Planner Book

  Yesterday is history, tomorrow is mystery, and today is a gift.

That is why it is called present.

(Master Shifu dari film Kung Fu Panda 2)

****

Jangan pergi ke perpustakaan hari ini.

Tertera tulisan begitu di buku agenda milik Pamela pagi ini. Bukanlah hal salah bila Pamela orang yang menulis itu, tetapi Pamela ingat dia tidak pernah menulisnya. 

Pagi ini, Pamela bangun, mandi, membuat oatmeal dan segelas kopi untuk sarapan, lalu mulai mencatat jadwal harian di buku agenda harian. Pamela selalu melakukan itu setiap hari. Baginya, menulis agenda harian seperti ritualnya menghadapi banyak kejadian yang setiap harinya tidak bisa ditebak. Selain itu memiliki agenda membuat harinya lebih produktif, efisien, dan tertata. 

Dia masih ingat sekali agenda kemarin yang ditulisnya adalah “Beli telur, susu, kacang almond, tepung terigu, dan beras di market”, “belajar persiapan SBMPTN”, dan “memasak cookies cokelat almond”. Terakhir kali dia memegang buku itu adalah saat mencentang kolom memasak kukis cokelat, setelahnya ia simpan buku itu di atas meja belajar. Kemudian, pagi ini muncul secara ajaib agenda baru “jangan pergi ke perpustakaan”? 

Tidak masuk akal.

Tulisan itu pun memakai tinta merah. Pamela selalu memakai pulpen hitam tiap menulis agenda. Mana mungkin dia pakai tinta warna merah selain untuk mengoreksi? Itu sama saja dengan memakai tinta kuning untuk menulis kotak rumus-tinta kuning susah dibaca-atau memakai warna oranye untuk judul! Itu sangat melanggar aturan dalam mencatat! 

Tulisan tangannya pun berbeda. Lantas, kalau bukan Pamela, jadi siapa? Sepanjang malam buku ini terus berada di apartemennya yang ia huni sendirian. 

“Mungkin seseorang sedang mengerjaiku,” pikirnya. Tidak membiarkan dirinya merinding lama-lama dan otaknya dimakan hal-hal spiritual seperti ‘ada hantu yang menulis’.

Pamela mencoret tulisan misterius itu, lalu menulis agenda baru di baris bawahnya dan menganggap tulisan misterius itu tidak pernah ada.

****

“Sial! Sial! Sial.” 

Pamela mengumpat di sepanjang jalan menuju café kecil yang terletak di seberang gerbang belakang sekolahnya. Dari pandang orang luar, dia tampak seperti orang aneh yang suka bicara sendiri atau siswa berperstasi yang ketahuan mencontek. Dia sedang mengalami sesuatu buruk, tentu dari raut wajahnya yang rumit orang-orang pasti mengira begitu. Mereka tidak salah.

Lonceng kecil yang tergantung di atas pintu café berdenting saat Pamela memasuki café. Tidak perlu lirik sana-sini, langkah Pamela sudah mantap ke satu meja di dekat jendela.   

“Eh, nih anak baru dateng! Dari setengah jam lalu ditunggu-tunggu nggak muncul-muncul, kirain udah mati …, loh Pam, lo kenapa?” 

Yang barusan bicara itu Saskia. Teman sebangku Pamela di kelas tiga, yang bertubuh kecil namun kalau bicara suaranya besar dan nyaring layaknya terompet. Nada tinggi nyaringnya sekarang tidak tanpa alasan karena sahabatnya, Pamela, mendadak membuang tasnya di kursi dengan kasar dan itu membuatnya kaget dan marah. Tentu reaksi itu ada sebelum dia memperhatikan wajah Pamela yang dibanjiri keringat dingin dicampur superluarbiasa kesal.

“Lo pasti nggak bakal percaya apa yang baru saja gue alami!” 

“Apa?”

Masih dengan napas memburu layaknya habis lari, Pamela bicara, “Simon, Ki. Simon …,” gumam Pamela tidak jelas. Tidak peduli lagi kalau keberadaannya menarik perhatian penghuni meja lain.

“Simon?” ucap Saskia bingung. “Simon kenapa? Dia celaka?”

