TROUBLE 4

Ali's POV

"Jadi lo lebih bangga kalau Niken yang jadi istri lo?ya udah lo cerai aja anak kecil ini sekarang!gak perlu nunggu setahun dan lo bisa langsung nikahin Niken. Wanita yang gak akan kekanak-kanakan dan yang pasti gabakal buat lo malu."

Suara Prilly yang bergetar menahan tangis terngiang jelas di telingaku. Mendengarnya memintaku menceraikannya bagaikan balok kayu yang menghantam tubuhku. Sakit. Hatiku terasa pedih. Ada gejolak emosi dalam diriku saat dia mengatakan itu. bagaimana bisa dia berfikir seperti itu?Aku marah padanya karena dia membuatku malu, tapi aku lebih marah lagi karena dia meminta cerai.

"Ya karena semua karyawan lo muja-muja dia setinggi langit. Bilang kalau dia istri lo. Lo gak mikir gimana sakitnya perasaan gue?bahkan yang lebih mengenaskan lagi. Lo, suami gue sendiri malu ngakuin gue sebagai istri."

Hantaman keras kembali ku rasakan saat Prilly mengatakan aku malu mengakui dia sebagai istri. Di mana otak anak itu?Jelas aku sangat bangga padanya, ya semua laki-laki pasti bangga memiliki istri seperti Prilly. Kecantikannya yang natural, sifatnya yang keibuan bahkan di usianya yang masih 17 tahun dia sudah bisa memasak layaknya koki restoran. Aku kembali mengingat apa yang ku katakan padanya. Aku membentaknya terlalu kasar. Aku sadar aku sudah melukai hatinya. Suami macam apa aku ini? Aku membiarkan air mata istriku jatuh untuk yang kedua kali.

Aaaah!! Aku kepalkan tanganku. Meninju cermin yang berada di kamar mandi. Darah bercucuran dari tangan kananku. Aku meluapkan emosi yang sejak tadi kutahan. Aku benci diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh?

Aku masuk ke kamar Prilly. Hawa dingin menyerbu. Ku raih saklar lampu. Sejak pulang dari kantor tadi aku langsung menitipkan Eek ke mama. Untungnya mama langsung mengerti tanpa banyak bertanya. Ku rebahkan tubuhku di ranjang miliknya,sepulangku dari rumah mama. Aku berharap Prilly sudah pulang. Aku rindu omelannya jika aku pulang terlambat.

"Kemana aja sih?kenapa jam segini baru pulang?"

"Lupa ya alamat apartement sendiri?"

"Sekalian aja gak usah pulang!"

Namun tidak ada tanda-tanda Prilly di apartemen. Sepi. Tidak ada suara cemprengnya. Aku mencoba menelponnya berkali-kali namun ponselnya tidak aktif. Dimana kamu sayang?

Kontan ponselku berdering, "Mama Ully,"gumamku.

"Assalammualaikum Li,"

"Waalaikumsalam Ma. Tumben malam-malam nelpon Ali?" tanyaku sopan kepada mama mertuaku.

"Li, ada Prillynya?mama mau berbicara." aku diam seketika. Awalnya aku fikir Prilly menginap dirumah mamanya. Tapi kenapa Mama Ully menanyakan Prilly. Aku panik, namun aku tidak mau mama mertuaku ikut panik. Aku menggigit bibir bawahku.

"Prillynya udah tidur mah."jawabku berbohong mengatur intonasiku.

Aku hendak mengambil kunci mobilku untuk mencari Prilly. Ku dengar mama menghela nafas,"sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Prilly?"

"Ma-maksud mama?"tanyaku terbata-bata.

"Prilly ada disini Li."suara mama dari sebrang membuatku lega.

" Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Prilly?tadi siang Prilly kesini. Dia bilang mau menginap dan sudah mendapat izin dari kamu tapi mama curiga ada yang tidak beres. Mama melihat matanya sembab. Makanya mama menelpon kamu,"

Aku menghela nafas,"Maaf Ma. Ali akan jemput Prilly sekarang."

