In A Dream

Aku menahan napas sejenak, semakin memfokuskan diri pada beberapa tabung kaca berisikan cairan warna-warni di atas meja marmer. Menarik napas panjang di balik masker, dengan perlahan dan sangat hati-hati memasukkan pipet ukur ke dalam cairan berwarna hijau terang, baru kemudian menekan rubber bulb yang terpasang pada pangkalnya.

Netraku semakin terfokus kala cairan itu mulai naik dan melewati garis-garis ukur yang sangat kecil. Begitu sampai pada ukuran yang kuinginkan, aku segera mengangkat dan mencampurkannya pada tabung lain yang berisikan cairan biru. Perlahan, warna di dalam tabung itu mulai berubah menjadi greenish blue yang cukup cantik.

Akhirnya, sedikit lagi. Hanya dengan mencampurkan satu cairan lagi, maka serum penelitianku akan selesai. Menjadi obat paling dicari, penawar di mana para dokter spesialis masih tak ada yg mampu menandingi.

Hanya dengan menyuntikkan serum ini sesuai dosis pada syaraf yang telah mati, maka sistemnya akan kembali normal. Berjalan sebagaimana mestinya. Secara alami dapat bergabung bersama sel-sel syaraf lainnya tanpa adanya penolakan dan masalah lain yang berarti.

Aku bangga pada diriku sendiri. Kerja kerasku menyelami ilmu Neurosains selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil. Menjadikanku wanita berumur dua puluh tujuh tahun yang berani mengambil keputusan untuk menunda bersuami, di saat teman sebaya sudah banyak yang menikah, bahkan sudah memiliki momongan segera setelah lulus kuliah. Membuatku dapat dengan percaya diri mengangkat kepala di depan mereka yang menganggap wanita sepertiku hanya mengejar mimpi sia-sia yang pada akhirnya juga tetap berkutat pada tugas rumah tangga sehari-hari.

Aku, Rachele Chiela. Berhasil membuat sebuah terobosan baru bagi penderita kelumpuhan syaraf yang tak dapat disembuhkan. Sebuah obat yang akan memberikan harapan baru bagi mereka yang dunianya ditelan kegelapan, melalui serum yang kuberi label 316xb.

"Chiela, selamat! Akhirnya mimpimu akan segera terwujud." Viera, partner kerjaku memberikan senyum termanisnya seraya menjabat kedua tanganku.

Aku pun membalas senyumannya, memeluknya dengan perasaan bahagia yang tak terdefinisikan. "Terima kasih, Vi. Kamu juga sudah bekerja keras selama ini. Tanpamu dan yang lainnya, aku tidak akan pernah menyelesaikan serum ini."

Dia menepuk pelan punggungku sebelum kembali melepaskan pelukan kami. "Kalau begitu, bukankah sebaiknya kamu harus cepat pulang dan beristirahat? Kamu masih harus pergi ke laboratorium pusat untuk pengujian final sebagai langkah terakhir."

Ah, aku hampir lupa tentang itu. Sangking bahagianya, aku sampai melupakan hal terpenting dalam menggapai mimpiku. Aku hanya perlu menyerahkan sampelku pada laboratorium pusat dan menunggu kabar baik dari mereka, mengumumkan label resmi yang akhirnya dapat dipasarkan ke ranah rumah sakit dan tenaga medis lainnya.

Aku mengangguk sebagai jawaban, mencampurkan cairan terakhir, lalu memasukkan sampel dari serum itu ke dalam tabung kecil berpenutup sebelum meletakkannya di sebuah kotak yang nantinya akan kumasukkan ke dalam tasku. Karena laboratorium pusat dan tempatku bekerja berlawanan arah, maka akan lebih efisien jika aku langsung pergi ke sana esok pagi.

Tanganku melambai padan Viera dan rekan kerjaku yang lain di balik jendela pembatas ruangan seraya menyampirkan tas hitam ke bahu kanan. Melangkah keluar dari pintu utama, menutupnya kembali dengan wajah sumringah. Namun, tiba-tiba sebuah belati menusuk perutku, membuat darah merembes membasahi coat coklat yang aku kenakan. Sementara dua orang pria yang sedetik lalu menusukku, seketika berlari menjauh.

