BILA'S DAD

Author POV

Ranu mendesah berat, kenapa dia harus berada di posisi terhimpit seperti ini.

"Gimana Nu? Aku boleh pergi?" Tanya calon istinya dengan hati-hati. Biar bagaimanapun, Prilly sangat menghargai Ranu sebagai calon suaminya.

Ranu menatap Prilly sebelum menjawab, dilihatnya wanita itu sangat menunggu jawaban darinya. Prilly meremas ujung bajunya, menandakan sebenarnya dia gelisah.

"Baiklah, tapi kamu janji selalu ngabarin aku ya," ucapnya pada akhirnya. Walaupun berat, Ranu menyetujuinya.

Dia tahu, Prilly sangat menyukai kegiatan-kegiatan sosial seperti ini, dan dia telah berjanji kepada dirinya sendiri. Dia tidak akan membatasi ruang gerak Prilly selama masih dalam batasan yang normal. Prilly tersenyum, sudut bibirnya membuat lengkungan yang indah. Dia berhambur ke pelukan sahabat sekaligus calon suaminya itu.

"Makasih ya Nu, aku sayang kamu."

Ranu membelai rambut tipis Prilly.

"Iya aku percaya sama kamu. Jangan kecewain aku ya."

"Aku janji gak akan ngecewain kamu," ucap Prilly melepas pelukannya, namun tangannya masih melingkar di pinggang Ranu.

Ranu memegang dagu Prilly, hendak mencium wanita yang dicintainya itu, namun entah kenapa Prilly malah menghindar.

"Maaf Nu, aku belum siap," katanya memelas. Dia tahu dia telah mengecewakan Ranu. Namun rasanya sulit memberikan ciumannya untuk Ranu. Padahal sebentar lagi dia akan menjadi istrinya.

Ranu menghela nafas.

"Iya gapapa, maaf juga aku udah lancang," ucapnya kemudian. Dia tidak mau memaksa Prilly, biar bagaimanapun Ranu sangat menghargainya sebagai wanita.

***


Wanita itu berjalan dengan menggandeng anak semata wayangnya ke lantai 25 di sebuah gedung pencakar langit. Wajahnya berseri-seri sangat berbeda dari biasanya jika dia kesini.

"Om Martin," panggil si kecil yang digandeng wanita itu ketika mereka sudah memasuki ruangan yang bernuansa klasik. Ya ini ruangan Martin, seorang notaris muda yang terbilang sukses di usianya yang baru memasuki kepala tiga. Martin tersenyum membawa si kecil itu kedalam pelukannya.

"Bila kemana aja? Kok jarang kesini? Emang gak kangen sama Om?" Tanya Martin mengerucutkan bibirnya pura-pura kesal.

Si kecil memegang pipi Martin dengan kedua tangannya.

"Bila kangen kok sama Om. Kangen banget malahan. Bila punya cerita banyak loh," ucapnya berseri-seri yang membuat Martin tak kuasa untuk mencium pipi Bila yang menggemaskan itu.

"Cerita apa coba Om mau denger?" Martin menurunkan Bila dari gendongannya, mengajak si kecil duduk di atas sofa kayu berwarna pastel yang berada di sudut ruangan itu.

"Papa sekarang udah sayang sama Bila. Papa mau ngajarin Bila, nganterin Bila ke sekolah. Ngajak Bila main. Pokoknya banyak deh Om," ceritanya antusias, Martin mengerutkan dahinya. Mengalihkan pandangan ke Niken yang bersandar di meja kerjanya, dengan softdrink yang dia ambil di kulkas mini yang ada di ruangan itu.

Melihat ekspresi heran dari Martin, wanita itu hanya melemparkan senyuman.

"Bila mau berenang nggak? Nanti biar om minta mba Tike yang nemenin Bila ya," ucapnya menawarkan anak itu berenang di kolom renang yang tersedia di gedung pencakar langit itu. Bila mengangguk tidak sabar.

"Tapi nanti Om sama Mama nyusul ya."

Martin meraih telpon di meja kerjanya, menghubungi Tike, sekretarisnya untuk membawa Bila pergi. Setelah Bila pergi, Martin menghela nafas menyiapkan ribuan pertanyaan yang akan ditujukan ke wanita ini.

Niken yang sudah bisa membaca pikiran Martin tertawa kecil.

"Benar apa yang dikatakan Bila?" Tanya Martin penasaran, dia menarik Niken untuk duduk di sofa.

