To Collect Puzzles
Pagi itu, orang-orang mengerumuni alun-alun kota lantaran seonggok tubuh dingin kembali ditemukan terpancang pada sebuah tonggak. Tubuh setengah telanjang itu dipenuhi bilur, telah dilecuti ratusan kali. Sementara lehernya tampak akan putus. Kalau saja sebuah pasak kayu—yang menancap dari mulut ke tenggorokan—tidak menahannya, sudah pasti seonggok kepala itu tak akan bertahan di tempatnya. Darah yang belum sepenuhnya kering mengalir, merembes ke serat terdalam pakaian serupa kain pel yang membalut tubuh. Kondisi tubuh itu tampak menjadi pertunjukkan paling kejam sekaligus sinting sepanjang sejarah Kerajaan Asterin. Namun, bahkan orang-orang tak terkejut lagi. Ini sudah menjadi kali kelima. Sejak konflik antara para budak dan bangsawan memanas, alun-alun menjadi panggung pentas berdarah.
"Tak baik bagimu untuk menatapnya terlalu lama, Nesta." Tuan Gavriel, majikanku, berucap kala kami melewati alun-alun. Tempat itu bahkan sama padatnya dengan pasar yang baru saja kami kunjungi. Bagaimana mungkin orang-orang tetap penasaran sementara mereka telah disuguhi pentas yang sama selama seminggu belakangan? Tidakkah mereka muak untuk membersihkan darah yang berceceran saban minggu?
Aku mendongak untuk menatap wajah Tuan Gavriel yang tinggi, lalu tersenyum. "Itu tak akan memprovokasi saya," kataku.
"Tidak." Tuan Gavriel menutup mataku dengan telapak tangannya. "Kau masih terlalu kecil untuk menyaksikan hal macam itu."
Aku melepaskan tangannya hati-hati, berniat untuk tidak menepisnya dengan tidak sopan. "Saya akan berusia 15 tahun bulan depan. Saya bukan anak-anak lagi."
"Ah, jadi sudah enam tahun berlalu, ya." Tuan Gavriel meletakkan tangannya di dagu, seolah hal yang ia lakukan itu memudahkannya untuk mengarungi jalinan ingatan rumit di kepalanya.
Aku hanya manggut-manggut. Memang benar sudah terlewat enam tahun sejak ia menemukanku. Itu kenangan yang menyenangkan untuk digulir kembali, tapi bagaimana pun juga, aku tak ingin kembali. Kepada masa lalu di mana aku bahkan tak memiliki hak atas tubuhku sendiri. Aku tak begitu ingat alasanku menjadi yatim piatu dan berakhir menjadi barang jual beli yang orang-orang sebut sebagai budak. Tahu-tahu aku sudah berada di sana. Hidup berdesakan di sebuah bilik sempit, di balik jeruji besi. Aku bahkan tak pernah bermimpi dapat terlepas dari kain kumal yang menoreh ruam di kulitku.
Perlakuan penjual budak juga lebih kejam daripada kutu yang menggerogoti kulit kepalaku. Ia tak segan melecuti badan-badan kurus kering yang membelot, menoreh bilur bernanah yang tak sedap dipandang. Bertahun-tahun berada dalam kerangkeng kekejaman itu sempat membuatku berpikir bahwasanya kebebasan hanyalah omong kosong belaka. Bertemu dengan Tuan Gavriel menjadi satu-satunya hal bagus untuk diingat pada tahun-tahun itu. Ia seorang murah hati yang membebaskanku dari penderitaan. Tak banyak budak seberuntung diriku. Terjual kadangkala tak ubahnya melompat ke dalam kerangkeng yang lain.
Mungkin semua perlakuan tidak manusiawi itulah yang membuat para budak membelot. Sebelum pentas berdarah di alun-alun, keadaan belum sepanas ini. Para budak memang membuat kericuhan, tapi sekadar menjarah harta majikannya atau membuat sedikit keributan. Para bangsawanlah yang mengambil langkah ekstrem pertama kali, menggantung mayat seorang budak yang di tubuhnya terdapat bekas kekejaman tidak manusiawi. Bukannya ancaman, hal itu dianggap sebagai provokasi. Para budak mengambil langkah yang serupa dengan balik menggantung seorang bangsawan kikir. Begitulah kiranya yang kudengar dari simpang siur di jalanan hingga keadaan jadi sebusuk ini.
