Negeri Para-para

Jangan!

Sudah dibilang jangan!

Namun, mengapa masih dilanggar?

Di sini jika tidak mau menjadi rak yang paling bawah jangan sok jagoan. Rak paling bawah adalah kasta terendah, paling hina, dan yang paling tidak berhak memegang gelar manusia. Apa belum jelas? Angin sudah membawa kabar itu dan banyak dahan yang mengiyakan. Lalu, seorang lelaki sekarat terhuyung-huyung karena kecerobohannya.

Suara-suara itu masih mendengung.

Bergetar di gendang telinga.

Berisik!

Gaduh!

Dan meracau!

Dia memegangi telinga, wajahnya tampak menahan kesakitan. Dengan sekuat tenaga menghalau suara-suara bising, tetapi dia tidak mampu. Untaian-untaian melodi mengerikan itu terus bergelayutan di benaknya. Rasanya pening, perut ingin mengeluarkan asam lambung, dan kulit tampak pecah-pecah karena suhu dingin.

Inilah akibat jika berani melawan sistem kekuasaan Negeri Para-Para.

“Tempat keparat! Sejuta orang yang hidup di rak bawah akan mengutuk kalian!”

Rutukan terus mengalir sederas rasa sakit yang menyerang otaknya. Pening itu tidak mau pergi, kalau saja satu ketukan keras bisa menghilangkan rasa sakit itu, pasti akan dia lakukan. Namun, mau seribu kali pun tidak akan mungkin mengeluarkan suara-suara itu dari kepalanya.

Datang lalu pergi.

Datang lagi lalu pergi lagi.

Datang hingga pergi yang tak kunjung kembali

Nyanyian-nyanyian itu menggema di kepala. Terus berputar seperti kereta yang melaju pada rel bundar. Tak pernah berhenti terus melaju.

“Aku tidak mau dengar lagi!” teriak pemuda sekarat itu. Napasnya terseggal-sengal, hidungnya berdarah, dan kakinya goyah.

Suasana hutan yang gelap tanpa penerangan, membuat suasana dingin dan mencekam. Menguliti akal sehat, hingga tidak ada lagi yang bisa dia andalkan kecuali menit-menit terakhir sebelum kematiannya.

Apa yang indah dari lentara kalau bukan cahayanya.

Apa yang lebih  berwarna ketimbang sinar rembulan yang memantul di kolam?

Apa yang lebih memesona dari penguasa Para-Para yang penuh amarah”

“Cukup!” teriak laki-laki itu lagi, suaranya kini serak, dipenuhi rasa putus asa dan air mata. “Aku bukan seorang penjinak melodi lagi, dan aku tidak mau ingat melodi itu lagi!”

Sambil terseduh-seduh, laki-laki itu menjatuhkan diri ke atas lumut. Di bawah akar pohon beringin yang menjuntai-juntai ia terkapar. Dia terisak dengan suara tangisan yang memilukan, melodi-melodi kematian kini menguar, mendekatinya dengan gerakan lembut.

Suara-suara itu berbaur dengan isakan yang tidak ada habisnya. Malang sekali, nasib Kevin. Remaja laki-laki dari rak bawah, mantan seorang pengingat dan penjinak gelembung nada yang mencoba bebas dari sangkar.

Lantunan lagu yang kian menggebu, rasa lelah yang teramat, dan denyut di seluruh tubuh membuatnya kian melemah. Tubuhnya sudah tak bisa apa-apa, tetapi melodi-melodi yang mengikutinya terus mendesak untuk tetap bergerak.

Tangannya bergetar hebat ketika hendak menggapai akar untuk berpijak. Namun, dia tak sanggup, tangannya lemas dan tergelincir. Kevin lalu terbatuk-batuk hingga cairan merah kental membanjiri dagunya. Bahkan dia tersedak dan sesak napas.

“A-aku ... aku ... aku sudah bebas,” ucapan terakhir sebelum melodi-melodi itu menjemputnya.

Tidak ada yang bisa membelenggumu kecuali yang Maha Kuasa. 

Maka tidurlah di malam ini.

Aku akan menemanimu hingga kau terlelap.

***

Melelahkan sekali, setelah seharian mengingat, mengunyah melodi, dan menyaksikan sesama kastanya mati, dia hanya bisa terbaring di atas papan dipan lapuk. Begitulah dia menghabiskan malam yang kelam. Sisa-sisa tenaga hanya dia simpan untuk beristirahat. Hingga matahari terbit, dia masih tertidur pulas di atas bantalan kasar yang berlumut. Suara-suara bising membuatnya sesekali menggerakkan tubuh, walau sangat mengganggu tapi dia enggan untuk bangkit.

“Clara Octius!” Seseorang membentaknya sambil memukul besi kurungan dengan sangat kuat.

Wanita itu terloncat, matanya yang tadi sayu sekarang membulat sempurna. Jantungnya juga berpacu kencang, seolah dia baru menyelesaikan sepuluh lagu tanpa jeda. Wanita bergaun lusuh itu memandang penjaga dengan malas. Namun, si penjaga malah semakin membara.

