Han Nui
“Terus! HABISI DIA! Aaah ….”
Gadis kecil itu tidak terpengaruh oleh kebisingan di belakangnya yang berteriak lalu tiba-tiba mengeluh karena petarung jagoannya kalah. Mata bulat gadis itu menatap terpukau, kedua tangannya menepel pada jaring besi yang terpasang mengelilingi area petarungan setinggi lima meter, dan bibirnya tak berhenti mengeluarkan suara yang mengekspresikan ketakjuban.
Seorang pria dengan rambut sepunggung yang dikucir kuda, memakai baju berwarna biru laut berlambang naga di bagian punggung dan celana panjang berwarna senada. Pria itu terengah-engah dengan postur memasang kuda-kuda sehabis melayangkan tendangan berputar pada lawan. Seorang pria botak sedang memeriksa lawan pria berkucir yang tersungkur dan kesulitan untuk bangun. Tidak lama lawan pingsan setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Dan pria botak itu berdiri di samping pria berkucir dan mengumumkan sebagai juara.
Sorak-sorai pun memadati seluruh area terbuka pagi itu. di saat riuh seperti itu. Si gadis kecil masih bertahan pada posisinya memandangi pria berkucir dengan tubuh atletis dan warna kulit putih sedikit pucat.
Pria itu mengedarkan pandangan, mencari seseorang. Langkah panjangnya langsung membawa pria berkucir mendekati seorang gadis kecil. Senyum semringah terpatri pada wajahnya tegasnya. Ia berlutut menyamakan dengan tinggi si gadis kecil.
“Yo, bagaimana penampilanku hari ini?” Suaranya berat, sedikit bernada humor. Mata itu memandang lembut dan berusaha menunjukkan senyum lima jari padahal ia sedang mati-matian menahan rasa sakit di rahang dan pipinya yang terkena goresan benda tajam.
“Kau yang terbaik, Paman!” ungkap gadis kecil sambil menunjukkan dua jempolnya ke depan. Beberapa pasang mata mulai menyadari pemanpilan gadis kecil itu, baju dress sutra selutut dengan lengan pendek dan jepit rambut yang terbuat dari batu giok yang hanya sedikit orang yang mampu membeli.
Menyadari pandangan orang-orang yang berubah ke arah gadis, pria yang dipanggil itu langsung turun dan menghampirinya. Tanpa perlu menerobos, kerumunan itu langsung memberi jalan saat melihat sia yang di depan mereka.
“Ayo kita pulang,” ujar pria itu sambil menggendong sang gadis. Gadis itu mengganguk sebagai balasan. Mereka berdua pergi meninggalkan area tanding yang berada di alun-alun wilayah Han Dam, sebuah wilayah yang terletak di barat daya pulau Chou. Ham Dan terkenal karena seni bela diri yang dikuasai turun temurun oleh penguasa Ham Dan, keluarga Nui.
Area pertarungan itu di buat khusus bagi siapa saja yang ingin melawan keluarga Nui atau menentang kekuataan mereka. Sejak ratusan tahun silam, para penguasa wilayah lain akan datang dan menantang duel keluarga Nui untuk merebut kekuasaan. Namun, keluarga Nui tidak pernah kalah.
Mereka selalu menurunkan teknik bela diri kepada keturunan laki-laki. Pantang bagi mereka untuk meneruskannya pada seorang wanita. Jika itu bukan anak atau cucu, maka mantua tau mereka akan dengan senang hati mengadopsi anak laki-laki yang masuk kriteria keluarga Nui. Ciri khas dari keluarga Nui adalah lambang naga biru di pakaian mereka. Mereka yang memakai pakaian biru muda adalah keluarga Nui yang merupakan cabang, tidak ada hubungan darah langsung, sedangkan keluarga utama mereka memakai pakaian berwarna bitu tua dengan lambang naga berwarna emas.
Gadis kecil yang berada pada gendongan pria berkucir menoleh. Dia ingin menyentuh luka kemerahan di sudut bibir pria yang hanya berjarak lima belas tahun dengannya.
“Paman, apa itu sakit?” tanya si gadis kecil.
“Tidak. Han tidak perlu khawatir. Tubuh Han tidak akan luka-luka seperti ini.”
“Tapi Han ingin bertarung seperti Paman. Berputar di udara, menendang, dan menghindar dengan cepat. Seperti seorang penari!” seru Han berbaju biru tua itu tanpa lambang naga, karena lambang naga diberikan kepada seorang petarung dari keluarga Nui.
“Paman harus mengajari Han bela diri ya! Pokoknya Han hanya ingin Paman Shu!” Han merajuk tiba-tiba. Bibirnya mengkerucut, kedua pipinya mengembung seperti hamster. Shu gemas melihatnya. Dia mencubis pangkal hidung Han, membuat pekikan manja lalu gelak tawa menemani perjalanan Han dan Shu kembali ke kediaman Nui.
