Perjalanan Dimulai Ketika Dunia Berakhir
“Siapa kalian sebenarnya? Kenapa kalian bersikeras untuk mempertahankan tempat ini?”
Sang Kesatria pun menjawab, “Alasannya sangat sederhana. Ada hal yang ingin kulindungi, yang harus kami lindungi!”
Sang Penyihir juga kemudian angkat bicara, “Dan itulah yang akan membuat kami terus berdiri, terus bertarung.”
Terakhir Sang Pemanah berkata, “Walaupun, kami terjatuh berulang kali. Sesederhana itu.”
Mereka kembali berdiri dan kembali bertarung melawan monster jahat yang kuat. Setelah pertarungan yang berat, mereka akhirnya menang.
Aku selalu ingin menjadi seorang kesatria. Cerita yang selalu ibu berikan kepadaku sebelum tidur menguatkan tekadku. Namun, saat ini sudah tidak ada yang bisa kulindungi. Bangsa kami yang dahulu memenuhi benua ini tumbang satu demi satu. Hewan, tumbuhan, semuanya. Hanya karena serbuk tidak jelas yang turun sebulan sekali.
Aku selalu ingin menjadi seorang kesatria. Namun, aneh rasanya kalau kesatria masih bertahan sedangkan yang dilindunginya telah tiada.
Aku akan menjadi seorang kesatria. Tanpa zirah, tanpa pedang, tanpa kekuatan. Setidaknya di dunia yang seperti telah berakhir ini, aku akan terus bertahan. Demi mengungkap kebenaran, demi menjaga harapan ibuku!
***
“Dulu, dulu sekali, saat dimana Ibu dan kamu belum terlahir, ada sebuah tempat yang sangat sangat indah di salah satu belahan dunia ini. Keindahannya bahkan melebihi indahnya benua kita, mutiara surga, pada masanya. Tempat itu bernama...”
“...keping surga, ” Sesosok pemuda yang sedari tadi duduk di atas batu besar tiba-tiba berucap. Tak henti-hentinya ia menatap langit kelabu sembari terseret kilas balik masa lalu. Sorot matanya sendu. Wajar saja, sebagai salah satu dari hanya sejumput makhluk hidup yang tersisa pantaslah ia seperti itu.
Beberapa saat telah berlalu dan dia masih belum beranjak dari tempatnya. Dipandangi seharian pun langit tak akan lantas menunjukkan biru cerahnya. Baru saja beberapa hari lalu racun itu kembali menghujani benua ini. Mungkin sebagian masih melayang-layang di atas sana sengaja menghalangi sinar bintang.
“Xave! Kita harus mulai pergi sekarang!” Seru seseorang yang agaknya tak jauh dari pemuda itu.
Sosok pemuda bernama Xave itu akhirnya turun dari batu tempatnya duduk. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Hanya tanah tandus dan rumah-rumah yang tak terurus, tak lebih. Hamparan di hadapannya hanya sebatas kuning kecoklatan yang menjemukan.
“Mutiara surga apanya?” ucap Xave.
Xave mengambil barang-barangnya yang telah dikemas dalam kantong kain berukuran sedang di samping batu tempatnya duduk tadi. Ia lantas berjalan menuju ke tempat orang yang memanggilnya tadi.
“Lambat, apa saja yang kau lakukan?” Sesosok pemuda berambut putih keperakan nampak kesal. Tingginya memang kurang dari Xave, tapi badannya nampak lebih atletis.
“Banyak yang harus kupersiapkan,” jawab Xave sekenanya.
“Kau tidak melakukannya kan? Melamun tidak jelas seperti yang selalu kau lakukan itu?” tanya pemuda itu.
“Maaf, maaf. Ini hari terakhirku di sini, kupikir aku harus melakukannya barang lima atau sepuluh menit,” jawab Xave sembari tersenyum masam.
“Hey! Aku menunggumu di sini sampai bintang hampir mau tenggelam, tahu?” Pemuda itu mendekatkan wajah kesalnya ke Xave.
“Kubilang maaf. Lagipula kenapa kau jadi sangat bersemangat? Bukankah kau juga yang paling tidak ingin pergi dari sini?” tanya Xave dengan tenang.
“Kau sendiri juga seperti itu. Mengajakku untuk berangkat sore ini juga,” Pemuda itu memajukan lagi wajahnya.
