FreeDie

Aku terlonjak ketika air dingin menyapa wajahku dengan kasar. Sebelah tanganku refleks tergerak mengusap wajah yang basah. Membuka mata, aku lantas menemukan sesosok troll pendek dan gemuk menatapku murka.

“Pemalas! Cepat bangun dan siapkan kuda untuk Yang Mulia!” Kepala pelayan itu berteriak kasar seperti biasanya. 

Aku hanya diam menatapnya dengan pandangan yang sedikit terhalangi oleh rambut bagian depanku. 

“Berani sekali kau menatapku seperti itu? Kau ingin kuhajar?” teriaknya lagi. Bahkan sebelum aku bereaksi, dia sudah melayangkan kaki pendeknya, menendang perutku. Aku tidak terkejut lagi. Hidupku memang seperti ini adanya.

“Cepatlah!” Ganti kendi kosong yang menjadi target tendangannya.

Lantas aku berdiri setelah troll tua jelek itu keluar dari kandangku. Dengan langkah gontai aku membawa tubuhku melewati pintu, pergi menuju stol, tempat peristirahatan para kuda. Kulepaskan kuda cokelat gelap dengan warna putih di bagian atas kepalanya. Kuda itu kugiring menuju lapangan latihan berkuda.

Beberapa saat kemudian, sesosok manusia berperawakan tinggi dan gagah muncul dari sisi lapangan. Itu adalah Pangeran Ludwig, kandidat utama penerus tahta Midgart. Dia berjalan angkuh melewatiku dengan beberapa orang di belakangnya. Terlalu fokus mencuri pandang pada sang Pangeran, aku tidak menyadari apa yang terjadi dengan kuda yang aku bawa. Tiba-tiba dia meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya. Kuda itu meronta hingga terpaksa aku lepaskan talinya. Berlari tak terkendali hingga menubruk Pangeran adalah hal yang paling fatal. 

Aku tidak tau harus berbuat apa. Yang kulakukan hanya diam, menatap cemas keadaan Pangeran Ludwig yang nampak tak baik-baik saja. Dia tersungkur di atas tumpukan jerami kotor. Beberapa pengawalnya bergegas menolong, sementara yang lain sibuk menahan dan menenangkan kuda itu.

Pangeran Ludwig yang berhasil berdiri menatapku tajam. Dia tampak menyeramkan dengan ekspresi seperti itu. “Beri dia pukulan jerami!” Titah Pangeran final, tak bisa dibantah.

Tanpa disuruh dua kali, dua orang pengawal Pangeran menarik tubuhku, menyeretku ke tengah lapangan latihan. Seorang pengawal lain datang membawa sebuah tikar yang terbuat dari jerami. Tikar itu digulung menutupi tubuhku, dan dengan satu dorongan keras, aku jatuh ke tanah. Aku tak bisa melihat apapun lagi karena seluruh tubuhku tertutup tikar. Yang kulihat terakhir kali adalah Pangeran yang melangkah pergi.

    Satu pukulan mengenai punggungku. Aku sontak menangis. Sepanjang hidupku, hukuman seperti ini adalah hal yang paling aku hindari. Ini sungguh menyakitkan. Tubuhku tak pernah bisa menerima dan tak akan bisa terbiasa dengannya. Sekeras apapun aku menangis, pukulan tetap aku dapatkan. Pangeran sudah pergi, itu berarti tak ada yang memberi perintah untuk berhenti. Semakin lama tubuhku terasa mati rasa. Air mataku tak bisa keluar lagi. Yang kurasakan selanjutnya adalah mataku yang memberat, tak sadarkan diri.

    Aku terbangun di atas tumpukan jerami dalam ruangan yang pengap. Seluruh tubuhku terasa sangat pegal. Tanpa sadar air mata kembali menetes, menangisi betapa menyedihkannya hidupku. Aku hanya ingin pergi dan terbebas dari semua ini. Hingga pikiran gila muncul di kepalaku yang tampaknya sudah tidak waras lagi. Aku harus kabur dari sini. 