Niken memutar bola matanya, masih dengan senyuman. Pemandangan langka, sudah 6 tahun ini. Martin tidak pernah melihat senyuman terukir lagi di bibir wanita tercintanya itu. namun sekarang, senyuman itu kembali.

"Kamu fikir anak kecil bisa berbohong?"

Martin membulatkan matanya terkejut.

"Ya anak kecil tidak mungkin berbohong. Apa lagi si kecil Bila. kok bisa?"

Niken menyandarkan kepalanya di bahu Martin.

"Aku juga gatau, Ali tiba-tiba berubah. Dia sudah bisa menerima Bila. Aku yakin sebentar lagi dia pasti bisa menerimaku," sahutnya Percaya diri.

Martin memijat pelipisnya. Bersahabat dengan Ali dari SMA sudah cukup mengetahui sifat-sifat Ali. Ali adalah orang yang teguh pada pendiriannya. Sekali dia tidak menyukai sesuatu maka seterusnya dia tidak akan menyukai sesuatu itu. Apalagi jika menyangkut Niken, walaupun Bila anak yang menyenangkan. Namun rasanya aneh, jika Ali sudah bisa menerima Bila. Apa lagi dia tahu pasti, Bila bukan anak biologis Ali.

"Kamu yakin? Apa kamu tidak curiga dengan perubahan sikapnya? Bisa saja dia merencanakan sesuatu," Tanya Martin yang sukses membuat Niken mengangkat kepalanya. Melayangkan tatapan tajam ke arahnya.

"Jangan bergurau Martin, Bila anak yang lucu. Tidak mungkin Ali memiliki motif lain," elaknya walaupun dalam hatinya dia memikirkan apa yang Martin ucapkan.

Martin tersenyum kecut.

"Selucu-lucunya Bila, tetap saja tidak akan merubah kenyataan bahwa dia bukan anak kandung Ali," ucapnya santai, meletakkan tangannya di sandaran kursi.

Niken membuang mukanya menatap kosong karpet berbulu di bawah kakinya. Martin benar, bagaimana jika Ali tahu bahwa Bila bukan anak kandungnya?dia pasti akan mencampakkannya begitu saja. Dan penantiannya selama 6 tahun ini akan sia-sia.

Entah sudah berapa botol absinthe yang dia habiskan di bar itu. Niken tidak dapat mengingatnya. Hatinya remuk, jantungnya seperti di remas. Mendengar Pria yang dicintainya berkata sejahat itu.

"Niken, dengar ya selama ini aku masih mau dekat dengan kamu itu hanya karena aku tidak mau Prilly dikeluarkan dari sekolahnya hanya karena mulutmu yang ember itu, tapi setelah Prilly lulus nanti, jangan harap aku masih mau berada di dekatmu. Apalagi menikahimu. Lebih baik kamu kubur saja harapan mu itu, karena itu mustahil.

Perkataan Ali di kantor tadi siang selalu terngiang-ngiang di benaknya menjadi benalu yang sulit dihilangkannya. Bahkan dalam keadaan mabuk seperti ini sekalipun.

"Shit!!" Umpatnya kesal membanting ponselnya di atas meja. Berkali-kali dia mencoba menghubungi Martin, tapi nomernya tidak aktif.

"Kamu dimana Tin, aku membutuhkanmu," batinnya berteriak.

"Hey sendirian saja?" Suara berat dari seorang Pria menyentakkan lamunannya. Pria itu sekarang duduk di sampingnya, menghisap rokok yang ada di tangannya. Tubuhnya kekar, samar-samar Niken memperhatikan tato naga yang berada di otot lengan pria itu.

"Itu bukan urusanmu," rancau Niken. Kepalanya terasa pening, bahkan dia sudah tidak bisa menegakkan tubuhnya lagi.

Pria itu menjentikkan jarinya memanggil Bastian sang bartender.

"Tequila Bas seperti biasa," ucapnya, sepertinya dia sudah sering kesini.

Dia meneguk tequila-nya, meraih pinggang Niken yang sudah terkulai.

"One Night Stand?" Tanyanya pada Niken. Niken tersenyum tipis, itulah yang dia butuhkan. Dia membutuhkan pelampiasan untuk segala permasalahan hidupnya. Pria itu berdiri, memapah tubuh Niken untuk meninggalkan tempat itu.

"Bercerai lah dengan Ali, sebelum semuanya terlambat," ucap Martin yang membuat Niken menghela nafasnya berat.

"Tidak akan, kamu tahu kan mendapatkan Ali kembali itu butuh perjuangan. Aku tidak akan melepaskannya begitu saja, " jelas Niken masih teguh dengan pendiriannya. Martin meraih tangan Niken.