"Mama tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Mama juga tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga kalian. Tapi mama berharap kalian bisa menyelesaikannya secara bijak. Ini sudah larut. Biarkan Prilly menginap saja dulu disini, kamu tidak usah khawatir. Prilly aman disini." jelas mertuaku.

"Terima kasih Ma. Ali titip Prilly."

Aku mencoba memejamkan mataku namun tidak bisa. Aku tidak bisa tertidur. Aku gelisah memikirkan Prilly. Walaupun aku sebenarnya cukup lega karena ternyata Prilly menginap di rumah mamanya. Aku berjalan ke arah balkon. Spot favorite Prilly. Seringkali dulu aku mengomelinya karena kebiasaan buruknya yang lupa menutup pintu balkon. Prilly, baru satu hari aku tidak melihatmu, tapi rindu ini sudah seperti setahun.

Keesokan harinya aku langsung mengemudikan mobilku ke kawasan Bintaro, tempat tinggal mertuaku. Aku menarik nafas sebelum menekan bel. Tak lama pintu rumah mertuaku terbuka. Ku lihat istriku sudah berpakaian seragam sekolah. Saat melihatku, dia buru-buru menutup pintu. Namun ku cegah dengan tangan kananku. Alhasil tanganku terjepit. Darah segar kembali keluar dari tanganku, sebenarnya jepitan pintu itu tidak terlalu kuat namun karena kemarin aku meninju tanganku ke cermin, dan belum sempat ku obati. Luka itu semakin melebar.

"Awww!" jeritku menahan sakit. Prilly yang melihat darah segar keluar dari tanganku segera membuka kan pintu.

"Ya ampun Ali, tangan kamu kenapa?" jerit mama mertuaku khawatir. Kualihkan pandanganku ke Prilly. Terlihat kekhawatiran di sorot matanya. Namun disembunyikan. Dia bersikap seolah acuh kepadaku.

"Gapapa kok mah, kemarin hanya kena kaca,"kilahku.

"Masa kena belingnya kemarin darahnya keluarnya sekarang sih, Prilly kamu ambil air hangat dan kotak P3K. obati luka suami mu,"perintah mama yang hanya mendapatkan anggukan dari istriku.

Prilly berlalu ke dapur, sementara aku duduk di ruang tamu.

"Selesaikan masalah kamu sekarang Nak. Mama tidak mau kalian bertengkar berhari-hari. Bawa dia pulang," pesan mama sambil menepuk pundakku pelan. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk pelan.

Prilly membalut lukaku dengan telaten. Sesekali aku menggigit bibir bawahku menahan sakit.

"Prill,"panggilku.

Prilly hanya menjawab dengan berdeham. Tidak seperti Prilly yang biasanya. Dapat ku simpulkan dia masih marah padaku.

"Maaf,"gumanku menyesal. Prilly menghentikan aktifitasnya yang membalut lukaku sebentar. Dia menatapku. Manik matanya menangkap manik mataku. Aku yakin dia melihat ketulusanku.

"Tidak perlu minta maaf. Gue yang berlebihan,"ucapnya lalu kembali membalut lukaku. Dia meneteskan obat merah ke tanganku.

"Ya udah kita pulang ya?"ajakku lembut. Sekarang dia telat menempelkan perban ke lukaku.

"Gue mau tinggal disini aja. Soal ucapan gue yang kemarin gue serius. Setahun terlalu lama, setelah gue lulus gue minta lo siapin berkas cerai kita. Gue yakin kok orang tua kita pasti menerima keputusan kita."

DEKK.

Aku terdiam, menatapnya tidak percaya. Ku tarik tanganku dari tangannya. Apa-apaan dia?Rahangku mengeras. Aku menahan emosi. Aku tidak akan membiarkannya pergi dariku. Tidak akan!!

"Ali itu perbannya belum diplester, sini dulu,"omelnya menarik tanganku kembali. Dia menempelkan plester ke tanganku. Sementara aku masih diam bergeming,"selesai."

