Relife and Revenge
“Jika hidup hanya berkutat pada perkara dendam, maka sampai mati pun hidupmu tidak akan bisa bebas.” Peduli setan, jika aku bisa kembali ke masa lalu akan aku hancurkan mereka!
“Ah!” Mimpi aneh lagi. Aku menghela napas, meredakan detak jantung yang begitu cepat. Mungkin ini panik. Aku beranjak dan mengambil air minum. Ini masih jam 2 pagi, aku harus kembali tidur atau besok kesiangan. Ya, walaupun tidak ke kantor, aku harus tetap bergerak dan mencari cara memperoleh penghasilan.
Usiaku sudah hampir 30 tahun, tapi bayangan tentang perundungan waktu SD dan SMP masih terasa. Dendam yang tak kunjung reda, kubilang. Luka tak berbentuk yang selalu mengganggu malamku dan juga hari-hariku. Pikiranku juga tubuhku.
***
“Ive, tolong belikan gula sama kecap di minimarket ya. Ini uangnya.”
“Baik, Ma.”
Sudah setua ini aku masih nganggur dan menetap di rumah orang tua sementara yang lain seolah melesat tak tentu arah. Aku merasa ditinggalkan, Sial.
“Awas!” Aku mendengar suara teriakan dari beberapa arah. Mereka berteriak ke arahku. Aku menoleh, sebuah truk pengangkut tanah melesat cepat. Aku tidak bisa menghindarinya. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, lalu menghilang. Pandangan pun gelap.
Samar-sama kudengar suara kaki melangkah. Seorang wanita cantik memakai gaun putih menghampiriku. Dia menanyakan sesuatu.
“Apakah kamu ingin kembali ke masa lalu untuk balas dendam?”
“Iya,” ucapku.
“Mau mengulang dari tahun berapa?”
“SD kelas 6,” jawabku.
“Baiklah. Semoga dendammu berhasil kau bayar.”
“Terima kasih.”
Cahaya terang mulai menebas gelap lalu berubah menjadi sebuah kamar. Aku lupa kamar ini, tapi aku merasa tidak asing. Tiba-tiba suara perempuan memanggilku, aku mengenalnya, Mama. Dia menyuruhku untuk bersiap ke sekolah. Ah, aku ingat ini kamarku waktu kecil. Aku bangun dan melihat pantulan wajah di cermin.
“Aku benar-benar kembali ke masa lalu!”
“Apa yang kamu lakukan, Ive? Ayo, cepat! Ini bajunya.” Mama terlihat masih muda. Dia memberikan baju seragam putih merah. Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan tubuhku yang tertabrak truk?
Dendam. Ah, aku ingat. Aku sudah mati. Aku bicara soal dendam sebelum dikirim ke masa lalu. Kalau aku masih SD berarti aku akan ketemu tukang palak di sekolah nanti.
Sesampainya di sekolah, aku bertemu dia, Si Tukang Palak.
“Ive, gue mau beli merpati nih. Lu teman gue kan? Bagi duit dong, dua puluh ribu aja.”
Persetan, anjing.
“Siapa lu, Jing?”
“Dih, kok nyolot sih lu? Mau ribut?”
“Ayo!”
“Pulang sekolah siap-siap lu.”
“Enggak usah nunggu pulang sekolah, Bangsat!” Pukulan pertama melesat. Aku tahu orang tuanya adalah guru olahraga. Peduli amat, aku bukan Ive yang dulu. Aku tidak peduli kalau tidak punya teman. Tidak penting.
Dia membalas pukulanku. Aku menerimanya dengan pipiku. Tidak sakit. Ada gejolak panas membara dalam dada. Aku bertarung sambil tertawa.
“Mati lu!” ucapku. Pertarungan ini mulai mencuri perhatian murid yang lain. Beberapa panik dan memanggil guru. Kami dipisahkan. Aku berhasil membuatnya terkapar penuh biru. Puas sekali.
“Kenapa kamu mukulin anak saya?”
“Dia malakin saya.” Aku menjawab dengan dingin dan kembali ke kelas.
Keesokan harinya orang tuaku dipanggil guru. Aku bilang yang sebenarnya. Mereka terdiam. Aku tetap dengan tatapan menantang para guru, khususnya orang tua Si Tukang Palak, tanpa takut. Aku puas sekali pokoknya. Terserah hukuman apa yang diberikan, aku tidak peduli.
Kelulusan merupakan momen yang menentukan. Aku harus masuk sekolah itu. Aku memang punya kesempatan untuk menghindar, tapi dendam harus dibayar tuntas. Tidak perlu nilai bagus untuk masuk, yang penting lulus karena walaupun sekolah swasta dan mahal, tapi di dalamnya banyak siswa bajingan.