“Dia …, kacang …, perpustakaan ….”

“Ngomong pelan-pelan, Beb. Gue nggak bisa nangkep lo ngomong apa. Kenapa sama kacang perpustakaan dan Simon? Eh, bukannya lo habis ketemuan sama dia? Gimana kalian?”

“Itu yang mau gue omong!” 

“Santai, santai!”

Pamela mengatur napasnya hingga lebih tenang. “Gue sama Simon ketemuan di perpustakaan tadi siang.”

Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Simon dan Pamela belajar bersama sambil mengobrol ringan. Obrolan ringan seperti rencananya mau ke universitas dan mengambil jurusan mana nanti. Simon menjawab, UI, Ilmu Hubungan Internasional. Pamela menjawab, UI juga, Kesehatan Masyarakat. Pamela mengira dia akan mendapat jalur undangan karena selama tiga tahun sekolah itu yang ia usahakan, tetapi dia tidak mendapatkannya. 

Simon, si ketua kelas XII IPA1 sekaligus crush dua tahunnya Pamela, yang tahun lalu tidak bisa Pamela gapai dan tahun ini ia diberi kesempatan untuk dekat setelah satu kelompok proyek akhir, menenangkannya dengan bilang, “Masih ada kesempatan di SBMPTN kok. Gue berharap banget, sih, kita bisa kuliah bareng.”

Semuanya itu berjalan sangat mulus seperti aspal tol, kemudian datanglah momen persetan itu. 

Pamela menyodorkan satu kotak bekal berisi kepingan kukis cokelat almond pada Simon. Khusus ia buatkan untuk Simon yang suka cemilan—berdasarkan curhatannya di chat mereka lalu. Yang tidak Pamela tahu, Simon ternyata alergi parah terhadap kacang almond. 

Simon yang memakannya satu keping langsung megap-megap karena reaksi alergi. Perpustakaan berubah chaos dalam sekejap, lalu penjaga perpustakaan dan beberapa orang lain membawa Simon ke ruang UKS. Sepuluh menit lalu Pamela disuruh pulang oleh petugas UKS karena Simon ingin istirahat. Kalau saja tidak ada EpiPen di perpustakaan, Simon bahkan bisa istirahat selamanya tanpa diganggu, karena Pamela.

“Gue sial banget, nget, Ki! Bayangin, gue baru saja hampir ngebunuh crush dua tahun gue karena mau dipuji sebagai pedekate paling perhatian!” 

Saskia menyesap kopinya, menyembunyikan tawa geli. “Paling mematikan, sih, lebih tepatnya.” 

Pamela menyadari bahu Saskia bergetar karena menahan tawa. “Nggak lucu, tahu!” bentaknya pada Saskia yang akhirnya melepas gelak tawa. “Kenapa gue lakuin hal sebodoh itu, sih? Harusnya gue tanya dia alergi apa sebelum gue buatin kue.”

Hell ya, coba aja ada yang ingetin lo kalau ngebunuh crush nggak bisa buat dia balik suka sama lo. Lo pasti nggak bakal terlalu berinisiatif,” balas Saskia, jelas sekali bercanda. 

Tawanya yang ini lebih menggelegar lagi karena mengira dia berhasil membuat lelucon sarkasme yang bagus dan menyinggung Pamela. Mendadak cewek itu bengong.

Saskia tidak tahu kalau leluconnya tidak lucu dari sisi Pamela yang hampir jadi pelaku pembunuhan. Alasan Pamela bengong adalah karena dia ingat sesuatu yang tidak masuk di akal.

Seperti kesetanan, Pamela membuka dan menggali tasnya dengan semangat empat lima. Tidak lama, dia mengeluarkan sebuah buku bersampul kotak-kotak biru, lalu membalik lembar-lembar kertas dengan cepat—lembarannya seperti bisa terbang kapan saja.

Saskia yang melihat perubahan drastis Pamela dari yang nangis-nangis menjadi yang begini membuatnya ketakutan. “Pam …, lo cari apa?” tanyanya hati-hati.

Tangan Pamela berhenti pada satu lembar kertas. Itu seperti planner book. Di tiap-tiap lembar terdapat tulisan tanggal dan memuat beberapa kotak-kotak yang siap dicentang.