Dia melirik jam di dinding," gue duluan. Udah telat. Kalau lo butuh sesuatu minta sama mama aja. Permisi," ucapnya kemudian berlalu meninggalkanku.

Aku mengejarnya yang sudah di luar rumah, "Prill,Prilly," ku tarik tangannya dengan tangan kananku. Aku lupa tanganku masih sakit,"awwww!"rintihku.

"Lo ngapain sih?"sentaknya. harusnya aku yang marah. Tapi kenapa sekarang dia yang marah?

"Gue gak setuju. Lo harus pulang sama gue,"sentakku kembali. Dia diam menatapku yang sudah marah. Kepalaku terasa panas.

"Kenapa?Setahun ataupun sekarang itu sama aja. Pernikahan ini akan berujung di perceraian,"katanya kesal. Ku lihat wajahnya sudah memerah menahan emosi.

"Nggak akan ada perceraian. Lo milik gue selamanya!"ujarku lantang. Prilly menatapku sarkatik. Lalu tertawa kecut.

"Kalau lo Cuma mau ngejadiin gue babu lo selamanya, gue gak minat,"ucapnya berlalu saja meninggalkanku. Dia menghentikan taksi, aku sudah coba mencegahnya namun gagal.
Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Kenapa semuanya jadi begini?

***

Prilly's POV

" Nggak akan ada perceraian. Lo milik gue selamanya!"

Kalimat Ali menggantung dalam fikiranku. Aku bertanya-tanya apa maksud dari kalimatnya. Apa dia mulai mencintaiku?Makanya dia berbicara bahwa aku miliknya selamanya. Ah tidak mungkin!Wake up Prilly. Kamu lupa kemarin dia sudah memaki-makimu,mengataimu seperti anak kecil. Mana mungkin dia mencintaimu? Ku dengar bisikan itu dari telinga kiriku.

Tapi bisa saja dia menyesal. Terus dia sadar kalau dia mencintaimu, makanya dia mengatakan kamu miliknya selamanya Terdengar lagi bisikan dari telinga kananku.

Bangun Prilly!tipe ceweknya itu yang seperti Niken. Cantik sexy bukan seperti kamu yang kecil. Bisikan dari telinga kiriku menyentakkanku.

Aku bingung, kuputuskan untuk memikirkan yang pahitnya. Bukannya lebih baik jika kita berfikir jelek namun berakhir bahagia. Dari pada dibuat terbang kemudian di hempaskan ke dasar jurang. Aku menghela nafas. Dia pasti berbicara itu hanya karena dia tidak mau kehilanganku sebagai pembantunya. Karena selama ini akulah yang mengurus keperluannya. Ya pasti karena itu. lagi pula kalau dia benar-benar mencintaiku kenapa dia baru datang sekarang bukan kemarin?Lalu kenapa dia tidak mengejarku dan membiarkanku pergi?Aaah aku benci Ali!!

Tak terasa taksi yang ku tumpangi sudah sampai di sekolah. Aku turun dari taksi. Kontan ku dengar seseorang menyerukan namaku," Prilly!"
Aku menoleh dan mendapati Halik menghampiriku dari arah parkiran.

"Pagi,"sapanya ramah.

Aku hanya tersenyum. Aura Halik sangat berbeda dengan kemarin. Sudah tidak terlihat lagi amarah di bola matanya. Aku menghela nafas lega. Setidaknya Ali tidak akan kenapa-kenapa.

"Prill, sorry ya kemarin. Gak sepantasnya gue marah-marah di depan lo,"ucapnya menyesal.

Aku menepuk pundaknya pelan,"gapapa lik, gue ngerti kok. Adik mana sih yang rela kakaknya disakitin?" ya walaupun kakaknya seperti iblis.

Halik tersenyum mendengar jawabanku. Dia meraih tanganku, "Nanti pulang sekolah, ikut gue ya. Gue mau nunjukin suatu tempat."