Mata mereka saling beradu. Xave nampaknya juga mulai terganggu. Namun, tak disangka-sangka tawa meledak di antara mereka. Mereka tertawa lepas seakan mereka hanyalah melakukan persiapan untuk pergi piknik.
“Cukup lama rasanya kita tak melakukan hal seperti ini, York,” ucap Xave disertai seulas senyum tipis.
Pemuda yang bernama York itu tersenyum menampakkan gigi taringnya. Ia lantas mengambil kantong kainnya yang mirip seperti kepunyaan Xave di bawah pohon zoon. Kini mereka telah berkumpul dan siap untuk melakukan perjalanan panjang.
“Eh, tunggu. Aku melupakan sesuatu,” York mengambil kantong kain kecil dari saku celananya. Ia menundukkan badannya lalu mengambil segenggam tanah yang kemudian dimasukkan kedalam kantong kecil tadi.
“Tanah seperti itu, pergi sejauh apapun kurasa kau akan selalu menjumpainya,” celetuk Xave.
“Ini bukan hanya sekantong kecil tanah. Semua di dalam kantong ini adalah kenangan dan asal-usul kita,” jawab York.
Kini mereka telah benar-benar siap. Jalan yang akan mereka tempuh bukanlah jalan yang mudah dan mereka tahu itu. Melewati medan yang belum pernah mereka jumpai ataupun mereka bayangkan sebelumnya. Sebuah perjalanan panjang untuk mengungkap kebenaran atas dunia yang mereka tempati. Perjalanan itu pun cepat atau lambat harus segera mereka mulai.
***
“Lari, York!” seru Xave.
Xave dan York memacu kakinya secepat yang mereka bisa. Di belakangnya menyusul sejumlah hewan buas berkaki empat dengan taring menyembul dari mulutnya yang mengeluarkan liur berlebih.
“Sudah kubilang, kan!? Gurun lebih baik daripada hutan!” York berteriak sambil terus berlari.
“Kita bisa mati kehausan di sana!” Xave juga berteriak.
“Kita bisa mati dicabik-cabik di sini!” York tak mau kalah.
Sebuah gua mulai memasuki radar visi keduanya. Setelah saling bertatapan selama sesaat, mereka sepakat untuk masuk ke dalamnya. Anehnya, begitu masuk ke dalam gua, para pengejarnya meringkik ketakukan lalu meninggalkan mereka.
Dua pemuda yang terengah-engah menyandarkan tubuh ke dinding gua. Mata mereka bertemu dan tawa pecah di antara mereka.
“Gila! Parah!” seru York.
“Hampir, hampir,” ucap Xave.
Gelak tawa mereka terhenti ketika dari kedalaman gua terdengar sebuah geraman berat. Belum cukup belajar dari musibah yang baru saja terjadi, mereka malah berjalan masuk ke bagian gua yang lebih dalam menuju ke sumber suara.
Bagian dalam gua sangat gelap. Hanya ada secercah cahaya dari lubang langit-langit gua. York tengah meraba-raba dinding gua ketika geraman berat kembali terdengar. Lantai rasanya bergetar bersamaan dengan suara yang agaknya adalah suara langkah kaki. Langkah kaki sesuatu yang besar.
Xave tak sengaja menendang sesuatu dengan kakinya sehingga menimbulkan bunyi yang menggema. Suara geraman kembali terdengar, kali ini lebih keras. Dari secercah cahaya yang ada, tampak mata bulat yang berwarna merah berputar-putar di tempatnya.
“Lari Xave! Keluar!” teriak York.
Xave dan York pun kembali memacu kaki mereka ke arah mereka masuk sebelumnya. Di belakang mereka terdengar bunyi langkah seiringan dengan larinya mereka, bunyi langkah kaki raksasa. Xave menengok ke belakang, itu adalah makhluk besar berbulu yang tengah mengejar mereka.
York tersandung, terpelanting dari larinya. Xave yang menyadarinya menghentikan laju kakinya. Makhluk berbulu itu kini berada sangat dekat dengan York. Ia kelihatan mengendus-endus dan belum melakukan apa-apa kepada York yang jelas sedang berpura-pura mati. Makhluk itu bukannya tertipu oleh York, melainkan ia benar-benar buta. Ia tidak mengejar Xave, masih terus sibuk mengendus-endus udara.
Memanfaatkan kesempatan yang ada, Xave melemparkan pisau kecilnya yang mendarat tepat di mata kiri monster penuh bulu. Meskipun buta, pisau tadi tetap memberikan efek yang menyakitkan kepada matanya.
