Kotak Bernyawa
Aku mengerjap pelan. Mencoba mengumpulkan nyawa setelah rasanya tertidur beberapa saat. Kepalaku berdenyut-denyut, seperti habis mengalami benturan keras.
Manikku sontak terbeliak saat menemukan diriku telah berada di sebuah ruangan putih, tanpa pintu, jendela, dan tanpa apa pun. Hanya ruangan yang berkisar 5x5 meter.
Aku tergerak untuk cepat-cepat duduk dan merapat ke dinding. Barulah tampak penemuan lain, yaitu beberapa manusia selain diriku dalam ruangan ini.
"Di-di mana ini?!" Tergugup aku berkata.
Terbangun di tempat asing bersama empat orang yang asing pula, cukup menjadi alasan yang tepat atas kebingunganku.
"Kotak." Gadis dengan dua ikatan rambut yang berantakan, berkacamata dengan lensa kanan retak, yang duduk di sisi dinding kanan itu menjawab lirih. Kulihat, ia bukan tipe yang pandai menyembunyikan gusar. Arah pandangnya bergetar. Jemari kanannya pun sibuk memainkan ujung rambut dengan kasar. Sedang tiga orang lainnya apatis terhadap kehadiranku yang entah dari mana.
Pandanganku mengitari sekeliling, sekali lagi. Tampaknya ruangan ini dibangun khusus untuk suatu hal. "Kotak apa?"
"Kami juga tidak tahu." Kali ini wanita berambut bob blunt dengan tato elang di leher jenjangnya, menjawab pertanyaanku. Nada suaranya terdengar dingin, membekukan atmosfer di antara kami yang memang sudah tercipta sejak aku bangun tadi. Terlebih saat mata bercelak hitam pekatnya melabrak tatapanku.
Aku mengerling ke satu remaja tampan di ujung sana. Duduk tenang dengan menautkan jemari di depan bibir, seolah tidak terjadi keanehan apa pun padanya. Namun aku tahu itu hanya mode menenangkan diri, sebab kulihat berulang kali ia mengerutkan kening dan mengembuskan napas berat. Setidaknya ia lebih lihai memendam kekhawatiran dalam dirinya.
Aku pun beralih memandang ke seseorang yang kontras, berbanding terbalik dengan remaja tadi. Pria satu ini tinggi semampai, berwajah pucat dengan dagu lancip, tetapi berlagak kemayu. Dia sibuk menggigit ujung kuku telunjuk kanan, sedang kuku jari tengahnya sudah berdarah. Tatapan matanya nanar dan kosong.
"Siapa yang memasukkan kita ke sini?" Tidak ada yang menjawab, tidak bahkan sekadar membuka mulut.
Aku menelan ludah. Bergidik ngeri atas ketidakmengertian yang seolah mencekik ini.
"Sejak kapan kalian di sini?" Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan lagi. Segudang penasaran dan kekhawatiran menyambar batin, menuntutku untuk terus menggali informasi terkait. Membuang sungkan bertanya pada situasi seperti ini.
"Dua hari," ujar wanita bertato setelah melirik ke arah jam tangan pria kecil.
Disusul pria tinggi di ujung sana, memandangku ragu dan berujar lirih, "Dua puluh enam jam."
"Delapan belas jam," ucap gadis berkacamata. Kupikir tingkat minus gadis itu cukup banyak. Itu terbaca dari ia yang enggan melepas benda berlensa itu meski sudah rusak parah.
Terakhir, remaja dengan kemeja rapi ikut angkat bicara setelah membisu sepersekian menit. "Dua jam, sebelum kau."
"Tanpa makan?" tanyaku, yang dijawab gelengan serempak.
"Lalu, apa yang kalian ... ki-kita lakukan di sini?" Baru sadar jika aku sudah menjadi bagian dari mereka, kelompok kecil yang entah apa namanya.
"Bertahan."
...
Seingatku, aktivitas terakhir yang kulakukan adalah bersiap menjemput anakku. Tak lama kemudian sebuah mobil penjual es krim berhenti tepat di depanku, lalu aku membeli satu cup besar. Memakannya dan ... tidak ingat apa-apa. Bahkan detik ini aku masih menggunakan pakaian mencolok dan high heels merah menyala—sebab ada urusan pekerjaan.
Boleh jadi es krim itu jebakan. Tetapi siapa dan apa tujuannya?