“’Jangan pergi ke perpustakaan hari ini’.” Pamela membaca satu baris tulisan. 

Memang, tidak ada orang yang mengingatkannya tentang alergi crush-nya tetapi ada ‘seseorang’ yang menulis “jangan pergi ke perpustakaan hari ini” pada lembar agendanya. Seolah ‘seseorang’ itu sedang memperingatkannya kalau Pamela pergi ke perpustakaan hari ini sesuatu akan terjadi. 

Sesuatu memang terjadi. 

“Apa kemarin malam lo datang ke kamar gue?” tanya Pamela pada Saskia, tangannya mengelap keringat dingin di dahi. Kamar apartemen Pamela dan Saskia berseberangan. 

Saskia berhenti mengamati tulisan agenda Pamela. “Mana bisa. Pas gue datang ke apart lo, pintu udah kekunci. Mana bisa gue masuk kalau dikunci.” Dia menunjuk buku agenda. “Ini kita mau lihatin apa, sih? Lo pengen pamer kalau punya planner book, gitu?”

Pertanyaan Saskia mengawang di kepalanya. Satu pikiran membuat seluruh dimensi ini menguap dan memberi efek merinding di bulu kuduk.

Kalau bukan Saskia, masa buku ini yang menulis dirinya sendiri?

****

Semalaman Pamela tidak bisa tidur. Dia tidak percaya kalau buku agenda yang selama beberapa bulan ini menemaninya, berhantu. Pagi ini, dia sudah berencana membakar buku itu, namun satu hal masih menahannya. Bagaimana bila tulisan itu hanya kebetulan? Toh yang namanya buku berhantu tidak mungkin dijual di toko buku secara bebas dan sepanjang dia melakukannya sampai kemarin buku itu baik-baik saja. 

Jadi, untuk terakhir kali dia membuka buku itu, hanya untuk memastikan saja. Tidak ia sangka satu tulisan baru muncul.

Datanglah ke sekolah tepat jam 6.30 pagi. 

Pamela tahu mengikuti perintah ‘buku hantu’ bukanlah perbuatan bijak. Bisa saja hari ini beruntung, besoknya celaka. Tetapi, Pamela memilih mencoba. Dia berangkat lebih awal dan sampai di sekolah sebelum jam setengah tujuh. Sangat sedikit siswa yang datang. Mungkin itu para murid asrama atau siswa yang rumahnya jauh-jauh. Pamela tidak menyangka Simon termasuk di antara orang-orang itu. 

Simon sedang menghapus papan tulis ketika Pamela masuk kelas. 

“Hai,” sapa Simon, masih dengan senyum ramah memikatnya yang sama. 

“Hai,” sapa Pamela malu-malu. 

Pamela menaruh tas punggungnya di bangkunya sembari memikirkan percakapan apa yang harus ia mulai. Namun satu yang pasti, ucapan “buku berhantu” itu lagi-lagi tepat. Dia memang harus datang lebih pagi kalau ingin bertemu berdua. Belum ada orang yang datang selain mereka. 

“Kemarin, makasih sudah antar gue ke UKS. Gue dengar lo sampai nunggu gue siuman,” kata Simon sambil menyimpan penghapus papan tulis di lengan papan. 

Pamela tidak menyangka Simon langsung menyinggung kejadian kemarin, ia kelabakan. “Nggak apa-apa! Malah salah gue kok! Coba saja gue tanya lo alergi kacang, gue nggak bakal buat kukis itu. Bodoh banget!” Pamela mengetuk kepalanya sendiri. “Bodohhhh banget!”

“Lo nggak tahu.”

“Iya, tapi ini tetap salah gue!” balas Pamela, lagi-lagi suaranya melengking. 

Tanpa ia sadar, ia mendekati Simon. Kini mereka berdiri berhadapan di depan kelas. Melihat Simon dengan wajah kalem dan hangat mengamati tingkahnya yang seperti bocil lagi minta maaf membuatnya tambah malu dan cemas.

“Lo beneran nggak apa-apa?” Suara Pamela menyiratkan cemas.

