Ribby

Dikarenakan jarak antara rumah dan sekolah yang jauh, Ribby harus pergi pagi-pagi sekali untuk berangkat sekolah. Ribby tidak ingin terlambat dan ditegur habis-habisan oleh satpam dan wali kelasnya. Sebagai murid, Ribby harus sadar kalau dia harus datang lagi, sejauh apapun jaraknya.

Suasana sekolah sama seperti biasanya. Ribby datang tepat matahari sudah muncul setengah di timur. Sekolah masih sepi, hanya ada ibu kantin yang menggoreng tempenya, satpam yang bertugas mematikan lampu kelas yang masih menyala, dan penjaga kebersihan yang membersihkan halaman dari daun kering. Semuanya tampak normal-normal saja.

Normal-normal saja sebelum Ribby mematung di depan kelasnya, menyaksikan sesuatu yang mengerikan.

Papan tulis biasanya ditulis menggunakan spidol hitam, tapi kenapa sekarang warnanya merah? Jarang ada yang pakai spidol merah saat menulis di papan tulis di sekolahnya. Ribby langsung melayangkannya ke pemikiran lain. Apalagi yang di papan tulis bukanlah tulisan, melainkan percikan.

Ribby hanya akan kaget biasa karena tidak tahu siapa yang terkapar penuh darah di depan kelas. Ribby memberanikan diri membalik badannya, ia terbelalak. Itu dirinya. Ribby dengan kabel charge ponsel di lehernya.

***

Ribby dikenal sebagai seorang anak yang sangat disiplin. Ia datang nyaris sebelum petugas-petugas sekolah datang. Pernah suatu hari, ia mendahului satpam datang ke sekolah dan satpam yang tiba setelahnya kaget dan tersenyum menyapa. "Adik sangat semangat bersekolah ya."

"Bukan semangat, Bapak." Ribby menggeleng. "Rumah saya jauh betul. Harus menyeberang pakai feri. Saya cepat-cepat biar tidak ketinggalan feri." Anak SMA itu memaparkan.

Si satpam membentuk huruf o di mulut, mengangguk-angguk.

Setelah basa-basi itu, Ribby menapak pergi dari halaman parkir dan menuju kelasnya. Sepatu pantofelnya berbunyi saat diajak berjalan, menjadi irama tersendiri untuk Ribby memulai hari—yang pastinya akan membosankan. Ribby bukan anak yang pintar. Untuk disiplin, ia juaranya; untuk akademik, dia tidak mahir sama sekali.

Untungnya Ribby punya teman-teman yang baik hati.

Hari itu, Ribby ada jam Informatika, materi coding. Matematika diterapkan di sini. Ribby tidak suka, maka dia meminta bantuan salah satu temannya. "Bisa kerjakan tidak untukku? Nanti aku beri permen." Dia memelas.

"Tidak mau! Permen saja mana cukup," tolak temannya.

"Pelit!" Mimik muka Ribby berubah marah.

"Terserahmu." Temannya kembali ke tempat duduknya, mengutak-atik laptopnya dengan pandang serius. Pandang seriusnya terpotong saat ia melihat ponselnya sudah selesai mengirimkan file melalui kabel data yang bisa berfungsi sebagai charger ponsel 

Ribby membuang napas. Ia memutuskan untuk mencorat-coret kertas bukunya, tidak peduli dengan tugas coding yang diberikan.

Waktu istirahat tiba. Ribby berebutan dengan kakak-kakak kelasnya untuk memberi tiga bakwan. Si ibu dan anak perempuannya yang dewasa membantu memberikan pesanan. Anak laki-laki mereka yang sudah pulang sekolah sibuk main ponsel yang sedang di-charger.

Ribby sudah dapat pesanannya sebelum memekik jijik. Semua pandangan mengarah padanya. "Rambut di bakwan?" Ribby menirukan postur orang hendak muntah. "Ibu tidak mementingkan kebersihan makanannya?"

Pandangan beralih pada si ibu yang salah tingkah. "Maafkan Ibu, ini Ibu ganti yang baru ya." Ia menawarkan dengan ramah dan keringat dingin. Karena Ribby, calon pelanggannya pergi. Siapa juga yang mau makan bakwan ada rambutnya.

