Fratrisida

Di tengah-tengah rintik hujan dan padang rumput, Jibril tergeletak kepayahan, nyaris meregang nyawa. 

Wajah laki-laki itu menengadah menuju kedalaman dirgantara. Mata sayunya berusaha menyelam ke salah satu celah di antara gumpalan-gumpalan awan, mencari secercah kedamaian. Air matanya meluncur bebas dari pelupuk selambat bola salju di lereng gunung yang tengah meletus.

Rambut hitam keperakannya membentur karpet rumput hijau manila, sekarang tampak lusuh dan kering kerontang. Pun juga bibir merah mudanya, kini memucat dan memudar. Berkali-kali ia berusaha menjaga agar kelopak matanya tak bersentuhan, supaya seluruh langit mampu ia jerat dalam pandangannya.

Napas Jibril semakin lama semakin redup. Ia bersumpah mampu mendengar arus darah dari dalam telinga menuju jantungnya.

Ujung jari-jemari lelaki itu lemas dan mulai menunjukkan warna biru pucat, sedikit demi sedikit. Sementara itu, kedua kakinya bergetar, tetapi kaku untuk digerakkan. Selimut rumput di bawah tubuhnya sudah seperti ladang jarum. Ia hendak muntah, tapi yang keluar hanya air liur. Tidak peduli apa pun posisi yang ia ambil, selalu ada rasa gatal dan pahit-masam di pangkal tenggorokan, mencekik dari luar dan dalam, memintanya untuk merogoh seisi lambung dengan tangan kosong.

Suara tapak kaki terdengar dari kejauhan. Derap langkahnya tegas, layaknya seekor singa yang tak khawatir mangsa buruannya lari.

"Tenang. Kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana. Setidaknya, selama aku masih hidup," ucap empu dari suara derap langkah kaki itu. Jibril tahu siapa pemilik suara menyeramkan itu, tetapi enggan memikirkannya.

Jantung Jibril mulai berdebar kencang. Napasnya tersengal-sengal, lidahnya hendak menggumamkan sesuatu, sebuah barisan lirik yang ia ingat suatu saat di masa lalu, ketika ia bersama mereka yang ia sebut saudara-saudaranya menjejak bumi dengan jari-jemari dan menembus langit dengan mata. Kini, lidahnya kelu dan kedua bibirnya nyaris tersegel rapat.

Suara itu kembali menggeram, "Kau tak lebih dari seonggok racun di muka bumi, dan aku adalah penawarnya. Kau tidak pantas mencintai Dia."

Jibril merasakan ada dua sungai kecil yang merangkak keluar dari mulut menuju pipinya. Begitu hangat, begitu melimpah, tetapi ia tak kuasa mengangkat jari-jemarinya untuk meraba dan mencecap airnya. 

Tubuh ringkihnya sudah terlalu lemah bahkan untuk berdiri, apalagi lari dari bayang-bayang suara itu. Bibirnya terbuka perlahan, paru-parunya menghisap segumpal udara dengan rakus. Laki-laki itu tak kuat lagi mencegah kedua kelopak matanya bertaut. Ia menyerah, membiarkan tubuhnya ditelan kegelapan.

Sesaat kemudian, ia membuka mata lagi.

Cahaya menerjangnya dengan kecepatan penuh. Dengan napas yang terengah-engah, Jibril membanting pandangannya ke bawah dan menyaksikan kedua telapak tangannya yang masih utuh, bersih dari darah dan tanah. Paru-parunya juga tak lagi disesaki hawa panas. Perlahan, pria itu memaksa kepalanya untuk menengadah dan mendapati sebuah aula besar di depan mata.

Bangunan itu berdiri kokoh dengan batu-batu pualam putih menyala; di depannya ada pancuran api; di samping kanan dan kirinya dihiasi tumbuhan-tumbuhan nongeometris. Pintunya terbuat dari kayu mahoni yang dihiasi ukiran-ukiran purba. Telinganya menangkap suara nyanyian riang burung surgawi dan desis api di kejauhan. Napas kelegaan seketika menyembul dari dalam dadanya. Ternyata pria tersebut masih di tempat yang sama.

Aku harus fokus. Melamunnya nanti saja, gerutu Jibril dalam hati. Telapak tangan kanannya meremas-remas bagian dahi yang sedari tadi pening. Berkat mimpi buruk tadi pagi, ia merasa harga dirinya luluh lantak di hadapan makhluk-makhluk lain, selalu tampak seperti orang linglung yang kehilangan tujuan hidup. Untung saja tidak ada yang memergokinya.