    Kuusap air mata yang tersisa, lalu berjalan menuju pintu. Aku serasa terlahir kembali ketika mengetahui pintu ini tidak terkunci. Anganku sudah melayang jauh di depan sana, membayangkan bagaimana indahnya aku hidup dengan kebebasan. Perlahan tapi pasti aku menarik pintu agar terbuka, lalu menyelinap keluar melalui celah yang ada.  

    Ternyata langit sudah menggelap. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mengendap-endap aku berjalan di tengah kegelapan, sesekali bersembunyi di balik pilar-pilar batu yang runcing untuk menghindari tatapan burung penjaga bernama Damonvrog yang bertengger di delapan menara pada setiap arah mata angin. Hingga dalam satu momen aku menyaksikan burung-burung itu mendongak sambil mengeluarkan suara mengerikan, aku melesatkan kaki berlari pergi keluar kastil melalui gerbang batu yang belum ditutup itu. 

    Cepat-cepat aku merangsek masuk ke dalam hutan yang dipenuhi pohon-pohon tinggi berdaun lebat juga tanaman semak yang tingginya mencapai lutut. Sambil berlari aku menoleh ke belakang sesekali, barangkali Damonvrog itu mengejarku. Setelah berlari cukup jauh, kakiku terasa pegal. Lantas aku memberhentikan langkah, kemudian duduk bersandar di pohon terdekat. 

Aku mengatur nafas sambil menatap sekeliling. Hutan ini tampak sangat asing karena aku tidak pernah keluar Midgart sejak kecil. Rasanya kini jiwa ragaku sudah bebas karena berhasil keluar dari penjara bertajuk Negeri Midgart itu. Di tengah keheningan ini aku berpikir. Dimana aku akan tinggal setelah ini? Aku tidak tahu apa-apa dan tidak mengenal siapa-siapa di luar sana. Apa aku harus bertahan hidup di hutan gelap ini? Tapi bagaimana jika mereka mencariku?

Tak menemukan jawaban, aku memutuskan untuk berhenti berfikir dan memejamkan mata. Belum sampai terlelap, suara aneh memenuhi pendengaranku. Dengan pandangan memicing aku menatap sekeliling, hingga cahaya rembulan yang minim membantuku menemukan sesuatu. 

Sesosok pria penunggang kuda hitam muncul dari semak-semak. Dengan cepat aku berpindah ke belakang pohon sembari terus menatapnya. Tangan kanannya terangkat sebatas bahu sambil membawa sesuatu, sedang tangan kirinya membawa sebilah pedang yang nampak berkilat di terpa cahaya rembulan. Lantas aku tersentak  ketika rona hitam menguar dari tubuh keduanya. Sesuatu di tangan kanan penunggang kuda itu bergerak. Aku nyaris berteriak ketika menyadari kepala penunggang kuda itu tidak ada di atas leher, melainkan di tangan kanannya. Kepala yang putus itu menatapku dengan senyuman lebarnya yang sangat mengerikan.  

Kuda hitam itu pun berbalik. Kini mereka menatapku. Ketika tangan kiri penunggang kuda terangkat menunjukkan pedangnya, sontak aku berlari menjauh. Tak peduli jalur apa yang ada di depan mata, aku hanya berlari. Sosok itu mengejarku.

Hingga aku menemukan sebuah cahaya terang di ujung jalur. Rasa bahagia menyeruak begitu saja. Terlalu fokus memandang cahaya itu, aku sampai tidak menyadari adanya akar tunggang yang muncul di permukaan tanah. Kakiku tersandung, tubuhku yang lelah limbung. Dengan sedikit kesadaran aku bisa merasakan badanku terguling di atas rerumputan hingga akhirnya berhenti di genangan air yang dingin. Sebelum kehilangan kesadaran, aku masih sempat bersyukur, sosok itu tak lagi mengejarku.

Tetesan air yang menerpa wajah membuatku mengerjap, memaksakan diri untuk bangun.

“Hai, aku Wally, satyr yang menyelamatkanmu tadi.” Satyr itu menampakkan senyum yang terlihat aneh. Aku tidak menjawab, malah sibuk menatap heran padanya. 

Aku lantas terkekeh geli. “Bangsamu benar-benar tidak pantas bersikap seperti itu.”

