Fragment 9.2


Bel pulang sekolah sudah berbunyi nyaring, murid-murid pun sudah berhamburan keluar kelas. Dengan malas, Andra merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas meja.

"Ndra, jangan lupa ke ruang guru!" teriak seseorang dari arah depan pintu.

Andra hanya memutar bola matanya, ia tidak mungkin lupa pada hal-hal penting. Jadi, dengan langkah gontai Andra menuju ke ruang guru dan bergegas menemui Pak Handoko yang untungnya masih ada di tempat.

"Permisi, Pak!" ucap Andra yang sontak menghentikan kegiatan Pak Handoko. "Maaf mengganggu."

"Ada perlu apa?"

"Saya Andra, Pak kelas 12 IPS3 yang kemarin kecelakaan. Saya mau tanya perihal tugas kelompok," ucap Andra menjelaskan.

Pak Handoko yang sebelumnya sudah bergegas untuk pulang, kembali duduk di kursinya dan membuka sebuah buku catatan kecil yang ia simpan di laci meja. Beberapa menit, guru yang bisa dibilang termasuk guru senior itu membolak-balikkan buku catatannya sebelum akhirnya kembali menoleh pada Andra.

"Kamu yang satu kelompok sama Aila, tugasnya sudah dikumpulkan Minggu lalu. Coba kamu tanyakan sama temanmu itu, si Aila."

Andra mengangguk. Bagaimana bisa ia lupa kalau di mata pelajaran ini ia harus satu kelompok bersama Ila. Tapi anehnya, mengapa Ila bisa mengumpulkan tugas itu begitu saja tanpa melibatkan dirinya.

"Yasudah, Bapak pulang dulu ya, masih ada urusan. Kamu cari temanmu dulu, besok temui Bapak lagi."

"Iya, pak. Terimakasih."

Di tempatnya, Andra hanya bisa menghela napas pelan. Entah kenapa, semesta masih ingin mempermainkannya dengan berurusan dengan Ila. Namun detik itu juga, tatapannya menangkap sosok Ila yang tengah berdiri di pojok ruangan. Sedang berbincang dengan seorang guru yang Andra tahu, adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

"Ah, sial!"

***

"Ngapain lo?" tanya Andra yang terkejut melihat kehadiran Vino di rumahnya.

"Pake nanya, ya mau jemput lo!"

Ini sudah satu minggu sejak gips di tangan kiri Andra dilepas. Tapi Vino, masih saja rutin menjemput Andra ke sekolah.

"Gue udah bisa bawa motor sendiri, nggak usah jemput gue lagi," ucap Andra sembari menyalakan motornya.

"Lah, gue udah terlanjur dateng. Masa lo tega?"

"Apanya? Kita bisa bawa motor masing-masing, nggak usah alay!" jawab Andra yang sedikit kesal dengan tingkah Vino.

Di tempatnya, Vino hanya bisa mendengus kesal. Entah kenapa, akhir-akhir ini sikap Andra menjadi semakin dingin dan lebih banyak diam. Meskipun sebelum kecelakaan pun, Andra sudah tidak banyak bicara, namun kali ini Vino benar-benar merasa Andra bukanlah Andra yang ia kenal dulu.

"Yaudah, ayo berangkat!" ucap Andra setelah berpamitan pada ibunya.

Vino hanya bisa mengangguk dan menurut, sambil mencoba berpikir positif.

"Mungkin Andra lagi PMS."

***

Entah sudah berapa kali Andra menoleh ke arah tempat duduk Ila, sambil menggigit kuku jari jempolnya juga dengan kaki yang bergerak naik-turun tidak bisa diam. Hati dan pikirannya sedang berkecamuk. Bagaimana ia bisa menyelesaikan urusannya dengan gadis itu, sementara ia sama sekali tidak mau lagi berurusan dengan Ila.

"Aduh mati aja gue, mati! Mati!" ucap Andra yang buru-buru disahuti oleh teman sebangkunya.

"Inget, lo kalo mati masih harus disiksa di neraka," ucapnya santai, yang langsung dapat tatapan tajam dari Andra.

Dengan satu gerakan cepat, akhirnya Andra bangkit dari kursinya. Menimbulkan suara decitan keras antara kursi dan lantai yang beradu. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan sebelum kemudian melangkah menghampiri Ila.

"La, tugas Geografi kenapa udah dikumpulin?" tanya Andra tanpa jeda.

