Mysterious Policy

Seorang anak kecil bermantel coklat lusuh berlarian di atas padang tandus. Gelora hatinya berbunga-bunga. Tujuannya saat ini hanya satu, Ladang Batu. Semakin mendekati tempat tujuan yang dekat dengan sungai kering, mulut mungilnya meneriakkan sebuah nama sekencang mungkin. Dan ia menambah  kecepatan kakinya. Sesekali tersandung dan terjatuh bahkan hingga lecet. Namun, entahlah ia sama sekali tak peduli. 

"HANA! HANA!HANA! DI MANA KAMU? HANA! HANA! ---- aduh!" Ia kembali terjatuh. Kali ini terluka. Pipi gadis mungil itu memerah pertanda hendak menangis. Namun, dengan segera ia mengenyahkan sifat cengengnya. Gadis mungil berkepang dua yang tak pernah diuraikan semenjak diikat 1 tahun lalu itu kembali berlari. 

"MARIA, JANGAN BERLARIAN!" teriak seorang ibu penambang batuan. Gadis mungil bernama Maria tak menghiraukan peringatannya. 

Mendengar teriakan tadi, salah satu gadis di pertambangan menoleh. Dan menemukan sesosok adik manisnya jatuh tersandung di luasnya sabana. Dengan segera, ia berlari menghampiri gadis mungil dengan luka di lutut tersebut. 

"Astaga, Maria! Sudah ratusan kali aku bilang kau tidak boleh berlarian." Gadis itu membalut luka Maria dengan pita merahnya. Maria seketika cemberut. Ia paling benci jika sang kakak menjadi menyebalkan. Maria memanyunkan bibir pink manisnya menarik perhatian si gadis yang baru menyelesaikan pertolongan pertamanya. "Ada apa Maria? Kau semakin lucu dengan wajah seperti itu. " Hana, gadis itu, tertawa puas.

"Tidak ada yang lucu! Pergilah jangan mengganggu jalan!" Tiba-tiba sesosok pria berbadan kekar mendumel pada mereka. 

Dengan segera 2 kakak beradik tersebut menyingkir. "Ayolah, kupikir padang ini luas." Maria mengomel setelah pria tadi melenggang. 

"Petarung Tantos?" Netra Hana mengikuti hilangnya punggung kekar pria tersebut.

"Bukankah ia menjadi tahanan?" Hana menatap wajah adiknya yang berusia 7 tahun. "Itu dia Hana, cepatlah ikuti aku!" Maria menarik lengan Hana menuju arah semula ia datang. 

"Tidak, Maria!" Hana langsung mencomot badan adiknya dan membawanya kembali. Sepanjang jalan, gadis cilik berkepang dua tersebut merengek minta turun. Membuat empunya kewalahan. 

Hana langsung menutup pintu setibanya di rumah  takut adiknya melarikan diri. "Kita obati dulu lukamu." Tangan si gadis berambut pirang bermata lentik menjelajahi lemari-lemari tua mencari obat yang tersisa. 

"Uh, di mana benda tersebut?" gumam Hana. Selagi sang kakak sibuk, Maria cepat menghapus noda-noda darah di lututnya. 

"Sudahlah Hana, kakiku sudah sembuh. Kita harus bergegas sekarang!" 

"Ayolah Maria, kau yakin?" Maria mengangguk.

"Apa yang membuatmu  begitu tergesa-gesa?" tanya Hana. Maria menggeleng dan kembali menarik paksa lengan Hana. 

"Akan aku jelaskan di jalan," 

Padang Sabana Timur sangat ramai, padahal beberapa menit lalu amat sepi. Puluhan warga meminggul buntalan kain dan tersenyum senang. Hana menatap penuh ketakjuban, puluhan warga budak para saudagar dipulangkan. Ini kabar yang bagus, sekaligus aneh. Sedangkan Maria semakin tersenyum sejadi-jadinya. 

"Apa kau melihat keajaiban ini, Hana?" Hana mengangguk. "Apa kita menuju Dermaga Timur?" 

"Iya tentu saja, aku sudah tak sabar menggerai rambut panjang yang sudah apek ini." 

"Bukankah sudah kubilang, kau harus keramas? Tapi--"

"Ayolah, kakakku yang cerewet, kita harus bergegas!" 

"Ck," Hana memutar bola malas dan mengejar adiknya yang telah berlari menembus gerombolan warga. 

"Maria, jawab aku, ada apa ini?" Hana sedikit limbung diterjang ratusan warga. "Aku dengar dari Paman Anthony, hari ini adalah Hari Bebas. Itu semua langsung diturunkan oleh Raja. Semua budak akan dibebaskan mulai hari ini." 

"Apa katamu? Apa kamu serius? Maria!" 

"Iya, tentu saja, tadi kita lihat Petarung Tantos, bukan?" 

