Fragment 8.1
"Ibu kenal sama Om Dani?"
Hanya pertanyaan sederhana, tapi mampu membuat lidah Mayang kelu. Ia tidak tahu, bagaimana cara semesta bekerja. Bagaimana dunia bisa terasa sempit sekali, sampai-sampai ia harus bertemu dengan seseorang yang paling tidak ingin ia temui.
Belum menjawab, Mayang hanya menghela napas pelan sambil menatap Andra yang masih menuntut jawaban.
"Teman kuliah."
"Teman apa teman?" tanya Andra asal.
"Yaa... Teman. Emang teman apaan?"
"Teman tapi mesra, teman rasa pacar, teman tapi cinta, temanku adalah pacarku," jawab Andra ngasal.
"Idih, apaan kamu pikir judul sinetron?"
Keduanya tertawa pelan, sebelum menciptakan keheningan panjang yang menyiksa. Hingga lagi-lagi Andra yang penasaran kembali menodong ibunya dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang selalu Mayang hindari dan tidak ingin ia jawab. Pertanyaan yang kalau dijawab, justru malah akan menimbulkan pertanyaan lain.
"Jadi... Ibu sama Om Dani itu...."
"Teman dekat. Dulu kami sempat pacaran, tapi cuma sebentar. Ibu udah jawab, jangan tanya lagi," ucap Mayang.
Di tempatnya, Andra terlihat kaget. Padahal melihat ekspresi Mayang saat Dani datang tadi, Andra sudah tahu kalau pasti ada apa-apa antara ibunya dan ayahnya Ila. Tapi entah mengapa, mendengar hal ini langsung dari Ibunya membuat Andra malah jadi sangat terkejut. Kebetulan macam apa lagi ini?
"Kok bisa? Ma-maksudnya, kok putus? Kok nggak nikah?"
"Kalo Ibu nikah sama dia, kamu sama Ila jadi adik-kakak. Udahlah nggak usah aneh-aneh pertanyaanmu itu," jawab Mayang sambil menyibukkan diri merapikan pakaian Andra di lemari. "Harusnya kamu itu banyak-banyak istirahat, lukamu itu parah, tapi beruntung nggak pake masuk ruang ICU apalagi ruang operasi."
"Lah, Ibu malah nyumpahin anaknya masuk ruang operasi?"
"Kan Ibu bilang, untung."
"Tapi... Ibu kenapa putus sama Om Dani waktu itu?"
Ada jeda sejenak, sebelum akhirnya Mayang menumpukan atensinya pada Andra yang penasaran. Mungkin memang sudah saatnya Andra tahu perihal masa lalunya. Meski baginya, masa lalu hanyalah masa lalu. Masa yang sudah terlewat, dan tercipta hanya untuk dikenang suatu saat. Dan mungkin inilah saatnya untuk mengenang, tanpa harus berharap bisa kembali ke masa-masa itu.
***
"Ayah, jawab dulu dong!"
"Apalagi yang mesti Ayah jawab? Ayah lagi nyetir, nggak konsen," jawab Dani, meyakinkan putrinya yang sejak tadi banyak bertanya.
"Lagian Ayah kenapa nggak pernah cerita? Ila penasaran, Yah. Kenapa Ayah sampai putus sama Tante Mayang? Sekarang aja Tante Mayang masih kelihatan cakep, apalagi dulu. Bener nggak, Yah?"
"Bener, sih."
Ila tertawa mendengar jawaban sang Ayah yang terakhir, tapi setelahnya ia hanya terdiam seiring dengan mobil yang berhenti di tengah kemacetan. Suasana sore hari di Ibu Kota memang tak pernah lepas dari kemacetan, hal itu juga sebenarnya yang membuat Ila lebih senang pulang-pergi ke sekolah dengan menggunakan motor. selain irit, juga bisa setidaknya sedikit menghindari macet. Hingga suara Ayahnya, mengisi keheningan yang sempat tercipta beberapa detik lalu.
"Dulu Ayah pacaran sama Mayang cukup lama, tiga tahun. Dia cinta pertama Ayah, mungkin juga sebaliknya. Kita yang sama-sama belum pernah merasakan jatuh cinta, jadi saling belajar apa makna cinta itu sesungguhnya," ucap Dani memulai ceritanya. "Meski begitu, kita sama-sama nggak menemukan arti cinta itu."
Ila menatap penuh kepada ayahnya yang duduk di belakang kemudi. Matanya tampak tajam menatap jalanan, sambil sesekali menerawang, mencari-cari kenangan yang sempat hilang.