Jibril mereguk ludah seraya menelanjangi aula majelis malaikat dan jin yang menjadi titik pusat Alam Al-Nafs. Pintu utamanya tak dikunci. Ia hendak masuk ke dalam, tetapi ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia tak takut sama sekali ketika berhadapan dengan mereka. Jantungnya berdegup kencang, bulir-bulir keringat mulai mengikis pelipisnya. Ia hanya ingin bertemu saudaranya.

Lelaki dengan empat tanduk melingkar di kepalanya tersebut berjalan maju-mundur, ke samping kanan dan kiri, sesekali mengepakkan sayap halusnya. Ia telah meninggalkan kawanannya jauh di belakang, dan kini tak ada pilihan lain. Sekarang atau tidak sama sekali, itulah pilihannya.

Sambil menghela napas, ia membuka perlahan kenop pintu aula, dan menyapukan pandangannya ke depan. Lantai obsidian-kelabu sepanjang mata memandang menyambutnya ria, memanggilnya untuk melangkah lebih dalam. Begitu Jibril menginjakkan langkah pertama, kepalanya menengadah dan menyaksikan cahaya datang dari langit-langit yang dicat segelap arang. Di samping kanan dan kirinya, tidak ada siapa-siapa.

Jibril berhenti sejenak dan mengernyitkan alisnya.

Ia melangkah jauh lebih dalam, menoleh ke samping kanan. Degup jantungnya terdengar keras.

Para jin—dengan wujud kobaran api tak berasap—kembali berlalu-lalang di luar aula. Satu-satunya hal yang memisahkan pandangan mereka dan Jibril hanyalah kaca jendela yang tak tembus pandang dari sisi luar. Jibril membungkukkan badannya karena malu dan tidak ingin terlihat oleh mereka. Terlebih lagi, perutnya mual membayangkan harus bertaut pandang dengan kakaknya.

Lelaki bermata toska itu menundukkan badannya sembari berjalan, pandangannya enggan untuk menyambar aula bagian ujung. Telinganya menangkap dialog antar jin yang mungkin baru saja memungkasi rapat besar mereka—atau semacam itu. Sesekali ia berhasil mencuri pandang pada sesosok malaikat di kejauhan yang tengah mengobrol bersama sahabat-sahabatnya. 

Malaikat terindah di sisi Hyang Suksma.

"... oh, tunggu sebentar, sepertinya aku kedatangan tamu."

Jibril mereguk ludahnya sekali lagi, nyaris tak berkutik selagi langkah kaki kakaknya semakin lantang terdengar. Pikirannya melesat dari satu detik ke detik lain dengan cepat, mencari tempat aman untuk berlindung. Di satu sisi, ia ingin memastikan bahwa kakaknya benar-benar baik saja, dan di sisi lain, ia tak kuasa melayangkan pandang pada makhluk itu. Ia takut ada kobaran api hitam yang hendak melahapnya.

Tidak, itu bukan kakaknya. Sosok  yang ia temui saat ini bukanlah makhluk yang ada di mimpi buruknya.

"Bril?"

Puji Hyang Suksma, suara pria di depannya ini ternyata masih sama seperti dulu—seperti rintik hujan tengah malam di akhir musim panas. Begitu sejuk, tenang, dan melegakan. Berbeda dengan sosok itu. Suaranya adalah ramuan dari percikan api, gesekan logam, dan sambaran petir. Jibril nyaris lupa bahwa mereka berdua terlahir dari rahim yang sama, di samudra jiwa yang sama.

"... Jibril? Kau bertingkah seakan-akan belum pernah melihatku sebelumnya. Katakan, ada apa?"

Perkataannya tidak salah. Mimpi hanya butuh waktu sejam untuk menggelar tapestri kehidupan seseorang dari awal, pertengahan, dan akhir. Ia masih mengingat ceceran darah dan laungan parau sejelas suara kakaknya sekarang. Terhitung sudah sembilan puluh sembilan kali Jibril mengalami mimpi serupa. Semakin ke sini, semakin nyata rasanya.

"Jibril! Kau tidak apa-apa?" tanya kakaknya kembali, kali ini suaranya sedikit lebih keras dan mengandung kekhawatiran.

Lelaki bertanduk putih gading tersebut tersentak dari lamunan, tak sadar dua sungai kecil sedang mengalir deras di dua sisi wajahnya. Jari-jemari dan bibirnya gemetar, ritme napasnya berubah drastis. Ia berusaha keras untuk membuka mulut, tetapi yang keluar hanya rintihan yang samar selama beberapa detik. Dadanya kembali terasa sesak. Lalu, sesuatu yang tak ia pikirkan terjadi.

