Fragment 6:2


Hanya ada keheningan yang diisi isak tangis memenuhi lorong panjang yang seolah tak berujung. Ila masih bergeming, tubuhnya seolah kehabisan seluruh energinya bahkan hanya untuk menangis. Matanya hanya bisa menatap kosong ke sembarang arah, namun telinganya masih bisa menangkap tiap isakan yang terasa menyayat kepingan hatinya.

Di tempatnya, Vino terus-terusan mengelus pelan pundak Mayang. Kejadiannya terasa begitu cepat, bahkan sampai detik ini jika harus menjelaskan, Vino tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Isakan pelan mulai terdengar lagi, memenuhi seisi lorong rumah sakit.

"Kenapa, Al? Andra ngapain coba sampe ketiban kerangka besi?" tanya Mayang disela tangisannya.

"Itu, Tan-"

"Ini salah Ila tante, Andra begini karena mau nolong Ila."

Vino tidak melanjutkan ucapannya. Ditatapnya Ila yang kini tengah berlutut di hadapan Mayang, kali ini sambil menitikkan air mata. Tidak ada jawaban, yang Mayang lakukan hanya mengelus pelan rambut Ila kemudian meraih gadis itu dalam pelukannya.

Dalam pelukan wanita itu, Ila menangis. Entah mengapa, rasanya sama persis dengan pelukan Ibunya. Terasa hangat dan menenangkan. Di sela isak tangisnya Ila memohon, agar tuhan memberinya satu kesempatan lagi untuk bertemu dengan Andra. Agar dirinya bisa-setidaknya-berterima kasih pada cowok itu.

Di sisi lain, Mayang tersenyum samar sembari menepuk pelan bahu Ila yang kini masih terisak dalam pelukannya. Dirinya tahu, bahkan lebih dari sekedar tahu. Andra tidak pernah menyembunyikan apa pun darinya, termasuk perasaannya pada Ila. Ternyata sebegitu dalamnya rasa cinta Andra pada gadis ini, sampai rela terluka karenanya. Terlepas dengan perlakuan Ila selama ini, ternyata Andra tetaplah Andra yang masih memegang prinsipnya.

***

Waktu terasa begitu lambat. Sudah lebih dari tiga jam Ila, Vino dan Mayang menunggu, namun masih belum ada tanda apa pun. Cowok itu masih setia menutup matanya, padahal harusnya ia sudah sadar.

"La, kamu makan dulu yah," tawar Zara yang baru saja datang dan membawa beberapa kantong plastik berisi makanan.

Sebelumnya, gadis itu juga menawarkan makanan yang ia bawa pada Mayang dan Vino yang diterima dengan senang hati, tapi tidak dengan Ila. Cewek itu hanya menggeleng pelan, bahkan tanpa menoleh pada Zara. Bukan, bukan karena ia kesal pada Zara, namun sepertinya kini Andra lebih penting dibanding dirinya sendiri.

"Gue nanti aja, Ra," ucap Ila pelan.

Tidak ada yang bisa Zara lakukan, selain menghela napas lelah. Gadis itu kemudian duduk lesehan bersama Vino di ujung ruangan. Jangan bayangkan Andra berada di ruang pribadi dengan fasilitas lengkap layaknya hotel bintang lima. Setelah mendapat perawatan intensif dari dokter di ruang UGD tadi, Andra mendapat ruang di salah satu bangsal rumah sakit. Satu ruangan itu berisi lima pasien, dan Andra adalah salah satunya.

Vino membuka bungkusan makanan di tangannya tanpa minat. Berkali-kali cowok itu menghela napas, tidak habis pikir dengan apa yang terjadi. Kenapa Andra harus mengalami semua kejadian ini?

"Vin, dimakan dulu," ucap Zara sembari menyenggol lengan Vino.

Dengan satu anggukan pelan, Vino menuruti perintah Zara. Di sisi lain, Mayang juga mulai menyantap makanan yang diberikan Zara padanya, namun tidak dengan Ila. Cewek itu masih setia berdiri di sisi ranjang, sembari menatap Andra yang kini terbaring lemah di ranjang dengan perban membalut hampir seluruh tubuhnya.

Lama Ila memperhatikan Andra, membuat memorinya kembali memutar kenangan-kenangan lalu yang pernah ia lewati bersama cowok itu. Meski bukan kenangan indah, entah kenapa Ila bahagia hanya dengan mengingatnya. Padahal, baru tadi siang Andra membantunya membawakan buku sampai perpustakaan, dan bahkan Ila belum sempat mengucapkan terima kasih. Sampai adegan mengerikan beberapa jam lalu kembali teringat.