“Apa maksudmu? Satyr selalu bersikap ramah, asal kau tahu. Hanya saja aku lupa caranya karena suatu hal.” Dia nampak tersinggung.

“Benarkah? Satyr yang kulihat di Midgart sama sekali tidak pernah bersikap ramah.”

“Oh, jadi kau berasal dari Midgart? Biar kuberi tahu, Ansel. Di Midgart sudah tak ada lagi satyr. Aku satu-satunya satyr yang pernah ada di sana. Yang kau lihat itu bukan satyr. Kami bangsa yang berbeda.”

“Kau juga berasal dari Midgart?” tanyaku.

Sejenak, Wally hanya memandangku dalam diam. Hingga kemudian dia berkata, “ikuti aku.” 

Aku menurut, mengikuti Wally ke sebuah sisi dinding yang dipenuhi lukisan. Saat itu juga aku baru sadar bahwa aku berada di gua. Wally lantas bercerita bahwa ia adalah satyr yang melarikan diri dari Midgart setelah menebus hutangnya. Ia ingin kembali mencari bangsanya, tetapi ia lupa jalan pulang karena terlalu lama tinggal di Midgart. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan hidup di gua tersembunyi ini.

“Kenapa kau tidak pergi saja bersamaku? Aku juga ingin bepergian.” Lebih tepatnya aku ingin berkelana agar penjaga Midgart tak segera menemukanku.

Untungnya Wally menyetujui. Kami lantas menyiapkan perbekalan seadanya. Aku dan Wally kemudian berjalan ke timur menuju hutan perbatasan. Perjalanan kami pun dimulai dari sana.

Sudah hampir dua purnama aku berkelana, dan aku sudah pergi ke dua negeri. Pertama adalah Negeri Wustensnee yang dipenuhi dengan padang es dan dihuni oleh Schnemann, bangsa manusia salju berbadan menyerupai kera besar berbulu putih lebat. 

Kemudian Viele Kreaturer. Penghuni negeri ini diantaranya adalah manusia bertubuh elang yang disebut tengu, dan kambing berbadan manusia atau satyr. Mereka dipimpin oleh seekor singa berbadan rajawali dan bersayap kokoh yang disebut Griffin. Di Negeri Viele Kreaturer ini pula aku dan Wally berpisah. Akhirnya Wally bertemu dengan keluarga satyrnya hingga ia menghentikan perjalanan untuk menetap di sana.

Dan sekarang aku sendirian, membawa bungkusan kain yang berisi perbekalan makanan pemberian Tuan Griffin. Sampai di hutan perbatasan sebelah timur Viele Kreaturer, aku beristirahat sejenak di atas batu berukuran sedang. Aku mendongak sembari menegak minuman dari kendi. Wah, ternyata malam ini tepat malam purnama kedua aku pergi menjelajah. 

Meletakkan kendi, sebuah suara dari balik semak menginterupsiku. Seekor serigala berukuran besar meloncat ke hadapanku. Setelah berteriak sebagai refleks terkejut, aku menyambar bungkusan kain milikku dan melompat turun dari batu, berlari membelah hutan yang tidak terlalu gelap karena terpaan cahaya purnama. Selama bersama Wally, aku tidak mengalami gangguan yang begitu berarti. Kenapa hal menyeramkan seperti ini harus kualami saat sedang sendiri?

Adegan kejar-kejaran berlangsung cukup lama. Aku sudah hampir menyerah dan memasrahkan diriku untuk dilahap serigala besar itu ketika sebuah tangan tambun menarikku bersembunyi di dalam batang pohon berongga. Serigala itu berjalan pelan di depan lubang pohon sambil mengenduskan hidungnya. Entah karena apa, dia tidak bisa menemukanku, hingga akhirnya ia berbalik dan berjalan pergi menjauh. 

Aku lantas menghela nafas lega. Sosok yang tadi membantuku keluar dari batang pohon. Aku mengikutinya.

“Terima kasih banyak,” ujarku ketika ia masih sibuk menatap kepergian serigala itu.

Dia lantas menatapku. Wow, ternyata dia bangsa troll. Perawakannya hampir sama denganku, hanya saja tubuhnya terlihat lebih tambun dan lehernya pendek. 