Aku hanya mengangguk pasrah. Mungkin ini jalanku untuk melupakan Ali. aku pernah menyukai Halik, sepertinya bukan hal sulit untuk menyukainya lagi. Aku tidak mau larut dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Sepulang sekolah Halik langsung menghampiri kelasku,"udah siap?"tanyanya. aku hanya tersenyum sembari mengangguk.

"Ciye yang mau nge date,"ledek Gritte sahabatku.

"Ah bisa aja lo Te,"sahut Halik dengan senyum malunya. Sementara aku hanya tersenyum. Meskipun rasa malu yang biasanya ku rasakan saat Gritte meledekku sudah tak ada. Aku hanya merasa biasa saja sekarang.

"Ya udah duluan ya Te. Dadah,"ucapku melambaikan tangan perpisahan kepada sahabatku. Halik tiba-tiba saja menggandeng tanganku menyusuri koridor kelas menuju parkiran. Akupun tak keberatan digandeng olehnya.

Sampai di depan parkiran Halik melepaskan gandengannya, "Prill, lo tunggu di pos satpam aja ya. Gue mau ngambil motor dulu. Kalo lo ngikut nanti kepanasan," ucapnya perhatian.

Halik memang pria yang sangat mengerti wanita. Aku pun hanya mengangguk meninggalkannya menuju pos satpam.

Aku menunggu Halik yang sedang mengambil motornya. Tiba-tiba sebuah tangan menarik tanganku.

"Ayo kita pulang,"ucap pemilik tangan kekar itu. Aku menoleh mendapati Ali yang menarik tanganku.

" Ngga mau,"ucapku berusaha melepaskan cengkramannya dari lenganku. Namun aku tidak berhasil,cengkramannya terlalu kuat.

"Ali, lepasin sakit,"rintihku.

"Ayo pulang. Lo harus nurut sama gue!"sentaknya membuatku kaget.

Tiba-tiba sebuah tangan membantuku melepaskan cengkraman tangan Ali.

"Kalau dia gamau gak usah maksa,"ucap pemilik tangan itu sinis.

Aku menoleh. Halik.

"Ini gak ada urusannya sama lo Lik, lebih baik lo minggir." balas Ali yang masih berusaha menarik tanganku. Namun Halik segera menarikku menjauhi Ali dan menangkupku di balik badannya.

"Jelas ini urusan gue. Lo gak ada hak buat maksa-maksa Prilly buat ikut sama lo!"sentak Halik keras. Matanya memincing menatap Ali geram.

"Dan lo gak ada hak buat ngelarang-ngelarang gue!"ucap Ali tak kalah keras. Tangan Halik mengepal. Dia meninju Ali tepat di wajahnya.

"Belum puas lo udah nyakitin kakak gue dan sekarang lo mau nyakitin Prilly,"sentaknya lagi.

Aku yang syok tak bisa berkata apa-apa. Ku lihat darah segar keluar dari sudut bibir Ali. "Bangsat lo!!"umpat Ali kemudian membalas Halik. terlibat lah adu jotos antara Ali dan Halik yang ku khawatirkan selama ini.

Melihat kedua pria itu bertengkar. Aku berteriak meminta pertolongan. Keduanya sudah penuh lebam. Namun bukannya menolong, anak-anak sekolahku malah berteriak menyerukan nama Halik, bak supporter pertandingan bola. Mataku bergerilya mencari satpam sekolahku. Tidak ada satupun satpam yang berhasil ku temui. Dasar makan gaji buta!!

Akhirnya terpaksa aku sendiri yang menjadi tameng.

"Sudah berhenti. Ini disekolah!"sentakku kesal. Namun tidak ada yang berhenti.

Sekarang mereka sudah bergulingan saling menghajar satu sama lain. Hingga saat Halik ingin meninju wajah Ali untuk yang kesekian kalinya. Aku datang menghalanginya. Alhasil aku yang kena tonjok.

"Prilly!"pekiknya kaget. Aku merasakan cairan keluar dari hidungku. Ku seka cairan kental itu, ternyata darah. Hingga aku merasakan mataku berkunang-kunang. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.

******

Buat yang menunggu kelanjutan ALIKA aku udah next ya :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top