Sebuah tangan melingkar di lehernya, merangkul kedua sayapnya yang menguncup, dan menggenggam tangan kanannya dengan jari-jari sehangat sinar arunika dan sesejuk cahaya rembulan. Jibril bahkan tak sempat merespon dengan cepat begitu kakaknya menuntun ia keluar dari aula perlahan. Lelaki yang semula tegar itu kini mulai tersengguk-sengguk.

Dengan hati-hati, sang kakak menghampiri sebuah bangku kayu di luar aula dan mendudukkan adiknya. Dia biarkan udara segar dari taman surgawi merasuki tenggorokannya, menanti kata-kata keluar dari lidah laki-laki hibrida itu. Omong-omong soal taman, sepertinya sudah agak lama sejak dia dan Jibril berhenti sejenak dari tugas abadi mereka. Pikiran Jibril melayang-layang menuju air mancur di tengah taman.

"Kak, kau masih ingat soal Habil dan Qabil? Yang dulu pernah kita lihat di dunia bawah?"

Kini giliran sang kakak yang terheran-heran. Dia mengernyitkan kedua alisnya, tak mampu menggapai alasan mengapa hal itu yang pertama kali menjadi pertanyaan sang adik begitu bertemu dengannya. "Kenapa kok tiba-tiba bertanya soal itu?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran, mata reptilnya melekat pada kantung mata Jibril.

"Apa kau masih ingat?" desak Jibril sekali lagi, tangannya gemetar seperti menggigil.

Sang kakak menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Tentu saja aku masih ingat. Ada apa memang dengan dua anak Adam itu?"

Dengan mata kemerahan yang basah karena air mata, Jibril memberanikan diri untuk menatap muka kakaknya. Ia menyaksikan kain putih tanpa jahitan yang melilit tubuh kakaknya, merangkak naik menuju pembuluh api di lehernya, dan akhirnya, pada janggut dan pupil mata vertikal yang mengobarkan api tanpa kepulan asap. Sama seperti hibrida lain, lelaki itu juga memiliki tanduk dan sayap, walau jumlahnya lebih banyak dari Jibril. Percikan api yang sejuk perlahan berguguran dari keenam sayap besarnya.

"Apakah yang diperbuat oleh Qabil benar-benar jahat sehingga ia mesti dikutuk seumur hidupnya? Apa benar hanya dengan satu tindakan, seseorang bisa dilaknat selama-lamanya?"

Waktu seakan berhenti berdetak di antara mereka, hingga sang kakak memutuskan untuk menutup mulutnya yang setengah menganga. 

Dia menghela napas sehening mungkin, kemudian berkata pelan, "Jibril ... tentu saja tidak seperti itu keadaannya. Qabil tidak tahu apa yang dia lakukan ketika itu, dia bahkan tidak paham apa itu pembunuhan dan apa konsekuensinya, sampai-sampai Hyang Suksma mesti menurunkan dua burung gagak untuk membantunya. Jika aku ada di posisinya, pasti aku menyesal seumur hidup."

Mendengar perkataan kakaknya, Jibril kembali angkat bicara di sela-sela tangis sunyinya. "Tapi mengapa Qabil membunuh darah dagingnya sendiri?" tanya Jibril, suaranya parau dan dijejali kegelisahan.

Sang kakak mengalihkan pandangannya ke sungai yang mengalir di tengah-tengah taman surgawi. "Mungkin karena kecemburuan. Cemburu karena semestinya ia yang mendapat Iqlima, cemburu karena Hyang Suksma lebih mengakui adiknya daripada dirinya, cemburu yang kemudian berubah menjadi iri, lalu dengki, dan terakhir, bara api kebencian."

Sang kakak melanjutkan, "Dalam pandanganku dia tidak sepenuhnya ... jahat, atau semacamnya. Dia hanya ingin bersinar di hadapan Hyang Suksma seperti adiknya, tetapi dengan cara lain."

Jibril membuang pandangannya ke bawah. "Lantas mengapa Hyang Suksma menciptakannya? Apakah dia hanya berakhir sebagai kambing hitam?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak mungkin tahu semua rencana-Nya," ujar sang kakak sembari menggelengkan kepalanya, "mungkin Hyang Suksma bermaksud untuk menjadikannya seorang kakak dengan cara lebih dari satu, untuk menjadi contoh agar para penerusnya tidak melampaui batas, sehingga mereka yang lebih tua dan kuat sadar akan kewajiban mereka untuk mengangkat yang muda dan lemah lebih tinggi lagi."

