Alphaeus
Selama manusia masih hidup, kaum Riever tidak akan bisa bebas. Kaum Riever hanyalah minoritas yang menghuni sebagian kecil wilayah Rize dan kini menjadi budak manusia. Hal ini terjadi karena pemimpin kaum Riever tidak becus dalam membentuk hukum-hukum pembatas dengan manusia. Padahal sejak seratus tahun lalu, Kaum Riever berperan besar dalam meningkatkan kemakmuran rakyat.
“Anna, kapan kita bisa bebas?” Seorang anak kecil, Freya, berpakaian lusuh menarik-narik baju ibunya. Wajah anak itu memelas, terlihat beberapa lebam di bagian tubuhnya.
Sang ibu tersenyum pahit. Dia mengusap rambut kusut anaknya dengan lembut, lalu berbisik. “Pahlawan yang diramalkan dalam Alphaeus pasti akan segera datang.”
Tak lama kemudian, bunyi gerbang dibuka terdengar. Cahaya menyeruak masuk bersama udara musim dingin yang menusuk. Para Riever yang berkulit pucat keabu-abuan itu menyipit, mencoba melihat beberapa sosok manusia bertubuh besar yang masuk. Mereka membawa senapan listrik yang digunakan untuk menyerang Riever yang berusaha kabur.
“Keluar!” Manusia-manusia itu mulai mendorong para Riever dengan kejam. Tak segan mereka melayangkan kaki dibungkus boots tebal di tubuh Riever yang ringkih.
Ketika keluar dari ruangan besar yang gelap, para Riever dituntun ke lapangan luas dengan pasung berjejer. Seorang manusia berseragam komandan berdiri di tengah-tengah. Wajahnya garang dengan rambut cepak. Para Riever itu jelas ketakutan. Sihir mereka telah dikunci oleh borgol yang terbuat dari batu penyerap sihir. Batu itu digunakan para manusia mendapatkan kekuatan Riever untuk memperkuat pertahanan. Manusia-manusia itu terus berperang dengan menyerap kekuatan Riever, memanfaatkan anak-anak Riever yang baru lahir, mendoktrin mereka, dan tak pernah sedikit pun member kebebasan.
Saat komandan itu mengangkat tangan seolah memberi perintah, manusia bersenapan listrik mulai mendorong Riever menuju tengah lapangan, memasangkan pasung pada kepala dan kedua tangan, lalu perlahan kekuatan mereka terserap. Hal ini telah menjadi rutinitas mereka setiap hari, rutinitas yang mengambil kehidupan mereka secara perlahan. Tak ada Riever yang berhasil menua. Usia mereka hanya terbatas dari 20-34 tahun. Ada beberapa Riever malang yang mati sebelum usia sepuluh tahun.
Beberapa menit setelah energi sihir terserap, para Riever mulai merasa kesakitan. Mereka meronta, berusaha melepaskan pasung yang menekan kepala, serta besi-besi aneh di sekitaran pasung. Tubuh mereka seluruhnya sakit, seperti urat-uratmu ditarik sedemikian kuat, dan kulitmu terbakar. Para Riever dewasa yang telah merasakan ini sejak kecil hanya meringis, sesekali tersenyim pada Riever kecil yang menahan tangis. Mereka tak boleh menangis atau manusia bersenapan listrik itu akan menghajar mereka hingga sekarat.
Di beberapa sisi, para Riever yang telah melewati usia 30an mulai kehabisan energi sihir. Ada retakan berwarna merah keunguan di kulit mereka, lalu tak lama pecah layaknya kaca. Sisa-sisa sihir mereka berubah menjadi bola cahaya berwarna putih. Itu adalah kematian bagi Riever. Mereka tak punya darah seperti manusia normal. Jika sihir telah terserap habis, mereka akan mati dan berubah menjadi bola cahaya.
Kondisi itu berlangsung selama tiga puluh menit. Para Riever digiring kembali ke ruangan besar yang gelap dalam keadaan sekarat. Tak jarang dari mereka yang meninggal, dan tak sedikit Riever perempuan muda berusia 16-20 diambil dan dipaksa membuat Riever baru. Setelah melahirkan, mereka akan kembali ke tempat ini layaknya dibuang seperti sampah. Meski mereka berusaha tidak melahirkan keturunan, manusia-manusia itu memaksa. Mereka menyuntikan cairan-cairan aneh pada Riever yang membuat keturunan, dan tak segan menyiksa mereka.
