Menghitung Kepintaran
“Dino saja yang maju. Ayo, kerjakan soalnya!” seru Bu Agnes yang entah bagaimana membuat Dino merinding. Ia tahu kekhawatirannya sekarang tidak berdasar. Namun, bagaimana menjelaskannya, ya. Cara Bu Agnes memandang Dino cukup untuk membuatnya kehilangan seluruh kepercayaan diri pada saat yang sama.
“Dino? Kenapa malah diam saja? Ayo dikerjakan!” seru Bu Agnes yang tampaknya tak sabar dengan keleletan Dino.
Dengan gerakan kelewat enggan, Dino melangkah ke depan. Dari sensasi panas yang membakar punggung, juga bisik-bisik lirik seisi kelas, Dino tahu dia sedang menjadi pusat perhatian sekarang.
Dino berlagak tidak peduli dengan sekitarnya dan memilih mengambil spidol. Salah satu kunci menjalani kehidupan tenang bagi Dino adalah dengan tidak banyak peduli. Terlalu menanggapi orang lain hanya akan menyakiti diri sendiri.
Dia menatap beberapa soal yang tertulis di papan dengan saksama. Berderet angka dengan huruf x dan y mendadak berputar-putar di kepala Dino. Mengundang benang kusut.
Bagaimana mengerjakannya? pikir Dino yang rasanya sudah ingin muntah di tempat karena deretan soal di luar pemahamannya.
“Kenapa, Dino?” tanya Bu Agnes. Sejujurnya, tidak membantu sama sekali. “Pilih salah satu yang menurut kamu paling mudah dikerjakan.”
Bu Agnes bahkan sudah berdiri di belakang Dino sekarang, mungkin menunggu tangannya bergerak mengerjakan. Beliau mendekat dengan tangan menunjuk soal pertama.
“Mudah, Dino. Kamu subtitusikan persamaannya, lalu cari nilai x dan y dari hasil subtitusi,” jelas Bu Agnes yang meskipun tampak meyakinkan, terdengar seperti dengungan lalat yang mengganggu pendengaran Dino.
“Saya nggak tahu, Bu,” lirih Dino akhirnya sambil membalikkan badan dengan kepala menunduk dalam. “Maaf.”
Mimpi buruknya adalah, helaan napas Bu Agnes yang terdengar terasa seperti hukuman mati yang dijatuhkan Tuhan pada Dino. Dari tempatnya berdiri, Dino hanya bisa menggigit bibirnya keras-keras. Malu.
“Waktu saya menjelaskan, kamu ngapain saja? Kenapa soal seperti ini saja tidak bisa diselesaikan? Mau jadi apa kamu nanti kalau sekolah saja tidak serius begini?”
Selesai. Habis sudah seluruh kepercayaan diri yang mati-matian Dino tanam. Diinjak-injak karena dia gagal mengerjakan soal eksak yang memang tidak dia kuasai.
***
Dino hanya mengedikkan bahu sambil tertawa kecil. “Ya sudah sih, Yas, berarti memang aku yang bermasalah.”
“Bermasalah apanya sih, No! Aku yang paling tahu gimana hampir matinya kamu ngikutin kecepatan belajar di sini.” Yasa kembali mengomel sambil menusuk-nusuk pentol bakso di mangkuknya dengan beringas. “Mereka punya dendam apa sih sama kamu?”
“Pertanyaannya salah. Harusnya, ada apa sih sama isi kepalaku? Kok enggak mau diajak pinter.”
Yasa mendengkus tidak suka. “Bakat juga nggak bisa disamaratakan. Kenapa harus orang-orang dengan kegeniusan soal angka yang dipuja istimewa? Nggak adil!”
“Loh, kok marah, Yas? Kamu pinter ini, mana ada urusan sama pandangan mereka.”
“Nggak tahu lah, No. Kesel aku ngobrol sama kamu!” gerutu Yasa yang malah mengundang Dino tertawa lagi.
“Ngambek?” goda Dino.
“Nggak tahu!”
***
“Hahaha, Raka dapet jackpot! Mau tuker kelompok gak, Ka? Eh, udah sama kesayangannya, ya?” selorohan demi selorohan terdengar memenuhi kelas. Sekumpulan lelucon yang sayangnya, tidak pernah terdengar lucu di telinga Dino.