Aku memeras nalar dalam keheningan ini. Kutekan segala emosi yang berkecamuk demi menjernihkan pikiran. Aku tipe yang sangat enggan berbicara pada orang, lebih suka bergaul dengan kenalan lama. Sungkan beradaptasi dengan orang baru, karena menebak-nebak karakter orang itu sulit dan aku payah perihal memulai percakapan. Sayangnya di kasus ini, itu tidak berlaku.
Kotak ini terasa pengap. Aku mengibaskan rambut sebahu yang membuat pundakku gatal. Keringat yang membasahi leher terasa lengket dan itu cukup mengganggu.
"Hey, boleh kuminta satu ikat rambutmu?" Aku mendekati gadis berkacamata seraya menunjuk satu ikat rambutnya. Dia langsung mengangguk, tanpa pertimbangan itu akan mengubah penampilannya.
“Ngomong-ngomong," Kuikat rambutku asal, "apa kalian sudah mengenal satu sama lain?" Mereka hanya saling melempar tatapan sebagai respon atas pertanyaanku.
"Kalau begitu, biar aku yang memulainya."
"A-apa kau ba-bagian dari me-mereka?!" Pria tinggi itu memekik ketakutan.
Aku menggeleng, membuang napas pelan. "Bahkan aku baru tahu ada hal semacam ini di muka bumi ini. Percobaan macam apa yang mengurung manusia dalam sebuah kotak selama berhari-hari, tanpa asupan secuil pun."
"Namaku Kley. Sebutkan nama kalian, setidaknya meski terkurung, keberadaan teman akan membuat suasana lebih baik."
"Aku Bann," ucap remaja itu.
"Adam." Pria tinggi berwajah pucat itu memberanikan diri menyebut namanya.
"Laili Brix, Madam." Oh, si kacamata itu memiliki nama yang cantik.
"Gogo, panggil saja seperti itu." Aku manggut-manggut dengan kedua alis terangkat, mengiyakan.
"Jadi, bagaimana kita bisa masuk ke sini? Apa ada semacam pintu?"
"Dari atas." Laili menunjuk atap yang juga terbuat dari alumunium. Aku bangkit dari duduk, mendongak demi melihat celah selebar satu jengkal di ujung. Baru menyadari keberadaannya.
"Setiap kali ada yang masuk, atap ini akan terbuka dua per tiga. Lalu menampilkan seseorang yang pingsan, dengan kaki dan tangan dijepit oleh dua besi dengan tangkai panjang. Hingga batas itu, baru dijatuhkan." Mendengar itu, tanganku reflek menyentuh kening bagian kanan yang agak menonjol. Mungkin itulah penyebab bengkak ini, aku dijatuhkan dari ketinggian sekitar 4 meter.
"Apa kalian pernah mencoba keluar dari sini?"
Tanpa menunggu bocah-bocah ini bersuara, aku segera mencoba mendorong setiap sisi. Barangkali dinding ini tipis dan tidak cukup kokoh.
"Ini alumunium, baja ringan dan bukan kardus. Yang teringan pun sukar kau dorong dengan tubuh tipismu itu."
Aku naik pitam mendengar penuturan Gogo barusan. Rasa kesal telah menguasaiku. "Jadi, selain diriku, apa ada yang mau melakukannya? Kau pasti tidak mau! Si Anak Mama itu apalagi. Laili? Bahkan ia enggan berganti posisi. Lalu Bann? Aku ragu dia mau ikut menyumbang bantuan sepeser pun!" Aku menunjuk-nunjuk wajah mereka.
"Huft, anakku pasti menungguku di sekolah. Belum lagi deadline artikel majalah sosial nanti malam. Argh!" Aku menjambak rambut frustasi. Baru beberapa jam di sini saja sudah membuatku muak.
"Suamimu bisa menggantikanmu menjemputnya." Gemetar di tubuh Adam mereda, meski rautnya tetap beriak gelisah.
"Tidak," aku menggeleng, "dia sedang di luar kota."
"Cih, sudah menikah." Gogo tersenyum miring.
"Ya, nikah muda," aku mengedikkan bahu. "menghindari hal-hal buruk di luar nikah."
"Masih muda." Baru detik ini kulihat Bann berekspresi selain datar. Aku pun memaksakan senyum untuk menghargai raut langka itu, seraya melepas sepatu dengan hak tinggi. Rasa pegal sudah merayapi seluruh telapak kakiku.
