REGRET

"Siapa kak?"tanyaku yang belum melihat siapa tamu yang datang. Tiba-tiba langkahku terhenti. Mendapati seorang wanita paruh baya berada di depanku dengan tatapan kaget.

"Mama." pekikku pelan.

"Kamu ngapain di apartemen anakku? dasar wanita tidak tahu diri," ucap mama dengan pandangan sarkatik. Ku lihat Sania hanya diam, dia menunduk." Kamu hamil?dasar murahan!" umpat mama lagi. Ku lihat air mata menggantung di kelopak mata Sania.

Mama mengalihkan pandangannya ke arahku meminta penjelasan. Lidahku kelu seketika, aku tidak menyangka mama datang ke apartemen sepagi ini. Lalu tatapannya kembali memicing ke arah Sania,"Sekarang pergi dari sini juga!!Aku tidak mau melihat wanita yang hampir membuat keluargaku malu," usir Mama lantang. Sania hanya diam bergeming. Mama menarik tangannya untuk keluar apartemen,tapi aku mencegahnya.

"Jangan Mah, biar Prilly jelasin."

Aku membawa Sania ke dalam kamarnya, dia menangis sesenggukkan menelungkup wajahnya dengan kedua tangannya. Ku elus punggungnya, menenangkannya,"udah kak, jangan nangis."

Sania menatapku, mukanya merah. Matanya sudah banjir dengan air mata," gue takut Prill. Gue emang murahan, gue gatau diri,"ucapnya di sela-sela tangisnya.

Ku bawa dia ke dalam pelukanku," sssst jangan ngomong gitu. Mama tadi hanya kebawa emosi. Maafin ya kak,"ucapnya mengelus rambutnya. Ku tegakkan badannya menghadapku.

"Udah stop, kasian anak lo kalau mamanya nangis mulu. Gue keluar dulu, biar semuanya gue yang atur."kataku mencium pipi Sania, lalu pergi meninggalkannya.

Ku langkahkan kakiku ke ruang TV, ku lihat mama sudah berdiri bertolak pinggang memicingkan matanya ke arahku. Ku lihat Ali hanya duduk di sofa sambil menunduk." duduk,"perintah mama.

Aku duduk dengan gemetar, apa yang harus aku bilang kepada mama. Aku menghela nafas panjang. "Siapa yang mau menjelaskan kepada Mama?"

Aku terdiam, ku alihkan pandanganku ke Ali. dia mau membuka suara," Sekarang Sania tinggal disini mah,"jawab Ali datar.

"Sejak kapan?"

"Sudah sebulan yang lalu,"kataku dengan bibir bergetar. Aku tahu pasti mama mertuaku ini sangat tidak suka dengan Sania. aku bisa memaklumi hal itu, perbuatan Sania dulu memang tidak bisa diampuni. Dia sudah melakukan penghinaan dengan kabur dari pernikahannya.

Mama membelalakkan matanya tidak percaya," sebulan?"ulang mama lagi, seolah-olah ada yang salah dengan pendengarannya. Aku dan Ali hanya mengangguk pasrah.

"Kalau begitu dia harus angkat kaki dari apartemen ini sekarang!" perintah mama tegas. Ku lihat mama memijat pelipisnya.

Aku memberanikamemberanikann diri untuk membantah permintaan mertuaku. Bagaimanapun juga Sania adalah kakakku. Apalagi kondisinya yang sedang berbadan dua, tidak mungkin aku tega mengusirnya," tapi Mah, kak Sania mau tinggal dimana?memberanikan dia sedang hamil dan pacarnya pergi meninggalkannya begitu saja. Prilly harap mama bisa mengerti,"ucapku mengatur intonasi suaraku sesopan mungkin.

Ku dengar Ali menghela nafas,"biarkan Sania disini dulu Mah, Ali dan Prilly juga tidak keberatan dengan keberadaannya disini."

"Tapi sampai kapan?apa mama papamu tau kalau dia ada disini?"

Aku menggeleng lemah, ku dengar tarikan nafas dari mama mertuaku," Sayang, mama papamu berhak tahu di mana keberadaan anaknya. Dan anak di perut Sania itu tidak bisa selamanya disembunyikan. Janganlah kalian menutupi bangkai, karena serapat apapun kalian menutupinya pasti akan tercium juga. Mama berbicara seperti ini bukan hanya karena mama tidak menyukai Sania semata, tapi karena mama juga tidak ingin kalian ikut menutupi sesuatu yang seharusnya tidak ditutupi. Coba bayangkan bagaimana perasaan mama Ully dan papa Rizal. Kalau tahu anak kebanggaannya juga ikut mengecewakannya?"