***

Dermaga Timur telah sepi, hanya tersisa beberapa budak dan keluarganya yang hendak pulang. Hana dan Maria langsung menuju pos utama, menemui Tua Gilham. 

"Selamat siang, Tuan Gilham," sapa Hana. 

"Hai dua gadis cantik, ada yang bisa orang tua ini bantu?" Tuan Gilham menyauti ramah dengan sedikit membungkuk menyamakan tinggi Maria. 

"Apa kami terlambat?" tanya Hana. 

"Terlambat apa, nona muda?" 

"Semua budak dibebaskan hari ini," tukas Maria. 

"Iya, kau benar anak manis, lalu apa yang kalian maksud terlambat?" 

"Kupikir kau pikun, Tuan Gilham." Maria melipat tangan di dada. "Maria jangan bicara seperti itu!" Hana menyumpal mulut adiknya.

Tuan Gilham mengetuk-ngetuk dagunya berusaha mengingat. Hana dan Maria nampak begitu gemas. Ayolah, ayolah, 

"Ah, iya aku ingat, sebentar aku lihat dulu," ucap Tuan Gilham. 

Dia beranjak menemui beberapa rekan-rekannya. Membuka beberapa buku dan akhirnya kembali. 

Ia mendengus pasrah, kemudian membenarkan kacamata emasnya dan menatap wajah lugu Maria " Maafkan aku, nak, orang yang kalian tunggu, belum melewati dermaga ini." 

"Ayolah, mungkin kau belum mencatat dengan baik." Hana mendesak orang tua tersebut. 

"Ahh.... tidak, tidak mungkin kami salah mencatat. Dan coba tengok sekelilingmu, kamu akan  menemukannya jika aku berkata salah." Hati Hana mencelos mendengar penuturan tersebut.. sedangkan Maria tampak sangat kebingungan, ia tak mengerti apa yang kedua orang itu bicarakan. 

"Lalu, di mana kami dapat menemukannya?" desak Hana.

"Pergilah ke Dermaga Barat, di seberang pulau, tidak ada akses lain ke mari selain Dermaga Barat."

"Bolehkah kami menumpang salah satu kapal di sini?" pinta Maria. Ia sepertinya mulai memahami percakapan sebelumnya. 

"Ah tentu saja boleh, tapi kapal yang akan menuju Dermaga Barat akan berangkat beberapa menit lagi. Mungkin kau bisa siap-siap dahulu, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi bukan?" ucapnya. 

Hana dan Maria terdiam, kembali ke pertambangan batu akan memakan waktu yang lama. 

"Ah, aku ingat rumah kalian jauh, kemarilah, biar aku bantu menyiapkan." Tuan tua tersebut mengajak kedua tamunya menuju pos perkemahan. 

***

Tiga jam kemudian, kedua gadis itu telah sampai di Dermaga Barat. Mereka disambut dengan buruk. Tentu saja karena Pulau ini memiliki pangkat lebih tinggi daripada pulaunya yang memiliki pangkat terendah. 

"Selamat sore, Tuan," sapa Hana pada penjaga pos perbatasan. 

"Ah, pergi sana! Jangan menggangguku!" sergah penjaga pos. 

"Apa paman melihat i--" 

"Aku tidak lihat!" 

"Paman Tam melupakan kami? Bukankah dulu paman dirawat oleh ibu hingga paman sukses dan naik pangkat seperti sekarang? Bukankah dulu paman menggendong kami bertiga ke pesisir menatap Pulau Matahari?" Hana menerocos tanpa jeda. 

Penjaga pos tersebut menoleh menatap manik biru laut Maria dan Hana.

"Dia belum lewat Dermaga Barat," tukasnya singkat lalu melenggang pergi.

"Lalu, di mana dia? Di mana, paman?" Hana dan Maria mendesak bersamaan.

Maria menggelayuti kaki jenjang Paman Tam. Paman Tam mengusap muka sebal lalu menggendong Maria dan menuju salah satu kapal. 

Hana langsung mengejar, pikirannya kacau. Ia takut terjadi sesuatu buruk pada Maria. 

Rupanya Paman Tam hendak mengantar kedua kakak beradik bernasib buruk tersebut. Kedua gadis belia itu diajak ke pusat pasar perbudakan Pulau Bintang. 

***

Naasnya, mereka tak menemukan keberadaan orang yang mereka cari di sana. Bahkan setelah berkeliling mencari. 

"Di mana ia  bekerja, panan?" 

"Entahlah," Paman Tam mengusap wajah frustasi. 

"Hari sudah larut, Maria. Tidurlah!" Hana memangku Maria dan melantunkan lagu nina bobok. Tak lama kemudian, Maria pun terbang ke dunia mimpinya. 

