Sleepless Night

Pada suatu malam, di mana bulan tertutup awan gelap dan kilatan petir menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi langit. Di sebuah rumah yang penerangannya tidak jauh berbeda dengan suasana di luar, sebuah peti kayu terlihat melintang di salah satu kamar tanpa perabotan. Hanya ada lampu pijar bersinar temaram tampak menggantung di langit-langit, memancarkan sinar suram kekuningan yang menerangi sebagian kecil ruangan.

Seorang perempuan berambut panjang terbaring di dalam peti. Suara napasnya menderu cepat di dalam ruang yang hampir hampa udara, jantungnya berdetak dengan keras, keringat terus keluar dari setiap pori-pori kulitnya.

Gelap dan sempitnya ruang yang tersisa di dalam peti, membuat perempuan itu hanya bisa menggerakan tangan dan kakinya yang tidak berhenti memukul kayu kokoh itu tanpa henti.

"Keluarkan aku!" 

--.--.--.--.--

"Nino bangun, ini kopimu." Seorang pria berpakaian rapi menghampiri pria lain yang kepalanya tergeletak di meja kayu, dan meletakkan segelas kopi hangat di dekatnya.

Nino mengangkat kepalanya, mata sipitnya terbuka segaris, melihat segelas kopi diletakkan tidak jauh dari jangkauannya. Ia bangun dan mengacak-acak rambut kecoklatan yang sudah terlebih dahulu kacau di atas kepalanya. 

"Tidak bisa tidur lagi?" Pria itu duduk di meja Nino, memperhatikan kantung mata dan bayangan hitam di bawah matanya.

"Mn." Nino mengambil gelas itu dari meja dan meneguknya perlahan. 

"Kamu tahu kan ini sudah berjalan satu bulan? Aku rasa ini saatnya kamu mencari pertolongan." 

"Sudahlah, aku bosan mendengar celotehmu tentang psikiater dan sejenisnya. Aku masih sehat. Aku bahkan masih bisa berkelahi denganmu dan memberi satu atau dua luka di tubuhmu." Nino menarik salah satu sudut mulutnya.

"Jangan harap aku mau meladenimu lagi, terakhir kamu mematahkan tulang rusukku dan nyaris membuat lengan atasku lepas dari engselnya." Arka mengelus bahu kanannya.

"Apa kamu tidak bisa membedakan antara teman dan musuh, huh?" Kedua mata Arka memutar ke atas melihat semangat yang menyala-nyala pada kedua mata Nino. 

"Ayolah, aku selalu mendapat tidur yang nyenyak setelah berkelahi satu lawan satu denganmu," bujuk Nino.

"Cari lawan lain yang sepadan denganmu atau lakukan patroli jalan raya dan mengejar mereka yang melewati batas kecepatan dengan kakimu." Arka mulai memberi masukan yang tidak masuk akal, karena bukan hanya sekali pria besar itu memberi luka pada tubuhnya.

"Pagi semuanya." Suara berat menyeruak di antara obrolan mereka.

"Pagi, Inspektur." Arka dan Nino memberinya hormat melalui sapaannya.

"Kasus untuk kalian." Inspektur melempar berkas coklat di meja yang sudah penuh dengan kertas berserakan di atasnya.

Dengan malas, Nino meraih berkas tanpa menggerakan punggungnya dari sandaran kursinya. "Apa ini?! Semenjak kapan detektif bagian pembunuhan berubah menjadi pusat informasi kehilangan orang?" 

"Semua sedang sibuk, hanya kalian yang tidak sedang melakukan penyelidikan." Inspektur memberi alasannya.

"Inspektur, perempuan ini ... anak dari politikus Hanmu?" Arka mengerutkan dahi ketika membaca laporan kehilangan yang dibuat oleh keluarganya. 

