Fragment 8.2
Pagi datang begitu Andra membuka mata. Tidak ada siapapun yang menemaninya hari ini, mungkin ibunya sedang pergi ke suatu tempat. Toilet, misalnya.
"Al ke mana, Bu?" tanya Andra begitu melihat ibunya masuk.
"Tadi dia pamit mau ke sekolah, lagi ada acara katanya. Pensi atau apa gitu?"
Andra hanya mengangguk-angguk, sampai kemudian dokter datang dan melakukan pemeriksaan. Tidak ada yang serius pada luka-lukanya, hanya beberapa tulang yang retak dan sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Hingga dokter dan para perawat keluar dari ruangan, suara bising dari ponselnya mengalihkan atensi Andra dari jendela.
"Apa?" ucapnya membuka pembicaraan.
"Cuek amat. Gue videocall ya?"
"Ngapain sih?" Sesungguhnya Andra agak sedikit kurang nyaman kalau harus melakukan panggilan video, tidak ada alasan khusus hanya kurang nyaman. "Males ah!"
"Gue mau lo lihat hasil kerja kita, festivalnya lancar!" ucap Vino bersemangat.
"Ya, bagus deh," jawab Andra sambil sedikit terkekeh. Hingga panggilan telepon dari Vino, berubah menjadi mode vidio.
"Lama amat, sih?!" omel Vino begitu Andra menjawab panggilannya.
"Gue nggak mau videocall. Udah dibilangin juga!"
"Bodo!"
Setelahnya layar berganti, yang sebelumnya hanya menampilkan wajah lecek Vino, beralih pada suasana sekolah yang ramai. Biasanya sekolah sudah ramai, tapi ini dua kali lebih ramai dari biasanya. Bersyukur, Andra tidak harus ikut berdesakan bersama Vino di sana. Beberapa kali tampilan di layar ponselnya berganti dengan beberapa stand baazar dan makanan yang disorot Vino. Hingga ponsel Vino berhenti pada panggung besar di tengah-tengah lapangan.
"Itu... Yang kita kerjain tempo hari." Vino mulai bersuara, meski wajahnya tidak terlihat, Andra tahu bahwa sahabatnya itu merasa menyesal. Mingkin Vino hanya teringat pada kecelakaan yang menimpa Andra tempo hari.
"Gede juga ya."
Di tempatnya, Vino mengangguk pelan. Panggung yang tadinya kosong itu, kini sudah dipenuhi berbagai macam pernak-pernik lucu. Hingga seseorang yang sejak tadi sibuk menggulung kabel, mulai berdiri di atas panggung dan berbicara kepada semua orang yang hadir.
"Ngapain si Lintang?" tanya Andra yang bingung apa yang hendak dilakukan ketua OSIS itu.
"Ngasih sambutan, lah! Masa mau dangdutan?"
"Ya kirain."
Suasana yang tadinya ramai, mendadak hening saat Lintang mengetuk-ngetuk mikrofon sampai mengeluarkan bunyi dengungan yang cukup keras. Cowok berbadan besar itu berdehem pelan, sebelum mulai bicara.
"Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah bersedia hadir di sini. Semoga kalian bisa menikmati acaranya. Juga terima kasih kepada anggota OSIS yang sudah bekerja keras demi terlaksananya kegiatan ini. Dan terima kasih saya ucapkan kepada teman kita Andra yang sudah banyak menolong kami, meskipun saat ini Andra nggak bisa bergabung di tengah-tengah kita. Semoga lekas sembuh," ucap Lintang singkat, sebelum kemudian memberi sambutan kepada kepala sekolah.
"Gue harus nangis atau gimana nih, Al?" tanya Andra sambil setengah tertawa.
Layar kemudian kembali berganti menunjukkan wajah Vino. Ekspresinya sama sekali tidak bisa Andra mengerti, cowok itu terlihat sedih sekaligus bahagia di saat yang sama.
"Makasih banget, Ndra."
"Gausah kebanyakan makasih, ntar malem beliin gue mie tektek."
Vino terkekeh pelan, sebelum akhirnya menjawab, "Oke." degan nada santai.
Setelahnya, panggilan terputus karena Vino harus mengerjakan sesuatu di sekolah sedangkan Andra mau buang air kecil. Namun langkahnya seketika terhenti, saat suara yang sudah tidak asing baginya terdengar dari balik pintu. Ibunya yang tengah berbincang serius dengan seseorang, sukses membuat Andra berhenti sejenak.
"Sekali lagi, saya minta maaf sama kamu, Mayang," ucap seorang laki-laki, yang tengah berbicara dengan ibunya. Membuat Andra refleks menempelkan telinganya pada pintu.
"Semua sudah berlalu, Mas. Saya juga sudah memaafkan Mas Dani."
Di tempatnya, Andra benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi. Setelah sekian lama, akhirnya Dani meminta maaf juga kepada sang Ibu. Di satu sisi, dirinya merasa lega. Namun, di sisi lain, Andra merasa tidak adil karena rasa sakit yang selama ini dirasakan Mayang, harus begitu saja dilupakan.
"Harusnya kamu nggak semudah itu memaafkan saya."
"Kejadiannya sudah lama sekali, saya juga sudah menemukan kebahagiaan lain selain kamu. Kalau bukan dengan memaafkan, dengan cara apa saya harus hidup?" Mayang berucap pelan. "Lagi pula, nggak baik ngungkit sesuatu yang sudah lama sekali terjadi."
"Saya nggak tahu harus seperti apa berterimakasih sama keluarga kamu. Terutama pada Andra."
"Nggak perlu repot-repot, Mas. Andra juga melakukan itu pasti atas dasar keinginannya sendiri," jawab Mayang singkat.
Masih di balik pintu, Andra masih menyimak dengan baik tiap ucapan yang keluar baik dari mulut ibunya maupun dari mulut Dani. Entah mengapa, rasanya aktivitas menguping ini menjadi hobi barunya sekarang.
"Oh, iya. Saya juga mau sekalian pamit sama kalian." Ada jeda sejenak sebelum Dani melanjutkan kalimatnya. "Ibu saya meninggal... jadi besok saya harus pindah ke Surabaya untuk melanjutkan usaha beliau di sana."
"Saya turut berduka, Mas."
"Makasih, Mayang."
"Terus nanti sekolahnya Ila gimana?" tanya Mayang, sekaligus mewakili pertanyaan yang berkelebat di benak Andra.
"Ila mungkin akan ngurus sekolahnya dulu sebulan ini, baru nanti ikut saya ke Surabaya."
"Sayang banget, padahal sudah mau lulus."
Setelahnya, Andra tidak melanjutkan sesi mengupingnya lebih lama. Rasa ingin buang air yang sejak tadi ia tahan, perlahan menguap begitu saja. Entah bagaimana, mendengar ucapan Dani tadi membuat perasaan Andra sedikit kacau. Sedikit terkejut bercampur sedih, atau entah, Andra sendiri juga masih bingung dengan apa yang dirasakannya.
Hubungannya dengan Ila yang ia pikir sudah jauh lebih baik, kali ini sepertinya benar-benar dipaksa hancur. Bukan karena karena keinginannya, bukan juga atas keinginan Ila. Namun keadaan yang lagi-lagi merenggut hal itu darinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top