Perlahan, tubuhku merosot ke bawah, bersandar pada dinding bangunan seraya menatap orang-orang yang berlalu lalang seolah tak melihat kalau aku sedang terluka. Tidak! Seharusnya tidak begini.

Sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba tubuhku seperti ditarik paksa ke dalam pusaran gelap yang seketika membuatku menutup mata.

.

Sesaat kemudian, aku sudah kembali berdiri di tempat yang sama, tepat di depan pintu laboratorium seperti sebelumnya. Namun, kali ini tak ada orang yang menikamku seperti sebelumnya. Menatap jalanan yang tampak ramai dengan pemandangan langit jingga yang memesona. Membuat Delona, kota kecil ini seakan tampak lebih indah dari biasanya.

Kakiku melangkah santai diiringi oleh semilir angin senja yang menerpa, berpadu dengan bunyi-bunyian bising dari hiruk-pikuk kota yang mulai memamerkan kehidupan malamnya. Menari dengan ayunan ringan di pinggir trotoar jalan. Sambil sesekali menolehkan kepala, menatap etalase-etalase toko yang tampak menarik perhatian dengan kerlipan lampu-lampu mereka. Membaca sekilas tulisan yang terpampang seolah baru pertama kali melihatnya.

Baru sepuluh menit aku berjalan, langit yang semula masih menawarkan kemewahan semburat merah kini telah tergantikan oleh obsidian yang membius netra. Tampak sendu dengan kerlipan lentera malam serta sang rembulan yang mulai memamerkan sinarnya. Memberikan suasana tenang yang mulai berbanding terbalik dengan perasaanku sekarang.

Entah sejak kapan, jalan yang kulalui tiba-tiba terasa lengang. Keramaian kota seakan memudar, yang terdengar hanyalah gema dari langkahku sendiri. Padahal, seharusnya aku masih berada di antara gemerlap lampu kota, menikmati musik jalanan yang beradu dengan bising kendaraan. Namun, yang tersaji di depanku saat ini adalah gang kecil menuju tempatku tinggal.

Satu-satunya jalan yang harus kulewati agar sampai ke rumah sewaan yang berada di tepi keramaian, bersimpangan dengan jalan setapak menuju hutan kecil di pinggir kota.

Aku mulai melangkah di antara sunyi yang perlahan mulai menyentuh syaraf sensorik, memaksaku membayangkan hal-hal mengerikan yang membuat bulu kuduk berdiri. Hingga sesaat kemudian, aku mendengar gema yang lain, suara langkah yang kuyakini berasal lebih dari satu orang. Berjalan di belakangku dengan irama konstan.

Awalnya, aku tak terlalu memikirkannya, itu adalah hal yang biasa. Namun, yang baru kusadari setelah lebih dari lima menit berselang adalah mereka masih berjalan di belakangku. Padahal sudah dua belokan aku lalui, tapi mereka masih mengikuti. Apa mereka benar-benar ingin ke arah yang sama? Kuharap begitu.

Aku yang hanya seorang diri tak menampik perasaan risih sekaligus cemas yang semakin menggelayut. Membuat keningku basah oleh butiran kristal yang mengembun, bertolak belakang dengan suhu malam yang seolah menusuk kulit. Saat ini, aku bahkan dapat mendengar jantung yang berpacu lebih cepat dari langkahku sendiri.

Kusedekapkan tangan di depan badan. Merapatkan coat coklat tebal dan tas hitam yang kualihkan ke depan, mendekapnya seraya mempercepat langkah. Setengah berlari di bawah sinar lampu jalan yang semakin temaram.

Sejenak, netra coklatku melirik ke belakang, memastikan kalau mereka yang ada di sana tetap berjalan dengan semestinya. Namun, hasilnya membuatku menelan ludah dalam kepanikan, kala langkah yang kudengar juga semakin dipercepat.

Oh, Tuhan, siapa mereka sebenarnya?

Aku tak tahu lagi. Yang bisa kupikirkan hanya segera menjauh dengan ide konyol yang tiba-tiba terlintas. Di depan sana, tepat seratus meter di bagian kiri jalan adalah rumahku. Tempat yang seharusnya membuatku membelokkan badan dan langsung masuk dengan sekali putaran kunci pada pintu utama.