"Tuan, apa Yang Mulia Raja sudah mengambil tindakan?" Aku bertanya selagi kedua kakiku meniti jalanan di kompleks bangsawan. Para penjaga gerbang menunduk sejenak, memberi hormat kepada tuanku. Bukan hal aneh lagi untuk melihat Gavriel Connal—seorang bangsawan sekaligus wakil kapten Kesatria Kerajaan Asterin—berjalan-jalan dengan kakinya sendiri, bukannya menumpang salah satu dari sekian kereta kuda di kediaman Connal. Bahkan kebiasaan tak lazimnya berjalan-jalan di pasar denganku sudah tak dipertanyakan orang-orang lagi.
"Ya," jawabnya, "Yang Mulia sudah memerintahkan kami untuk melakukan penyelidikan."
Aku mengernyit, mendapati satu hal yang janggal. "Bukannya seharusnya wakil kapten seperti Anda sedang sibuk-sibuknya? Tetapi, Anda bahkan masih sempat berjalan-jalan di akhir pekan."
Tuan Gavriel meringis, tak tersinggung dengan ucapanku sama sekali. "Aku masih mengurusi dokumenku," sanggahnya sembari membuang tatapannya pada jalanan. Aku hendak membuka mulutku lagi, tapi tuanku mendahului. "Nesta, apa kau mau bermain puzzle?"
Mendengar kalimat itu, aku tak bisa mengendalikan binaran mataku sendiri dan tanpa sadar bicara dengan sorakan. "Apa Anda akan membelikanku puzzle yang baru? Kudengar perusahaan mainan Lichelle mengeluarkan seri permainan teka-teki baru. Salah satunya sebuah puzzle dengan 500 kepingan! Itu akan sebesar peta dunia di dinding ruang kerja Anda jika disatukan."
Mengabaikan kalimat tidak sopanku, Tuan Gavriel hanya terkekeh. "Ah, ini lebih menantang ketimbang puzzle 500 keping itu."
Aku menautkan alisku penasaran mendengar jawabannya, walaupun sedikit kecewa lantaran itu bukan puzzle dengan 500 kepingan. "Apa itu permainan teka-teki baru?"
Penasaran, aku mulai memperhatikan wajah tuanku yang dihias sepoles senyum. Iris matanya yang sewarna batu nilakandi berkilat, memantulkan cahaya matahari pagi. Lihat, bagaimana pahatan wajah menakjubkannya itu membuat banyak wanita patah hati.
Setelah lama terbungkam, pria pertengahan dua puluh itu menatapku dengan senyum jenaka. "Ini adalah teka-teki yang tak semua orang dapat pecahkan," katanya, "aku memintamu mengempulkan kepingan puzzle tentang kejadian paling panas di kerajaan.."
"Maksud Anda tentang perseteruan budak dan bangsawan?"
Tuan Gavriel menangguk. Aku berpikir sejenak. Walaupun disebut perseteruan antara para budak dan bangsawan, tak ada yang benar-benar tahu siapa yang menggantung mayat-mayat itu di alun-alun. Kenyataannya perang kedua kubu itu sekabur kaca berembun.
"Anda memintaku mencari pelakunya?"
"Tidak perlu terlalu spesifik. Aku hanya ingin mendengar kebenarannya. Kuharap itu bukan dugaan kosongmu." Bibir Tuan Gavriel kembali melengkung, tampak bersemangat untuk mengujiku sepanjang waktu luangnya. "Nah, berapa lama waktu yang kau perlukan?"
Aku membalasnya dengan senyuman pongah, menerima tantangannya dengan kepercayaan diri ekstra. "Petang ini."
"Itu semangat yang bagus."
....
Hari itu aku sibuk menjelajah tiap sudut kota. Mengorek informasi sebanyak yang kubisa. Banyak orang yang kukenal baik lantaran Tuan Gavriel kerap menyuruhku melakukan hal aneh-aneh, seperti mencari toko roti terenak di pemukiman jelata atau berkeliling mencari seorang pandai besi hebat yang telah pensiun dari sebuah perserikatan. Aneh, bahwa bangsawan dengan kemudahan mengakses informasi seluruh kerajaan malah menyuruh budak sepertiku berkeliling ibukota hanya untuk mencari toko roti. Namun, anehnya juga aku selalu memakluminya. Tuanku itu pria eksentrik.