"Oh, apakah kamu Ansel?" Kedua matanya membulat.

"Maaf?" Alisku mengernyit.

"Kau Ansel, benarkan? Oh, astaga! Aku sungguh tidak menyangka kau akan kembali ke sini. Aku sangat senang."

Untuk sejenak aku bingung harus membalas apa. Akhirnya aku bertanya, “bagaimana kau mengenaliku?"

"Tentu saja. Ayahmu adalah troll terbaik di sini." Aku diam. “Oh, namaku Otis. Ayo kita pergi ke Trollgehause. Mereka pasti sangat senang bisa bertemu denganmu.”

Aku hanya menurut ketika ia menarik lenganku. Sampai di pemukiman, Otis berteriak, “hai!! Ansel anak Nardo ada di sini!”

Para troll yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing lantas berpaling kepada kami. Perlahan semuanya berkumpul membentuk kerumunan di hadapanku dan Otis. Seorang troll wanita bertubuh gemuk dan terlihat tua berjalan mendekat. Ia menggenggam tanganku erat.

“Oh, Dewa. Terima kasih sudah mengembalikan Ansel kepada kami.” Wanita itu memandangiku dengan tatapan haru.

“Maaf, tapi bagaimana kalian mengenaliku?” Aku yang sudah tak bisa menahan rasa penasaran pun bertanya. 

Wanita troll di hadapanku lantas bercerita tentang ayah dan ibu yang bahkan aku sendiri belum pernah mengetahuinya. Mereka bilang, dulu bangsa troll hidup berdampingan dengan manusia di Midgart. Karena satu insiden, bangsa kami berseteru. Ayahku yang seorang troll biasa dan ibuku yang keturunan raja menjalin hubungan gelap, dengan aku adalah hasilnya. Ayahku di hukum mati. Karena bangsa troll tidak menerima hal itu, mereka menyerang kerajaan. Tapi tentu saja pihak kerajaan mempunyai strategi yang lebih ampuh. Kaum troll kalah, dan menjadi makhluk kasta bawah. Sejak saat itu kami sering ditindas. Bangsa troll kemudian memutuskan untuk berpindah, menciptakan koloni sendiri dengan sistem kehidupan yang lebih baik. Kecuali mereka yang gila harta dan kehormatan, memiih meninggalkan kaumnya untuk bekerja kepada manusia. Lalu ibuku, dia meninggal saat melahirkanku. Aku lantas di asuh oleh troll pelayan dan dibesarkan bukan sebagai keturunan bangsawan, melainkan keturunan troll yang lahir karena kesalahan.

Aku hanya diam. Mencerna perlahan kisah yang baru saja kudengar. Satu tepukan di bahu berhasil mengembalikan kesadaranku.

“Sudahlah, jangan pikirkan itu. Yang jelas, kami sangat senang kau ada di sini. Anggaplah tempat ini sebagai rumahmu sendiri, Ansel.” Wanita troll lantas memeluk diriku.

Beberapa lama aku tinggal di Trollgehause, aku mulai bisa menyesuaikan diri sebagai bangsa troll sejati. Keseharian kami diisi dengan bekerja mencari emas untuk dikirim ke daerah lain. Kadang aku dan Otis juga pergi mencari ikan di sungai. Aku sungguh merasa bahagia. Inilah kehidupan yang aku idamkan sejak lama. Aku dikelilingi orang yang saling menyayangi, dan bebas melakukan apa yang kuinginkan.   

Hingga suatu hari, mereka datang. Pasukan penjaga dari Midgart mengacaukan pemukiman troll dan kami dipaksa berkumpul di tengah pemukiman.

"Siapa di antara kalian yang melihat anak Nardo?" teriak seekor serigala berkepala banteng yang membawa pedang besar.

Tak ada yang menjawab. Bahkan para troll juga tidak melirikku. Aku yakin mereka satu pemikiran untuk melindungi dan tidak menyerahkan diriku.

"Jika tidak ada yang mengaku, akan ku cari sendiri dengan cara yang sedikit sadis!" Kambing berkepala banteng ikut berteriak.