Namun, itu tidak kulakukan. Aku terus berjalan melewatinya dengan was-was. Takut kalau mereka memang berniat mengincar, bukankah akan semakin mudah terkangkap jika aku masuk ke dalam rumah? Terkurung di dalam tanpa bisa lari dan bersembunyi.

Akhirnya, aku memilih berjalan terus ke arah hutan di persimpangan jalan.

Aku berharap keberadaanku dapat tersamarkan oleh kegelapan malam dan pohon-pohon berkayu besar yang tumbuh berdekatan. Menghilangkan jejak di antara tanah yang tertutup dedaunan. Memotong jalan dan keluar lebih cepat dengan keadaan selamat.

Sayangnya, kenyataan sedikit melenceng dari perkiraan. Aku lupa kalau harus lari dari kejaran tiga pria yang mana stamina kami jelas berbeda. Tentu mereka dapat menyusul lebih capat dari dugaan, sama sekali tak kehilangan jejak padahal aku sudah berkelit seperti belut. Menerobos semak yang bodohnya malah menimbulkan suara gemerisik.

DOR!

Jantungku seakan melompat keluar saat suara memekakan telinga itu menggema, berdengung sesaat setelah asap tipis mengepul dari batang pohon yang berlubang, tepat di samping kepalaku. Refleks membuatku seketika berhenti dengan syaraf-syaraf yang mendadak kaku.

"Kau! Serahkan serum itu pada kami! Maka kami akan membiarkanmu hidup!"

Kudengar teriakan seseorang yang mulai berjalan santai di belakang. Dalam sekejab, otakku yang sesaat konslet kembali terkoneksi. Membuatku tersadar dan kembali berlari. Menggenggam erat selempang tas tanpa peduli teriakan yang menginginkanku berhenti. Tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk menurut.

Kini, aku menyadarinya. Ternyata penyebab tiga lelaki yang tak kukenal tiba-tiba mengekor layaknya seorang penguntit, bahkan tak sungkan melesatkan timah panas yang akan melubangi kepalaku--jika tidak meleset--adalah serum yang tengah kubawa. Serum 316xb.

Dari mana mereka mengetahuinya? Dan mengapa mereka mengincarnya?

Kepalaku berdenyut semakin hebat kala berbagai pertanyaan berseliweran, menghambat suplai oksigen ke dalam otak dan membuatku sedikit sempoyongan. Semakin terengah dengan napas mulai terasa sesak.

"Hey, berhenti!"

Suara itu kembali menyadarkan lamunanku. Mengingatkan akan cerahnya mentari pagi di esok hari karena mimpi yang sebentar lagi terwujud. Mengembalikan ambisi untuk menyelamatkan harta berharga dari jerih payah selama bertahun-tahun.

Aku harus selamat! Serum ini tak boleh jatuh pada orang yang salah!

Kukumpulkan kembali fokus yang sesaat berceceran. Mendekap tas hitam semakin erat dan bersiap mempercepat lari, hingga kemudian ....

DOR!

Mendadak tubuhku terhentak. Hawa panas menjalar dari punggung hingga ke dada, merobohkan kaki yang tiba-tiba kehilangan kekuatannya.

Tubuhku limbung, jatuh telungkup di atas dedaunan kering. Berkedip dengan asap tipis yang menyeruak saat menghela napas berat. Aku masih mendekapnya, menyembunyikan tas di bawah tubuh yang tak bisa bergerak. Hingga kudengar suara langkah yang kian mendekat.

Mereka mengerubungiku seolah keadaanku yang sekarat adalah tontonan menarik. Tanpa segan membalikkan tubuhku asal menggunakan kaki milik pria yang berdiri di samping si pemegang senjata api. Seringai menghiasi wajahnya yang menatap beringas. Menunduk dan mengambil tasku tanpa perlawanan yang berarti.

"Sayang sekali, jika mau bekerja sama, pasti kau bisa hidup sedikit lebih lama," ucap seorang pria pemegang pistol seraya mengarahkan senjatanya tepat di kepalaku, kemudian kembali melesatkan peluru dengan sekali tarikan pada pelatuk.

Mendadak, telingaku berdengung. Yang kulihat terakhir kali adalah langkah yang semakin jauh meninggalkanku. Membiarkan tubuhku tergeletak hingga tiba-tiba kegelapan menarikku dengan cepat.

......