Gea Sakura, dua puluh tahun, menghilang sejak dua hari yang lalu. Sepulang dari RS Altha. Pukul tujuh malam masuk ke dalam rumah sakit dan sampai pukul sepuluh malam dia tidak kunjung keluar dari rs. Penjaga yang ditugaskan untuk mengawalnya, kala itu dilarang oleh korban untuk menemaninya masuk ke dalam rs. 

"Dia seksi," komentar Nino saat melihat foto perempuan cantik berambut panjang dengan tubuh langsing yang terlilit terusan ketat berwarna hitam.

Mendengar itu, Inspektur melayangkan tangannya ke kepala Nino, membuat pria besar itu mengaduh kesakitan. "Konsentrasi!" 

"Betul, itu salah satu alasan aku memilih kalian berdua. Jadi, jangan kecewakan aku." Inspektur menjawab pertanyaan Arka, kemudian berlalu meninggalkan mereka kembali ke bilik tertutup yang menjadi bagian kecil dari ruangan luas tanpa sekat ini.

"Bagaimana?" tanya Arka kepada Nino, yang masih mengusap-usap kepalanya.

"Mau bagaimana lagi, kamu tahu kan alurnya?" Nino menutup berkas itu dan melemparnya asal di tumpukan kertas di mejanya.

"Rumah orangtuanya."

.

.

Tidak sampai satu jam mereka berdua sampai di depan rumah besar bernuansa Eropa. Seorang perempuan berambut pendek, menyambut mereka berdua dengan wajah sedih yang terlihat dipaksakan.

"Selamat pagi, saya Arka dan ini teman saya, Nino. Kami detektif yang ditugaskan untuk menemukan Nona Gea." Mereka menunjukkan kartu identitasnya.

"Pagi, Tuan Detektif. Saya Alina, istri Tuan Hanmu,  mari silahkan masuk." Perempuan itu mengantar mereka masuk ke dalam ruang tamu dan mempersilahkan mereka duduk.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nyonya Hanmu dengan kedua tangan saling mengatup rapat.

"Boleh aku tanya apa yang terjadi sehari sebelum kejadian?" Pulpen Arka sudah bersiap di atas notes, bersiap menulis informasi yang akan diberikan.

"Tidak ada yang aneh. Seperti biasa dia bangun pagi, sarapan, dan berangkat kuliah."

"Bagaimana dengan sikapnya? Dia terlihat cemas berlebihan, mudah kaget dengan suara kecil?" Arka menggali kemungkinan seseorang mengikuti Gea.

"Tidak ada, dia masih tetap seperti biasanya. Diam seribu bahasa jika berada di rumah, apalagi jika bertemu dengan ayahnya." Ekspresi kesal tersirat di wajah Nyonya Hanmu.

"Itu alasan dia berkonsultasi dengan salah satu psikiater di rumah sakit?" tanya Nino.

"Betul."

"Suamiku beranggapan bahwa diamnya dia sudah tidak lagi wajar untuk anak seumurannya. Karena itu, dia memutuskan untuk membawanya ke psikiater," lirihnya.

"Ada teman dekat?" tanya Arka.

"Ada, namanya Lily. Kalian bisa menemukannya di kampus sekarang." Nyonya Hanmu melihat jam yang melingkar di lengannya.

"Baik, terima kasih untuk semua infonya. Kami permisi dulu untuk sekarang."

Kalimat itu menjadi penutup perjumpaan mereka. Dalam diam, Arka mengarahkan kendaraan mereka ke kampus yang terletak di tengah kota. 

Tak lama berselang, mereka sampai di kampus tempat Gea berkuliah. Dengan memanfaatkan wajah dan kemampuan merayu Nino, mereka akhirnya menemukan Lily tanpa susah payah.

"A-ada apa?" Lily terlihat gugup berdiri dikelilingi mereka berdua yang menarik banyak perhatian orang ke arahnya. 

"Kami hanya mau bicara denganmu, boleh aku minta waktumu?" Arka berucap lembut kepada perempuan kecil yang tidak berhenti menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, seakan sedang mencari tempat yang aman untuk bersembunyi di tengah keramaian.

