Twist Of Sorrow
Di sebuah ruang pertunjukan, seorang wanita berambut pirang tampak duduk sambil bertepuk tangan penuh semangat. Malam itu, ia bersama dengan ratusan orang lainnya sedang menonton sebuah pertunjukan sulap terbesar di kota. Tak hanya satu, melainkan ada tiga pesulap yang tampil bergiliran untuk memamerkan kelihaiannya masing-masing.
Suasana begitu meriah saat Rupert Anderson, seorang pesulap klasik berhasil mengeluarkan lima ekor kelinci dari sebuah topi sulap yang sebelumnya kosong. Sebuah trik sulap paling populer sepanjang masa.
Setelah membungkukan badan sejenak, pesulap itu kembali beraksi. Ia menarik seutas pita dari tangannya yang sebelumnya tampak kosong dan dalam sekejap mengubahnya menjadi seekor burung merpati.
Tepuk tangan riuh pun kembali membahana memenuhi ruangan. Para penonton tampak begitu takjub dengan pertunjukan yang tersaji di atas panggung.
Tanpa menunggu keriuhan mereda, sang pesulap kembali beraksi dengan cekatan mengeluarkan seutas pita merah. Sedetik kemudian, dengan diiriingi ayunan tangan yang cantik, pita itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah payung. Tepuk tangan para penonton terdengar semakin keras.
Beberapa ilusi lain yang disajikan oleh Rupert membuat para penonton terus terpana. Hingga akhirnya, sang pesulap menutup pertunjukannya dengan mengubah sebuah tongkat menjadi kain dan mengembalikannya lagi.
Setelah itu, ia membungkukkan badan sebagai tanda sesinya telah berakhir.
"TEPUK TANGAN YANG MERIAH UNTUK RUPERT ANDERSON!" Suara sang pembawa acara terdengar melalui pengeras suara di sela-sela keriuhan tepuk tangan para penonton. "BENAR-BENAR PERTUNJUKAN SULAP KLASIK YANG TAK AKAN LEKANG OLEH ZAMAN!"
"SETELAH INI, SIAPKAN ADRENALIN KALIAN! KITA AKAN MENYAKSIKAN PERTUNJUKAN UTAMA KITA! SESUATU YANG AKU YAKIN BELUM PERNAH KALIAN LIHAT!" Sang pembawa acara kemudian berdiri di sebelah sang pesulap dan membungkuk bersama. Seiring dengan itu, tirai panggung pun tertutup, memberikan kesempatan bagi pesulap berikutnya untuk mempersiapkan perlengkapannya.
Suasana yang semula meriah pun berangsur mereda. Beberapa orang saling membicarakan keajaiban yang baru saja mereka saksikan. Begitu pun dengan sang wanita berambut pirang yang duduk di sebelah kakak laki-lakinya.
"Kau lihat tadi? Dia begitu lihai! Sungguh tak masuk akal!" seru sang wanita penuh semangat.
"Tenanglah Madelyn, aku tahu kau memang tergila-gila padanya," sahut sang kakak dengan mulut dipenuhi jagung pop corn.
"Huh ... kau selalu saja begitu! Dia akan segera menjadi adik iparmu. Tak bisakah kau menghargai pekerjaannya sedikit saja?"
"Kau tahu? Sulap hanya permainan tipuan. Aku heran, mengapa begitu banyak orang suka sekali ditipu."
"Dasar kau sangat menyebalkan! Pantas saja tak ada wanita yang mau dekat denganmu! Huh!" Madelyn mendengkus sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Nih, makan." Tanpa rasa bersalah, Barton menyorongkan telapak tangannya yang berisi sejumput pop corn. Madelyn membuka mulut lalu melahapnya begitu saja.
"Enak juga," gumam Madelyn dengan mulut penuh.
Tak lama kemudian tirai panggung terbuka dan sang pembawa acara tampil kembali. "MARI KITA SAMBUT DENGAN TEPUKAN YANG MERIAH! ILUSIONIS REVOLUSIONER ZAMAN INI! SATU-SATUNYA WANITA PENANTANG MAUT! JEAN ABIGAIL!
Bersamaan dengan berakhirnya pengumuman dari sang pembawa acara, musik menghentak pun terdengar. Dua orang pria masuk ke panggung dengan menggelandang sang pesulap wanita dalam kondisi tangan terikat seolah akan dieksekusi. Berbeda dengan para pesulap lain yang biasanya menggunakan pakaian serba tertutup untuk memberikan kesan misterius, Jean tampil dengan pakaian terbuka yang membiarkan bagian paha serta perutnya terekspos.