"Tidak usah. Aku sudah bisa membersihkan bakwannya dari rambut ... Ibu? Entahlah." Ribby mengibas-ibaskan tangannya agar rambut yang sudah dicabut dari bakwan hilang dari tangan.

Tanpa mengucapkan terima kasih, Ribby berlalu sambil memakai bakwannya.

Sekian kehidupan Ribby saat sekolah sedang berlangsung. Sekarang, sudah waktunya pulang. Ribby tidak pulang secepat teman-temannya karena mendadak ada rapat ekstrakurikuler yang diikutinya. Sepertinya rapat pergantian anggota pengurus. Ribby diharuskan hadir karena sudah izin tanpa keterangan lima kali.

Ribby ikut dengan enggan. Ia membereskan buku-bukunya dan menyimpannya dalam tas. Anak tadi lagi yang tidak mau membantunya menyelesaikan tugas coding masih berkutat dengan laptopnya yang kini tersambung dengan charger-nya. Low battery rupanya. Ribby pamit padanya. "Aku ada kegiatan ekskul. Kipas anginnya jangan lupa dimatikan."

"Hem." Anak itu menyahut dengan deheman, mengatakan iya.

Ribby berjalan ke ruang tempat rapat ekstrakurikulernya diadakan. Katanya semua orang sudah berkumpul di sana. Ribby harus bergegas karena ia yakin dia adalah yang terakhir ditunggu oleh mereka.

"Dek, cas-an Ibu mana ya? Kok, nggak ada?" Bu Kantin tadi bertanya pada anak termudanya.

"Tadi Adek taruh di situ, kok." Anaknya menunjuk ke meja.

"Tapi, nggak ada lho." Ibunya membuang napas. "Kamu ini, nda bisa jaga punya Ibu."

"Lho?" Si anak mengernyit tak suka.

Antara anak dan ibu itu, mereka bertengkar mulut. Ribby tidak memedulikan dan memilih terus jalan, sebelum bertemu satpam di sebuah kelas yang mematikan kipas angin yang masih menyala di kelasnya kakak kelas.

"Mau pulang, Dek?" tanyanya ramah. Ia kenal dengan Ribby, saingannya dalam siapa-datang-pagi-paling-awal. Dan malah Ribby yang tidak kenal dia. "Ada kegiatan sebentar." Ribby menunjuk ke sebuah arah, ke ruangan tempat kegiatan rapat ekstrakurikulernya diadakan.

"Oalah. Baiklah. Semoga kegiatannya lancar ya." Si satpam membentuk simbol "oke" dengan tangannya. Ribby mengangguk dan pamit pergi ke ruangan ekstrakulikulernya. Ia akhirnya sampai di sana dan duduk di salah satu kursi.

Ribby sudah mengisi presensi, tapi pembina ekstrakurikuler menyeru. "Ribby? Ribby tidak hadir?"

Ribby mengernyit. Jelas-jelas dirinya berada di depan meja pembinanya, tidak mungkin dia tidak bisa melihatnya.

Semua orang saling pandang. Mereka seakan mencari Ribby, tapi tidak kunjung menemukannya. Ribby tertawa kecil, lalu menyahut. "Saya sedang tidak ulang tahun, Pak."

Pak Guru sebagai pembina ekstrakurikuler seketika pucat pasi. Anak-anak lain di dalam kelas pun juga ikut pucat pasi. Mereka memandang ke sana-sini, mencari sesuatu, sebelum Pak Guru mengisyaratkan agar mereka keluar dari ruangan itu dan mencari tempat lain.

Ribby ditinggal sendirian. Ia kebingungan kenapa dirinya tidak terdaftar mengisi presensi. Padahal dia telah memegang pulpen dan menandatangani presensi yang disodorkan padanya. Kenapa malah tidak ada.

Ribby ke luar kelas, sekolah sudah sepi. Entah ke mana kawan-kawan ekstrakulikulernya.

Ribby memutuskan untuk pulang ke rumah. Mencari tempat rapat ekstrakurikulernya hanya memakan waktu dan tenaga.

Ribby menaiki motornya, berkendara sampai ke rumah.

Di rumah, Ribby menemukan keanehan lain. Ayah dan Ibu mendadak mencarinya dan menelepon guru-guru di sekolahnya. "Apa kalian melihat putriku? Dia tidak datang-datang ke sini," tanya mereka, khawatir. Ribby mengernyit. Ayah dan Ibunya kenapa sampai-sampai tidak bisa melihat dirinya ada di depan mereka.

