangkap basah dan Chenle yang menahan marah bersama rasa penasaran. Atmosfer dibiarkan seperti itu selama beberapa saat. Sampai ketika hendak memakaikan perban, barulah Chenle buka suara, "Boleh aku bertanya?" 

"Tentu." 

Kembali hening. Sepertinya banyak pertimbangan yang Chenle pikirkan. "Maafkan aku. Siapa kau sebenarnya?" 

Dua pasang obsidian itu beradu. Ada keraguan yang terpancar jelas di manik indah Zhong Chenle, dan itu sanggup untuk meremat-erat jantung milik Park Jisung. "Apa maksudmu? Kau seharusnya tahu jelas kalau ini aku, Jisung, tunanganmu." 

"Maafkan aku." Chenle menunduk, mengamati tangan yang sedang ia perban. "Kau tidak menyebalkan dan hobi mengumpatiku seperti Andy, tidak juga melipat bungkus snack menjadi belah ketupat seperti yang kerap dilakukan Jideong. Bukan juga Piri, karena kau tak merengek minta pasta cokelat. Tetapi, aku merasa kau pun tak seperti Jisung yang pernah aku kenal dahulu." 

Lagi, pandang beradu. Saling tatap begitu dalam guna menelisik iris gelap masing-masing. "Kau ini … siapa?" 

“Kenapa tiba-tiba begini?” Tanpa sadar, mata sipit lelaki Park berkaca-kaca. Ia buang muka, lantas balik bertanya dengan suara getir, "Kau, kau meragukanku?" 

"Bu-bukan begitu mak―" 

"Apa saja yang Dokter Na katakan padamu?" 

"Jisung, dengar―" 

"Apa yang sudah kau dengar dari Na Jaemin sampai kau meragukanku, Zhong Chenle?!" 

Sudah ia duga. Pertanyaan semacam ini akan ia dapat cepat atau lambat. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa orang pertama yang menanyakan hal ini adalah Chenle: Zhong Chenle, tunangannya, kekasih hatinya, sumber kekuatan terbesar yang berhasil membuat Jisung mempertahankan eksistensinya di dunia. Lantas, apa-apaan ini? 

Kini, apa yang harus Jisung lakukan? Kenapa tidak ada yang percaya kalau dia adalah Park Jisung yang sebenarnya? Kenapa semua orang meragukannya? Sebegitu tak diinginkankah dirinya sampai-sampai orang-orang mulai merasa rindu pada kepribadian yang sempat mengambil alih tubuhnya dahulu? 

"Bisakah … bisakah kau cukup hanya percaya padaku?" 

Jisung tidak peduli dunia dan segala isinya, Jisung hanya butuh jiwa dan raga Chenle beserta cinta dan rasa percayanya. Itu saja. 

THE END

Note: 

Na Jaemin: psikiatri; dokter pribadi Jisung. 

Andy, Jideong, Piri: kepribadian Jisung yang lain. 

Jisung yang sekarang adalah Jisung yang asli (host) sedangkan Jisung yang di cermin adalah Jisung ‘palsu’ yang sudah lama mengambil alih tubuh Jisung dan hidup sebagai Park Jisung. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top