Ila yang tidak tahu harus menjawab apa, hanya bisa mengerjap pelan. Andra terlalu blak-blakan dan membuatnya terkejut.

"Ha?"

Sambil mencoba mengendalikan jantungnya yang berdetak tidak sesuai ritme, Andra menarik napas pelan. Sebisa mungkin, ia bersikap biasa saja dan menatap Ila seperti ia menatap Vino atau orang yang lainnya.

"Tugas Geografi. Kenapa lo kumpulin duluan?"

Ila mengangguk pelan, sebelum mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat dari dalam laci mejanya dan memberikannya pada Andra. "Lo udah kerjain, jadi gue kumpulin."

Seolah oksigen di sekitarnya habis, Andra mendadak gelagapan. Entah bagaimana Ila bisa setenang itu, sementara dirinya tengah mati-matian menahan gejolak di hatinya. Andra lupa, kalau sejak awal memang hanya dirinya yang punya perasaan untuk Ila. Dan hal itu sukses membuat Andra tersenyum miris.

"Maaf, gue lupa," ucap Andra pelan sembari mengambil bukunya dari tangan Ila.

Di tempatnya, Ila hanya bisa menghela napas. Sebenarnya ia punya banyak waktu untuk mengembalikan buku itu pada Andra, tapi entah mengapa dirinya ingin Andra yang mengambilnya sebagaimana cowok itu memberikannya sendiri.

"Andra! Tunggu," ucap Ila yang sukses membuat langkah Andra terhenti. Cowok itu menarik napas sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik dan menatap Ila datar.

"Ada yang mau gue omongin, pulang sekolah bisa ketemu sebentar?"

Tidak langsung menjawab, Andra hanya diam menciptakan keheningan yang menyiksa.

"Nggak bisa lewat chat aja? Gu-gue ada urusan," bohong Andra.

Ila menggeleng pelan, menunjukkan ketidaksetujuannya dengan Andra. "Kalau hari ini nggak bisa, besok aja."

Di tempatnya, Andra malah kebingungan setengah mati. Ternyata berbohong kepada Ila memang tidak akan ada gunanya. Jadi, sebelum dirinya benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, Andra mengangguk cepat dan berlalu begitu saja meninggalkan Ila.

***

"Mau ngomong apa?" tanya Andra langsung pada pointnya.

Di tempatnya, Ila yang sedang memakai helm segera menghentikan aktivitasnya. Menatap Andra dengan tatapan terkejut, dan tidak tahu harus berkata apa. Tatapan Andra yang lurus dan tajam, entah mengapa seketika membuat Ila terpaku. Apakah yang ada di hadapannya benar-benar Andra? Batinnya bertanya-tanya. Ila sama sekali tidak menyangka, kalau Andra akan menghampirinya lebih dulu. Di parkiran pula! Benar-benar bukan waktu dan tempat yang tepat.

"Hah?"

"Kemarin... lo bilang mau ngomong sesuatu, apa?"

Tidak langsung menjawab, Ila hanya diam membiarkan suara angin mengisi keheningan di antara mereka. Lagi-lagi tatapan tajam serta sikap dingin Andra membuat Ila merasa risih.

"Ohhh itu... gue mau minta maaf sama lo, Ndra," ucap Ila pelan.

"Minta maaf buat apa?"

"Gue mau minta maaf karena...." Ragu, Ila menatap Andra yang juga masih menatapnya lurus. "karena gue udah banyak salah sama lo."

"Ngomong apaan, sih? Kalo cuma itu yang mau lo omongin, gue cabut."

"Tunggu, Andra!" panggil Ila, sambil menahan lengan Andra. "Tunggu, masih ada yang mau gue omongin."

Andra menghela napas pelan, sebelum kemudian mengangguk pelan.

"Gue minta maaf, dan juga mau bilang terimakasih sama lo, Ndra. Maaf atas apa yang selama ini udah gue perbuat sama lo, dan juga terimakasih karena lo udah nyelametin gue waktu itu."

Masih belum menjawab, Andra hanya menatap nanar Ila yang bicara sambil menunduk di hadapannya. Jemarinya mengepal kuat, menahan segala dorongan untuk memeluk gadis di hadapannya. Mencoba menampar dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa, Ila tak akan pernah bisa ia miliki. Bahwa jarak antara keduanya, tidaklah sedekat yang terlihat.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top