Ibu dan Ayah mematikan telepon. Merek duduk di atas sofa dan saling menenangkan satu sama lain. Ribby duduk di samping ibunya. "Ibu? Ayah? Kalian baik-baik saja, bukan?"

Dan Ibu serta ayahnya menampilkan ekspresi kaget seperti Pak Guru beberapa jam yang lalu. Mereka menengok sana-sini, mencari sesuatu.

"Pak, itu suaranya Ribby," lirih Ibu. "Dia ada, Pak. Dia ada."

"Tapi, di mana, Bu?" Ayah menyahut. "Dia .... Di mana dia?"

Ibu memegang dadanya. "Pak, ayo, lapor polisi!"

Mendengar itu, Ribby terbelalak. "Ibu, kenapa lapor polisi? Apa yang dilaporkan? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ibu seperti orang terperanjat. Ia berkeringat dingin dan gemetar ketakutan. "Pak, mari lapor, Pak! Takut Ibu Ribby kenapa-napa."

Ribby terdiam. Gadis itu menatap ke bawah. Ayahnya bergegas menenangkan Ibu dan mengajaknya ke kantor polisi seperti yang diharapkan. Ribby ditinggal sendiri di rumah. Ia berusaha mencerna apa yang terjadi.

Hingga esoknya, ia menemukan dirinya dihiasi darahnya sendiri. Kepalanya telah dipukul memakai stop kontak, keras sekali, entah siapa yang melakukannya. Kapan dirinya dipukul, kapan ia terbaring di sana, dan kapan ia dicekik? Dirinya seakan benar-benar diharapkan untuk mati. Dipukul pakai stop kontak tidak mempan, kemudian dicekik oleh kabel charger ponsel sampai meninggal.

Ribby menghela napas. Siapa yang sudah membunuhnya?

Sementara ia mencari jawaban, satpam yang hendak masuk ke dalam kelas untuk mematikan lampu, kaget luar biasa. Ia mundur perlahan-lahan, mengambil ponsel dengan tangan gemetar, dan menelepon polisi. Polisi segera datang dan menahannya untuk diinterogasi, Ribby yang sudah jadi mayat dan tontonan siswa lain yang datang dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa tim forensik. TKP pun dipindai untuk mencari barang bukti.

Ribby kemudian tahu bahwa dia sudah dibunuh. Pelakunya tidak tahu, polisi masih mencarinya. Ayah dan ibunya menangis keras di rumah dan memeluk Ribby saat dirinya tiba untuk dikuburkan. Ribby tidak bisa menangis, ia menebak-nebak siapa yang sudah membunuhnya.

Lalu, Ribby tahu bahwa tersangka yang berhasil dikumpulkan ada tiga, yaitu seorang satpam, ibu kantin, dan temannya yang menolak membantu mengerjakan Informatika. Charger adalah punya si ibu kantin, stop kontak punya temannya, satpam adalah orang terakhir yang melihatnya hidup dan menjadi orang pertama yang melihatnya sudah mati.

Semua hal mengarah pada satpam, tapi dia punya alibi. Menuduh ibu kantin, ibu kantin tidak mungkin melakukan pembunuhan gara-gara bakwannya ketahuan ada rambut—yang tidak sengaja diadakan, temannya hanya sibuk coding di kelas saat perkiraan waktu nyawa Ribby diambil dan disembunyikan sementara sebelum seorang pulang.

         Dan polisi sepertinya sudah menerima suap sehingga mereka memilih menutup kasus untuk kebaikan nama sekolah. Ribby mendengkus, ia jadinya tidak bisa kembali ke tempatnya seharusnya. Kasusnya tidak dipecahkan, portal ke dunia lain tidak bisa terbuka. Ribby akhirnya menghuni kelasnya, tak bisa apa-apa, hanya ke sana-sini berusaha mengajak bicara teman-temannya. Saat ia bosan, ia merasuki teman-temannya dan membuat keonaran.

Ribby yang tak bisa pulang menghuni kelas bertahun-tahun lamanya. Ia butuh penyelesaian kasusnya agar bisa kembali. Ia tidak mau terus berada di dunia manusia dengan wujud hanya berupa roh.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top