Cukup untuk sesi perkenalan, sejurus kemudian kami kembali tertampar oleh badai kenyataan. Ya, kami terkurung tanpa tahu jalan keluarnya.
Aku bersedekap di dada. Diam-diam aku merutuki siapa pun di balik ini yang membiarkan kami terkurung tanpa makan. Gogo bilang, belum ada langkah 'percobaan' yang diujikan pada mereka sampai detik ini.
"Apa atap ini mudah dibuka?" tanyaku, setia mencari cara untuk keluar dari sini.
"Lumayan."
Aku melengos ke sumber suara. "Kau pernah menggapainya saat terbuka?"
Gogo mengangguk pelan, terkesan putus asa. "Ya, sayangnya cerobong ini begitu tinggi seolah tak berujung. Jadi percuma bila naik ke atas."
"Bagaimana dengan penjepit besinya?" Aku mengecek setiap alat gerakku. Ada luka lecet di pergelangan tangan dan kaki kanan.
Gogo membuka telapak tangannya. "Ya, dan aku mendapatkan ini."
Laili membungkam mulutnya dengan kedua tangan, tertegun. Sebuah garis horizontal melintang di telapak tangan Gogo, menggurat ngeri seolah habis terbakar. Luka itu tampak masih membuat nyeri empunya.
"Saat menggapainya, ternyata besi sialan itu dialiri listrik tidak terlalu besar, tapi mampu membuatku hampir sekarat." Kuakui keberanian wanita itu luar biasa. Ia mampu menahan perihnya luka tersebut.
"Percayalah, apa pun yang kaucoba lakukan, aku sudah pernah mencobanya. Tidak ada yang berhasil." Sepertinya memang benar umur kami sepadan, menilik tingkat nalar menyelamatkan diri yang terpikirkan tidak berbanding jauh.
Aku menggigit bibir bawah. Sorot manikku mengacu pada kotak kaca sebesar empat jari, tepat di atas Bann, pada sambungan dinding dan tertanam di dalamnya.
"Apa di sini ada kamera?" Hanya titik itu yang tidak terbuat dari alumunium.
"Pastinya begitu. Dan hanya itu yang mencolok. Sayang terlalu tinggi untuk mengeceknya." Adam menuding kaca tadi. Itu titik paling tepat untuk peletakan kamera.
"Jika benar ini sebuah percobaan—”
Sengaja kujeda ucapanku. Menyapu pandang setiap pasang mata yang mulai gentar. Seolah tak siap dengan penuturanku selanjutnya.
"Mereka pasti akan melakukan sesuatu pada kita."
Bann manggut-manggut, sedang yang lain hanya membatu. Aura di dalam sini terasa makin suram, ditambah suara berat Bann yang menggema memenuhi kotak. "Sesuatu yang entah apa."
"Kita harus keluar—”
Zrass!
Laili menjerit histeris saat air bewarna merah memuncrat dari lubang sebesar jempol di sampingnya. Suaranya sontak membuat kami berjengit, hingga berdiri waspada.
Semerbak bau anyir menusuk penghidu. Aku tergerak mundur saat terkena pancaran deras, tiada henti itu. Tahu-tahu sudah setinggi telapak kaki.
Gogo menyiduk satu genggam air. "Ini darah!"
Mendengarnya, Adam sontak memuntahkan isi perutnya. Aroma dalam kotak kian tak karuan. Muntahan Adam menyeruakkan bau tak sedap dan mulai menggenang ke mana-mana. Aku segera menyingkir. Perutku langsung ikut berkontraksi.
Air sudah setinggi dua jengkal!
"Kita harus membuka atap, atau kita tenggelam di sini!" Bann berseru lugas.
Aku mengangguk. Menelan paksa mual yang sudah mencapai tenggorokan. "Gogo, bagaimana caranya kau naik kemarin?"
"Naik ke punggungnya!" Gogo menunjuk Adam. Sayangnya yang ditunjuk sudah berwajah pucat dan menggeleng lemah.
"Kau," aku menunjuk Bann, "naik ke punggung Gogo dan melompatlah."
"Hei-hei, seenaknya saja menyuruh! Aku mana kuat!"
"Lalu kau meminta bocah itu memunjimu?!"
"Kenapa tidak kau saja?! Kau tertinggi setelah Adam!"
Aku mengelak. "Tidak bisa! Aku sedang hamil!"
