Nyanyian Kesepian
"El!"
Namea berlari kecil menghampiri Felix yang berdiri di atas jembatan kayu. Gaun biru selututnya kembang kempis mengikuti irama langkah yang penuh kegembiraan itu. Begitu pula dengan rambut bergelombangnya, meliuk-liuk diterpa angin. Sudah terlalu lama dia menunggu untuk bertemu Felix. Ketika sebuah surat yang membawa kabar bahwa lelaki itu akan mampir akhirnya sampai ke kotak surat di rumahnya pada pagi buta. Membuatnya sibuk mempercantik diri sepanjang hari.
"Na, jangan berlarian-"
Bruk!
Sebelum Felix menyelesaikan petuahnya, tubuh Namea lebih dulu menubruknya. Untung saja dia masih sempat mundur satu langkah, mencari keseimbangan. Jika tidak, mungkin mereka akan terjun bebas ke sungai di bawah sana.
"El, aku... Aku sangat! Sangat merindukanmu!" serunya seraya mengeratkan dekap di tubuh Felix. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang entah bagaimana dapat menenangkan hati kecilnya. Namea dapat merasakan kupu-kupu di perutnya semakin banyak dan terbang tak tentu arah, ia hampir mual.
"Bagaimana kabarmu selama ini?" Lelaki itu meraih surai kecoklatan Namea dan memainkan pita biru berenda putih di sana.
"Aku baik-baik saja. Aku sangat nyaman berada di tempat tinggalmu. Bagaimana denganmu?"
"Syukurlah... Aku juga baik-baik saja," sahut Felix, menggigit bibir dalamnya. Tangannya masih berada di surai gadis itu. Entah bagaimana, helai-helai rambutnya selalu menjadi candu. Celaka, sepertinya dia tidak bisa berlama-lama berada di hadapan gadis itu.
"Namea-"
Gadis itu merogoh saku gaunnya dan menyodorkan sebuah kotak berisi bros yang terbuat dari batu zamrud. "Lihat, El! Beberapa waktu lalu, ketika menemukan batu zamrud di gudang mansionmu, aku membuatkan ini untukmu. Warnanya sama dengan matamu, aku ingin kau memilikinya," ujarnya sambil tersenyum manis.
Felix mengernyit sebentar dan mengalihkan pandangannya. Giginya bergemeletuk pelan. Cukup lama dia terdiam tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Namun, Namea masih di sana tanpa mengubah posisi. Felix tau gadis itu masih menunggu reaksinya. Denyut di jantungnya entah kenapa terasa sakit memikirkan senyum manis di wajah gadis itu.
Menghela napas panjang, Felix menangkup pipi gempal gadis di hadapannya. Bibirnya yang bergetar mencoba mengulas senyum. "Terima kasih sudah membuatkannya untukku, itu sangat cantik," tangannya turun ke pundak si gadis, "tapi aku tidak bisa menerimanya."
"Kenapa?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ekspresi di wajah Namea hilang bersamaan dengan munculnya banyak persepsi menyedihkan di kepalanya. Kenapa Felix tidak mau menerimanya? Apa dia tidak suka? Apakah dia merasa sungkan? Atau, apakah dia ingin dibuatkan sesuatu yang lain? Atau jangan-jangan Felix sudah memiliki yang serupa? Kemungkinan mana yang akan menjadi kenyataan?
Kini jemari Felix menyisir helai demi helai surai kecokelatan selembut sutera dan seharum kebun bunga di musim semi. Dia ingin telapan tangannya mengingat dengan detail bagaimana lembut, suhu, tekstur, dan perasaannya ketika menyentuh rambut itu.
Melihat Felix yang hanya diam saja memainkan rambutnya, membuat Namea semakin bertanya-tanya. "Ada apa dengan rambutku?"
"Sangat lembut dan cantik... Saking lembutnya, aku sampai takut kalau sentuhanku bisa menghancurkannya..."
Namea semakin berusaha keras agar dahinya tidak mengerut. "Apa yang kau bicarakan, El?"
Kali ini, Felix menarik kedua tangannya dan mundur beberapa langkah. Kepalanya menengadah menatap langit malam tanpa bintang. "Sebaiknya kita akhiri saja semuanya..."
Satu detik, dua detik. Namea membeku di tempat hingga kotak bros di tangannya jatuh. Apa maksudnya mengakhiri semuanya? Apa Felix berpikir untuk mengakhiri hidupnya? Ataukah Felix ingin mengajaknya ikut serta? Ataukah dia ingin mengakhiri... hubungan dengannya? Kenapa? Dari sekian banyak pertanyaan di benaknya, tidak ada satu pun yang berhasil keluar dari mulutnya. Bibirnya bungkam.
"Sebenarnya, aku datang kemari hanya ingin menyampaikan itu."
Namea dapat mendengar kalau suara Felix bergetar. Kenapa? Kalau dia saja mengatakan perpisahan dengan menahan luka begitu, kenapa dia harus mengatakannya?