"Jangan melakukan hal yang sia-sia. Sudah cukup 6 tahun ini kamu membuang waktu. Menikahlah denganku. Hanya aku yang bisa menerima kamu dan Bila."

***

Ali mengemasi baju-bajunya ke dalam tas sandangnya. Di temani lagu happy milik Pharrell Williams, dia memasukkan bajunya ke dalam tas dengan bersenandung riang. Sesekali dia memutar tubuhnya mengikuti gaya Pharrell Williams di video clip-nya.

It might seem crazy what I'm about to say

Sunshine she's here, you can take away

I'm a hot air balloon, I could go to space

With the air, like I don't care baby by the way

Because I'm happy

Clap along if you feel like a room without a roof

Because I'm happy

Clap along if you feel like happiness is the truth

Because I'm happy

Clap along if you know what happiness is to you

Because I'm happy

Clap along if you feel like that's what you wanna do

Here come bad news talking this and that

Yeah, give me all you got, don't hold back

Yeah, well I should probably warn you I'll be just fine

Yeah, no offense to you don't waste your time

Here's why

Happy, bring me down

Can't nothing, bring me down

Love is too happy to bring me down

Can't nothing, bring me down

I said bring me down

Can't nothing, bring me down

Love is too happy to bring me down

Can't nothing, bring me down

I said

Happy, bring me down

Can't nothing, bring me down

Love is too happy to bring me down

Can't nothing, bring me down

I said.

Tanpa ia sadari, sepasang mata memicing dari balik pintu mengintip aktivitasnya. Niken menghela nafas panjang. Selama pernikahannya dia belum pernah melihat Ali seantusias itu. Tiba-tiba ucapan Martin kembali terngiang di otaknya. Apa yang terjadi dengan suaminya itu? Tidak seperti biasanya Ali terlihat begitu bersemangat.

Rasa penasaran mendorong Niken untuk menghampirinya.

"Li," panggilnya lembut. Ali menghentikan musiknya menatap Niken sekilas lalu kembali melipat pakaiannya.

"Ada apa?"

"Kamu mau kemana?" Tanyanya setelah duduk di ranjang Ali.

"Kerja," jawab Ali singkat tanpa menatap istrinya.

"Dimana?"

Ali menatap Niken kesal.

"Sejak kapan kamu jadi petugas sensus? Nanya mulu."

Niken mendesah berat.

"Tapi aku ini istri kamu Li."

"Ya tapi gak akan lama lagi," jawab Ali enteng yang membuat Niken membelalakkan matanya. Dia menarik tangan Ali meminta penjelasan. Sementara Ali hanya tersenyum kecut, dia yakin selama tiga hari ini dia akan membuat Prilly kembali ke pelukannya.

"Maksud kamu apa?" Tanya Niken memutar bola matanya.

Ali melepaskan tangan Niken.

"Setelah aku pulang, aku akan urus surat perceraian kita. Rumah tangga ini hanya kebohongan. Aku tidak bisa lagi mempertahankannya."

Air mata jatuh tak tertahan di pelupuk mata Niken, pedih yang dia rasakan. Baru beberapa hari terakhir ini dia melihat Ali begitu perhatian pada Bila, dia selalu melihat senyum mengembang di wajah suaminya. Tapi kenapa Ali sekarang ingin menceraikannya?

"Tapi kenapa Li? Aku mau kok bersabar sampai kamu bisa mencintaiku lagi. Aku hanya butuh kesempatan," sahutnya parau, mengusap pipi tirusnya yang sudah basah.

Ali meraih tangan Niken mencoba memberikan pengertian kepada wanita itu.

"Dulu aku pernah mencintaimu. Bahkan amat sangat mencintaimu. Tapi hatiku sekarang berkata lain Niken. Hati ini bukan untukmu lagi, sekeras apapun aku mencoba atau sekeras apapun kamu berusaha. Hasilnya akan sama. Aku yakin di luar sana masih banyak Pria yang bisa mencintaimu dengan tulus, yang jelas pria itu bukan aku orangnya."

Niken menyentakkan tangan Ali, menggeleng pelan. Tangan kanannya membekap bibirnya sendiri. Dia tak mampu lagi menahan air matanya.

"Engga, kamu milik aku Li, kamu milik aku," ulangnya keras kemudian berlalu ke kamarnya.

Ali mengacak-acak rambutnya, sepertinya perceraiannya dengan Niken akan berjalan sulit.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top