Cursed Romeous
“Orang-orang mencari keberadaan Alex Brian Oswald. Kau tahu siapa ia?”
“Pesta di tahun ini akan meriah jika ada dia.”
“Ya. Apalagi pameran kostum-kostum terunik di desa ini.”
Keadaan Desa Romeus sedang ramai. Gelegar ucapan-ucapan dari penduduk cukup menyakiti telinga—karena disertai umpatan-umpatan yang memiliki kesan ‘normal’. Burung gagak dan merpati berterbangan saling berlawanan. Pun dengan keadaan cakrawala yang tak mendukung seperti biasanya. Desa Romeus memiliki kesan terkutuk, meski rakyatnya mayoritas ialah pribadi yang religius pada kepercayaannya.
“Berhenti mengumpat, Bajingan!” seru seseorang yang mengagetkan seisi penduduk Romeus—yang berada di jalanan utama desa. “Akhirnya, vampir brengsek sepertimu bisa mendapatkan jalan terakhirnya.”
Seseorang itu mencengkram kuat kedua tangan tawanan yang diborgol. Pemuda yang menjadi buronan desa itu bernama Alex. Sudut di bibirnya memancarkan darah segar, dengan pecah pembuluh darah di sebelah pipi. Muncul bercak merah—tetapi tak luka luar. Taring vampir mencuat dari bibir ranumnya. Seperti tengah siap menghabisi para mangsa di hadapannya yang tak terhitung seperti semut.
Tubuhnya diseret paksa menuju sebuah panggung beralaskan kayu nan lapuk. Semua orang penduduk Romeus segera berkerumun di sana—akibat bel yang berbunyi sangat nyaring. Seruan-seruan manusia memekakkan telinga. Hinaan, decih, ludah, bahkan sampah pun dihantarkan pada Alex yang berdiri tegap di hadapan khalayak.
“Sialan kau!”
“Taring vampirmu bisa menjadi pengganti gigi buaya kami!”
“Mayatmu bisa jadi pakan kawanan anjing!”
Juga cercaan lainnya yang terpaksa didengar Alex. Persetan dengan mereka. Nista adalah nista. Siapa yang berani mengubah hal itu?
“Alex Brian Oswald.”
Kepala Desa Romeus berjalan ke arahnya. Seluruh rakyat menutup mulut. Mereka semua bersiap akan sesuatu. Perihal kejutan besar yang melegakan hati mereka.
“Pembunuhanmu terhadap rakyat kami tak termaafkan. Perundingan selama satu tahun ini berakhir sudah. Pihak keluarga Jimmy tak bisa menghapus dosamu dengan hukuman di jeruji besi. Caramu melakukan hal hina seperti itu sangatlah brutal. Kau tak punya hati pada manusia,” ucapnya berhenti, wajahnya memerah padam, “apapun kau, siapapun kau, nyawamu adalah tagihan kami. Jimmy bukan pribadi tanpa identitas, bahkan reputasi. Namun sebaliknya, dan kau dengan manis mencabut nyawanya.”
“Pembunuhan dibayar sesuai apa yang kau lakukan. Seimbang. Kau bersembunyi saat membunuh. Namun, kali ini siksaanmu tak seberat apa yang dirasakan Jimmy. Jadi, tak adil jika kau tidak dipertontonkan di depan umum. Benar, rakyatku?”
Seketika sorak-sorak antusias warga terdengar begitu riuhnya.
“Kita akan mengadakan pesta besar—seperti kasus pembunuhan yang sebelumnya. Kalian bisa mengenakan kostum kesukaan kalian. Semenarik mungkin—bahagiakan Romeus. Biarkan jiwa orang bajingan ini meronta untuk mengemis kegembiraan. Akan kami biarkan ia tenggelam dalam kesakitan hati—lalu fisik. Siapkan dokumentasi apapun untuk teriakannya. Dua hari lagi, pesta digelar pukul enam sore. Persiapkan dengan matang. Aku mencintai rakyatku.”
Seluruhnya, tepuk-tepuk tangan bergilir bagaikan ombak nan deras. Sepertinya, dua hari ke depan adalah waktu yang spesial untuk penghuni Desa Romeus.
***
Parade beraksi di pukul lima sore. Berupa pembukaan, sebelum acara inti di pukul enam sore. Kostum-kostum artistik nan mengerikan dipertontonkan penduduk. Ada bentukan manusia setinggi dua meter dengan gaun yang cukup mengembang. Di bagian kepalanya mencuat si pemilik, dengan riasan tengkorak yang ditutupi jubah di bagian pusat rangkanya.
Ada yang mengenakan bedak putih—hingga menyerupai mayat. Wajahnya dipoles lipstik hitam dengan eyeliner berupa darah segar. Kedua tangannya menggenggam satu kotak kaca berupa jantung yang diawetkan dalam cairan khusus. Sorak tawa terdengar melengking, pun serak. Penonton bergidik ngeri melihat tanpilan-tampilan yang ada.
