Chanix

Pedesaan di tengah bukit-bukit kini tidak lagi damai. Beratus-ratus manusia serta berpuluh-puluh hewan ternak berhamburan. Teriak-teriakan menggema, menimbulkan suasana yang mengerikan.

Rumah-rumah yang terbuat dari kayu sebagian roboh, hancur berserakan. Meski matahari begitu terik, tepat di atas perkampungan itu, tidak membuat gentar makhluk berbulu hitam raksasa dengan wajah pemangsa seperti serigala dengan taring-taring tajam, serta mata merah membara.

Makhluk yang sendirian itu menghancurkan rumah hanya dengan sekali genggaman. Kuku-kukunya yang tajam mampu menembus dinding-dinding yang terbuat dari kayu. Raungan hewan buas tersebut membuat siapa yang mendengarnya akan menjerit ketakutan. Penduduk desa Phoom tidak pernah menyangka akan ada monster yang menghancurkan hidup mereka, meski sebelumnya desas-desus tentang adanya monster tersebut sudah tersebar luas.

Betapa buas makhluk yang kelaparan itu dengan menangkap siapa saja yang berlari di dekatnya. Ia genggam dengan tangan, lalu diremas hingga terdengar suara tulang-tulang remuk, kemudian dimasukkan ke mulut. Gigi-gigi tajam menusuk-nusuk manusia kaku yang berada di dalam mulut hingga tercabik-cabik dan hancur, kemudian makhluk itu menelan sambil mengangkat kepala. Darah segar menetes dari sudut bibir makhluk buas tersebut.

"Kalian berlarilah ke hutan, cepat-cepat, sebelum monster Chanix menangkap kalian," teriak lelaki berusia empat puluh tahun yang terlihat kusut. Ia mendorong dua remaja laki-laki agar berlari ke arah hutan.

"Kau bagaimana, Ayah? Kenapa tidak ikut?" Anak-anak laki-laki memandang Ayahnya dengan cemas.

"Aku masih harus memandu yang lain agar segera berlari ke arah kalian pergi," jelas Sang Ayah.

"Kalau begitu, kita juga tinggal." Anak laki-laki satu ini lebih tinggi dari adiknya.

"Sien, kau harus membawa Sene pergi sekarang juga." Laki-laki bertubuh gemuk itu mendorong kembali kakak beradik agar segera meninggalkan tempat berbahaya ini. "Cepat!"

Sien yang tidak ingin membiarkan adiknya terluka pun pergi ke arah hutan yang ditunjuk Sang Ayah. Ia terus berlari sambil menggenggam Sene. Ketakutan merasuk jauh ke dalam dirinya, ia juga merasa adiknya pun merasakan hal yang sama.

Raungan menyeramkan Chanix berubah menjadi sendawa-sendawa yang menggemparkan. Monster buas itu mulai jenuh untuk menghancurkan seluruh desa, dan tidak lagi mengambil penduduk sebagai santapan yang lezat. Ia mulai berbalik karena sepertinya sudah cukup kenyang, dari berjalan lambat laun jadi berlari kencang mengakibatkan guncangan-guncangan. Larinya monster itu berlawanan arah dengan hutan yang disusuri Sien dan Sene. Burung-burung berhamburan ke langit akibat goyangan kuat pepohonan, bahkan ada beberapa yang roboh.

Sepeninggal Chanix jauh ke dalam hutan, tangis histeris menggema di desa Phoom. Tersisa rumah-rumah yang runtuh, darah menghiasi tanah, serta beberapa penduduk yang tergeletak tak bernyawa di tanah ataupun di reruntuhan. Hams—Ayah dari Sien dan Sene—menjatuhkan lututnya ke tanah. Darah berdesir hebat, keringat bercucuran, air mata berlinang. "Sudah berakhir."

Duka menyelimuti desa Phoom, sebagian yang masih berdiri mengumpulkan mayat-mayat di satu tempat. Sebagian membuat galian besar untuk memakamkan mayat bersama. Hams membantu menggali lubang. Meski sibuk menggali, ia sempat memikirkan kedua anaknya.

Di hutan yang tidak terlalu dalam, penduduk yang melarikan diri berkerumun di satu titik. Raut-raut wajah mereka masih menunjukkan ketakutan, kewaspadaan, dan kesedihan. Dalam kerumunan itu, terdapat Sien yang sedang berusaha menenangkan Sene. Sene masih gemetar, panik, dan cemas dengan ayahnya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa membayangkan, ataupun menebak bagaimana keadaan di desa. Bagaimana nasib ayah mereka?