Netraku seketika terbuka, terbelalak lebar dengan napas terengah. Sambil sesekali mengatur napas, kuusap peluh yang membanjir dengan satu tangan, kemudian beranjak menegakkan tubuh dan bersender di senderan ranjang.

Di tengah hening malam, aku mencoba memutar kembali memori yang memenuhi kepala, menyusunnya menjadi rentetan film yang hampir mirip dengan mimpiku barusan. Meski tak dapat dimungkiri kalau aku tetap tak bisa mengingat keseluruhan.

Sebelum makin lupa, segera kuambil buku catatan kecil di atas nakas, di samping ranjang. Kutulis segala hal yang kuingat, tepat di bawah catatan mimpi dua hari lalu yang juga kutorehkan di sana.

Membacanya sekilas, aku merasa kemampuanku mengontrol mimpi semakin berkembang. Meskipun ada saat di mana aku tiba-tiba kehilangan kontrol dan beralih dari lucid dreaming ke mimpi biasa.

Berhari-hari aku berlatih predeterminasi (memikirkan apa yang ingin dimimpikan secara berulang), mencatat hal-hal yang ingin aku lakukan, hingga menggambar objek yang ingin aku lihat di dalam mimpi. Juga memperbanyak konsumsi vitamin B6 yang mampu memperkuat fungsi otak, dengan paduan obat-obatan lain yang tentu akan dapat membantuku.

Setelah mencari informasi selama lebih dari dua minggu, akhirnya aku mempraktikkan apa yang kupelajari. Berhasil memasuki mimpi sadar sebanyak dua kali di minggu ketiga. Dengan kejadian berbeda dan akhir yang berbeda pula, tetapi mimpiku kali ini, adalah mimpi yang terbaik.

Beberapa saat aku berpikir, mencoba menelaah kejadian-kejadian di dalam mimpi. Hingga perlahan bibirku melengkungkan seutas senyum dengan kristal kaca yang semakin menumpuk di pelupuk mata. Menunggu untuk mengalir membasahi pipiku yang dingin.

Setidaknya, melalui mimpi yang dapat kukendalikan sendiri, aku bisa kembali berjalan, bahkan berlari. Menjadi seorang ilmuwan seperti yang kucita-citakan sejak kecil. Menciptakan sesuatu yang dapat berguna untuk orang banyak, terutama ... bagi diriku sendiri.

Jantungku berdegup kencang hanya dengan membayangkan sebuah mimpi. Melakukan sesuatu yang tak mungkin lagi kulakukan saat ini. Karena pada kenyataannya, aku pernah mengalami sebuah kecelakaan tragis. Kecelakaan itu mengenai saraf yang ada di tulang punggungku, dan menyebabkan kedua kakiku tak bisa ditegakkan ... untuk selamanya.

Empat bulan yang lalu, semuanya masih baik-baik saja. Dunia memberiku keberuntungan besar dengan menjadi seseorang dengan riwayat pendidikan yang gemilang. Lulus kuliah lebih cepat dengan nilai tinggi yang membuatku mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah laboratorium swasta. Semakin dekat akan mimpiku untuk menjadi seorang ilmuwan berbakat.

Namun, seketika segalanya direnggut paksa. Hanya karena seorang pengendara mabuk, aku menjadi santapan kegelapan. Meraung dalam kesakitan dan dipaksa meninggalkan segala harap yang kini hanya menjadi angan. Tak akan pernah tergapai bak pungguk merindukan bulan.

Aku hancur, lebur. Tenggelam dalam duka nestapa yang tak kunjung sirna. Hanya ada hitam, tak ada warna lainnya. Yang menjadi sahabat terbaikku hanyalah keterpurukan. Sekalipun kata semangat kerap mereka lontarkan, namun kenyataan tetap tak akan melunak.

Namun, di dalam mimpi, aku seolah menemukan setitik terang sebagai pengobat lara sementara.

Karena di saat sinar sang mentari meredup, kala sunyi menjadi nyanyian syahdu, membawa damai bagi tubuh-tubuh lelah yang ingin bermanja dibalik selimut.

Saat itulah aku menemukan sebuah kebebasan fana, hingga tiba saatnya nanti masa akan membantuku kembali bangkit dengan senyum dari buah keikhlasan.

------------------------
A story by : Lucien_Dire

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top