Namun, mereka masih berharap datangnya keajaiban. Di mana saat raja Riever terakhir mati, dia meramalkan ada penyelamat kaumnya suatu saat nanti. Dalam kegelapan, mereka terus percaya dan yakin hal itu akan segera datang.
***
Freya terbangun ketika suara dentuman kuat terdengar dari ruangan gelap Riever. Tak hanya sekali, dentuman itu terdengar beberapa kali bercampur teriakan manusia. Freya merasakan firasat buruk dan sedikit ketakutan. Dia meraba-raba, berusaha menemukan sosok ibu di sebelahnya. Akan tetapi, dia tidak menemukannya.
“Anna?” Dia mulai memanggil ibunya lirih.
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam Freya, menarik Riever kecil itu ke sisinya. “Ssttt, diamlah.”
“Anna?”
Ibunya mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Ternyata Riever lain juga sudah terjaga. Para Riever perempuan yang telah beranak memeluk anak mereka erat-erat. Malam ini sangat berbeda. Biasanya manusia akan datang menyeret Riever perempuan yang cantik untuk bersenang-senang. Tapi, malam ini hanya terdengar jeritan manusia di luar sana. Ada apa sebenarnya? Apakah perang baru saja pecah?
“Apa kita akan terpisah?” Freya semakin ketakutan membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Ibunya menggeleng. “Akan kupastikan tidak pernah melepasmu, Freya.”
Meski para Riever memiliki anak yang tidak diinginkan, mereka tetap menyayanginya. Mereka tetap melindungi anak-anak dengan penuh kasih. Walau kadang masa-masa buruk itu kembali menghantui dengan kejamnya.
Freya mengangguk. Tubuhnya sudah kesakitan dan dia tidak bisa membayangkan jika terpisah dengan ibunya. Dia hanya meringkuk ketakutan di dalam pelukan sang ibu hingga akhirnya cahaya terang kekuningan menerobos celah pintu besar ruangan.
“Mereka hidup!” Seorang lelaki dengan suara berat dan dalam berseru dengan bahasa Riever. Gerbang itu akhirnya didobrak paksa dari luar hingga roboh. Para Riever kebingungan ketika cahaya kekuningan itu makin besar ditambah udara dingin yang berembus sangat kencang. Terlihat empat sosok lelaki berjubah hitam berbaris di hadapan mereka. Dengan gerakan perlahan, mereka membuka hoodie, menampilkan telinga tajam yang panjang dan rambut perak khas Riever.
Tak salah lagi! Mereka adalah Riever! Mengetahui fakta itu membuat Riever di dalam ruangan kebingungan. Riever biasanya akan menjadi tahanan perang dan disiksa, sehingga tidak ada Riever berkeliaran bebas di wilayah Rize. Antara percaya dan tak percaya ada budak Riever yang berhasil kabur.. Mungkinkah? Atau jangan-jangan ….
“Kalian akan bebas.” Lelaki yang tubuhnya paling tinggi berucap dengan penuh wibawa. Dia mengangkat lengan kanan tinggi-tinggi, dan di genggamannya terdapat patung burung lambang kaum Riever.
Ruangan yang tadinya hening kini menjadi gaduh. Riever-riever itu bersorak gembira penuh kemenangan tanpa tahu apa yang telah terjadi. Mereka tak peduli lagi tentang apa yang terjadi pada manusia-manusia di luar sana. Mereka ingin bebas dan mungkin inilah masa yang diramalkan sang raja sebelum mati. Saat ini mereka terus membayangkan kebebasan seperti apa yang akan didapatkan. Apakah mereka akan menjadi kaum Riever yang kuat seperti dulu? Menjelajahi benua Rize yang terkenal dengan keindahannya? Atau apa? Apa pun itu, mereka sangat bahagia saat ini.
Dengan barisan teratur, empat orang penyelamat itu menuntun mereka menuju pesawat besar yang terlihat canggih. Budak-budak Riever itu sampai terkagum-kagum sepanjang menaiki tangga menuju pesawat. Di sekitar mereka, markas manusia telah hancur. Hutan tempat penyiksaan terbakar habis dan asapnya membumbung tinggi ke langit. Lautan mayat manusia membuat Riever itu ngeri sekaligus senang. Benar, mereka tak peduli lagi dengan kaum manusia yang egois. Itu sudah hukuman mereka.