Kedua orang tadi kemudian merentangkan tangan Jean, mengikatnya dengan menggunakan borgol. Tak hanya tangan melainkan leher dan tubuhnya pun dililit dengan rantai. Sementara itu, sebuah tombak yang siap ditembakkan terarah langsung ke tubuh Jean. Melihat itu, napas para penonton pun tertahan oleh ketegangan yang seperti mengambang di udara.
Sang pesulap harus melepaskan tubuhnya dari ikatan rantai sebelum waktunya, atau ia akan mati tertusuk tombak. Sebuah lilin tampak telah disiapkan untuk membakar tali yang menahan tombak tetap di tempatnya. Ketika lilin dinyalakan, itu berarti waktu bagi Jean untuk segera melepaskan diri.
"Apa yang mereka lakukan! Jika terlambat sedikit saja, dia bisa mati!" desis Madelyn dengan kedua tangan tertangkup di mulut. Ketegangan tampak jelas dari matanya yang membelalak.
"Ssh ... bukankah sudah kubilang sulap itu hanya tipuan," sahut Barton tak acuh.
"Tapi kan ...." Madelyn tak melanjutkan kalimatnya lagi. Netranya terfokus pada pertunjukan pemacu adrenalin yang tersaji di hadapannya. Ketika kedua pria tadi selesai melilit tubuh Jean dengan rantai, tirai pun ditutup. Para penonton hanya dapat melihat tubuh Jean dalam bentuk siluet di balik tirai. Setelah semua siap, lilin pun dinyalakan. Api yang tersulut mulai membakar tali yang menahan tombak tetap di tempatnya.
Jean memulai atraksinya dengan melepaskan gembok yang mengikat kedua tangannya bergantian. Setelah tangannya bebas, ia beralih ke gembok yang mengikat lehernya. Kini ketegangan terasa begitu intens, ditambah dengan latar musik yang terdengar mencekam, membuat Madelyn bahkan merasa kesulitan untuk meneguk ludahnya sendiri.
Dalam beberapa menit, tiba-tiba tali terputus dan tombak pun melesat menembus tirai. Teriakan histeris para penonton yang terkejut segera memenuhi ruangan. Namun, para asisten Jean tampaknya tenang-tenang saja. Begitu pun dengan Barton. Ia masih sibuk mengunyah pop corn miliknya.
"YA AMPUN, DIA BENAR-BENAR TERTUSUK!" Madelyn menjerit heboh.
"Tenang saja, itu pasti tipuan," sahut Barton.
Namun setelah beberapa saat situasi terasa semakin mencekam. Siluet tubuh Jean tak bergerak sama sekali dan para asistennya mulai tampak panik. Mereka saling berbisik satu dengan yang lain. Beberapa memberikan kode untuk menutup tirai panggung.
Tirai pun tertutup, meninggalkan para penonton dalam suasana mencekam.
"Mohon maaf, telah terjadi kesalahan teknis, pertunjukan kami akhiri. Para penonton harap meninggalkan ruangan dengan tenang." Sang pembawa acara berbicara melalui pengeras suara.
Para penonton pun seketika panik, begitu pula dengan Madelyn. "Apa yang sudah terjadi?" tanyanya pada sang kakak yang kini mulai tampak tegang. Posisi duduknya menegak dan keringatnya menetes membasahi wajah.
"Sepertinya ia benar-benar tertembak. Aku harus melihat ke sana," sahut Barton. Nalurinya sebagai seorang detektif polisi mendorong pria itu untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"T-tunggu, aku ikut," Madelyn segera mengekori kakaknya. Ia tak mau sendiri dalam suasana kalut seperti saat itu.
Atmosfer di balik tirai terasa mencekam. Tubuh Jean yang tertusuk tombak tergeletak di lantai dalam kondisi yang mengenaskan. Darah mengalir membasahi tempat di mana sang pesulap masih terikat dengan rantai. Barton berlari menghambur untuk melihat apakah ia masih bernyawa. Namun malang, pesulap wanita itu tak tertolong lagi.
Barton pun menutup kelopak mata Jean.
"Apakah sudah ada yang memanggil ambulance atau polisi?" tanya Barton pada para petugas panggung.