Berkeliling kota dan bertanya sana-sini memang tak cukup memberiku jawaban. Pun aku tak memiliki hak untuk mengulik lebih detail tentang informasi yang dimiliki para penyidik kerajaan. Lagipula, ini hanyalah permainan menguras otak dan waktuku yang lain, seperti halnya hal-hal aneh yang Tuan Gavriel titahkan padaku. Sudah cukup bagiku berkeliling dan mengotori sepatuku dengan lumpur atau membuat wajahku lebih kusam lagi karena terpanggang matahari. Toh, jika aku tak dapat menebak pun, tuanku itu hanya akan menjitak dahiku.
"Nesta, dari mana kau sampai sekotor ini?" Saat aku menjamah manor lewat pintu belakang, Madam Rosa—kepala koki kediaman Connal—melototiku dengan tatapan menguliti.
Tersenyum masam, aku menjawab pertanyaannya yang tak pernah terdengar ramah, "Tuan Gavriel memberiku tugas." Aku menutup pintu sembari meringis, berharap agar ia tak mengomeliku lebih lanjut. "Aku akan melapor padanya sekarang."
"Sebaiknya kau basuh dirimu dulu. Walaupun kau hanya seorang budak rendahan, perhatikan etikamu." Setelah menyemburku dengan satu omelan lagi, Madam Rosa berlalu. Aku hanya menggelengkan kepala. Satu manor juga tahu mulutnya pedas.
Menuruti Madam Rosa, aku beranjak membersihkan diri sebelum menemui Tuan Gavriel. Matahari sudah semakin membenamkan dirinya di ufuk barat saat aku selesai. Tuanku itu pun sudah jengah duduk di ruang kerjanya untuk menungguku. Bahkan kupikir cangkir teh di tangannya sudah diisi ulang lebih dari tiga kali.
"Kau akhirnya kembali."
Aku tersenyum dan menunduk kecil untuk memberi salam, lantas duduk di kursi setelah mendapat izin darinya. "Banyak kabar di kota dan saya mulai pusing."
Tuan Gavriel meletakkan cangkir tehnya dan terkekeh. "Kuharap kau menyukai petualanganmu."
Aku menyisir meja di hadapanku dan mendapati sebuah papan catur beserta buah caturnya tertata rapi. Aku tersenyum kecut. Aku belum menyelesaikan permainan teka-teki baru darinya dan kini tuanku itu mengajakku berperang. Saat aku bertemu matanya, dia hanya tersenyum sambil meletakkan cangkir keramiknya ke tatakan. Menghela napas panjang, aku melangkahkan pionku ke depan, memulai permainan.
"Jadi, sudah mengumpulkan kepingannya? Kupikir itu cukup banyak, tapi kau menyelesaikannya lebih cepat ketimbang menyusun puzzle 150 keping."
"Menyusun puzzle dan keluyuran di kota adalah hal yang berbeda." Aku menyesap teh yang dituangkan Tuan Gavriel untukku, membasuh tenggorokanku yang kering.
"Jadi, apa yang kau dapatkan hari ini?"
"Saya mencari data diri para korban. Bukan secara resmi, tapi bagaimana kabar di jalanan mengatakannya." Aku menggeser bidak kudaku membentuk huruf L ke depan, menggulingkan bidak tuanku. "Korban pertama adalah budak bernama Mavi. Dia budak yang kerap berganti majikan lantaran sangat kasar, pembangkang, dan bermulut kotor. Tercatat bahwa ia pernah melukai majikannya hingga terluka parah, tapi terbebas dari tuntutan lantaran majikannya itu sangat murah hati. Sebelumnya ia juga terlibat dengan bandit di sekitar hutan dekat ibukota. Yang kedua adalah Will Alysson, seorang saudagar yang terkenal kikir. Dia pernah dihukum karena menyelundupkan barang-barang ilegal dan memonopoli pasar hingga mengakibatkan beberapa masalah di sektor ekonomi kerajaan."
"Sepertinya kedua korban pertama memang layak dipancang di alun-alun." Tuan Gavriel menghirup aroma tehnya, tampak menikmati teh hitam dari tenggara yang mengisi cangkirnya.
"Tidak hanya yang pertama, tapi korban selanjutnya juga sama-sama buruknya. Budak tawanan perang yang kabarnya menjual informasi kepada negaranya, seorang bangsawan berkepribadian buruk yang bergabung dengan pemberontak di utara, dan yang kita lihat pagi ini seorang budak penjarah harta majikannya dan lumbung kota."