Mereka terkejut, tapi tidak ada waktu untuk mengibai keadaan. Di tengah acara saling tunjuk, Laili meneriaki kami dengan lantang, menyuruh kami untuk menyingkir. Begitu kami menoleh, Laili sudah bersiap di posisinya, mengambil ancang-ancang melompat.
Pada hitungan ketiga, ia langsung berlari. Melompat tinggi. Menggapai atap—
Dan tersetrum!
Secara tiba-tiba atap itu mengalirkan listrik dengan daya tinggi hingga dapat kami lihat percikannya. Laili meraung-raung. Tubuhnya mengejang hebat dengan posisi tergantung.
"Laili!" Air mataku berlinang melihat tragedi mengerikan tepat di depan mata ini. Aku berjalan mendekat dan hendak menarik tubuhnya. Namun cekatan ditahan oleh Bann. Hampir saja aku membuat kami semua ikut tersetrum.
Belum usai masalah anyir dan muntahan Adam, kali ini bau daging terbakar ikut menyesakkan seisi penciuman. Bau yang lama kelamaan menjelma aroma busuk nan menyengat. Sampai akhirnya tubuh Laili berhenti bergetar, seakan listrik yang mengalir telah diputus paksa.
Tubuh Laili sudah tak bergerak lagi. Kekalutanku merambah setelah melihat tubuh hangus itu. Terlebih hormonku sedang labil-labilnya, aku menjerit tertahan.
Kucengkeram kerah Gogo kasar. "KAU—"
"Aku berani bersumpah, Kley! Kemarin atap ini benar-benar aman!"
"Itu artinya, mereka tidak akan membiarkan kita keluar." Aku sontak menutup wajah dengan kedua tangan, menyembunyikan tangisan. Pikiranku saat ini dipenuhi bayangan suami dan anakku. Bagaimana jika aku tidak akan pernah bisa memeluk keluargaku lagi. Kuharap suamiku lekas pulang dan mencari keberadaanku kini.
"A-airnya sudah berhenti memancar," kata Adam di sela desahan napasnya. "Dan sepertinya teresap ke tengah?"
Kami berempat beringsut merapat ke dinding setelahnya. Lantai di tengah kotak terbuka pelan. Desingan alumunium membuat ngilu. Setelah sukses terbuka lebar, sebuah meja yang juga terbuat dari bahan serupa keluar dari bawah. Hingga ke permukaan dan menutup rapat celah tadi. Air merah ini masih tersisa setumit.
Kami saling pandang. Terlebih saat netra kami menangkap empat bola hitam sebesar dua jari, tergeletak arogan di atas alas cekung dari besi, di atas meja. Serta merta secarik kertas mencuat dari celah di tengah meja.
Ragu-ragu Bann mengambilnya. "Telan dan temukan. Hanya ada satu lubang kunci?" ujarnya, lantas melemparkan tatapan bertanya pada kami.
"Salah satu bola adalah kuncinya, sisanya jebakan?" Gogo menebak dengan raut paniknya.
Pikiranku membias ke mana-mana. Ini bukan penelitian, tapi percobaan pembunuhan.
"Aku bersumpah, setelah keluar dari sini, aku akan meminta Mama membantai siapapun di balik semua ini!" Kulirik wajah penuh noda darah yang mulai mengering itu. Jeritan Adam membuatku bergidik.
Tanpa sempat kami cegah, Adam sudah menyambar satu bola dan memasukkannya ke mulut.
"Ini tidak bisa dikunyah!" Adam berujar tanpa mengeluarkan terlebih dahulu bola itu.
Kami sama-sama tidak menahu. Baru detik selanjutnya, selayaknya landak, bola dalam mulut Adam mencuatkan puluhan duri-duri tipis, panjang, dan runcing. Menembus rata seluruh titik kepala. Darah segar ikut menyembur darinya.
Adam ambruk beriringan dengan laungan dari bibirku. Wajah pemuda itu sudah tak berbentuk, bersimbah darah. Sedang Gogo dan Bann langsung terpaku di tempat.
"Ki-kita harus segera keluar dari neraka buatan ini." Gogo menggapai satu bola begitu melihatku dan Bann yang enggan mendekati meja.
"Seperti jeli padat. Dan," Gogo mengambil sesuatu dari mulutnya, "kenapa gigi-gigiku runtuh?"