"S-sudah, Tuan. Saya sudah menelepon ambulance," sahut salah seorang pria yang ada di situ.
"Baiklah, jangan ada yang pergi dari sini sampai polisi tiba! Berikan padaku seluruh catatan pengunjung!" tegas Barton sambil menunjukkan lencana kepolisiannya. Setelah itu, ia meminta salah seorang petugas untuk juga menelepon bantuan kepolisian.
Sementara itu Madelyn berdiri di sebelah Rupert, tunangannya. Raut wajah pria itu sama terkejutnya seperti yang lain. "Aku tak pernah menyangka dia akan mati secepat ini," gumam Rupert. "Sayang sekali, padahal ia seseorang yang sangat berbakat."
Tak lama kemudian, ambulance dan polisi pun datang untuk melakukan prosedur pemeriksaan TKP. Sekitar gedung pertunjukan diberi garis polisi dan semua petugas panggung dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
"Sebaiknya kau pulang dulu," ujar Barton pada sang adik.
Tak mau memperumit situasi, Madelyn pun menurut dan meninggalkan gedung pertunjukan dengan menumpang taksi. Segudang tanya berseliweran dalam benaknya. Apakah yang barusan murni kecelakaan? Ataukan ada seseorang di balik semua ini? tanyanya pada diri sendiri.
Keesokan paginya Madelyn terbangun dan menemukan kakaknya belum juga pulang ke rumah. Ia pun mengisi waktu dengan membersihkan rumah dan pergi berbelanja. Ia berharap dapat mengusir bayang-bayang mengerikan kematian Jean dari benaknya.
Barton tiba di rumah menjelang sore. Wajahnya tampak begitu kelelahan. Madelyn segera menghambur menyambut kedatangan sang kakak.
"Akan segera kusiapkan kopi kesukaanmu."
Barton pun duduk sambil menghela napas panjang. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah menghadapi hari yang sangat panjang.
"Bagaimana? Apakah sudah ada titik terang?" tanya Madelyn sambil membawakan secangkir kopi.
"Sepertinya pelakunya adalah Larry Edison. Bukti-bukti yang ada mengarah kepadanya. Ia juga memiliki motif yang cukup kuat."
"Maksudmu pesulap yang seharusnya tampil setelah Jean?"
Barton mengangguk singkat "Kami menemukan jejak minyak tanah pada bekas tali yang terbakar. Hal itu tentu membuat api menyala lebih besar sehingga waktu yang dimiliki Jean untuk melepaskan diri menjadi lebih singkat. Setelah menggeledah semua orang, ditemukan sebuah suntikan dengan jejak minyak tanah pada peralatan sulap Larry."
Madelyn tertegun sesaat. "Lalu apa motifnya?"
"Dia tak suka cara Jean tampil dengan pakaian terbuka. Larry merasa perbuatan itu telah merendahkan martabat sulap, dari pertunjukan cerdas menjadi hiburan sekelas tarian striptease di kelab malam. Semua orang yang berkecimpung di dunia sulap mengetahui buruknya hubungan mereka."
"Baguslah kalau begitu, kau sudah bisa bernapas lega sekarang," sahut Madelyn.
"Tapi aku merasa seperti ada yang janggal." Barton mendesah panjang.
"Maksudmu?"
"Ya, sepertinya ini terlalu mudah. Pembunuhan kemarin telah direncanakan dengan rapi, bahkan tak meninggalkan sidik jari. Seharusnya Larry juga memikirkan pemusnahan barang buktinya. Pesulap itu bukan orang yang bodoh. Ia memiliki waktu yang cukup sebelum pertunjukan dimulai.
"Selain itu, ia juga menolak mengakui bahwa dia pelakunya. Meski memang tak ada penjahat yang langsung mengaku, tapi aku merasa dia tidak berbohong." Barton menyeruput kopinya lalu mendesah pelan.
"Lalu apakah ada orang lain yang memiliki motif?"
"Ben Harold. Dia adalah asisten Jean yang bertugas menyalakan lilin. Dari keterangan rekan-rekannya, ia sangat kecewa karena cintanya ditolak oleh sang pesulap. Padahal ia sudah menjual apa yang ia miliki untuk membeli sebuah cincin demi menyenangkan hati Jean."