Penduduk Proom yang berkerumun mulai berdiskusi apakah akan bermalam di hutan atau kembali ke desa. Kembali atau tidak sama-sama akan terancam bahaya, karena hutan belantara bukanlah tempat yang aman untuk bermalam. Sementara mereka tidak membawa senjata atau perbekalan. Saat diskusi masih berlangsung dan belum menemukan titik temu, terlihat siluet beberapa orang datang menghampiri mereka. Semakin dekat, terus mendekat hingga terlihat sosok-sosok tersebut.

"Ayah...." Sien dan Sene memandang sosok itu dengan penuh suka cita.

Hams memeluk kedua putranya, berusaha menenangkan dari ketegangan yang baru saja mereka alami. Setelah cukup menuangkan rasa rindunya, Hams mengumpulkan penduduk, terutama kaum laki-laki. "Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika Chanix, monster serigala, yang merupakan isu ternyata benar-benar nyata. Ini merupakan kehancuran bagi desa kita. Karena kita tidak pernah menyiapkan benteng atau persenjataan untuk melawan monster ini. Mulai saat ini, sebelum monster kembali menyerang, kita harus menyiapkan senjata untuk melawan," jelasnya. Hams merupakan bagian dari pengurus desa, sehingga ia berani berbicara di depan penduduk.

"Apa kau gila, Hams? Kau ingin melawan monster itu? Kenapa kita tidak pindah saja ke desa lain, dan berusaha hidup damai di sana?" Grew, sosok yang lebih tua dari Hams merasa tidak sanggup jika harus bertarung karena fisiknya yang lemah.

"Kemungkinan besar Chanix akan kembali ke desa untuk mencari mangsa, tetapi jika tidak satu pun yang menjadi santapannya, makhluk buas itu akan mencari di tempat lain. Ia tetap akan mengincar desa lain. Selama Chanix masih hidup, manusia seperti kita tidak akan hidup tenang." Hams berusaha meyakinkan.

"Lalu apa rencanamu, Ayah?" tanya Sien yang mengerti akan semangat Sang Ayah.

"Kita harus membuat tombak lebih banyak, juga anak panah. Kita harus melatih penduduk agar bisa menggunakan anak panah. Lalu...." Hams menjelaskan rencananya untuk menyerang monster itu diam-diam. Meski berbahaya, Hams harus mengambil risiko agar tidak lebih banyak lagi korban yang berjatuhan. Baik di desa Proom atau desa yang lainnya.

"Izinkan aku ikut, Ayah," pinta Sien yang memiliki semangat untuk mengalahkan monster itu. Kekejaman yang dilakukan Chanix kepada penduduk desa Proom, menjadi pemicu semangatnya. Tentu saja, ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Sungguh mengerikan!

"Itu terlalu berbahaya, Sien. Aku harap kau bisa menjaga adikmu." Hams menolak permintaan anaknya.

"Aku sudah dewasa Ayah. Aku bukan anak kecil yang takut pada monster. Sudah sepantasnya aku turut melindungi penduduk desa yang sudah seperti keluargaku sendiri. Dan aku tidak ingin terus bersembunyi." Sien menatap Ayahnya begitu dalam. Ada kegigihan yang dipancarkan dari mata biru itu. Setelah berdebat panjang, akhirnya Hams mengizinkan Sien untuk ikut.

Mulai dari malam ini hingga esok hari, para penduduk bekerja keras menyiapkan tombak dan anak panah serta busurnya. Di sela waktu itu, Sien melatih fisik dengan berlari dan meditasi. Sesuai perencanaan, setelah peralatan siap, beberapa penduduk yang berpartisipasi dalam penyerang bersiap-siap untuk berangkat ketika sore hari tiba.

Ada sekitar lima puluh penduduk, terutama laki-laki yang siap untuk melawan monster tersebut. Mereka mulai memasuki hutan sambil membawa tombak, busur yang diikat di pundak, serta bekal air minum dan roti yang diikat dipinggang. Ada juga yang membawa gulungan tambang dari tumbuhan merambat.

Setelah memasuki hutan semakin dalam, bermil-mil, mereka berkumpul untuk beristirahat. Tidak boleh ada yang kelelahan sebelum menemukan keberadaan Chanix. Setelah cukup, mereka kembali melanjutkan langkah. Kegelapan menyelimuti sekeliling, mereka berbekal kayu yang dibakar sebagai penerangan.