“Beneran.”

 Pamela menundukkan kepala. “Maaf. Gue benar-benar nggak ada maksud buat celakain lo.” 

Simon memegang bahu Pamela. Itu caranya untuk membuat Pamela mengangkat tatapannya.

Dengan yakin Simon bicara, “Lo bakal gue maafin asal hari ini beliin gue roti cokelat lagi. Kali ini, ingat tanpa taburan kacang.”

Pamela telah menyukai Simon selama dua tahun. Dia selalu sekelas dengan Simon, tetapi baru akhir-akhir ini dia punya kesempatan dekat dengan Simon. Dari pengamatannya saat itu, Simon adalah cowok baik yang murah hati. Dan sampai saat ini pun, Simon tidak pernah berubah. 

Pamela tidak tahu apa keinginan “buku berhantu”, tetapi ia bersyukur itu membuat dia dan Simon jadi dekat.

“Makasih.”

****

Hari-hari esoknya, tulisan perintah terus muncul di “buku berhantu”. Tidak semuanya tentang kedekatannya dengan Simon. Terkadang juga berupa pengingat sederhana seperti “bawa payung lipat” ketika hari itu turun hujan lebat, “ingatkan pada Bu Melinda mengumpul tugas minggu lalu”, lalu Pamela mendapat poin tambahan karena mengingatkan tugas itu, atau perintah seperti “jangan bawa ponsel hari ini” lalu hari itu OSIS mengadakan razia mendadak. Namun, itu tidak pernah mengubah intinya, kalau “buku berhantu” itu tidak pernah salah.

Hari itu, Pamela mendapat perintah baru berbunyi, “tunggu bus di depan pagar pembatas”. Sedikit ganjil mengapa perintah hari itu tidak ada hubungannya dengan keuntungan Pamela. Namun, seperti kejadiannya dengan Simon—sekarang mereka dalam tahap pedekate, atau perintah bawa payung ketika hari hujan, Pamela percaya perintah “buku berhantu” itu akan berakhir kemujuran. 

Pagi itu, Pamela menunggu bus di terminal yang sepi, tepat di depan pagar pembatas. Dia sedang membalas pesan dari Simon. Kemarin, Simon mengajaknya nonton bioskop Sabtu besok. 

Pamela tidak pernah menyangka bagaimana dunianya bisa sedekat itu dengan Simon. Tahun lalu, Pamela bahkan terlalu takut bicara sama Simon. Dia takut diabaikan. Secara Simon ketua OSIS, dan dia hanya murid biasa dengan tampang biasa-biasa saja. Tahun ini, dia bisa teleponan sepanjang malam dan diajak kencan dengan Simon. Benar-benar hidup yang mujur. 

Pamela menarik buku kotak-kotak biru dari tas selempangnya. Dia memperhatikan buku itu dan memikirkan, “Kalau bukan karena buku ini aku mungkin tidak bisa menjalani hari-hari bahagia seperti ini.” 

Memang, awalnya buku itu menakutkan karena dia bisa memprediksi masa depan secara tepat, namun setelah terbiasa buku itu tidak lagi menakutkan. Malahan, dia bersyukur punya buku itu. Dia selangkah lebih depan dari orang-orang lain karena dia bisa tahu masa depannya lewat buku itu. 

Pamela memeluk buku itu sebagai rasa terima kasih, lalu memasukkannya di tas selempangnya kembali. Jam sudah menunjuk pukul tujuh kurang tiga menit. Sebentar lagi bus tiba.

Di belakang terminal terdapat pohon akasia. Daun-daun pohon saling bersentuhan, bergemerisik saat angin bertiup. 

Pamela menahan rambutnya yang ditiup angin, takut tatanan rambutnya rusak. Di saat itu, satu kertas selebaran universitas tidak sengaja terselip keluar saat Pamela mencoba memasukkan “buku berhantu” ke dalam tasnya yang sesak, itu tertiup angin dan terbang menjauhi tempatnya berdiri. 

Pamela mengejar kertas itu. Kertas itu terbang berputar-putar di udara, dibawa angin menuju toko kelontong yang letaknya tidak jauh dari terminal. Pamela berjongkok, memungut kertas itu. Dia harus segera kembali ke pagar pembatas sesuai anjuran “buku berhantu”. 