Aku terdiam seketika. Meresapi omongan mama mertuaku. Benar juga, tidak mungkin aku menutupi keberadaan Sania selamanya. "Mama tahu kalian sudah dewasa. Lakukan apa yang menurut kalian baik. Mama pulang dulu, "ucap mama mencium pipiku dan Ali bergantian lalu beranjak pergi meninggalkan apartemen kami.

Aku memijat pelipisku, "gimana nih Li?"tanyaku khawatir. Ali meraih pinggangku untuk lebih dekat dengannya dan merangkulku.

"Aku fikir omongan mama ada benarnya. Kita gak mungkin nyembunyiin Sania selamanya. Lambat laun pasti akan ketahuan juga."

Aku hanya menggigit bibir bawahku," trus menurut kamu kita bawa Sania ke rumah mama sekarang?"

Ali hanya mengangguk, ku dengar knop pintu berdecit. Sania berdiri tak jauh dariku," biar gue pergi dari sini aja Prill, mertua lo gak suka gue di sini."

Aku menatapnya heran,"lo mau pergi kemana kak?"

Sania memainkan telunjuknya bingung," gatau, kemana aja. Gue gamau ngerepotin kalian lagi."

Aku menggeleng," gak..lo gak akan pergi dari sini.'

"Tapi Prill."

"Engga ada tapi-tapian. Kecuali lo pergi untuk pulang kerumah mama."

Sania terdiam, matanya terbelalak mendengar ucapanku," gue takut, mama pasti marah banget sama gue,"ucapnya bergetar.

Aku menghela nafas, beranjak dari sofa. Ku pegang bahu Sania agar menghadapku, ku angkat dagunya agar dia menatapku,

"Kalau marah udah pasti. Lo udah keterlaluan Kak. Ini udah resiko dari perbuatan lo. Tapi gak ada orang tua yang nolak anaknya. Gue rasa lo harus pulang, mama sama papa pasti bisa bantu nyari Doni bajingan itu biar dia gak lari dari tanggung jawabnya."

Sania menangis, ku peluk dia," gue...gue takut Prill,"ucapnya di sela-sela isakannya.

Ku lepaskan pelukanku, menyeka air matanya," ada gue, gue selalu ada disamping lo. Lo gak usah takut,"ucapku menenangkan kakakku.

***

Ali's POV

Aku masih tak menyangka akan sikap istriku tadi pagi. Sikapnya yang kekanak-kanakkan seolah berubah, dia terlihat sangat dewasa. Dia bisa menenangkan kakaknya. Saat mama tiba-tiba datang ke apartemen kami, jujur aku sangat terkejut. Aku bingung apa yang akan aku jelaskan pada mamaku. Mama sangat tidak menyukai Sania, tapi aku juga tahu mama bukan tipe orang pembenci. Walaupun ketidaksukaannya terhadap Sania tidak ditutupi. Tapi dia juga peduli dengan anak yang di kandung Sania. mungkin ini naluri keibuannya.

Aku meresapi setiap perkataan mama. Mama ada benarnya, tidak mungkin kami menyembunyikan Sania di sini selamanya. Lambat laun pasti akan ketahuan juga. Dan anak di perut Sania butuh status.

"Sayang,"panggilku pelan kepada Prilly yang berbaring di atas dadaku. Dia hanya berdeham," kapan kita antar Sania kerumah mama?"

Prilly mendongak menatapku,"kamu kok ngomong gitu?"

Aku mengerutkan kening,"gitu gimana?"

"Omongan kamu. Kamu seolah-olah pengen Sania cepat-cepat angkat kaki dari apartemen ini,"ucapnya bangun dari posisinya, duduk membelakangiku.

Ku tarik dia agar berbaring kembali di sampingku, ku ambil dagunya,"tuh kan kamu suka nethink deh. Maksud aku bukannya lebih cepet lebih baik. Coba kamu pikir, anak di perut Sania itu butuh status. Mungkin dengan mengembalikan Sania ke mama dan papa. Papa bisa membantu mencari ayahnya. Kan kamu yang bilang sendiri tadi."