Sesampainya mereka di depan gerbang utama kediaman Nui, raut bahagia Han langsung pudar, sedangkan Shu langsung menurunkan Han. Seorang pria dengan kumis tipis dan rambut potong rapih serta pedang yang tersarung putih berpadu emas tersampir di kiri pinggang, berdiri dengan kedua tangan disembunyikan di balik punggung. Di samping kanan dan kiri pria tua berpakaian biru tua dengan lambang naga emas ada dua orang yang menatap mereka tidak suka.
“Han,” panggil Shu lembut sambil berlutut, menyamakan tinggi badannya. “Kau kembalilah ke kamar dan bersihkan badanmu,” pinta Shu seraya mengelus pucuk kepala Han.
“Tidak mau! Paman berjanji pada Han—”
“Han!” suara berat pria tua itu terdengar tegas memanggil anaknya. Han diam, tidak melawan. Ayahnya selalu tidak suka jika dirinya dekat dengan Shu.
“Baiklah. Aku akan menunggu Paman di tempat biasa,” bisik Han dengan kedua tangan menangkup di depan mulutnya. Shu hanya bisa tersenyum. Dia mungkin tidak bisa menepati janjinya pada Han yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri.
“Apa yang kau lakukan?” suara dingin dari pemimpin keluarga Nui membuat Shu menundukkan pandangan. Selepas kepergian Han yang dikawal salah seorang anak buah yang mengekor Ayah Han sebelumnya, aura di sekitar Shu dan Ayah Han berbeda.
“Aku mengadopsimu agar tidak melihat putriku mendekati lagi ring itu atau menyentuh seni bela diri. Beraninya kau membawa putriku diam-diam ke sana,” geram ayah Han.
“Saya ke sana untuk melindungi martabat keluarga Nui. Lawan kali ini adalah sekutu dari Ren dan yang sebenarnya terjadi, mereka menculik Han saat dia sedang berjalan-jala di pasar untuk melihat festival. Aku tidak tahu bahwa Xia Ren merencanakan hal itu,” Jelas Shu.
“Tetap saja kau membawa pegaruh buruk pada putriku. Dia harus di beri hukuman,” tukas ayah Han sambil berbalik hendak meninggalkan Shu. Shu melebarkan pupil, dia sudah siap jika harus menerima hukuman cambuk. Tindakkan tidak terduga pemimpin Nui membuat Shu ingin menahan langkah kakinya. tapi keinginannya terhalang karena serangan tiba-tiba dari pengawal yang sejak tadi diam mengamati.
Shu tidak sempat mengindar dari pukulan di bagian diagfragma, langkahnya dipukul mundur dengan posisi membungkuk memengan bagian yang terasa sakit. Bahkan luka dari pertarungan sebelumnya tidak ada apa-apanya.
Ayah Han berhenti melangkah, lalu menoleh ke belakang. Matanya dingin dan terlihat geram.
“Aku tahu di mana putriku sering menemuimu untuk berlatih bela diri. Kau tidak perlu menjauhinya, karena putriku yang akan menjauh. Akan ku tunjukkan arti bela diri sebenarnya.”
“Tuan! Tunggu. Jangan sakiti Han!”
Ayah Han berbalik dan menghunuskan pedang yang masih tersarung tepat di depan wajah Shu. “Aku adalah Ayahnya. Caraku mendidik putriku tidak ada urusannya dengan anak sepertimu!”
Ayah Han menyuruh mencambuk kaki dan lengan Shu sebanyak 25 cambukkan yang seharusnya lima puluh karena berhasil memenangkan duel.
Saat itu, Han seperti biasa menunggu Shu datang untuk melatihnya bela diri. Kaki kecilnya bermain diatas bebatuan kerikil yang menyakitkan. Bukan karena tajamnya batu, tapi karena batu tersebut sudah di bentuk dan ditempatkan sedemikian rupa seperti akunpuntur. Jika Han menginjakkan kaki di atasnya, tubuhnya terasa tersetrum dari bawah menjalar hingga kepala. Dulu dia akan langsuk memekik kesakitan kalaupun bisa menahan pasti sambil mengeluh.
Han geli hingga tertawa kecil mengingat dirinya satu tahun lalu. Saat ini ia sudah terbiasanya bahkan diam-diam dia membaca buku yang berisi gerakkan bela diri yang hanya di turunkan pada Shu dan saudara laki-lakinya.
Han sudah selesai melakukan pemanasan, namun Shu tak kunjung datang. Han, merajuk dengang pipi mengembung satu. Dengkusan tipis lolos dari bibir mungilnya. Sinar temaram dari lampu minyak yang menerangi setiap sudut taman belakang di kediaman keluaga cabang Nui, menjadi satu-satunya sumber cahaya yang tidak membuat gadis tujuh tahun itu takut. Han lebih takut dengan ayahnya yang sangat tegas condong menyeramkan. Dan Han semakin takut dengan ayahnya sampai-sampai rela melepas mimpinya untuk bisa berdiri di dalam ring dan lepas melakukan pertarungan untuk menunjukkan dia juga adalah Nui.