Menyimak informasi yang kudapat, aku malah merasa bersyukur orang-orang itu lenyap. Setidaknya sampah-sampah seperti mereka berkurang di kerajaan ini. Kadangkala, aku merasa kasihan dengan Yang Mulia Raja—yang harus naik takhta di usia muda—harus mengatasi banyak kekacauan yang menimpa kerajaan saban tahunnya. Seolah semua warga kerajaan hendak meruntuhkan negeri mereka sendiri.
"Hanya karena mengetahui latar belakang mereka, kau mengetahui pelakunya?"
Aku menggeleng, tersenyum kecut. Sampai sekarang pun aku masih menebak-nebak. "Para informanku mengatakan adanya kelompok perkumpulan budak. Mereka tak ubahnya sekumpulan pembelot yang menuntut kebebasan. Mereka pula yang pertama kali melakukan penjarahan dan membuat kericuhan di ibukota."
"Mereka bergerak dalam kelompok yang terorganisir setelah bangsawan menyatakan deklarasi perang?" Pertanyaan Tuan Gavriel seolah mengundang pendapatku muncul secara spontan, tapi aku berhati-hati dalam membuka mulut.
"Tidak mungkin. Para budak tak cukup berpendidikan untuk bergerak secara terorganisir. Maksudku, benar bahwa mereka bergerak secara berkelompok, tapi mereka hanya menjarah dan membuat kericuhan di ibukota, tepatnya sebelum pentas berdarah. Bukannya kerajaan sudah menumpas para pembelot itu? Anda sendiri yang bercerita kepada saya."
Aku mendecak saat bidak menteri milik Tuan Gavriel menggulingkan benteng milikku. Bisa-bisanya dia mengusiliku dengan memintaku menebak-nebak dan bermain catur di saat yang sama. Namun, tampaknya tuanku itu sama sekali tak merasa bersalah dan menyesap tehnya dengan tenang. "Mereka pihak yang berbeda?"
Manggut-manggut, aku membuka mulutku, "Mungkin." Ada jeda di mana aku menimbang-nimbang untuk kembali mengutarakan pendapatku atau menelannya lagi. "Saya meragukan kalau ini bukan pekerjaan para budak. Maksudku, mereka tak punya waktu dan keterampilan cukup untuk menculik bangsawan, membunuhnya, lalu memancangnya pada tonggak di alun-alun."
Memang betul bahwasanya budak di saat tertentu dapat menjadi ancaman, sebagaimana penjarahan dan kericuhan beberapa waktu lalu. Namun, apa yang bisa dilakukan budak-budak kelaparan yang terkurung dalam kekangan kerja paksa mereka? Sejak penjarahan dan kericuhan, para bangsawan memasang mata pada budak-budak mereka lebih awas lagi. Hingga tak mungkin bagi mereka menyelinap dan mengelabuhi penjaga manor. Akan mudah bagi Kesatria Kerajaan untuk mengungkapnya jika benar mereka yang bergerak. Mereka bukan tandingan para kesatria.
"Bagaimana dengan para bangsawan?" Tuan Gavriel meletakkan bentengnya di sudut, tepat mengambil formasi sekak untuk rajaku. Namun, aku cepat-cepat mengacaukan rencananya, sekali pun sebagian dari diriku menduga-duga kalau ia tengah menjebakku.
"Bangsawan biasanya hanya tertarik membangun kelompok dengan keuntungan jangka panjang seperti bisnis atau politik. Untuk mereka yang cukup berpendidikan, mereka tak akan mengambil langkah membentuk kelompok hanya untuk mengancam para budak. Apa untungnya bagi mereka? Lebih masuk akal jika dilakukan perseorangan. Namun, akhirnya ini membuatnya lebih aneh lagi. Kebanyakan bangsawan di ibukota lebih suka mencantumkan nama mereka untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan, sedangkan mayat-mayat itu dipancang secara anonim. Jika mereka berniat mengancam, mereka akan mencantumkan nama mereka seolah-olah memberi kesan jika kita berurusan dengannya maka kita akan tamat."
Tuan Gavriel menarik bibirnya ke atas, tampaknya pernyataanku mulai mengambil minatnya. Aku pun mulai menyadari bahwa ia tahu jawabannya sejak awal dan tengah menguji seberapa tajam tebakanku itu.
"Jadi, katamu pelaku pentas berdarah ini bukan bangsawan maupun budak?"
Aku mengangguk, sementara kudaku menggulingkan buah catur paling berkuasa milik Tuan Gavriel, Menteri. "Mungkin mereka hanya bidak seseorang," kataku.