Tanpa dia sadari, kepala sang adik telah tersandar lembut di pundak bagian kanannya. Air mata adiknya masih mengalir deras walau kedua bibirnya masih tertutup rapat usai mendengar penjelasan sang kakak, seakan-akan besok adalah hari di mana ia berpisah dari raganya. Dengan ragu-ragu, sang kakak melingkarkan tangan kanannya untuk memeluk badan lelaki bertanduk dua itu. Jari-jarinya ia naikkan ke atas untuk meraba dan mengusap rambut hitam kecoklatan milik adiknya. 

Sehalus pasir pesisir, seharum mawar putih.

"Aku bermimpi tadi subuh," kata Jibril memecah keheningan. "Kita berdua berada di dua sisi yang berdua, tenggelam dalam darah masing-masing setelah bertempur sekian lamanya. Salah satu dari kita berteriak, "Milikku. Hyang Suksma lebih mencintaiku." Yang lain akan menjawab, "Tidak, milikku. Akulah yang lebih disayangi oleh-Nya." Kita selalu berebut, saling memendam dendam, dan bersiap menghancurkan satu sama lain dengan cara apapun. Saat kita wafat, dendam itu dilanjutkan oleh penerus dan keturunan kita masing-masing. Dan, mimpi ini bukan yang pertama kalinya."

Jibril membenamkan wajahnya ke dada sang kakak, suaranya nyaris tenggelam dalam tangis. "Lagi, lagi, dan lagi. Kita terjebak dalam dualitas dan dikotomi. Bahwa jika satu orang berada dalam pelukan cahaya, maka yang lain sudah pasti terjebak dalam jerat kegelapan. Aku merasa mimpi ini begitu panjang dan nyata, lebih nyata dari apapun yang kualami. Seolah-olah aku menghabiskan hidupku dalam dunia itu," ratap Jibril.

Di sekeliling mereka, burung merpati, tekukur, kutilang, kenari, dan burung-burung lain datang silih berganti, mereguk genangan air di tepi sungai yang bening. Mereka berkicau, bersiul, berkuak, mendekut, dan menyanyikan tembang untuk Hyang Suksma. Namun suara Jibril. bertakhta teguh di atas semua suara itu.

"Maafkan aku sudah membebanimu. Semenjak Hyang Suksma memperlihatkan bayang-bayang dunia manusia dan menugaskan kita berdua untuk turun ke bumi, aku merasa tidak tenang. Aku merasa ini adalah pertanda, dan ... aku tidak siap kehilangan engkau," rintih Jibril sembari mencengkeram erat bahu kakaknya.

Air matanya tak terbendung lagi. Ia tak peduli seberapa banyak jin dan malaikat yang berhenti dan menyaksikannya dalam kondisi serba lemah. Tak pernah sebelumnya ia bersikap terbuka seperti ini—dan mungkin itu juga salah satu dari sekian banyak kesalahannya, mengingat mereka akan berpisah sebentar lagi. Dadanya telah lama mengandung beban yang tak mampu diungkapkan lewat kata-kata, dan sekarang semuanya mengalir deras bersama sedu-sedan dan ratapan.

"Kita tidak akan bernasib sama seperti mereka, jika itu yang engkau khawatirkan," ujar sang kakak sungguh-sungguh, "apapun yang terjadi, kita tetaplah saudara. Hyang Suksma mencintai kita berdua tanpa pilih kasih. Aku akan memastikannya."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" sergah Jibril, mengingat terkadang mimpi adalah celah retakan di dinding yang memisahkan antara masa lalu dan masa depan, antara yang sudah dan yang mungkin.

"Karena bagaimanapun juga, takdir tidak terukir dalam batu. Harga diri, kecemburuan, dan amarah kitalah yang mungkin memulai konflik itu. Maka biarkan cinta dan kasih sayang yang mengakhirinya," pungkas sang kakak sambil tersenyum.

"Kalau begitu, berjanjilah padaku. Kau sudah mendoakan semua makhluk di sini. Kau sudah mendoakanku. Kali ini, berdoalah untuk dirimu sendiri ke Hyang Suksma," pinta Jibril pelan. 

Sang kakak mengangukkan kepala. Dia tersenyum dan mengecup dahi Jibril dengan halus.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, dalam rengkuhan sayap putih Azazil, Jibril merasakan kedamaian dalam hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top