“Cepat keluar! Dasar perempuan pemalas!”

Clara merasakan sakit seperti terbakar di leher, pergelangan tangan, dan juga kakinya. Si penjaga itu mengeluarkan mantra untuk menjinakkan perempuan tak berdaya sepertinya. Setelah seluruh tubuh Clara lemas, pria tua itu mengeret paksa, mengeluarkan seonggak daging yang lunglai ke luar.

“Menyusahkan saja!”

Itu sungguh menyakitkan! Setiap hari harus tinggal di tatanan masayarakat paling bawah adalah kutukan. Negeri yang katanya indah dengan bentuk wilayah luar biasa—negeri dengan pentuk rak raksasa—tapi tidak begitu mengesankan untuk kasta rak dasar. Seperti Clara.

Kerena tubuhnya tidak bisa bergerak, dia digeletakkan saja di atas gerobak. Ditumpuk dengan orang berkasta bawah lain yang sama lunglainya dengan Clara. Hal ini sudah biasa dia rasakan sesak, sempit, dan pengap. Hidupnya persis seperti pakaian kotor. Tak berharga, tak dinilai, dan tak diinginkan.

Gelang mantra yang melumpuhkannya masih berpendar, masih terasa membara, dan masih menyakitinya. Mengingat fakta bahwa dia dilahirkan manjadi pengingat dan menjinak melodi, sebutir cairan bening merembes ke pipi, banjir hingga ke dasar gerobak. Clara hanya bisa menagis dalam diam, pada saat tak berdaya, dan ditimpa orang-orang senasib dengannya.

Negara Para-Para

Negara yang punya sistem seperti rak.

Negeri yang kejam untuk rakyat jelata.

Dia yang lahir dari rahim seorang bangsawan maka akan menempati rak tertinggi. Rak yang penuh dengan kemewahan, sukacita, makanan berlimpah, penjagaan gaib yang uat, dan jauh dari kesedihan. Orang-orang di Negeri Para-Para menyebutnya dengan orang-orang surga.

Para wanita, gadis, dan anak-anak perempun mereka, punya mata hijau seperti zamrud. Tubuh langsing dan rambut perak berkilauan. Para kaum adam juga sama, badan mereka perkasa seperti dewa-dewa. Mereka itu para superior.

Dan kasta dibawahnya ada kaun ksatria: para perajurit, penjaga penjara rak bawah, penyihir, tabib, dan ahli kenegaraan. Lalu, ada kaum buruh, diisi oleh dayang, pembantu kerajaan, dan rakyat biasa. Yang terakhir, kasta rak bawah. Kasta lumut. Orang-orang yang tidak diinginkan, diikat oleh mantra, jadi bahan percobaan penyihir, makanan melodi kematian, dan pengganti roh untuk para bangsawan.

“Kalian kasta terkotor, kalian tidak pantas tinggal di sini seharusnya!” geram penjaga tua itu sebelum gerobak dituang.

Clara mengaduh, saat tubuhnya menghantam tanah. Ini saatnya hari yang mengenaskan akan dimulai kembali. Perlahan tubuhnya bisa digerakkan, tangannya mulai bisa menyangga bobot tubuh, dia merangkak menuju lubang melodi sebelum penjaga mencambuk betis kurusnya dengan cembuk petir.

Semburan api, abu bakaran, teriakan putus asa, dan isakan memilukan adalah sarapan pagi Clara. Kasta lumut hanya boleh hidup di bawah rak, di dasar tanah yang gelap, penuh cacing, di paksa bekerja tanpa upah.

Clara dengan susah payah menuju lubang, berusaha untuk tidak acuh pada keadaan di dasar Negeri Para-Para ini. Namun, Clara selalu tidak bisa tidak memperhatikan sesama kastanya. Bahkan dengan Roro yang ada di lubang penyihir, tentakelnya selalu menjulur-julur ketika penyihir gila yang membelinya menguji mantra baru.

“Roro,” ujar Clara penuh kesedihan. “Aku berharap kita bisa mati.”

Rambut merah Clara yang berkutu menjuntai ke tanah, bergoyang-goyang karena menahan tangis. Clara begitu terpukul, mengetahui teman satu selnya kini berubah menjadi gurita jadi-jadian. Padahal Roro adalah anak perempuan ceria yang tidak tau apa-apa.

Atau bahkan abangnya, yang seminggu lalu menjadi makanan melodi karena tubuhnya tidak lagi sanggup menjinakkan nada-nada liar, tubuhnya hancur, tapi dia tidak bisa tewas. Sungguh, Clara hanya ingin mati yang sebenar-benarnya, tetapi mati di Negeri Para-Para itu sulit. Bahkan untuk orang yang mengorbankan roh sekalipun.

“Aku berharap, bisa keluar dari sini dan mati,” ujarnya sekali lagi.