"Ya Tuhan." Madelyn mendesah mendengar itu. "Lalu kenapa para asisten tidak menghentikan pertunjukan ketika mereka melihat api yang menyala lebih besar dari biasanya?"
"Itu karena Jean sangat keras pada para asisten. Ia tak segan untuk segera memecat seseorang jika sampai pertunjukan tak berjalan dengan sebagaimana mustinya."
Kedua kakak beradik itu terdiam beberapa saat. Bukti yang ada memang mengarah pada Larry, tetapi kecelakaan ini juga terjadi karena andil dari para asistennya yang memilih untuk membiarkan api menyala lebih besar. Dan semua itu juga diakibatkan oleh sikap buruk Jean.
Setelah menghabiskan kopinya, Barton bangkit dari tempat duduk dan melangkah masuk ke kamar. "Aku akan beristirahat sejenak," ujarnya.
"Oh ya, lalu bagaimana dengan Rupert?"
"Tak ada temuan yang memberatkannya, ia sudah diperbolehkan pulang ke rumah." Sahut Barton tanpa menoleh lagi.
Setelah itu, Madelyn memutuskan untuk pergi ke rumah Rupert. Ia setidaknya ingin menemani dan mengetahui kabarnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk berkendara ke rumah sang tunangan.
Wanita itu pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah Rupert.
Setelah beberapa saat tak ada jawaban, Madelyn memilih untuk mencoba membuka pintunya. Ternyata pintu tidak terkunci. Madelyn pun masuk dan menemukan tunangannya tertidur di sofa. Ia tampak begitu kelelahan setelah melewatkan hari yang panjang.
Tak tega membangunkan, Madelyn memilih melihat-lihat seisi rumah. Sebagai seorang pesulap terkenal, rumah Rupert cukup luas. Ia bahkan memiliki sebuah ruangan rahasia yang khusus untuk menyimpan berbagai peralatan sulapnya. Tak ada seorang pun yang boleh masuk ke sana, termasuk Madelyn.
Untuk mengisi waktu sambil menunggu Rupert terbangun, Madelyn memilih untuk membaca sebuah surat kabar dengan judul utama "SENJATA MAKAN TUAN. PESULAP CANTIK WAFAT AKIBAT TRIK SULAPNYA SENDIRI."
Artikel itu mendorong munculnya rasa penasaran Madelyn akan misteri kematian Jean. Ditambah lagi dengan pendapat sang jurnalis yang menyebut bahwa reputasi Barton sebagai detektif kepolisian sedang diuji.
Terdorong oleh keinginannya untuk membantu sang kakak, Madelyn memutuskan untuk menyelinap masuk ke dalam kamar rahasia milik tunangannya. Jika bisa memahami trik sulap, setidaknya ia dapat memahami kejanggalan pada pertunjukan Jean, begitu pikirnya.
Setelah membongkar laci Rupert dengan penuh kehati-hatian, Madelyn akhirnya berhasil menemukan kunci ruangan itu dan bergegas masuk ke sana.
Di situ cukup besar dengan berbagai macam perlengkapan sulap di setiap sudutnya. Sebuah cermin besar untuk berlatih tertempel di salah satu sisi ruangan. Topi, tongkat, pita, hingga kotak kayu tertata rapi menyimpan rahasianya masing-masing. Di sana ada juga sebuah lemari berisikan buku-buku mengenai trik sulap. Madelyn tertarik untuk melihat lebih jauh ke sana.
Ia mengambil sebuah buku catatan berisi bermacam-macam trik sulap. Keningnya berkerut ketika melihat sebuah sketsa trik yang sama seperti apa yang ditampilkan Jean malam itu.
Madelyn pun mempelajari sketsa itu dengan lebih seksama. Rupanya sulap yang ditampilkan Jean memang sangat berisiko. Kuncinya hanya pada borgol yang bisa dibuka dengan mudah, selebihnya tergantung pada kecepatan tangan sang pesulap dan timing yang tepat. Terlambat sedikit saja, maka nyawa bisa melayang. Kecelakaan memang bisa saja terjadi dalam situasi semacam itu.
Ah, mungkin hanya kebetulan. Sebuah trik tidak hanya diketahui oleh satu orang pesulap saja kan? Batin Madelyn tak ingin terlalu berburuk sangka pada Rupert. Apalagi dalam beberapa minggu, ia sudah akan menjadi suaminya.