Melihat Lily yang tidak akan bisa diajak berbicara di tengah keramaian, Nino mengajaknya ke kafe kecil yang berada tidak jauh dari kampus. "Mari ikut kami." 

Sampai di dalam kafe yang hanya terisi beberapa orang, Lily akhirnya melepas sebagian besar kecemasannya. "Apa yang bisa aku bantu?"

"Kamu teman baik Gea?" tanya Arka yang dijawab anggukan oleh Lily.

"Apa dia bersikap aneh sebelum dia hilang? Atau mungkin dia cerita kalau ada yang mengikutinya?" 

"Aku tidak akan bilang kalau ini aneh, hanya saja seminggu terakhir ini, dia terlihat ... senang." Lily mengecilkan suaranya di bagian akhir kalimatnya. 

"Senang?" Nino mengerutkan dahinya.

"Iya, senang. Kita sudah berteman selama dua tahun. Ini adalah kali pertama aku melihat dia seperti itu." 

"Kamu tahu kenapa dia berubah?" Arka menuliskan sebuah kata "senang" di notesnya.

"Semenjak dia bertemu dengan dokternya, sedikit demi sedikit dia mulai terlihat sedikit ceria." Lily menundukkan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya, menunjukkan betapa tidak sukanya dia melihat teman baiknya berubah karena orang lain.

"Baiklah, terima kasih untuk waktumu." Mereka berdua berdiri dan meninggalkan Lily dengan kesendiriannya.

Mereka kembali ke dalam mobil, menyusuri jalan bebas hambatan untuk mencapai rs, tempat Gea dilaporkan menghilang. Sesampainya di rs, hal pertama yang mereka lakukan adalah mengunjungi ruang monitor. 

Masuk ke dalam ruang yang penuh dengan barisan layar berjalan, mereka mengambil duduk di salah satu monitor yang sudah disiapkan oleh pihak keamanan rs dan mulai mengamati seorang perempuan berambut panjang dengan tas ransel di punggungnya dan tas kecil yang menyilang di bahu kirinya.

Melalui monitor, Gea teelihat datang pukul lima sore, kemudian melakukan konsultasi selama tiga puluh menit. Setelah itu dia keluar dan kamera pengawas tidak lagi menemukan raganya di mana-mana. 

"Hmm ..." Nino memegang dagunya, otaknya jelas sedang berpikir keras. 

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Kita akan bicarakan nanti. Saatnya bertemu dengan sang dokter." Mereka kembali melangkahkan kakinya untuk mencapai lantai lima melalui lift yang berada di tengah ruangan.

Seorang perawat menyambut dan mengantar ke sebuah ruang tunggu dokter dengan pintu yang terpasang papan nama bertuliskan "dr. Prana Melviano, Sp.KJ" di depannya. Setelah menunggu beberapa saat, perawat itu akhirnya keluar dan mempersilahkan mereka untuk masuk.

"Selamat siang, Tuan Detektif. Saya Dokter Prana, ada yang bisa saya bantu?" Seorang pria setengah baya tersenyum, mempersilahkan mereka untuk duduk.

"Kami di sini untuk menanyakan perihal pasien Anda,  Gea Sakura. Apa ada yang aneh dengannya saat berobat kemarin?" tanya Arka segera setelah ia duduk. 

"Tidak ada, seperti biasa dia datang dan pergi dengan diamnya." 

"Apa yang kalian lakukan di sini?" Nino menyela pertanyaan Arka yang baru sampai ujung lidahnya.

"Kemarin kami melakukan terapi kognitif." 

"Hanya itu?" tanya Nino tidak percaya dengan keterangan yang diberikan.

"Apa lagi yang bisa aku lakukan dengannya, Tuan Detektif?" Dokter Prana balik bertanya kepada Nino. Tangannya menopang dagunya, menatap tajam ke arah Nino.

"Kamu tahu, pria dewasa, belum menikah, berdua dengan perempuan cantik. Aku yakin Dokter tahu apa maksudku." Mendengar kalimat Nino, Dokter Prana mengelus jari manis tangan kanannya.