Derap langkah sepatu besi terdengar cukup lamban. Tampaklah seseorang yang mengenakan kaki palsu dari rakitan besi, juga tampangnya yang tak jauh berbeda dengan pemilik kostum lainnya. Hanya saja, ada mata yang hilang dari tempat normalnya, dan yang lain mencuat keluar bersama pembuluh darah yang meledak, memandikan wajahnya dengan darah kental yang berbau busuk.
Di satu arah pusat, terlihat sebuah papan kayu yang cukup besar. Di sana terdapat replika seseorang yang bernotabene sebagai pembunuh. Patung itu membentuk pose dengan kedua tangannya yang diikat. Kemudian ada cambukkan di lehernya. Depan manekin itu terdapat sebuah tiang besi yang ternyata menghubungkan tinggi papan dengan cambukkan yang menggantung—mencekik mati benda tersebut.
“Oh, lihat itu,” ucap seseorang. Kemudian, ia memukul bahu Alex yang sedang tertunduk lemah tanpa mengenakan pakaian atas. “Kau mau dibunuh seperti itu?”
Sebuah layar tancap di satu bangunan menampilkan satu cuplikan di mana seorang budak dikejar kumpulan anjing, hingga ia kehilangan arah. Tubuhnya mendapat tusukan tajam dari gigi-gigi hewan tersebut. Dirobeknya daging, hingga kini struktur badannya sudah tak membentuk. Organ-organ dalam nan penting berceceran tanpa nilai. Teriakan telah berhenti, gelak tawa penduduk di video menjadi penutup kutipan peristiwa itu.
“Oswald Alex.” Kepala desa datang menghampiri Alex—namanya Pak Reed. “Aku ingin berbicara denganmu.” Ia duduk di samping lawan bicaranya. “Bagaimana bisa kau membunuh rakyatku?”
“Kau sudah tahu ceritanya.” Alex akhirnya membuka suaranya. Kedua tangannya beradu dalam kepalan yang kuat. Tunduk kepalanya melepaskan segara amarah yang ada. Reed Ellivor—pria itu sangat munafik baginya.
“Oh, ayolah.” Godaan Reed ingin sekali dibuahi tamparan, atau kekerasan fisik lainnya yang ingin dilayangkan Alex sesegera mungkin. “Kenapa bisa kau membunuh Jimmy? Maksudku, rahasia yang sebenarnya.”
“Tiada rahasia. Kau telah mengetahuinya.”
Senyum Reed luntur seketika. Sulit sekali tahanan ini diajak berbicara. “Kau bukan Alex yang kukenal. Masih kuingat, kau menjadi budak sini. Menggembala bersama Jimmy. Kau sempat tumbuh bersamanya. Lalu, kau menjauh dari sini. Ucapmu, kau hanya ingin kembali ke Desa Cappelin. Dan, luar biasa! Kau kembali untuk menghancurkan sekretaris desa, our Jimmy. Teman seperjuanganmu.”
“Ia brengsek.”
“Kau membunuhnya dengan revolver yang menjadi perbekalanmu saat kembali ke desa itu. Kau pulang, dan menggemparkan Romeus. Masih kubayangkan cuplikan video dirimu yang menembak Jimmy tepat di dahinya. Sebelum kau menghabisi darahnya, membiarkan dagingnya dimakan unggas beterbangan, juga kawanan anjing nan lapar. Lihat, sadisnya dirimu akan sebanding dengan hukumanmu ini, yang pertama dan terakhir.”
“Ingatlah hari itu, Oswald. Hari di mana kau menghabisinya. Di malam itu, ketika reputasi Romeus semakin keruh. Kau sudah tahu, jika desa ini penuh vandalisme.”
Alex memaksakan senyum kecutnya. Sebenarnya, tiada yang patut disalahkan pada lelaki itu. Ia memergoki adanya kekerasan pada budak di Romeus—yang tentunya dilakukan oleh Jimmy.
Adapula penghukuman seorang wanita berkulit eksotis, tubuhnya dibuat terekspos—seluruhnya. Puan malang itu dibawa menuju sebuah tempat kecil di dalam tanah, dalamnya sekitar setengah meter. Atap dibuat dari kaca.
Dibiarkan cahaya matahari yang panas memanggang kulitnya. Luka bakar yang ditimbulkan memang bukan main. Sehari-harinya, ia disiram air. Bagaikan hewan liar, siapa yang tak marah melihat perlakuan tak wajar tersebut?
Jimmy adalah manusia yang problematik. Politiknya sangat keruh, Diam-diam, ia berdusta pada Reed. Maka dari itu, ketua desa menjadi buta terhadap segala kesalahan yang ia buat. Jimmy diagungkan, sedangkan Alex dan korban-korban kekerasannya dipaksa diam.