Masih tidak ada yang bergeming. Lantas salah satu penjaga menarik tongkat sabitnya ke sisi tubuh, sedang penjaga lain menarik salah satu troll tua. Kami semua terkesiap. Aku hendak melangkah maju, namun Otis yang berdiri di sampingku menahan tanganku. Aku menatap Otis heran, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. 

“Kuberi kesempatan pada kalian sebelum kepala troll ini putus dari lehernya!” Suasana bertambah tegang ketika tongkat sabit didekatkan pada leher troll tua.

Tanpa pikir panjang aku berteriak. “Tunggu!” Semua kepala menoleh ke arahku. “Aku yang kalian cari. Lepaskan dia.”

Serigala berkepala banteng menyeringai. Aku merangsek maju meskipun tangan-tangan hangat para troll berusaha menahanku. 

“Cih, menyusahkan sekali.” Sebuah pedang dilayangkan di kaki bagian belakangku, aku sontak jatuh tersungkur. 

Kerumunan di belakang mulai gaduh. Dengan menahan perih aku menolehkan kepala, memandang mereka untuk meyakinkan aku tidak apa-apa. Kedua tanganku lantas diikat ke belakang, begitu juga kedua kakiku. Aku digendong oleh si Kepala Banteng sebelum disampirkan begitu saja di punggung kuda. Penjaga Midgart membawaku pergi, meninggalkan keluarga baru yang baru saja aku temui beberapa waktu lalu.

Saat melintasi hutan perbatasan, pikiran gila muncul di kepalaku. Dari punggung kuda yang berjalan di atas ngarai, aku melentingkan badan, melmparkan diriku sendiri ke dalam jurang yang terjal nan curam. Beberapa saat penjaga yang satu kuda denganku terkejut. Mereka berkumpul di tepi ngarai memandangiku yang masih terjatuh menggelinding ke bawah. Di detik-detik terakhirku aku tersenyum. Akhirnya aku benar-benar bebas.

Aku turut tersenyum ketika melihat Wally hidup dengan baik bersama keluarganya. Dia tampak bahagia menjalani kehidupannya sekarang. Begitu pula dengan Otis. Dia menjalani harinya seperti biasa, penuh keceriaan. Dari atas sini aku baru menyadari dia begitu populer di kalangan para gadis. Seskali aku terkekeh melihat tawa kebersamaan para troll menguar di udara. Di antara mereka yang sedang duduk, bungkusan kain milikku ada di sana. Ternyata mereka masih mengenangku.

“Ansel Fritz, saatnya kita pergi ke Himmels.” Seorang lelaki gagah berpakaian serba putih dengan sayap lebarnya berkata lembut kepadaku. Ini pertama kalinya namaku disebut dengan lengkap.

Aku mengangguk lalu menerima uluran tangan hangat Tuan Engel Derseel, malaikat penjaga surga. Dia membawaku terbang menuju tempat bernama Himmels, orang-orang biasa menyebutnya Surga. Entah apa yang membuatnya bersikap sangat baik padaku, sampai-sampai aku di bawa ke tempat sebagus itu. Tuan Engel bilang itu karena aku adalah anak yang baik. Tapi aku meragukannya. Menurutku ia hanya kasihan kepada bocah lemah yang harus menanggung penderitaan akibat dosa yang tak pernah kulakukan. 

Mengenai aksi gilaku di ngarai, aku hanya berpikir untuk bebas saat itu. Jika selamat, aku bisa pergi jauh melepaskan diri dari kekangan mereka. Jikapun mati, setidaknya aku juga cukup beruntung karena mati dengan gayaku sendiri. 

Dan ternyata, keputusanku saat itu membawaku menemukan keberuntungan besar. Akhirnya aku menemukan arti kebebasan sejati. Semasa hidup, aku selalu bergantung pada orang lain dan bertanggung jawab atas banyak hal meski sering tidak kusadari. Kebebasan paling nyata adalah saat kamu sudah mati. Saat itu, kamu tidak lagi terikat dengan apapun. Satu-satunya hal yang menjadi tanggung jawab adalah perbuatanmu selama menjalani kehidupan di dunia fana ini.

---------------------------------

A story by : mendystxxx

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top