"Saya psikiater bukan dokter kandungan, Tuan. Saya tidak menyentuh pasien saya." Dokter Prana berdiri dan berjalan melewati mereka berdua.

"Jika kalian sudah tidak ada lagi yang akan ditanyakan. Silahkan keluar dari ruangan, saya masih ada pasien yang sudah menunggu," ucapnya tegas, tanpa emosi di dalamnya.

Tanpa banyak bicara, mereka berdua meninggalkan ruang periksa.

"Hey, apa itu tadi?" Arka menyikut tangan Nino.

"Aku tidak suka dia."

"Atas dasar?"

"Insting." 

"Hanya itu?" Arka mengerutkan dahinya.

"Iya ... dan sekarang kita akan ikuti dia."

Berjalan beriringan keluar, mereka meninggalkan rs dan masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan deretan parkir khusus dokter. 

"Apa yang ada di pikiranmu?" tanya Arka memecah keheningan di dalam mobil.

"Gea, ada yang salah dengannya." Nino menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya menjauh dari Arka. 

"Maksudmu?" 

"Semua sikapnya, menunjukkan kalau dia bukan introvert murni. Dia menolak kebaikan ibunya, dan terus berteman dengan seseorang yang seharusnya bisa membuatmu depresi dalam hitungan minggu."

"Apa maksudmu menolak kebaikan ibunya? Bukannya ibunya justru tidak suka dengan Gea. Lihat betapa kesalnya dia ketika menerima kita." Arka memutar tubuhnya menghadap ke Nino, penasaran dengan cara berpikirnya saat ini.

"Kalau kamu tidak suka dengan seseorang, apa kamu akan mengetahui siapa nama teman dekatnya beserta posisi untuk menemukannya berdasarkan jam?" Nino melirik ke arah Arka.

"Ibunya kemungkinan kesal karena dia tidak berhasil mencegah suaminya untuk membawa anaknya ke psikiater dan menyebabkan ini semua terjadi. Kamu tahu kan perempuan jika sedang kesal, semua yang tidak terlibat akan terkena imbasnya," lanjutnya. 

"Hmm... masuk akal. Lalu kenapa kamu berpikir kalau Dokter Prana adalah orang yang bertanggung jawab atas hilangnya Gea?" 

"Karena dia adalah orang terakhir yang ditemui Gea."

"Apa kamu tidak perhatikan tas yang Gea bawa di hari perjanjiannya? Sebuah tas ransel besar dan tas bahu. Tidakkah itu aneh?"

"Tas ransel itu kemungkinan berisi pakaian yang ia gunakan untuk mengubah gaya berpakaiannya, supaya tidak ada yang mengenalinya ketika ia keluar dari rumah sakit," jelas Nino yang dibalas Arka dengan tatapan tidak percaya.

"Apa?!" 

"Semenjak kapan otakmu encer? Andaikan kamu setiap hari seperti ini."

"Karena hari ini kamu terlalu banyak menulis dan sedikit ..." Nino tiba-tiba terdiam dan memberi Arka kode melalui matanya untuk melihat ke tempat ia memandang.

Dokter Prana baru saja keluar dari rs dan masuk ke dalam mobil Mercedes-Benz putih yang terparkir tidak jauh dari mobil mereka. Selang dua menit mobil itu keluar, Arka menyalakan kendaraannya dan berjalan pelan–memberi jarak–di belakangnya.

Mobil itu berhenti di halaman rumah berukuran besar, dan masuk ke dalamnya tanpa ada seorang pun yang menyambutnya pulang.

Di dalam rumah, dokter Prana melepas sepatu dan membuka dasi yang selama ini melingkari lehernya. Langkah kakinya yang berat terdengar mengisi rumah yang lantainya terbuat dari kayu. Ia terus berjalan, melewati dapur dan membuka pintu yang berada di sampingnya. 

