Fragment 7:2


Hari berangsur sore, dan Ila masih setia menemani Mayang di rumah sakit. Yah, setidaknya kalimat itu yang selalu dijadikannya alasan tiap kali Andra memintanya pulang.

"La, nih Tante beliin nasi padang. Makan dulu ya," ucap Mayang pelan yang buru-buru dapat anggukan dari Ila.

"Andra nggak dibeliin, Bu?"

Pertanyaan Andra barusan spontan membuat kedua perempuan di hadapannya menatapnya bersamaan.

"Kamu bukannya udah makan tadi pake sayur sop?"

Tidak menjawab, Andra hanya mendecak kesal kemudian mengalihkan fokus pada ponsel di tangannya. Dari sudut ruangan, Ila tersenyum melihat ekspresi kesal Andra. Lagi-lagi rasa sesak menghujam dadanya. Tidak seharusnya ia memperlakukan Andra seperti seorang pecundang. Tidak seharusnya ia bersikap kasar dan malah membenci cowok itu, padahal ia hanya belum benar-benar mengenal Andra.

Pelan, ia mencoba menelan makanan yang kini terasa hambar. Mencoba memaksanya masuk ke dalam kerongkongan, bersama rasa pahit yang kini mulai menjalari lidahnya. Sampai sebuah suara memecahkan keheningan sore itu.

"Permisi!"

"Ayah!" Ila yang terkejut dengan kedatangan ayahnya, buru-buru menghampiri.

Dari tempatnya, Andra sempat melirik Dani yang masih berdiri di ambang pintu sambil memegang kantung plastik yang entah apa isinya. Laki-laki dewasa itu masih terlihat sama, dengan balutan kemeja biru muda, Dani terlihat lebih berwibawa dibanding saat pertama kali Andra bertemu dengannya. Di sisi lain, tubuh Mayang mematung. Menatap lurus sosok laki-laki yang kini tengah berjalan mendekat ke arahnya.

"Mas Dani," ucapnya pelan.

"Mayang?"

Suasana hening kembali menyelimuti, tidak ada yang berani bersuara. Menyadari situasi yang semakin canggung antara ayahnya dan ibunya Andra, Ila memilih inisiatif untuk memecah keheningan yang tercipta saat ini.

"Ayah sama Tante sudah saling kenal?"

Dani mengerjap beberapa kali, mencoba bangkit dari kenangan yang seketika terlintas saat menatap Mayang setelah sekian lama. Rasa yang selama ini sudah ia bunuh, beserta kenangan yang sudah terkubur dalam, kini perlahan muncul ke permukaan. Menciptakan sebersit rasa yang asing, yang entah apa harus diartikan sebagai rindu, atau hanya setumpuk rasa yang sudah basi.

"Ah, iya. Tante Mayang dulu teman kuliah Ayah."

Ila mengangguk mendengar penjelasan ayahnya. Di tempatnya, Andra hanya mengangguk pelan. Ibunya tidak pernah menceritakan teman-teman kuliahnya, hanya terkadang Andra sering mendengar kisah-kisah sang ibu saat masih kuliah. 'Terlalu banyak kenangan.' Hanya kata itu yang Andra ingat saat ibunya mulai mengenang masa-masa itu.

"Gimana kondisi kamu, Ndra?" tanya Dani, seolah tak terjadi apapun.

"Sudah lebih baik, Om."

Dani mengangguk pelan, kemudian menaruh bungkusan yang sejak tadi ia bawa ke nakas. "Tadi Om beli buah, dimakan ya."

"Iya, Om. Makasih."

Setelahnya, Andra berbincang singkat dengan Dani. Dan entah mengapa, suasana canggung itu masih terus berlanjut. Sampai akhirnya Dani pamit, karena hari sudah berangsur sore.

"Makasih banyak, Om."

"Harusnya saya yang berterimakasih sama kamu." Dani menepuk pelan pundak Andra.

"Ila juga sekalian pamit pulang, Tante," ucap Ila sembari mencium tangan Mayang. "Gue balik dulu, Ndra. Besok ke sini lagi."

Andra mengangguk pelan. "Pulang sekolah aja, nggak perlu bolos."

Ila tersenyum samar, sebelum akhirnya mengangguk. Sebelum pergi, Dani sempat melirik Mayang yang sejak kedatangannya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ternyata semesta masih punya kejutan lain.

***

Hiruk pikuk ramainya jalanan kota memenuhi suasana sore ini. Suara-suara bising kendaraan yang melintas, sampai teriakan para sopir bus yang tengah mengangkut penumpang, tak luput jadi pemandangan yang lumrah di tengah kota. Dari dalam mobil, Ila masih belum bicara perihal apa pun kepada ayahnya. Sejak pulang dari rumah sakit semalam, Ila langsung masuk kamar dan berangkat lagi ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Sekarang pikirannya hanya berputar-putar pada Andra. Meski sudah meminta maaf, rasanya masih ada yang mengganjal. Sampai tiba-tiba Ila teringat sesuatu.

"Ayah kenal sama tante Mayang? Kok nggak pernah cerita?"

Dani tersentak, benar-benar terkejut dengan pertanyaan random yang barusan Ila tanyakan.

"Dia cuma teman Ayah waktu kuliah."

"Tapi tadi tante Mayang diam aja waktu ada Ayah. Kenapa dia begitu, Yah?" tanya Ila.

Dalam hati, Dani merutuki rasa ingin tahu Ila yang kelewat luar biasa itu. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin menyembunyikan hal ini lebih lama lagi.

"Sebenarnya... kami sempat pacaran dulu."

"HAH?!" Ila menjerit kaget.

"Sakit kuping Ayah kalau kamu teriak begitu." Dani mengusap telinganya yang sedikit berdengung karena teriakan Ila barusan.

"Habisnya Ayah nggak pernah cerita, Ila kaget."

"Dulu, tante Mayang itu sahabat Ayah. Sampai kebersamaan kami, membuat perasaan itu tumbuh di hati Ayah. Perasaan yang sekarang sudah Ayah bunuh dengan paksa, dan Ayah kubur dalam-dalam." Dani menerawang.

"Tapi, kenapa...."

"Ceritanya bakalan panjang, La. Serius mau dengar?" ucap Dani sembari terkekeh pelan.

Ila mengangguk antusias. Entah mengapa, kisah Ayahnya membuatnya jadi sangat penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top