Persis detik selanjutnya, ia mendengar bunyi klakson yang memekakkan telinga di jalan bersamaan bunyi roda berdecit panjang yang membuat tulang siapapun ngilu. 

Ckiitttttttt …. 

Bunyi decit itu adalah bunyi roda menggesek aspal jalan. Decitannya panjang karena rodanya sulit dihentikan. Pamela tahu semua itu ketika dia membuka matanya setelah semenit penuh terpejam, lalu membalik badan. 

Tiga-empat orang yang duduk menunggu di terminal sudah memencar. Pagar pembatas tempatnya berdiri tadi sudah penyok dan terbelah dua akibat hantaman hidung mobil bus. Untung saja, supir mobil berhasil menghentikan bus sebelum hidung bus mematah dua atap terminal dan atapnya tidak menimpa tubuh anak kecil yang tidak berhasil lari.

Penumpang bus berhamburan keluar bus. Anak kecil itu menangis dan berlari pada ibunya. Ibunya menenangkannya dengan memeluk dan mencium anaknya. Sedangkan Pamela yang melihat itu semuanya, jatuh ke lantai. Lututnya lemas sekali. Mukanya pucat. Semuanya karena satu pengandaian.

Kalau saja dia masih berdiri di depan pagar, sekarang dia pasti sudah mati.

****

Setelah kejadian itu, Pamela kembali ke rumahnya dengan menangis. Dia bertemu Saskia di lorong apartemen, dari seragamnya Saskia hendak pergi sekolah. Pamela menceritakan semua kejadian itu pada Saskia dengan bersimbah air mata. Semuanya tanpa terkecuali, termasuk kejadian “buku berhantu”. 

Saskia awalnya tidak percaya, namun cerita-cerita pengalaman Pamela tentang kebenaran buku itu terdengar meyakinkan. Seharian itu Saskia menemaninya di rumah. 

Saskia mengamati “buku berhantu” lekat-lekat sambil menjilat sendok es krim. Mereka sedang di ruang tengah dan Pamela sudah habis tenaga untuk menangis jadi dia hanya berbaring di sofa. 

Kata Saskia, “Aku nggak yakin soal “buku berhantu”, tapi kalau benar buku itu bisa memprediksi masa depan, bukannya itu menakutkan?”

“Kenapa?”

“Manusia nggak seharusnya tahu masa depan. Bagus kalau seandainya tahu masa depan yang baik, tetapi siapa yang bisa menjamin semua masa depan akan selalu mujur-mujur saja? Gimana kalau kamu tahu masa depan, nasibmu malah berubah buruk?”

Pamela tidak punya jawaban pada pertanyaan Saskia. Dia sudah sangat lelah. Hari itu mereka menutup hari dengan makan indomie kuah. 

****

Bagaimana perasaan Pamela setelah hari itu?

Pamela bosan. 

Dia harus menjalani kehidupannya sebagai siswa kelas tiga yang membosankan. Belajar berjam-jam untuk persiapan ujian. Pulang lebih lambat dari siswa lain karena ada kelas persiapan UN. Lalu, Simon yang ia dekati mengatakan, dia perlu mengambil sedikit jarak karena harus konsentrasi mempersiapkan ujian.

“Buku berhantu”-nya juga telah kembali berubah menjadi buku agenda biasa. Sesekali, Pamela berharap agar buku itu memberinya petunjuk lagi, namun sejak tabrakan bus itu, tulisan tidak pernah lagi muncul di buku itu. Hidupnya yang sekarang membosankan dan kembali tidak bisa diprediksi. 

Pamela masih belum tahu mengapa tulisan itu mendadak muncul. Dia membuat-buat analisa, mungkin tulisan itu berasal dari Pamela masa depan untuk menyadarkannya agar lebih berani menjalani hidup. Mungkin juga, tulisan itu muncul untuk mengingatkan Pamela untuk jangan terlalu mencemaskan banyak hal. 

Satu yang pasti, seperti kata temannya, “manusia nggak seharusnya tahu masa depan.”

The End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top