Masuk ke dalam ruang remang dengan kayu-kayu tua sebagai dasarnya, langkah kakinya membuat suara derak lantai terdengar memekakan telinga. Di tengah ruangan, tampak peti kayu kokoh yang diam tanpa suara. 

Dokter Prana membungkuk, memasukkan kunci kecil ke dalam gembok yang menghalanginya untuk membuka tutupnya. Seorang perempuan cantik tampak tertidur di dalam peti dengan pakaian penuh keringat yang melekat di kulitnya.

"Gea." Suara berat itu memanggil si pemilik nama.

Perlahan Gea bangun, matanya yang bulat mengedip beberapa saat, membiasakan retinanya dengan penerangan ala kadarnya yang jauh lebih baik dibandingkan kegelapan di dalam peti. 

"Dokter," lirih Gea, wajahnya terlihat pucat. Entah sudah berapa lama dia terbaring di ruang sempit itu.

"Kamu sudah menjadi anak pintar hari ini, saatnya memberimu hadiah." Dokter Prana mengulurkan tangannya yang disambut oleh Gea.

"Angkat tanganmu!" Nino dan Arka berteriak bersamaan. 

Dokter Prana memutar tubuhnya dan tersenyum saat melihat dua detektif yang baru saja ia temui, menodongkan senjatanya. 

"Kalian menerobos masuk ke dalam rumah pribadi tanpa surat izin, bukankah itu melanggar hukum?" Dokter Prana melingkarkan lengannya ke pinggang Gea, membantu menopang tubuhnya yang berkali-kali hampir jatuh.

"Tidak ada yang namanya melanggar hukum, jika kami menemukan penjahat yang berani memanfaatkan kelemahan korbannya untuk menuruti semua perintahnya." Arka mengucapkan pembelaannya.

"Apa? Aku tidak memanfaatkan kelemahan Gea. Aku hanya melakukan apa yang ia inginkan selama ini." Kali ini dokter Prana memandang mereka dengan tatapan dingin. 

"Jangan harap kamu akan terbebas dengan alasan murahan seperti itu. Kamu berharap kami percaya kalau Sindrom Stockholm terjadi pada Gea?" Nino merendahkan suaranya, memberikan ancaman melalui nada suaranya.

"Hahaha..." Dokter Prana tiba-tiba tertawa lepas, membuat Nino dan Arka saling bertukar pandang.

"Kalian jelas merendahkan hubungan kami. Apa yang kami miliki lebih dari itu." Dokter Prana menarik tubuh Gea lebih dekat ke tubuhnya dan mencium puncak kepalanya.

"Gea adalah seorang masokhis tipe oppressed, dia akan mendapat kepuasan jika ada seseorang dengan tulus menekannya dan menyiksanya." Dokter Prana semakin kuat menekan lengan Gea, membuat perempuan itu meringis kesakitan.

"Sedangkan aku, adalah orang tulus itu, yang akan memberikan semua yang ia inginkan."

"Lepaskan dia dan ikut kami ke kantor!" Nino mulai melepas pengaman senjatanya.

"Dan meninggalkan dia sendirian?" Mendengar kalimat itu, Gea mengeratkan tangannya di baju dokter Prana, wajahnya berubah menjadi panik. Memperlihatkan betapa takutnya dia kehilangan pria yang sebenarnya sudah memperlakukan dia dengan buruk.

"Gea ... kemarilah, kami tidak akan menyakitimu." Arka mengulurkan tangan kirinya.

Namun bujukan itu tidak memberi hasil, karena kini Gea menarik tubuhnya semakin dekat ke dokter Prana, seakan hidupnya bergantung pada itu. "Aku tidak mau pulang ke rumah." Gea akhirnya bersuara. 

"Kamu dengar kan? Jadi silahkan keluar!" teriak dokter Prana.

"Tsk... betul-betul menyusahkan." Nino tidak lagi bisa menahan emosinya.