“Panahmu!” seru Xave.
York bangkit dari matinya, diambilnya busur yang dari punggunya. Ia kebingungan mencari anak panahnya yang terlempar gara-gara ia terjatuh tadi. Sementara itu, monster bulu telah berhasil mencabut pisau dari matanya. Cairan biru keunguan memancar dari bekas tusukan pisau. Monster itu mengamuk, menggeram dan mengayunkan tangan kekarnya ke sembarang arah. Sebelum monster itu menghantamkan tangannya ke arahku, sebuah anak panah tertancap di lehernya. Gerakannya semakin melemah hingga akhirnya ia tumbang.
“Racunnya bekerja dengan sangat baik.” York tersenyum.
“Keberatan jika istirahat di sini sampai besok?” tanya Xave.
“Bangkai itu akan jadi masalah. Sebentar saja, sekadar menghilangkan lelah dan lapar.” York berjalan mendekati bibir gua kemudian duduk tak jauh darinya.
“Ternyata binatang tadi menjauh karena tahu siapa penghuni gua ini.” Xave duduk di sebelah York menyodorkan sebuah zoon kepadanya.
“Seharusnya sekarang mereka takut kepada kita yang telah mengalahkannya.” York memakan buah zoonnya.
***
“Xave, bangun.” York mengguncang badan Xave yang lelap dalam tidurnya.
Xave terbangun. Matanya mengerjap kebingungan. “Ada apa?” tanya Xave.
“Kita tidur terlalu lama! Hari sudah hampir petang. Ayo teruskan perjalanan kita, malam pertama harus kita lewatkan di desa yang ada di depan.” York berjalan keluar Gua.
“Cari sungai dulu, aku haus.” Xave berdiri meregangkan otot-ototnya.
Kali ini York yang berjalan di depan. Melintasi rerumputan yang tinggi, mereka menajamkan pengelihatan untuk menemukan tanda-tanda keberadaan sungai. Syukurlah, tak terlalu lama hingga sebuah sungai mencapai pengelihatan York. Keduanya pun bergegas menuju sumber air tersebut.
Xave mengambil air dengan tangannya lalu meminumnya. Tak lupa juga ia membasuh mukanya. Pantulan wajahnya di cermin membuatnya berhenti untuk memandanginya. Rambut kemerahannya acak-acakan karena kejar-kejaran tadi dan ada kotoran tanah yang menempel di lehernya. Xave pun membasuh lehernya hingga bersih.
York tengah membersihkan busurnya dengan air yang ada. Melihat hal itu, Xave teringat akan pisaunya yang pasti juga kotor setelah dilemparkan ke mata monster tadi. Ia pun panik ketika mendapati kalau pisaunya tidak ada padanya.
“Tenang, aku sudah membawanya.” York mengeluarkan pisau dari wadah anak panahnya kemudian membasuhnya dengan air.
Pisau itu adalah barang yang penting bagi Xave. Pisau dapur yang usang, peninggalan nenek Xave. Itu adalah satu-satunya barang yang ia bawa dari rumah. Dengan membawanya seakan arwah neneknya selalu menemani dan melindungi Xave pada setiap langkah yang ia buat. Pisau itu benar-benar membantunya melindungi diri hari ini.
“Tinggal ikuti arah arus sungai ini. Kemungkinan besar kita bisa sampai sebelum gelap kalau langkah kita cepat.” York kembali memimpin di depan diikuti Xave.
Sepanjang perjalanan, hanya rerumputan dan pohon-pohon zoon yang mereka jumpai. Keduanya adalah tanaman yang sangat tangguh, bahkan ketika mereka, bangsa Germi, dan hewan-hewan lain mati karena wabah sialan. Sebagian hewan yang bertahan bentuk fisiknya berubah sedangkan Germi yang tersisa memiliki ketahanan lebih terhadap efek wabah walau entah sampai kapan.
Setelah menyusuri sungai cukup lama, Xave dan York akhirnya sampai di gapura masuk sebuah permukiman. Mereka berhenti, memandang yang ada di hadapannya seakan tidak percaya. Seharusnya mereka sudah tahu kalau semuanya sesuai yang mereka duga.
“Di sini juga...” York bersandar pada gapura yang terbuat dari batu.
“Kosong, ya?” Xave tersenyum getir.
-----------------------------
A story by : Yasha_ze
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top