Hana beranjak bangkit dari duduknya kemudian naik ke atap. Memandang laut luas yang dihiasi bintang bertaburan. Ditatapnya gemerlap kota Pulau Matahari. Pusat peradaban kepulauan Bima Sakti. 

Seketika, ia teringat sesuatu. Kemudian, ia bergegas turun meraih mantelnya dan lari keluar menemui seseorang. Untuk suatu tujuan.

***

Jalanan sepi, menyisakan deru suara angin laut. Kediaman besar bernuansa putih bertengger di sampingnya. Rumah tujuan Hana. Hana melangkah mendekati pintu belakang. Gadis 15 tahun itu benar-benar terlihat seperti orang yang hendak mencuri. 

Ia mengetuk pintu rumah beberapa kali. Lama menunggu hingga akhirnya pintu kayu itu berderit membuka. Menampakkan seorang remaja laki-laki sebayanya dengan pakaian serba hitam. "Aku datang menagih janji," tanpa basa basi Hana langsung menuju poinnya. Remaja lelaki di depannya tentu saja langsung tersentak. Ia tidak menyangka gadis yang menolongnya 1 tahun silam datang dan bahkan tanpa salam langsung meminta imbalan. 

"Baiklah, ada yang bisa kuberikan untukmu, nona?" ujar remaja itu sembari menyender ke sisi pintu ."

"Ibuku, dia budak di Pulau Bintang, dan  sudah 2 hari aku mencarinya, namun tak kunjung membuahkan hasil."

"Baiklah, aku akan membantumu," putus lawan bicaranya. Ia kemudian melangkah masuk ke dalam diikuti Hana. "Kau tidak melupakan namaku kan?" Hana menggeleng, "Aku tidak pernah tahu namamu," sanggah Hana.

Pria muda tadi menghela napas, "ingatanmu benar-benar telah dirampas." Hana sama sekali tak tahu maksudnya, sehingga ia hanya mengiyakan. "Glenn, namaku Glenn," tukas lelaki tadi.

Glenn menerangkan berbagai macam kemungkinan keberadaan ibunya. Hingga kemungkinan terakhir ada di Pulau Matahari. Tak tanggung-tanggung, Glenn langsung menghubungi kepolisian Pulau Matahari. Yang jelas Glenn memiliki pangkat setara orang Pulau Matahari, akan tetapi ia memilih tinggal di Pulau Bintang.

Untungnya, ibu Hana ada di salah satu penampungan budak Pulau Matahari. Mengetahui kabar baik itu, Glenn langsung mengajak Hana ke dalam ekspedisinya. Menemukan kejanggalan dari hari kebebasan, tidak mungkin semua budak dibebaskan tanpa tujuan yang jelas. Ditambah, menurut indranya, selalu ada kejanggalan dari pabrik besar penyimpanan teknologi nenek moyang, Alom. Mulai dari asap-asap putih yang selalu terlihat di sana dan lain sebagainya. 

"Jadi, kapan kita mulai?"

"Besok pagi, sebelum semua terlambat." 

Mulanya Hana sempat menolak, semua terlalu cepat untuknya. Namun, Glenn berhasil membuat Hana menaklukkan kembali ketakutannya. 

*** 

"Apa kau sudah siap, Hana?" Glenn membenarkan topi coklatnya. 

Di saat yang bersamaan, Hana dengan gaun bangsawannya keluar. "Bagaimana menurutmu?" Glenn tetap terdiam. "Hai!" Hana melambaikan tangannya. "Ah maaf, iya kau nampak sempurna, aku harap latihan bangsawan kita semalam kau terapkan dengan baik," tutur Glenn. 

Kedua anak itu kemudian langsung berangkat menuju tempat yang ditujukan oleh mata-mata dalam istana sentral, tempat para petinggi Pulau Matahari berada. Tempat yang berada di dekat Laut Karimia. Laut penghubung Pulau Matahari dan Pulau Meteor tanpa penghalang. Tempat yang merupakan pusat teknologi nenek moyang. Tempat yang tertutup dan terbatas bagi para masyarakat. 

"Hj20-D," bisik seorang petinggi pada Glenn. 

"UT-X 7," balas Glenn.

"Apa kalian bicara sandi morse?" cicit Hana.

"Tidak, dia menyebutkan nama ruang, dan aku menyebutkan kode uang." Glenn mengendikkan bahu tak acuh.

"Kau datang di waktu yang salah, Glenn." Seorang pria paruh baya sudah mencibir di depan pintu menatap kedatangan Glenn. Pemuda berambut lurus itu kemudian memasukkan sesuatu ke dalam saku pria paruh baya. "bantu aku, kakek John!" Pria paruh baya itu langsung diam dan membuka pintu ruangan. 

Pembahasan darurat terjadi di ruangan itu. Pembahasan yang dilakukan oleh kubu penentang raja. 

"Artinya, teknologi tembakan angin milik nenek moyang akan diluncurkan ke Pulau Meteor, dan para budak yang dibebaskan dan dikembalikan ada di sana?"