Tentu, Oswald telah muak. Ia miris melihat sobekan daging yang ditatap langsung di suatu malam. Pakan serigala, beruang, bahkan ikan piranha. Belum lagi, luka dalam yang didapatkan Wyatt—kakaknya—akibat pedang yang seperempat menembus perutnya. Jimmy, lelaki yang berusaha membuktikan siapa yang lebih bengis ketimbang vampir-vampir ‘hening’ seperti keluarga Alex.
“Akhirnya, sudah dekat!” Gelak tawa seseorang memecahkan kebisingan yang tak seberapa. Langit telah penat menyinari hari ini. Alex tersenyum pada hukuman yang segera didapatkannya.
Tarian Sufi kini menghiasi pesta meriah di Romeus. Tetesan darah gagak menjadi genangan di pola lingkaran tari tersebut. Bermandikan darah, Romeus terkenal akan desanya yang berarsitektur gothic. Suasana horor dan depresi memang sangat kental. Namun, keunikan inilah yang menjadi estetika.
Romeus adalah desa yang kaya. Namun, rakyatnya terbutakan otoriter desa. Seluruhnya jatuh ke tangan Reed. Perbudakkan bukan lagi hal baru. Pesta bertemakan hukuman seperti yang didapatkan Alex adalah hari yang istimewa di tempat ini—festival turun temurun. Adapula ritual adat yang benar-benar aneh.
“Semua kembali. Tanam semangatmu. Kematian menjemput. Dimana antusiasmu?”
“Mitologi takkan berbohong. Darah adalah pengantarmu menuju apa yang kau harapkan di akhirat. Menjadi budak dalam keindahan, atau menjadi raja dalam kesakitan?”
Nyanyian aneh itu kini mengantar selesainya Tari Sufi. Para ibu berjalan beriringan menuju bekas penampilan tersebut. Pakaiannya hitam untuk gaun, lalu putih sebagai jubah panjangnya. Di bagian leher terdapat kaitan tali nan kuat—terlihat mencekik.
“Alex Brian Oswald.”
Mendongak kepala Alex mendengar itu. Cepat-cepat lelaki itu digiring menuju sebuah tempat penyiksaan. Ia berdiri di sana—dikawal dua lelaki bertubuh kekar. Sebuah kain berhasil menutupi pandangan Alex. Ia ditarik menuju sebuah lingkaran. Kedua tangannya diikat sampul mati.
Utasan tali yang panjang menghubungkan Alex dengan tiang besi tinggi di belakangnya. Benda itu digantungkan, membuat kedua lengan Alex terangkat dengan mudah. “Apa yang kalian lakukan?”
Jujur saja, Alex sedikit payah dengan ketakutannya saat ini.
“Kejutan untukmu. Beribu kali rakyat sudah mengatakan,” bisik seorang pria yang menjaganya ketat. “Lihat ke arah atas.”
Tiba-tiba. Ada untai lain yang melilit leher Alex. Setelah itu, tubuhnya sedikit tertarik ke atas, ia seperti tengah berjingkat. Jika ada gerakan yang kuat, tali di lehernya akan semakin erat mencekik. “S-Sialan,” desisnya pasrah.
Bunyi lonceng semakin bising terdengar. Jam raksasa di pusat desa telah menunjukkan jarum yang mengarah ke bawah. Kini waktunya.
Sorak-sorak manusia Romeus benar-benar mempresentasikan kekejaman tanpa hati. Alex akui, rakyat di sana benar-bemar gila. Seketika, kebisingan mereda dengan cepat. Tawanan dibuat bingung oleh mereka.
WHACK!
“ARGH!”
WHACK!
Panas. Kulit Alex tengah disobek dengan pecut.
WHACK!
“KEPARAT!”
Reed tertawa mendengar teriakan kesakitan Alex. Geraman-geraman yang ada menjadi musik inti di acara ini. Kursi kayu berlapiskan bantalan wol yang diduduki tetua desa itu bertaburan kemewahan. Hitam legam, dipadukan dengan kayu berawarna gelap. Reed terus terkekeh-kekeh—tenggelam dalam kesenangannya, di atas kepedihan orang lain. “Lanjutkan!”
Pecut terus beraksi seperti ular beracun. Melukai dan membakar kulit Alex secara tak langsung. Setelah itu, diarahkan besi panas sebagai tanda pengenal, menuju dada kanan lelaki malang itu. Desisan api cukup meredupkan mental Alex utuk membela dirinya. Ia rela akan jiwa yang terbuang percuma oleh kelicikan desa iblis itu.