Masa perkenalan kulewati dengan santai. Perkenalan hanyalah seonggok sampah. Kakak kelas kebanyakan bacot dan tingkah. Sudah biasa. Saatnya masuk kelas tercinta, 7-E. Terima kasih atas kebodohanku, aku masuk lagi di kelas ini atau mungkin ini sudah diatur sedemikian rupa oleh makhluk itu.
Aku bertemu dengan mereka. Akhirnya! Kuikuti kelas ini dengan santai. Beberapa dari mereka mengobrol denganku dengan tatapan meremehkan. Aku membalasnya.
Beberapa hari berlalu, saat jam pelajaran tiba, guru sedang sibuk mengajar. Sebut saja Muklos namanya, dia menendang kursiku berkali-kali.
“Kenapa?” tanyaku menghadap mukanya.
“Beliin gue lidi-lidian sama es teh di kantin.”
“Kalau gue enggak mau?”
“Berani lu?” Aku diam. Tidak lama dia menendang kursiku lagi. Aku bangkit dan mengangkat kursi lalu membantingnya di atas mejanya.
“Hei, Bangsat. Mau ribut?” Aku mengambil kerah bajunya. Semua menatap ke arah kami.
“Oi, maksud lu apa?” Teriakan dari teman-temannya.
“Kenapa? Sini lu semua maju, tai.”
Mereka maju mengepungku. Aku memukul kepala Muklos dengan kursi, sampai bibirnya berdarah. Dia memegang mulutnya, aku pukul lagi dari atas dengan kursi. Dia tak sadarkan diri.
“Ah, mati ya?” ucapku datar.
“Kenapa? Panggil bos lu sialan, maju sini rame-rame! Mau jadi jagoan kan lu pada?” Guru mencoba melerai kami, tapi dihadang oleh perundung. Mereka berniat menghancurkanku. Menarik, ini yang kutunggu sejak puluhan tahun lalu.
Aku melompat ke kursi, lalu ke meja, lalu menonjok wajah salah satu dari mereka. Menendang titit seorang yang lain, berkali-kali. Aku terjatuh setelah menerima pukulan beruntun. Lalu menepis dan bangkit lagi, menghajar lagi. Begitu terus sampai beberapa menit. Aku pastikan tidak akan menyesal, dendam ini harus tuntas. Aku mengambil penggaris besi, sambil menjambak kepala petinggi preman sekolah itu, aku memasukkan penggaris besi itu ke mulutnya dan mendorongnya sambil perlahan liur bercampur darah keluar.
Akhirnya kami dipisahkan dengan ikat pinggang dan pentungan satpam. Aku bonyok, mereka bonyok. Kelas ini pun acak-acakan karena beberapa kursi jadi bahan lempar dan pukul, beberapa meja jadi bahan tendang.
“Ada apa ini?” ucap salah satu guru.
“Mereka ini preman, Bu. Keluarin mereka atau teman-teman yang lain akan menghadapi neraka di SMP ini,” jawabku.
“Kamu juga akan dikeluarkan.”
“Tidak masalah, Bu.”
Guru itu terlihat bingung. Aku beranjak dan pergi ke kamar mandi.
“Woi Anjing, jangan kabur lu!” ucap salah satu dari mereka. Aku menghampirinya, dia sedang duduk. Aku menendang wajahnya, dia terjungkal ke belakang. Kepalanya terbentur lantai.
“Bacot!” jawabku.
Dunia yang tidak adil ini. Mereka yang berbuat, aku juga yang kena dampaknya. Setelah aku kembali, wajah guru terlihat berbeda. Aku melihat yang pingsan tidak juga sadar. Mereka dengan cepat ke arahku, memegang kerahku dan berkata.
“Lihat apa yang kamu lakukan! Kamu telah membunuh temanmu!”
“Ah, benaran mati ya? Ngomong-ngomong mereka bukan teman saya.
Mereka berhenti berkata-kata. Polisi dipanggil dan aku dibawa. Ah, polisi ya, dari dulu semasa hidup aku tidak pernah suka dengannya. Jangan tanya alasannya, lihat saja berita yang kau panggil oknum itu. Sekarang aku dibawa oleh orang yang tidak kusuka. Orang tuaku menangis. Ah, apakah truk itu akan kembali kepadaku dan mengembalikanku ke dunia sebelumnya?
Untuk kalian yang mengalami perundungan, bacalah ini:
Perundung harus mati.
Perundung harus mati.
Perundung harus mati.
Perundung harus mati.
PERUNDUNG HARUS MATI.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top