“Kalian siap menuju kehidupan baru?” Lelaki itu berucap lagi dengan senyuman lebar. Tak disangka, wajahnya cukup tampan dengan kulit keabu-abuan dan mata tajam yang tegas.
Para Riever menjawab dengan mantap. Air mereka tumpah ketika monitor besar di hadapan mereka memperlihatkan dunia Riever yang baru. Sangat indah, terlihat damai dan tentram. Sihir-sihir mereka kembali berfungsi. Hewan-hewan sihir berkeliaran dengan bebas bersama pemiliknya. Tanah-tanah mengambang dengan hutan lebat yang indah, juga air terjun. Di antara tanah-tanah mengambang itu, ada sebuah kerajaan besar yang terbuat dari perak. Di sekitarnya para penjaga Riever berkeliaran dengan wajah ramah.
“Inikah … dunia Riever?” Freya tanpa sadar bertanya di tengah kekagumannya.
Lelaki itu tertuju pada Freya lalu tersenyum. “Benar. Kau akan bisa bermain bebas di sana.”
“Bagaimana bisa?” Riever lain bertanya, masih tak percaya dengan segala keindahan itu.
“Inilah dunia Riever yang berhasil kita ciptakan kembali.” Riever tampan itu berkata lagi.
Monitor besar itu berganti lagi menjadi taman anak-anak yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Perjalanan mereka seakan-akan semakin dekat. Pesawat besar itu mengudara dengan baik, seolah-olah mereka melintasi lorong waktu.
“Apa kami benar-benar bebas?” Budak-budak itu bertanya lagi.
Lelaki tampan itu tersenyum lalu meminta lelaki di sebelahnya untuk menjelaskan.
“Mulai sekarang kaum Riever akan hidup tentram di Rizandell. Kalian akan mendapatkan rumah, pekerjaan, dan kehidupan selayaknya kaum Riever seratus tahun lalu. Kita akan membangun kembali kaum Riever dengan baik dan mempertahankan Rizandell. Tidak akan ada manusia yang bisa masuk ke Rizandell, tidak akan ada perang, dan kalian telah bebas. Akan tetapi, ingatan kalian tentang manusia akan dihapuskan.”
“Apa?”
“Ingatan tentang manusia adalah sesuatu yang terkutuk. Kalian akan disucikan sebelum memasuki Rizandell. Kalian akan menjadi Riever yang suci dan murni. Karena itulah, jangan khawatir. Kalian pasti akan dilindungi.”
Para budak itu bersorak gembira. Tak sedikit yang menangis haru, tak menyangka kejadian ini akan datang setelah sekian lama penantian. Mereka tak peduli lagi akan ingatan masa lalu. Bagi mereka, ingatan manusia memang sebuah kutukan, neraka dunia yang lebih baik dihapus. Dengan begitu, semua Riever akan kehilangan penderitaan yang berat.
Tak lama kemudian pesawat canggih itu menembus awan besar, lalu muncullah Rizandell yang telah mereka saksikan melalui layar monitor. Tempat itu jauh lebih indah, bahkan bagi para budak, itu adalah surga. Pesawat berhenti di tanah mengambang, lalu budak-budak itu turun. Mereka harus melewati portal untuk melakukan penyucian. Seorang Riever berjubah putih dengan tongkat panjang telah menanti di pintu portal, seakan-akan hendak menuntun mereka masuk ke Rizandell.
Begitu pula dengan Freya. Dia berjalan berdampingan dengan sang ibu dan mendapat barisan paling belakang. Dia melihat ibunya tersenyum bahagia dan itu cukup. Saat giliran Freya dan ibunya disucikan, Freya terhenti sejenak. Dia melihat Riever tampan itu berdiri di belakangnya seolah-olah sedang melindungi.
Sadar Freya memperhatikannya, Riever tampan itu menoleh sambil tersenyum. Dia membungkuk untuk menyejajarkan pandangannya pada Freya.
“Ada apa?”
Freya memiringkan kepala, tersenyum kecil. “Siapa namamu?”
“Alphaeus.”
-----------------------------
A story by : ReonaLee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top