Setelah menempuh perjalanan panjang, mereka menemukan gua yang menurut mereka merupakan sarang Chanix. Hams maju lebih dulu untuk memeriksa, pintu gua terbuka lebar, tetapi sangat gelap. Lalu ia diikuti beberapa orang, terutama yang membawa tali. Mereka berjalan dengan hati-hati. Semakin dalam semakin luas gua tersebut.

Mereka tercengang ketika melihat Chanix sedang tertidur, suara mendengkur begitu seram dan menggema. Pandangan mereka sudah mulai dipenuhi kebencian.

Hams mulai memerintahkan untuk berhati-hati memasang tali di bagian kepala, tangan, dan kaki Chanix. Ia tidak menyangka makhluk tersebut tidur sangat pulas sehingga melancarkan aksi para penduduk.

Sesudah selesai mengikat, salah satu orang memanggil pasukan di luar untuk masuk ke dalam, termasuk Sien di antara mereka. Kebencian memenuhi pandangan Sien ketika melihat makhluk buas tersebut. Para penduduk mengelilingi Chanix sambil menyiapkan senjata mereka. Ketika perintah Hams mencuat, sepuluh penduduk menarik tambang yang mengikat makluk buas tersebut hingga mengencang.

Chanix tersentak dan membuka mata merahnya. Ia meraung kesakitan dan menggetakkan badannya. Gerakan itu begitu kuat hingga membuat beberapa penduduk yang memegang tali terpental.

"Serang!!!" perintah Hams.

Para penduduk mulai mendekat dan menusuk tombak panjang mereka, sebagian lagi ada yang memanah, sebagian lagi menyalakan obor untuk memberi penerangan. Raungan kesakitan Chanix menggema dalam gua tersebut. Beberapa penduduk mulai meraih kembali tambang, kemudian menariknya, tidak hanya satu, tetapi dua orang agar tenaga untuk menariknya lebih kuat.

Usaha mereka cukup berat karena monster itu terus melawan, sehingga banyak korban yang terpental dan mengakibatkan luka karena benturan keras.

Sien tidak tinggal diam, ia mencoba mengarahkan anak panah ke arah wajah monster tersebut, terutama mengincar bagian mata. Setelah tarikan ia lepaskan, panah tersebut mengarah ke wajah Chanix, tetapi karena makhluk tersebut tidak bisa diam, panah tersebut melesat ke arah lain. Ia pun mencoba lagi hingga mengenai pipi Chanix. Lolongan kesakitan mencuat, hingga makhluk buas itu semakin mengamuk, menggerakkan badan sekuat tenaga hingga mementalkan semua yang memegang tambang.

Monster itu meraung marah, hendak mengincar Sien, mata merahnya memandang tajam ke arah Sien. Sien tidak peduli dengan tatapan itu, ia masih terus berusaha untuk membidik anak panah ke mata makhluk tersebut. Satu tembakan gagal, tembakan kedua gagal. Meski para penduduk sudah menancapkan tombak ketubuhChanix, monster itu masih bisa bergerak bebas, seakan sakit tidak lagi dirasakannya.

Sien berjalan mundur karena Chanix semakin mendekat ke arahnya, sementara Hams yang melihat itu berusaha menghalau dengan menancapkan tombak, tetapi malah ia dihempaskan oleh monster itu. Tindakan itu membuyarkan konsentrasi Sien, membuatnya ingin mundur dan menyelamatkan Ayahnya. Tetapi setelah melihat masih ada orang yang membantu Hams, Sien mengembalikan fokusnya. Kemarahannya semakin memuncak karena Chanix sudah melukai Ayah tercintanya. Ia kuatkan tarikan hingga jarinya ikut tergores dan mengeluarkan cairan merah, pandangannya mengarah ke mata Chanix, setelah dirasa pas, panah pun melesat cepat ke arah yang ditentukan.

Chanix meraung kencang saat panah yang dilesatkan Sien berhasil menembus mata kanannya. Sien tidak tanggung untuk mengarahkan panah ke mata satunya, agak sedikit sulit membidik karena Chanix tidak tenang, tetapi akhirnya panah melesat mengenai sudut mata makhluk buas tersebut. Para penduduk kembali menyerang Chanix dengan membabi buta hingga makhluk tersebut tidak bisa bergerak. Sien bergetar hebat dan merosot ke bawah karena kaki yang lemas. Ia lega karena melihat Chanix sudah tidak berdaya. Pembalasan dendam telah usai.

-----------------------------------
A story by  : dhe_dhew22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top