"Apa itu tembakan angin nenek moyang?" Hana berbisik lirih. Ia sama sekali tidak tahu apa yang mereka bincangkan sedari tadi. Selain itu, dia belum pernah bersekolah. 

"Setiap pulau selalu memiliki bola penguat di bagian dasarnya, Bola itu akan ditumbuhi pepohonan besar. Intinya bola itu menahan pepohonan yang mencekram tanah pulau agar tidak longsor. Namun itu hanya dimiliki pulau dengan bentuk menggunung. Seperti Pulau Meteor." Hana mulai mengerti penjelasan Glenn. 

Pulau Meteor adalah pulau yang indah, ada beberapa pegunungan, yang di bawahnya berupa padang sabana. 

"Lalu, apa tujuan konspirasi ini?" Hana ikut memprotes.

"Ini bukan konspirasi, melainkan programnya. Beberapa minggu lalu, ia membuat deklarasi besar bahwa akan menghapuskan perbudakan dan pembodohan rakyat. Tapi siapa yang sangka, raja kita adalah orang yang gila?" jawab seorang pria paruh baya tadi. 

Di sini Hana benar-benar tahu seluk beluk kehidupan Pulau Matahari, ada banyak orang netral plinplan. Yang diberi sedikit uang maka ia akan berpihak. Namun ketika masa kontraknya habis dia akan kembali menjadi orang netral. Hana juga paham mengapa Glenn lebih memilih tinggal di Pulau Bintang. 

"Dia sungguh keji! Kita harus menghentikannya," tukas orang lain di ruangan tersebut. 

"Sayangnya terlambat, peluru itu sudah siap dan secara otomatis akan terlempar lusa mendatang. Sudah tidak bisa dicegah." Seorang pengamat dan petinggi Alom mendesah pasrah.

"Apa kalian sama sekali tidak ingin menagan raja?" Glenn telah naik darah. 

"Mana mungkin kami bisa?" Para petinggi Alom lagi-lagi mendesah pasrah.

"Lalu bagaimana ini?" Han menggigit kukunya benar-benar panik. 

"Kita harus menahan, menahan dari Pulau Meteor, agar tidak menghancurkan."

"Apa yang bisa menahan?" 

Semua orang larut dalam pikirannya masing-masing. Tiba-tiba ide cemerlang muncul di benak Hana, "batuan," ucapnya.

"Puluhan batu kuat ada di Pulau Meteor. Setidaknya dapat menahan di da saran danau," sambung Hana. Semua nampak menimang-nimang, itu ide yang mustahil.

"Dengan bantuan jutaan warga yang bekerja sama, semua itu bisa dilakukan. Bahkan dalam waktu satu malam sekalipun." Hana meyakinkan orang-orang di ruangan itu. 

"Kirimkan pesan pada Meteor sekarang!" putus Glenn. Glenn kemudian memberikan secarik kertas memuat kode angka. Dalam hitungan detik, orang- rang tersebut langsung menjalankan perintah Glenn. 

Pesan cepat segera diumumkan kepada para warga Pulau Meteor. Dan dalam hitungan detik, ribuan warga langsung terjun ke danau pemisah dan membangun benteng batuan. 

Kini Hana dan Glenn tengah menuju istana. Glenn ingin sekali menemui raja dan Hana yang ingin bertemu ibunya. Beberapa saat lalu Glenn memberitahu bahwa ibunya ada di istana menurut kabar dari salah satu anak buahnya.

Setelah membayar mahal para petinggi, Glenn dan Hana dipersilakan untuk mengunjungi penjara bawah tanah tempat ibunya dikurung. Tempat yang sangat pengap dan gelap. Tak butuh waktu lama, Hana dengan mata tajamnya berhasil menemukan sang ibu. Ibunya dalam kondisi setengah sadar dan lemas tak berdaya. Glenn membantu Hana. Pria muda itu juga kaget melihat kondisi wanita budak dari Pulau Meteor tersebut. 

"Waw, kenapa kalian ada di sini?" terdengar suara berat pemimpin kepulauan Bima sakti. 

"Waw, lihatlah, pemimpin tak berguna kita telah datang," ujar Glenn. Dengan segera dia mengeluarkan senjata dan menyerang pemimpinnya sendiri. Tentunya lawan tak segera diam. Dia memutuskan untuk menyerang sendirian. Baginya rakyat kecil seperti Glenn bukanlah tandingan. 

Di saat itu pula, ingatan Hana terbentuk kembali. Segala kesimpulan juga ia dapatkan. Dan puluhan tetes air mata langsung mengucur. Bagaimana tidak? Jika kedua orang yang tengah bergelut di depannya adalah kedua kakak kandungnya sendiri.


----------------------------
A story by : AnakBiji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top