Beberapa hari setelah Han ketahuan ayahnya melakukan gerakan yang sangat dilarang untuk wanita Nui, ayah Han marah besar dan mencambuk langsung kaki putrinya lalu mengurungnya di kamar. Hn dilarang berinteraksi dengan siapa pun sampai dia berhasil melakukan tugasnya sebagai wanita keluarga Nui; pandai menyulam, meracik teh, dan bersikap anggun. Sangat bertolak belakang dengan sifat gadis itu.
Dan selama hampir delapan tahun Han menahan itu semua, Han dipukul oleh serangan tiba-tiba pasukan Ren ke kediaman Nui. Saat itu, pemimpin pasukkan adalah adik Xia Ren, Lou Ren dapat menembus barikade depan kediaman Nui. Banyak Nui berbaju biru muda tumbang. Lou Ren ternyata sudah merencanakan penyerangan saat Ayah Han dan Shu pergi bersama beberaa Nui berbaju biru tua ke pertemuan perjanjian damai antara Nui dan Ren.
“Lihat, wanita-wanita Nui ini sangat cantik dan pantas menjadi budak Ren.” Lou Ren menarik salah satu gadis yang berasal dari keluarga cabang. Gadis yang berasal dari keluarga inti sudah banyak di tangkap dan tidak bisa melawan saat tangan mereka di tarik paksa.
Han yang kebetulan sedang keluar dari rumah utama untuk mengakhiri kelas melukis yang membosankan. Malah bertemu dengan hal tidak terduga. Salah seorang temannya dari keluarga cabang mencoba melindung Han yang hampir di sentuh Lou Ren.
“Beraninya wanita kotor sepertimu menyentuhku!” geram Lou Ren. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. Han sudah bisa membaca gerakkan itu. Mungkin dulu, Han akan lngsung bertindak, tapi sekarang, bayangan ayahnya yang sealu menghukumnya jika ketahuan melakukan bela diri mengurungkan niat Han.
Lou bersiap menghunuskan pedang ke jantung wanita di depannya. Pekikkan wanita itu menyadarkan Han dari situasi gundah.
“Nona! Lari! Selamatkan diri Nona! Ayah Anda dan tuan Shu pasti menginginkan keselamatan Anda.”
“Berisik!”
Saat pedang itu hampir menusuk kulit, sebuah benda di lemparkan kea rah kepala Lou. Lou semakin dongkol karena seorang wanita berani melemparinya sebuah perhiasan dari batu.
Lou menatap Han bengis. “Kau yang akan mati lebih dulu, sialan!” Lou berlari sambil mengarahkan pedang yang siap di tebas.
Han langsung berlari sambil mengangkat rok yang menyulitkannya berlari. Han membawa lou sampai ke area lapangan utama kediaman Nui, tempat para murid Ayahnya berlarih. Di tempat itu ternyata masih tersedia pelatan untuk berlatih.
Han tiba-tiba berhenti berlari. Dia teringat kata-kata Shu yang hapir setiap hari diucapkan.
“Han, kau harus membebaskan dirimu. Karena kebebasan itu kau yang mencipkatan.”
“Jika aku sendiri tidak bisa berpikir bebas, maka selamanya aku akan terbelenggu dalam ketakutan,” gumam Han. Matanya kini memancarkan kilatan percaya diri.
Han memasang kuda-kuda, walau agak kesulitan karena pakaiannya, tapi beruntung rok yang dia pakai tidak ketat.
Lou berlari sambil menghunuskan pedang. Han dapat melihat gerakan Lou, menghindar ke kanan. Badannya berputar lalu tangan kiri Han memukul bagian rusuk melayang Lou. Pria itu mundur satu langkah. Han tidak memberi Lou jeda dan menggunakan teknik gerakkan kedua. Melakukan takle dengan kaki. Lou limbung hingga pedangnyya terlepas.
Han berdiri dan memberi jarak. Di hanya perlu melakukan gerakkan yang selama delapan tahun ini dilatihnya sendirian. Lou berdiri dengan susah payah, ia hendak mengambil pedangnya, namun Han sudah berlari sambil berteriak. Ia melakukan tendangan berputar dan kakinya tepat mengenai pipi kiri Lou hingga meninggalkan jejak samar sepatu.
Lou ren tumbang. Han tenengah-engah. Tangan dan kakinya yang sebelumnya gemetar lalu berhenti, kini bergetar kembali. Kaki Han lemas, tapi dia merasa puas. Akhirnya dia bisa melakukan yang ia inginkan. Bahkan, ayahnya dan Shu yang baru saja tiba dengan wajah khawatir langsung menghampiri Han. Wajah Han pucat, kepalanya mulai tertunduk saat ayahnya sudah berada di dekatnya.
“Han” Suaranya tidak sedingin biasanya, membuat Han terketuk untuk medongak. “Dasar putri ayah yang ceroboh,” ungkap sang ayah kemudian dengan senyum tipis dan tatapan lega yang jarang Han lihat. Han hanya bisa tersenyum dengan mata terpejam.
“Aku Han Nui, bukan?”
-------------------------------
A story by sanggamini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top