Alex melupakan sesuatu. Tentang vampir yang memiliki roh—jika memang raganya meninggal. Ada dua perantara, juga konsekuensinya. Antara mati dalam ketenangan, atau mati dalam kesakitan seperti yang ia alami.
Ketenangan sebelum kematian. Akibatnya benar-benar manis. Roh vampir takkan bereinkarnasi. Sama seperti manusia. Hayatnya akan tertidur selamanya—dalam kedamaian—kecuali, jika kebangkitan dibutuhkan mendesak.
Berbeda dengan sebaliknya. Mati dalam keadaan sedih, kecewa, dan emosi gelap lainnya. Roh akan berkeliaran ke mana-mana. Tak tenang, dan akan terus menggila sebelum mendapatkan kedamaiannya. Pergi dengan cara tak wajar, arwah akan menuntut darah untuk membentuk nyawa.
Iringan kesakitan Alex kini tercurah begitu cantiknya. Tubuhnya dihiasi luka sobek yang lebih pedih ketimbang goresan darah. Pengenal di dadanya sempat membuat kulihnya melepuh. Ada air mata, darah, juga geraman yang memekakkan telinga—sekaligus menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Terkecuali, manusia Romeus yag tak punya hati.
“BANTU AKU!” Alex memperlihatkan sisi lemahnya dengan beberapa jerit. Nada-nada piano yang sering ia mainkan sebelum tidur kini menjadi penghantar menuju kematiannya. Terlalu banyak gerak, hingga lelaki itu tercekik, dan tak merasakan sakit lagi.
Alex kini tak berteriak lagi. Dibiarkan rasa sakit itu luruh bersama napas yang perlahan menipis. Tubuhnya sedari tadi diam—semakin menggantung kuat. Terlihat dan terasa bayang-bayang dirinya yang lebih pucat. Raung kepedihannya kini menempel pada cerminan diri yang memohon pertolongan.
Bayangan itu menggila di tubuh Alex. Tiada kaum Romeus yang bisa melihatnya. Mereka pikir, pemuda itu telah mati—seiring dengan tak ada gerak yang muncul dari tubuhnya. Rohnya telah datang—menggelora dalam kepedihan. Tak tenang. Desa ini berkata benar—Alex telah melepaskan nyawanya.
Suara amunisi terdengar amat gaduh—menembus kening Reed yang tengah duduk sambil tersenyum puas. Seketika warga Romeus panik bukan main. Arwah Alex kini menapak di atas panggung kayu—menampilkan wajahnya yang tak kalah seram dari vampir terdahulunya, dengan bibirnya yang dipenuhi darah, dan kulitnya yang lebih pucat.
Kini, nyawa-nyawa Romeus bisa melihat wajahnya. Kepuasan mereka akan kematian Alex kini telah berada di ambang batas. Di ujung kerumunan, berdiri seorang pria yang tak lain adalah Wyatt. Shotgun yang dibawanya sanggup membuat penduduk kalang kabut dikejar ketakutan.
Reed telah mati karenanya. Alex memandang sekeliling warga yang masih bertahan dalam keberaniannya. Ditatap mata mereka satu persatu secara bergiliran. Hingga tiba-tiba, khalayak tersungur dengan muntahan darah yang sangat banyak.
Roh yang tak tenang itu menuntut balasan atas ketidak adilan yang dilimpahkan Reed kepada sang pemiliknya.
“Siapa yang berhak kau hukum?” Alex berjalan menuju Reed yang posisi kepalanya bersandar di sebelah bahunya. “Budakmu tak tahu terima kasih. Desa Cappelin memutuskan perang karena memperbudak vampir-vampir kami—seperti diriku. Begitu menyedihkan. Jimmy adalah manusia yang kotor—tak jauh berbeda dengan Romeus yang busuk akan vandalisme, satanisme.”
Beberapa penduduk Romeus terkapar membentuk sungai darah. Alex melangkahkan kakinya pada alas jalanan yang merupakan mayat-mayat nan laknat. Darah yang diinjaknya kini semakin terserap—hingga arwah itu tenang, dan ajaibnya membentuk nyawa Alex yang lain. Lelaki itu menghampiri kakaknya. Senyum kemenangan telah hadir. Beruntung, kematian belum berpihak kepadanya saat ini.
“Terima kasih.”
“Berbanggalah pada dirimu sendiri, Pemuda—oh, Budak Romeus. Nyawa takkan pernah putus dengan adanya keadilan di kehidupan.”
Alex baru menyadari jika serapan darah yang ia langkah, bisa menenangkan roh kesakitannya—juga membentuk hayat dirinya yang sempat dicuri oleh regulasi desa tak berkemanusian itu.
“Mari, kembali ke Rotes. Bersihkan darah kotor Romeus menjadi darah yang murni. Biarkan mereka menjadi budak dalam siksaan api.”
------------------------------
A Story By : Rede-fine
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top