Saat beberapa besi kerangka panggung menghantam tubuh andra. Saat darah menetes dari mulut Andra. Dan saat cowok itu masih sempat bertanya padanya, apakah Ila baik-baik saja. Saat sebelum kesadaran Andra menghilang sepenuhnya dan berakhir di rumah sakit.

"Sejak kepergian Bapak, hanya Andra yang tante miliki. Sekarang Andra sudah bukan lagi putra kecil tante, dia sudah jadi laki-laki yang bisa diandalkan."

Ila tercenung. Tenggorokannya tercekat, lidahnya terasa kelu. Bahkan dirinya tak mampu, hanya untuk sekedar mengucap kata maaf. Cewek itu masih diam, sebelah tangannya meremas ujung seragamnya, berusaha sekuat tenaga menahan sesak yang terasa. Ucapan Mayang barusan, sungguh menohoknya telak. Menyayat tipis relung hatinya yang terdalam.

"Nggak! Jangan pernah menunggu, karena perasaan gue nggak ada buat lo! Lupain gue, itu yang terbaik."

"Jauh-jauh dari gue! Gue benci lo, Ndra!"

"Pergi! Gue benci sama lo, Ndra! Jangan pernah lo tunjukkin diri di hadapan gue. Karena dengan lo berbuat begitu, justru malah membuat gue semakin benci sama lo!"

Entah darimana asalnya, kata-kata yang dulu pernah ia ucapkan dengan gamblangnya pada Andra, kini terngiang lagi. Bagai bumerang, seolah ucapan-ucapan itu justru menyerangnya balik. Memporak-porandakan perasaannya, menyesakkan. Kalau saja waktu bisa ia putar ulang, ingin rasanya ia menghapus semua rangkaian kalimat menyakitkan itu. Namun sayang, waktu tidak akan pernah berpihak padanya.

"Maafin Ila, Tan." Ila berucap pelan, sangat pelan bahkan jika ada orang lain yang bicara di ruangan itu, suaranya pasti tidak akan terdengar.

Mayang menggeleng pelan. "Tante tidak pernah menyalahkan kamu, ini pilihan Andra. Dan apapun yang terjadi, Tante yakin Andra pasti kuat."

Ila hanya menunduk, menatap sepasang sepatunya dengan pandangan kabur. Dirinya sudah benar-benar tidak bisa membendung air matanya lagi. Isakan-isakan kecil mulai terdengar, seiring dengan rasa sesak di dada yang kian menguat.

Zara dan Vino yang sejak tadi hanya memperhatikan, kini mulai mendekat. Dengan cekatan, Zara mulai menepuk pelan pundak Ila kemudian memeluknya.

"Ra, lebih baik kamu anterin Ila pulang," titah Vino yang segera dapat anggukan dari Zara, namun tidak dengan Ila.

Cewek itu menggeleng kuat, sembari berkata dengan suara yang bergetar.

"Gue nggak akan pulang sampai Andra bangun."

"Besok lo boleh kesini lagi, sekarang lo pulang. Orang tua lo pasti nunggu di rumah," ucap Vino tegas, tapi lagi-lagi Ila menggeleng.

"Nggak."

"Yaudahlah Vin, kalau Ila memang masih mau di sini. Tapi kamu harus izin sama orang tua kamu, La," ucap Zara lembut.

Tidak langsung menurut, Ila hanya diam kemudian perlahan mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Mulai menekan nomor yang sudah ia hafal diluar kepala, kemudian berkata pelan.

"Andra kecelakaan, Yah."

Hening, tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut Ila. Gadis itu hanya mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya kemudian kembali terdiam.

Vino lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Ila sama kerasnya dengan Andra, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti keinginan gadis itu. Pandangannya beralih pada Zara yang masih berdiri di samping Ila.

"Ra, aku antar kamu pulang yah?" Vino berkata lembut.

"Terus Andra?"

"Nanti aku ke sini lagi, aku juga mau pulang dulu buat ganti baju. Tante, Vino anter Zara pulang dulu, nanti balik lagi," ucap Vino, sembari mencium tangan Mayang.

Setelah mendapat anggukan dari Mayang, Vino bergegas mengantar Zara. Tentunya setelah gadis itu berpamitan juga. Sepeninggal Vino, hening kembali menguasai. Hanya terdengar sayup suara para perawat yang tengah memperbincangkan sesuatu. Ila masih menatap Andra yang kini masih terbaring dengan mata sembabnya.

"La, Tante mau ke toilet sebentar," ucap Mayang, sebelum berlalu.

Ila hanya mengangguk singkat, kemudian kembali menatap Andra yang terlihat amat tenang. Entah mengapa, tiba-tiba saja rasanya kaki Ila tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya. Gadis itu jatuh terduduk, dengan perasaan sesak yang kian menyiksa.

"Sekarang lo berhasil, Ndra! Berhasil bikin gue jadi orang jahat!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top