Prilly menghela nafas," Iya sih. tapi gak sekarang-sekarang juga. Sania masih syok. Aku gak tega. Biarkan dia tenang dulu."

Aku hanya diam." Kamu gak keberatan kan Sania di sini dulu. Sampai dia siap?"Tanya Prilly menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Aku mengangguk pasrah, walaupun aku yakin tidak akan pernah ada kata siap.

Tiba-tiba tangannya sudah berada di balik celanaku," kamu ma..mau ngapain?"ucapku terbata-bata karena ku rasakan tangannya menyentuh senjataku yang mulai mengeras.

Dia hanya tertawa nyengir,"mau buat baby, hehe."ucapnya menarik tengkukku mencumbu bibir dan leherku bergantian. Kini istriku begitu bersemangat untuk segera hamil,apalagi aku lebih bersemangat lagi untuk membuatnya hamil. Kusambut pagutan istriku penuh gairah.

"Aku rela bertelanjang badan tiap malam demi membuat baby sama kamu sayang."bisikku di telinganya.

***

"Udah siap?"tanyaku menggenggam tangan kakakku. Ku rasakan tangannya basah dan bergetar. Ku tatap matanya, keringat dingin keluar dari sudut pelipisnya. Ku alihkan tatapanku kepada Ali, dia mengangguk, mengisyaratkan bahwa keputusanku membawa Sania pulang tidak salah.

Ku tekan bel pintu rumah mama perlahan, tak lama seseorang membukakan pintu. Mama.

Mama menatapku sambil tersenyum," Hei sayang tumben ke.."ucapnya menggantung. Mendapati Sania yang berada di sampingku.

"Sania,"pekik mama parau.

"Mama,"ucap Sania bergetar. Mama langsung menghambur ke pelukan anak dukungnya itu. air mata di pelupuk matanya jatuh. Ku lihat kerinduan yang mendalam di sorot matanya. "Kamu kemana saja sayang?Mama sama Papa udah gak marah lagi sama kamu,"ucap mama di sela-sela tangisnya.

"Sania juga kangen sama Mama, maafin Sania Mah." ucap kakakku terisak. Kontan tiba-tiba mama melepaskan pelukannya. Dia meraba perut sania yang buncit namun tertutup dengan selendang yang dia kenakan.

"Ka..kamu."ucap mama menggantung, tiba-tiba saja mama jatuh tersungkur ke lantai. Mama pingsan.

Ali membopong tubuh mama ke ruang tamu, ku olesi minyak kayu putih agar dia tersadar. Ku lihat air mata jatuh tak henti dari mata cantik Sania. menyesal. Mungkin itu satu kata yang berada di benaknya sekarang. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sudah tidak ada jalan untuk kembali. Tak lama mama mengerjap-ngerjapkan matanya, mama membuka matanya. Sania menggenggam tangan mama. Menciumnya berkali-kali sembari berlutut di hadapan mama.

"Maafin Sania Mah, maaf,"ucapnya serak parau, karena sedari tadi Sania tidak berhenti menangis.

"Sania,kamu benar-benar sudah mengecewakan mama Nak. Dimana ayah dari anak itu?"ucap mama dengan tatapan kosong, mama enggan menatap Sania. tapi air mata turun dari sudut matanya.

"Dia ninggalin Sania begitu aja,"sahut Sania di sela-sela tangisnya. "Sania minta maaf Mah. Sania tahu kesalahan Sania." Sania minta maaf entah sudah berapa kali Sania mengucapkan kata maaf.

Sania hendak mencium kaki mama. Aku kaget dengan apa yang dia lakukan. Seumur-umur Sania tidak pernah melakukannya, Sania adalah anak yang urakan, dia tidak mungkin mau merendahkan dirinya sendiri. Bahkan di hadapan orangtuanya sekalipun. Dia benar-benar menyesal. Mama mengangkat tubuh Sania. "Bangun,"perintah mama.

Mama menatap Sania nanar, aku bisa merasakan perasaan mama sekarang. Mama pasti merasa menjadi ibu yang gagal. Ku tatap Ali yang hanya terdiam menyaksikan anak dan ibu ini. Mama menangkup pipi Sania." Kita cari ayah dari anak ini, dia harus bertanggung jawab,"ucap mama memeluk tubuh Sania erat. Walau masih di banjiri air mata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top