Dengan cepat, ia menyarungkan senjatanya kembali dan berlari ke arah mereka berdua. Tangan kanan Nino mengepal dan mengarahkannya ke wajah dokter Prana. Namun, dokter Prana berhasil menghindar dan melepas tangannya dari pinggang Gea. 

Melihat Gea terbebas, Nino menarik lengan Gea yang berusaha meraih tubuh dokter Prana dan melemparnya ke arah Arka, yang berhasil menahan tubuh Gea dari benturan di lantai. 

"Dokter!!" teriak Gea yang hanya membuat emosi Nino semakin terbakar. 

Nino melempar kaki dan tangannya bertubi-tubi ke tubuh dokter Prana, tapi ditangkis dengan mudahnya oleh pria tinggi itu. Membuat Nino ikut menarik salah satu sudut bibirnya, merasa senang akhirnya dia menemukan lawan yang sepadan. 

"Kamu hebat, Dok," ucap Nino di sela-sela napasnya yang menderu kencang. 

"Taekwondo, black belt." Dokter Prana memperkenalkan gelarnya yang lain. 

"Nice." 

Nino kembali mengarahkan kaki kanannya ke dada dokter Prana, tapi berhasil ditahan menggunakan kedua tangannya, membuat pria tinggi itu mundur beberapa langkah. Dalam hitungan detik, tangan itu beralih fungsi, tidak lagi menahan, tetapi memegang dan memutar kaki Nino sekuatnya. 

"Salah gerakan, Dok." Senyum kemenangan terukir jelas di wajahnya.

Nino memanfaatkan kaki yang ditahan oleh dokter Prana sebagai tumpuan, kemudian mengayunkan kaki kirinya melingkar dan menendang kuat kepalanya dari samping. Membuat dokter Prana terhuyung jatuh ke belakang dan darah mengalir keluar melalui telinga kirinya. 

"Klik." Suara senjata terdengar.

"Dokter Prana. Anda saya tahan." Arka menodongkan senjatanya ke arahnya.

--.--.--.--.--

Tiga bulan akhirnya terlewati, dokter Prana lolos dari hukuman penjara dan masuk ke dalam fasilitas kesehatan untuk menyembuhkan perilaku sadisnya. Sedangkan kabar Gea, tidak ada yang tahu. Keluarganya menutup rapat semua informasi mengenai anaknya, bahkan dia tidak lagi melanjutkan kuliahnya.

"Kamu akhir-akhir ini terlihat lebih baik, sudah menemukan sesuatu yang bisa membantumu tidur?" tanya Arka di penghujung hari.

"Iya, akhirnya aku tahu apa yang harus dilakukan sebelum tidur." Nino tersenyum ke arah Arka dan mengucapkan kalimat perpisahannya sebelum masuk ke dalam Civic hitam miliknya.

Kembali ke dalam rumah kecil, Nino berjalan melewati tumpukan pakaian kotor di sofa dan bungkus makanan di lantai. 

Masuk ke dalam kamar, kegelapan dan siluet seorang perempuan berambut panjang menyambutnya. Suara kerincing rantai terdengar bersamaan dengan langkah kakinya.

"Kamu merindukanku, Gea?" Nino mengelus wajah cantiknya, matanya yang bulat menutup saat merasakan sentuhan Nino.

Tangan Nino bergerak ke bawah, mengusap kalung berbahan kulit yang melingkar ketat di lehernya dan terhubung ke rantai panjang yang terkunci kuat di teralis jendela.

"Sangat." Gea memeluk tubuh tegap Nino, menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya. 

"Maaf, Sayang. Sebagai permintaan maaf, aku akan berikan apa yang kamu inginkan." Nino menarik rantai itu dan mendengar suara napas Gea yang tercekat. Tidak ada suara erang atau protes yang terdengar, hanya suara napas yang mengisi sunyinya malam.

Terima kasih sayang, akhirnya aku terbebas dari malam-malam tanpa tidur yang selama ini menghantuiku. Apapun yang terjadi, aku tidak akan melepaskanmu.

-The End-

----------------------------------
A story by Medamamaio

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top