Namea meraih sebelah lengan Felix. "Kau pasti bercanda, 'kan?" Meski dia menyadari kalau pertanyaannya terdengar bodoh, tapi dia berharap lelaki itu akan menyatakan sebuah alasan.
"El..." Namea menggoyang lengan Felix beberapa kali. Namun, lelaki itu tetap bergeming. Membuat pikirannya membuncah, napasnya menjadi tidak beraturan dan matanya terasa panas. "El, jawab aku!"
"Aku tidak bercanda," ujarnya lirih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tapi... Kenapa?"
Felix menunduk. "Aku tidak bisa memberitahukan alasannya padamu..."
"Tidak mungkin..." Satu bulir air bening jatuh ke tanah.
Kecewa, marah, putus asa, bingung, pikiran dan mulutnya sudah tak sanggup lagi untuk menafsirkan kepedihannya. Sepasang kaki berbalut sepatu putih itu melangkah mundur, berbalik, dan berlari kecil. Otaknya hanya mampu memerintah untuk pergi sejauh mungkin. Tak tentu arah. Tak peduli angin malam yang menerpa dengan kuat, hingga dedaunan kering yang jatuh berserakan. Bahkan, penglihatannya yang buram karena tumpukan air asin, tak mampu lagi membaca kemana kakinya melangkah.
Hingga akhirnya, sebuah batu membuatnya terantuk. Tersungkurlah dia di atas pasir. Setelah mengerjap beberapa kali, barulah Namea sadar kalau dia berada di pantai. Dia menggenggam pasir dan memukul-mukulnya.
"Ind lait yn dingod... akme rums auyo..."
Namea tidak mengerti kenapa Felix menampakkan dirinya dan tidak memberi tahu alasan apa pun. Padahal dia sudah lama menantikan pertemuan ini, tapi dia tidak pernah membayangkan kalau hubungannya akan berakhir seperti ini. Tak pernah sekalipun. Meski entah berapa kali Felix menghilang selama beberapa bulan dan kembali lagi tanpa mengatakan apa pun. Dia masih selalu ingin bertemu dan menghabiskan waktu dengan Felix. Namun, sekarang hal itu tidak akan pernah terjadi lagi.
"Akme rums auyo... tau dakn yn bac akme laudo. Jo, birle akme selon braat maiht. Kallac..."
Samar-samar, dibalik suara deburan ombak, Namea mendengar suara yang tak asing. Kepalanya menengadah menatap rembulan biru menampakkan cahaya terang. Perannya menggantikan matahari yang sudah berpulang. Memimpin bintang-bintang; bersama-sama melindungi makhluk dari kegelapan.
"Kallac..."
Panggilan itu... Mungkin sudah saatnya Namea kembali ke laut-rumahnya yang sesungguhnya. Meninggalkan segala kepedihan di daratan. Haruskah dia kembali? Namea menoleh ke belakang, berharap Felix mengejarnya. Akan tetapi, di sana hanya ada kesepian dan kegelapan. Meringis, Namea bangkit dan melangkahkan kakinya ke lautan. Membiarkan air jernih yang begitu dingin itu menusuk kulitnya.
"Tau dakn yn bac akme laudo. Jo, birle akme selon braat maiht. Kallac..."
Terus melangkah, hingga tubuhnya tenggelam sepenuhnya. Dalam keheningan dan kegelapan itu, Namea menenggelamkan diri. Menikmati damai di kedalaman. Kelopak matanya tertutup, tapi tangannya dibiarkan mengambang. Bibir tipisnya mengulum senyum miris. Dia tersenyum, tapi hatinya menangis. Tampak dari napasnya yang tersengal. Dia coba untuk menahan tangis.
"Ind lait yn dingod... akme rums auyo..."
Dari suara parau yang terlantun, siapa pun akan tahu: hatinya kalut, pikirannya kalap, dan jiwanya koyak. Dia ingin menangis, tapi tak bisa. Ada satu-dua hal yang membuatnya mengatupkan bibir rapat-rapat dan memejam erat. Hatinya masih berharap Felix akan kembali padanya. Berharap kejadian tadi hanyalah mimpi buruknya.
"Kallac..."
Perlahan, matanya terbuka. Dan pada saat itulah, Namea melihat samar-samar bayangan sesuatu di tengah cahaya bulan. Lama-kelamaan bayangan itu menampakkan sesosok laki-laki. Siapa itu? Namea tak mau berharap lebih, mungkin saja dia nelayan yang tenggelam. Jadi, dia hanya membiarkan tubuhnya terus tenggelam semakin dalam.
"Ind lait yn dingod... akme rums auyo... Kallac..."
Namun, semakin dekat sosok itu, semakin yakin bahwa dia mengenalnya. Itu... Felix? Bagaimana dia bisa ada di sini? Belum habis keterkejutannya, tiba-tiba saja tangannya ditarik dan tubuhnya didekap. Namea mencium aroma khas tubuh Felix yang dia kenal. Felix... benar-benar kembali padanya...
"Maafkan aku... Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi... Aku tidak bisa membiarkanmu kembali ke kedalaman di sana, Namea."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top