"Saat itu, kita hanya punya satu sama lain. Sama-sama merantau dan jauh dari orangtua, membuat kita saling bergantung dan membutuhkan. Mayang selalu merawat Ayah, begitu juga sebaliknya. Sampai tiba-tiba Ayah dapet kabar nenekmu di Surabaya sakit, jadi Ayah terpaksa pulang dan ninggalin Mayang sendiri. Ayah janji bakal balik lagi dan ketemu sama Mayang, tapi Ayah nggak bisa nepatin janji itu."
Suara riuh bising pedagang asongan di lampu merah perlahan memudar, digantikan hening yang terasa menyakitkan. Ila bisa melihat dengan jelas ada penyesalan mendalam di sorot mata sang Ayah. Meski berulang kali lelaki itu tersenyum tipis, tapi Ila tahu ada maaf yang belum sempat diucapkan sang Ayah.
***
"Janji?"
Mayang mengangguk pelan, sambil tersenyum ia mengelus pelan puncak kepala Andra.
"Katanya Om Dani mau balik lagi, tapi Ibu denger dia dijodohin terus nikah di Surabaya. Tapi Ibu nggak bisa datang, karena nggak punya ongkos." Mayang terkekeh pelan.
"Yah, coba Ibu datang. Harusnya ibu acak-acak acara kawinan Om Dani," ucap Andra memprovokasi.
"Maunya Ibu juga begitu, tapi apa daya berat di ongkos."
Lagi-lagi keduanya hanya bisa tertawa, menertawakan takdir yang kadang terasa lucu. Ada kalanya kenangan memang terasa menyakitkan, tapi masa lalu bukan untuk ditangisi dan baik Andra maupun Mayang sangat mengerti akan hal itu.
Hingga suara di pintu mengalihkan pembicaraan mereka.
"Berisik bener, ini rumah sakit bukan, sih?"
"Lo yang berisik!"
"Dih, pura-pura sakit lo, ya?" tanya Vino sembari mencium Tangan Mayang. "Nih," ucapnya sambil melemparkan benda bulat besar ke ranjang Andra.
"Apaan?"
"Duren," jawab Vino asal.
"Mabok lo, ye? Orang sakit dibawain duren!"
"Kalian nih ribut mulu, deh," komentar Mayang sambil membuka bungkusan plastik yang barusan dilempar Vino ke ranjang.
"Lagian bego aja lo, mana ada duren kaga ada durinya?! Itu semangka bego! Gue curiga lo ketiban besi otak lo pindah ke dengkul."
"Bacot! Untung tangan gue yang satu di gips yang satu diinfus. Selamet lo!" ucap Andra yang benar-benar kesal dengan kelakuan Vino.
"Udah, deh, Al. Kamu ke sini mau berantem atau apa?"
"Mau gantiin Tante, jadi ibu yang baik buat baby Andra. Jadi Tante pulang aja, mandi terus bobok," ucap Vino membuat Mayang tertawa. Sedangkan di tempatnya, Andra hanya bergidig geli sambil menendangi Vino.
"Tapi kamu udah izin sama Mama Papamu? Nanti kena marah loh, Al," ucap Mayang yang agak khawatir.
"Aman Tante. Tadinya Mama mau ikut, tapi Al bilang besok aja soalnya sekarang udah malem."
"Yaudah, Al. Tante pulang ya, besok pagi-pagi Tante kesini biar kamu bisa sekolah."
"Siap, Tante!"
"Makasih, ya, Al. Ibu pulang, Ndra," ucap Mayang sambil mengusak kepala Andra dan juga Vino.
Setelah kepergian Mayang, suasana di ruang rawat inap itu malah kembali sunyi. Jam besuk memang sudah berakhir, dan jam malam sebentar lagi diberlakukan. Di tempatnya, Vino sudah mempersiapkan kasur tambahan yang memang disediakan rumah sakit untuk keluarga pasien. Keduanya sudah terbaring di tempat masing-masing, hanya dengan mata yang tidak tertutup. Entah bagaimana, ada banyak hal yang berputar-putar di kepala mereka.
"Gue bersyukur banget, Ndra. Tuhan masih menjawab doa-doa gue. Dia masih memberi gue kesempatan sekali lagi buat ketemu sama lo."
Ucapan Vino barusan sukses membuat Andra membeku. Dirinya memang tidak pernah tahu betapa beratinya ia bagi Vino. Bukan hanya sebagai seorang sahabat, tapi jauh lebih dari pada itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top