Selalu begini. Setiap selesai pembagian kelompok, kelompok Dino mendadak beralih fungsi menjadi grup lawak yang mengundang tawa teman satu kelas.
“Berisik! Kepalaku pusing, nih!” gerutu Raka.
Mungkin di kepala teman-teman Dino sekarang, apa sih andilnya seonggok sampah di sana? Hanya mengotori dan mengundang lalat saja.
“Nanti bagianku kamu kasih tahu aku ya, Rak. Biar aku bantu kerja,” kataku. Lebih baik tidak menanggapi humor-humor menyakitkan yang mereka mainkan. Menyakiti diri.
Bersamaan dengan ucapan Dino tadi, geng main Raka jadi tertawa keras. Dino tidak buta, kok. Telinganya juga berfungsi dengan sangat baik. Serius. Dia tahu betul kalau tawa mereka itu ditujukan untuknya. Hanya saja, Dino tidak ingin menanggapi.
“Gak usah!” jawab Raka judes. “Aku kerjain sendiri aja.” Setelahnya, Raka melenggang dari kelas begitu saja.
***
Jika boleh berpikir picik sedikit, stok kebahagiaan Dino sudah habis semenjak duduk di bangku SMA. Dino curiga karena terlalu suka menonton Harry Potter, ia tidak sadar ada Dementor yang sudah menyedot seluruh kebahagiaannya, makanya Dino seperti ini sekarang.
“Masih belum bisa, Dino?” pertanyaan Bu Agnes terdengar lagi. “Masa setiap saya suruh kamu maju, nggak ada satu pun soal yang bisa kamu jawab?”
Kalimat keras dari Bu Agnes sukses mengundang seluruh kelas tertawa miring. Entah bagaimana, tertawaan mereka hari ini terdengar menyilet telinga Dino.
“Saya sudah berkali-kali menjelaskan, Dino. Setidaknya bisa paham satu atau dua soal.”
Sekali lagi dalam minggu yang sama, Dino berdiri di depan kelas diiringi teguran keras Bu Agnes, juga senyum-senyum miring meremehkan.
“Pendidikan itu jadi tolok ukur kesuksesan ke depannya. Saya cuma minta kamu sedikit berusaha. Apa susah?”
Dino menarik napas panjang-panjang. Cercaan yang dia terima hari ini terlalu banyak. Ia tidak masalah jika dipanggil ke ruang guru, lantas dimarahi seperti ini. Benar-benar tidak masalah. Tapi tolong, jangan diperlihatkan jeleknya Dino terang-terangan seperti ini.
“Kamu sudah kelas 12. Sudah waktunya untuk kasih perhatian lebih untuk akademik kamu. Memangnya kamu nggak mau kuliah setelah lulus nanti?”
Tangan Dino sudah menggenggam spidol erat-erat. Sudah cukup, kan? Jangan terus disudutkan. Dino mulai tidak tahan.
“Saya ngomong begini bukannya mau menjelekkan kamu, Dino. Saya cuma mau anak-anak didik saya sukses, makanya saya keras dari sekarang. Ini bukti perhatian saya buat kamu.”
Dino bahkan tidak sadar sudah menggertakkan giginya kencang. Rahangnya kebas terlalu banyak menahan diri pada kikikan kecil yang masuk telinganya. Sepertinya, benar-benar menjadi tuli terdengar lebih menyenangkan. Dino tidak perlu mendengar komentar-komentar sepihak tanpa mau paham kondisinya lebih dulu.
“Sudah cukup kan, Bu?”
Suara itu membuat Dino mendongak cepat. Yasa sudah berdiri di bangkunya dengan tangan mengepal dan ekspresi keruh dari wajahnya.
“Sudah cukup Ibu menyadarkan Dino.” Sambil mengatakannya, Yasa menatap mata Dino lekat-lekat. “Dibanding orang lain, saya yakin Dino yang paling sadar kekurangannya. Karena kesadarannya itulah, hampir setiap hari Dino menyeret saya ke perpustakaan. Dia mau kasih bukti kalau dia juga berusaha. Dia nggak akan kalah dari orang lain.
“Ditertawakan teman-teman, dipandang sebelah mata oleh jajaran guru, ditegur hampir di setiap mata pelajaran. Hal-hal seperti itu cukup, sangat cukup untuk membuka Dino. Tidak perlu disudutkan sampai seperti ini.”