Gogo memuntahkan kunyahannya, berikut pula geriginya. Wanita itu menggali isi mulutnya seolah ingin mengeluarkan semua yang ada di dalamnya. "A-aku ti-dak bi-sa bernapas!"
Aku tergesa menghampirinya yang terduduk sambil memegang tenggorokan. "Apa ini mengandung air keras?!"
Aku hanya bisa menangis sambil menggeleng cepat, tidak tahu.
"To-tolong!" Gogo mencengkeram erat lengan bajuku, lalu beralih memukul-mukul lantai. Wajahnya sarat akan permohonan.
Perlahan-lahan daya genggamnya mengendur, pun tatapannya memaku pada satu titik. Perlahan kuletakkan kepala Gogo di lantai beriak merah. Lagi-lagi, aku hanya bisa menatap kepergian tanpa bisa apa-apa.
Detik-detik berlalu. Tersisa aku dan Bann. Kami duduk bersisian.
"Madam.” Bann bersuara setelah beberapa saat kami hanya saling diam. “Kau pasti sangat merindukan keluargamu 'kan, Mam."
Bahasa bocah ini terdengar berbeda. "Memangnya kau tidak?"
Bann tersenyum tipis. "Aku sebatang kara sejak lahir."
Netraku berkaca menyadari sikapnya dipaksa dewasa dari bagaimana seharusnya anak seusianya.
Ia melepaskan kalung di lehernya. Menyodorkan benda berbandol bundar itu padaku. Aku mengernyitkan dahi, mengambilnya pelan dari tangan Bann.
"Tolong berikan ini pada Sila. Dia gadis manis yang selalu membuatku tertawa, sampai melupakan penderitaan atas hidup ini." Bann berdiri setelah melempar senyum manis untukku dan sebuah alamat di kertas dari sakunya.
"Kau tahu, Madam, aku punya penerawangan yang bagus." Seperti terhipnotis, aku percaya saja dengan ucapan bocah itu. Bola mataku berlinang sendu. Melangitkan harap untuk keberhasilannya.
Bann memungut satu, mengunyahnya dengan derai air mata. Di menit kesepuluh, ia tersungkur dengan mulut berbusa.
"Ka-kau ... mengapa kau ambil yang salah?!"
Bann terbatuk, memuncratkan busa dari mulutnya. "Kar-na aku juga merin-dukan keluargaku."
"Dasar bodoh." Aku mengusap bulir di pelupuk mataku. Melepaskan kepergian Bann dengan senyuman samar.
Sejam berlalu dalam kesenyapan dan hampa. Aku satu-satunya yang bernyawa di sini. Helaan napas menjadi teman yang begitu kujaga mengingat kejadian tadi, korban terus berjatuhan dalam hitungan detik.
Bahan yang membungkus kotak ini tidak akan setipis yang kukira. Sedang jalan di atas bisa tiba-tiba diblokade dengan aliran listrik. Aku mengembus napas berat, pasrah atas semua ini.
Ada dua tipe manusia di muka bumi ini.
Satu, ia yang lebih memilih hal baru. Mencari jalan keluar dengan cara apa pun. Lebih baik mati, daripada tak melawan. Lalu berhasil bebas meski tinggal nama. Tipikal yang suka bekorban dan melampaui kemampuan diri.
Dua, ia yang memilih bertahan dan menunggu keajaiban di garis takdir. Berusaha sesuai kemampuan diri. Biarlah mendekam dalam kubangan penderitaan, bertemankan hal-hal busuk, dan tersiksa. Berprinsip ‘yang baik pasti menang’.
Aku bersandar lemah ke dinding, mencipak pelan genangan merah sambil menatap kosong. Lantas tertawa miris diiringi isakan yang lolos dari bibir. Mengelus perut seraya berkhayal akan ada yang datang menolongku nantinya. Sayangnya waktu juga punya andil di kehidupan ini. Sampai kapan aku akan menunggu, sampai aku tak bernapas?
Ini tentang memilih keluar tanpa nyawa, dan terkurung tanpa harapan.
Bola terakhir itu adalah kuncinya. Satu-satunya yang bisa membuatku bebas dari penyiksaan ini, terkekang dalam aroma anyir, muntahan, bau mayat terbakar, dan jasad-jasad tak bernyawa. Entah bilanya nanti ada percobaan mengerikan lagi. Hanya bola itu yang mampu membuka kotak ini dan mengantarku keluar, menuju kebebasan.
"Itu bom."
-------------------------------
A story by : M_Alakana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top