Wanita berambut merah itu tiba-tiba terlontar. Pecutan cambuk sudah menjilat-jilat, asap dari ledakan petir itu menguar pada tubuh seorang perempuan yang tak jauh dari Clara. Saat Clara mengerjapkan mata dan memperhatikannya dengan saksama. Dia terkejut, yang barusan dicambuk adalah Guyi klan Mio terkahir. Ekor mungilnya hanya bergerak lemas, dan wajahnya yang berbulu hanya bisa terkapar lemas.

“Maaf ....” Begitu katanya.

“Kucing jadi-jadian yang tidak berguna! Cepat ke lubang kerjamu!”

Clara memalingkan wajahnya saat cambuk petir itu kembali menyayat tubuh berbulu Guyi yang kurus. Sampai-sampai dia tidak mau melihat lagi apa yang terjadi setelahnya. Wanita bersurai merah itu langsung merangkak ke lubang melodi walau kepayahan.

“Melodi itu kacau!” Baru tiba di lubang, seorang perempuan membentaknya dan menapar pipi Clara hingga dia tersungkur.

“Makan habis mereka dan tempatkan di tabung kaca! Cepat!” Wanita penjaga menendang bokong Clara. “Kalau kau tidak mau menjadi pengganti roh di neraka!”

Buru-buru, Clara meraup gumpalan-gumpalan gelembung nada itu. Mengunyahnya cepat-cepat dan memuntahkannya kembali ke dalam tabung. Klan Octius adalah salah satu klan di kasta bawah yang bisa mengendalikan nada-nada liar. Jika nada-nada liar itu lepas maka seluruh Negeri Para-Para akan kehilangan separuh penduduk, karena melodi liat iru bisa menciptakan kekuatan dahsyat.

Memanggil badai, mencabut nyawa, dan kehancuran dunia.

Mengendalikan mereka itu sulit, apalagi oktaf tinggi, bisa-bisa nada itu mengoyak bibir ketika dikunyah. Jika tidak sanggup, maka nada-nada itu akan merasuki tubuh dan berubah menjadi parasit.

“Clara!” bisik seseorang di depannya.

Wanita yang dipanggil hanya menyaut dengan tatapan mata yang sendu. Mulutnya asyik mengunyah gelembung nada dan menyusun menjadi melodi sederhana yang jinak. Pria dihadapannya mengamati ke kanan ke kiri agar tidak ada penjaga yang tahu.

“Kevin berhasil keluar!”

Sontak Clara membulatkan mata, dia begitu terkejut. “Bagaimana bisa?”

“Berpura-pura menjadi pengganti roh.” Pria itu merangkak mendekati Clara. “ Aku punya kuncinya!”

“Kunci?”

“Kunci keluar dari rak ini!”

Clara tercenung, bingung dengan yang Sam katakan. “Aku bingung.”

“Kau tak perlu bingung. Aku punya kunci agar bisa menemui Fuh, si mengendali ruang dan waktu. Kita bisa meminjam kekuatannya agar bisa melompat keluar dari dasar rak.”

“Fuh?” ucap Clara lirih.

“Ya! Tapi Fuh dikurung Putri Surga! Orang-orang rak atas tau potensinya dan akan menukar kekuatan Fuh kedalam tubuh Putri! Jadi malam ini, jangan tidur! Kita akan meyusup ke penjara dan menemui Fuh!”

“Aku bingung!” ucap Clara Frustrasi.

“Jangan bingung! Kevin keluar karena pengendalian ruang dan waktu milik Fuh. Tapi, sayang Kevin mati dimakan melodi. Dia membawa setengah kekuatan Fuh. Jadi rencananya jika kita berhasil membebaskan Fuh, maka laki-laki itu akan membukakan ruang penggantian roh untukmu dengan sisa kekuatannya”

“A-aku?” Suara Clara bergetar. 

“Iya, itu adalah ruangan yang cukup terbuka dengan langit. Ketika kau masuk jangan bangunkan Ahool—kelelawar raksasa—kurang ajar itu.”

“Kalau aku gagal ... aku akan jadi roh pengganti untuk orang-orang rak atas, dan aku akan disiksa di neraka.”

“Kau tidak akan gagal, sesampainya kau di ruangan itu, buat gelembung untuk melacak mayat Kevin. Tadi aku memakan nada yang membunuh Kevin, dan dia masih punya harapan untuk bangkit.”

“Aku hanya bisa membuat satu gelembung kecil dengan satu nada liar.”

“Tidak apa! gelembungmu adalah gelembung nada yang paling kuat, aku akan membantu untuk mengurai kekuatan Fuh dalam tubuh kevin menjadi nada-nada liar sesaat gelembungmu menemukannya.”

“Gelembungmu akan masuk kegelembungku?” tanya Clara.

“Ya! Dan jika itu berhasil, maka Fuh mempunyai kekuatannya kembali. Dan dia akan membawah kita keluar ketika malam di mana Kevin keluar!” kata Sam sambil mengelus pipi Clara lembut.

“Kevin jadi media teleportasi? Dan kita bisa bebas?”

“Benar! Jika rencana kita berhasil.”

Clara mengangguk dan kembali mengunyah gelembung nada dengan rakus.

------------------------------
A Story By : voni_s

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top