Kemarahan Dino lenyap detik itu juga, berganti dengan perasaan cemas. Kenapa, Yasa? Padahal Dino sudah mewanti-wanti supaya Yasa tidak meledak di depan umum.
Dino sedikit tergagap saat membuka suara. “Yasa, nggak ....”
“Maaf kalau saya kurang sopan,” potong Yasa cepat. “Saya siap ditegur dan diberi hukuman setelah ini. Saya hanya tidak bisa diam dengan cara orang lain memperlakukan teman saya. Dino juga manusia, dia punya kekurangan. Hanya karena kekurangan dia terletak di aspek yang selama ini dianggap penting oleh orang-orang, Dino jadi direndahkan. Saya tidak tahan! Kenapa menghitung kepintaran hanya didasarkan pada angka?”
Dino buru-buru melangkah. Dia mendekati Yasa dan menahan lengan perempuan itu agar berhenti. “Udah, Yas. Kamu kenapa, sih!”
“Sebentar, No, aku belum selesai,” tolak Yasa cepat. “Dino kurang di bidang akademik. Benar. Tapi apa perlu dibuka, dibicarakan, sampai dikupas semua kesalahannya di depan kelas seperti ini? Apa tidak bisa disediakan ruang khusus untuk Dino? Paling tidak, tanya pendapat dia, 'Kamu nanti mau lanjut ke mana, Dino?’, 'Kamu kesulitan di mana, Dino?’. Tolong, berhenti memperlakukan Dino seperti kuman yang harus dihindari.”
“Yasa, udah, ya? Udah cukup,” bisik Dino sambil menarik-narik tangan Yasa. Namun, perempuan itu tetap tak acuh.
“Untuk masa depan, Dino juga sedang berjuang. Bahkan jauh, jauh sebelum teman-temannya memikirkan karier mendatang, Dino sudah menemukan mimpinya. Dari kecil, orang tua Dino sudah memberi bekal olahraga untuk Dino. Dan sampai sekarang, Taekwondo itulah yang membantu Dino dalam banyak hal. Masalah kampus juga, portofolio Dino sudah sangat cukup untuk dimasukkan ke perguruan tinggi yang Dino cita-citakan.
“Selama mengenal Dino, saya tidak pernah melihat dia marah. Tapi, baru hari ini saya lihat ekspresinya sekeras batu. Tangannya terkepal rapat. Kalau tidak tahu kehidupan seseorang yang sebenarnya bagaimana, tolong, jangan terlalu mudah mengerdilkan kemampuan dia.
“Apa, sih, bagusnya menjadi pintar dengan membuat orang lain merasa lebih buruk? Belum puas menertawakan teman saya sebegitunya? Atau merasa keren karena lebih hebat dari Dino?”
Selesai dengan pidato panjangnya, napas Yasa terengah-engah. Dino hanya bisa menunduk sambil menepuk-nepuk kecil punggung Yasa.
Keadaan kelas yang tadinya dipenuhi senyum meremehkan, mendadak jadi hening. Dino bisa melihat Bu Agnes terdiam, mungkin bergulat dengan isi kepalanya sendiri.
“Terima kasih, Yasa,” kata Bu Agnes setelah berhasil menguasai diri. “Itu tadi teguran keras untuk saya. Saya minta maaf karena kurang bijak menjadi pendidik untuk kalian. Saya hanya fokus pada angka, tanpa tahu usaha anak didik saya bagaimana.”
Bu Agnes sekarang fokus melihat Dino dengan senyum malu dan perasaan bersalah. “Dino, saya minta maaf karena memperlakukan kamu tidak adil selama ini. Teguran yang saya terima, akan saya masukkan ke dalam hati dengan sungguh-sungguh agar ke depannya, saya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Maafkan Ibu ya, Dino?”
Ada perasaan lega yang seenaknya menyusupi dada Dino saat senyum Bu Agnes terlihat menyenangkan hari ini. Teman-temannya pun memberikan senyum yang sama, sambil membisikkan permintaan maaf yang menenangkan telinga Dino.
Ah, mungkin seharusnya Dino bisa lebih keras dengan isi hatinya. Dia harus belajar bagaimana mengutarakan perasaannya pada hal-hal kurang menyenangkan yang dia terima selama ini.
Mungkin dengan sedikit memberi suara pada dirinya sendiri, Dino tidak harus menahan diri selama ini. Dan seseorang tidak akan salah paham lagi dengan kondisinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top