Melihat senyum kegiranganku, tuanku itu hanya menyesap tehnya. Seolah-olah ia telah membaca langkah dan strategiku, sebagaimana dirinya selalu tahu banyak hal. "Apa sampai di situ saja?" tanyanya membuatku tersentak. Dia bahkan tahu aku sudah sampai di ujung pemikiranku.
"Hmm, Anda bilang tidak perlu spesifik."
Ia menghela napas, tapi tak tampak kecewa dengan jawabanku. "Tapi itu bahkan belum mengerucut."
Aku berdeham dan terdiam cukup lama. Sebagian otakku tengah memilah-milah langkah dan membebaskan rajaku dari formasi sekak tuanku, sementara sebagian lain masih menerka-nerka. Ah, memang tuanku itu berbakat membuat orang sakit kepala.
"Aku mendengar kabar burung." Aku menatap mata biru Tuan Gavriel, dia balas menatapku penasaran. "Tentang bangsawan Rowan, adik tiri Yang Mulia Raja. Sudah kerap muncul rumor bahwa ia hendak menggulingkan takhta dan bergabung dengan pemberontak di utara." Tuanku hendak membuka mulut untuk mejawabku, tapi aku menyelanya secepat mungkin. "Namun, itu mustahil."
"Apa yang msutahil?"
"Saat Anda mengajak saya mengunjungi istana saat rapat pembentukan satuan keamanan baru, saya berjalan-jalan di selasar. Saya melihat Yang Mulia Raja dan Bangsawan Rowan berbincang dengan akrab. Dan mata mereka tidak memancarkan kebencian sama sekali. Hubungan mereka lebih dekat dari yang terlihat."
"Menarik bahwa kau mengetahuinya."
Hanya orang bodoh yang termakan rumor mentah-mentah. Aku mengetukkan jemariku di atas papan catur, menunggu giliran tuanku berlalu. Sebuah pemikiran terlintas begitu saja di jeda itu. "Tuan ... pelakunya itu." Mataku teralih pada Tuan Gavriel. "Apa itu Yang Mulia Raja?"
Aku mendengar Tuan Gavriel terbatuk, hampir tersedak minumannya sendiri. "Kenapa kau menyimpulkannya begitu."
"Hanya menebak. Hanya Yang Mulia Raja lah yang mampu mengendalikan banyak pion dan kasusnya tak terungkap oleh pasukan kesatria. Karena kesatria seperti Anda juga terlibat." Aku melihat senyuman kembali terbit di wajah tuanku. Kali ini sebuah kepuasan. "Tapi aku tak mengerti alasannya."
"Putusan penghapusan perbudakan," jawan Tuan Gavriel, "banyak bangsawan menolaknya. Dan sebagaimana strategi tak terduga Yang Mulia Raja, ia mengambil langkah ini. Ini juga termasuk eksekusi untuk kriminal yang banyak merugikan kerajaan, katanya. Yang Mulia hanya menakut-nakuti para bangsawan tanpa merugikan kerajaan."
Aku hanya tersenyum masam sembari menggapai cangkirku. Aku hampir lupa bahwa Yang Mulia Raja sama eksentriknya dengan tuanku.
"Hei, Nesta. Putusan penghapusan perbudakan akan segera diresmikan," kata Tuan Gavriel mengalihkan fokusku. "Kau juga akan segera bebas."
Tersentak, aku kontan melotot padanya. "Apa maksudnya? Aku ingin tetap bersama Anda!"
"Jika kulakukan, itu berarti aku melanggar hukum kerajaan."
"Jika begitu, tinggal pekerjakan saya di manor! Anda tinggal memberi saya upah, maka saya bukan budak lagi." Mendengar perkataan Tuan Gavriel hatiku berubah kalut, jemariku yang mencengkeram cangkir gemetaran. Namun, tuanku tidak memberi respon atas rekasi penolakanku.
Setelah terdiam, Tuan Gavriel berkata, "Kenapa kau begitu ingin berada di sisiku?"
"Karena kebebasan saya adalah berada di sisi Anda!"
Mendengar jawaban mantapku, Tuan Gavriel kembali tersenyum. Tangannya menyisir papan catur dan menggulingkan rajaku. Sementara aku tak lagi memikirkan permainannya dan menunggu.
Tuan Gavriel itu menatapku. "Ayo kita makan malam." Ia berucap seolah perbincangan tentang pembebasanku tak pernah terjadi.
------------------------------
A story by : AleenaLin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top