Setelah itu, Madelyn memutuskan untuk membuka halaman lain dari buku itu. Napasnya seketika terhenti ketika menemukan coretan rencana pembunuhan di sana. Beberapa alternatif mulai dari mengganti borgol sulap dengan borgol biasa, bekerja sama dengan Ben sang asisten, atau meletakkan obat bius pada minuman Jean, untuk membuatnya mengantuk saat tampil.
Dan yang paling mengejutkan, ada juga coretan mengenai ide memberikan minyak tanah pada tali dan membuat api menyala lebih besar, lengkap dengan rencana pemusnahan alat buktinya sekaligus menjadikan Larry sebagai kambing hitam.
Tubuh Madelyn seketika melemah. Buku itu jatuh ke lantai sementara sang wanita jatuh terduduk. Keringat menetes membasahi wajah diiringi debar jantung yang berdetak tak karuan.
Dengan tangan yang basah, Madelyn mengembalikan buku itu ke tempatnya semula. Logikanya mengatakan untuk diam saja. Toh, Rupert sudah terbebas dari segala tuduhan. Ia bisa menutupi perbuatan sang calon suami dan kembali hidup normal sesuai impiannya.
Namun nuraninya berontak. Ia merasa tak seharusnya menutupi kejahatan seseorang, meski dia adalah calon suaminya sendiri.
Malam itu juga, setelah mengembalikan kunci ke tempat asalnya, Madelyn memilih pulang kembali. Sepanjang perjalanan jantungnya terus berdegup kencang. Benaknya menimbang-nimbang apakah sebaiknya mengatakan apa yang ia temukan atau membiarkan kejahatan tunangannya terkubur dengan sendirinya.
Hingga tiba di rumah, pikirannya masih diselimuti kekalutan.
"Hai, kau tampak sedang banyak pikiran?" tanya Barton pada sang adik begitu ia masuk ke rumah. Sebagai seorang detektif polisi, kemampuan membaca raut wajah tentu menjadi keahlian wajib.
Madelyn tertegun memandangi wajah sang kakak. Bibirnya terasa bergetar.
"R-Rupert pelakunya ...." Kalimat itu menyembur dengan sendirinya. Madelyn jatuh berlutut di lantai sambil menangis. Nuraninya menang.
Barton memeluk sang adik dengan lembut, membiarkan wanita itu menangis sepuasnya.
"D-dia, dia memiliki catatan rencana pembunuhan Jean," ujar Madelyn di sela-sela isakan.
Barton mempererat pelukannya, berharap dapat membantu adiknya lebih tenang. "Apakah dia sadar kalau kau mengetahui rahasianya?"
Madelyn menggeleng pelan sambil menatap kakaknya. Matanya merah dan berair. Fakta yang baru saja ia sampaikan telah menghancurkan hati sekaligus masa depannya. Pernikahan yang sudah tinggal menghitung hari kini bisa dipastikan akan gagal.
Madelyn berlari ke kamarnya. Ia membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan hati. Ia pun menangis sepuasnya. Entah apakah tindakannya barusan adalah keputusan yang tepat, ia tak peduli lagi. Otaknya sudah tak mampu menimbang dengan bijak.
Sementara itu, Barton pun menghubungi rekannya untuk segera melakukan penggeledahan di rumah Rupert. Dari hasil penyelidikan lebih lanjut, diketahui bahwa Jean pernah bekerja sebagai asisten Rupert. Wanita itu mencuri konsep milik sang pesulap dan mengembangkannya sehingga menjadi lebih tenar, daripada sang mantan majikan. Karena dengki, Rupert merencanakan pembunuhan terhadap Jean, membuatnya kini harus mendekam di balik jeruji besi.
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi psikologis Madelyn berangsur membaik, Barton pun memberanikan diri untuk bertanya. "Mengapa kau memutuskan untuk mengatakan hal itu? Kau bisa saja membiarkan Larry dihukum dan hidupmu akan jauh lebih baik."
Madelyn terdiam sejenak sebelum menjawab, "Jika tak mengatakannya, seumur hidup aku akan terpenjara dalam rasa bersalah. Mengatakan apa yang sebenarnya telah membebaskanku, meski aku harus membayar harga yang sangat mahal. Bukankah kebebasan memang sesuatu yang berharga?" sahut Madelyn sambil tersenyum.
Barton pun membalas senyuman itu lalu melahap pizza yang tersaji di hadapannya.
-----------------------------
A story by : Ronny_P
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top