Fragment 6:1


Hari berangsur siang. Suasana istirahat terasa kental saat hiruk-pikuk keramaian masih memenuhi seisi koridor. Suara-suara bising juga masih memenuhi telinga Ila saat gadis itu tengah berjalan santai sembari menyesap susu kedelai dingin yang barusan ia beli di kantin.

Setelah adegan super canggung yang ia lakoni bersama Andra, entah kenapa rasanya ia haus sekali. Matanya terus menyapu sekeliling sekolah serta beberapa anggota OSIS yang masih mempersiapkan dekorasi di lapangan. Sampai matanya menatap sosok Andra yang kini tengah menggambar sesuatu di lapangan. Setelah apa yang terjadi kemarin, bahkan cowok itu masih dengan santainya merecoki kegiatan anggota OSIS.

Tanpa sadar, langkahnya terhenti. Entah untuk apa, hanya Ila merasa ada satu titik dalam palung hatinya yang menginginkan matanya untuk terus menatap Andra.

***

Di sisi lain sudut lapangan, Vino masih disibukkan dengan kegiatan lain. Acara ini membutuhkan banyak hal, bukan hanya dekorasi melainkan beberapa tamu yang juga harus diundang. Dan sebelum itu, tentunya mereka harus mencari sponsor untuk membantu mendanai acara tersebut. Cowok itu duduk di sisi lapangan yang agak teduh karena rindangnya pohon beringin. Sembari membolak-balikkan proposal di tangannya, Vino tak hentinya mengunyah permen karet. Sampai benda dingin berair menyentuh pipinya.

Reflek, ia menoleh dan mendapati Zara yang juga ikutan duduk di sampingnya sembari menyodorkannya sekaleng minuman dingin.

“Thanks,” Vino berucap pelan, yang hanya dapat anggukan dari Zara.

Tidak ada percakapan setelahnya. Vino sibuk dengan proposalnya, sedangkan Zara sibuk memperhatikan sekitar. Sampai tatapannya menangkap sosok Andra yang kini tengah membantu para anggota OSIS memasang spanduk besar di depan gerbang.

“Vin, si Andra baik-baik aja?” tanyanya yang sukses membuat Vino mengerahkan seluruh atensinya pada gadis berkacamata di sebelahnya.

“Maksud kamu apa nanya itu ke aku? Mau buat aku cemburu?” tanya Vino yang lantas membuat Zara menatapnya heran.

“Apaan sih, kamu? Aku tanya, apa Andra baik-baik aja karena kejadian kemarin. Kamu mikirnya kejauhan!” tekas Zara sembari menyembunyikan semburat merah di pipinya.

Vino yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum. Tidak bisa dipungkiri, kalau hanya Zara yang mampu membuat jantungnya menggila. Dan Vino juga tahu, kalau Zara juga merasakan hal yang sama. Hanya saja keputusan gadis itu yang tidak akan pernah bisa diganggu-gugat.

“Harusnya dia marah sama aku, dan harusnya juga dia nggak bantuin kita lagi sekarang. Tapi itulah Andra. Dia akan tetap pada prinsipnya. Kalau dari awal udah bilang ‘A’ ya akan begitu sampai akhir.”

Zara mengangguk-angguk mendengar penjelasan Vino, sampai sebuah pertanyaan terbesit dalam benaknya. “Memangnya kalian ada masalah apa?”

“Biasa. Cowok.”

Vino kembali fokus pada proposal di tangannya, mengabaikan tatapan Zara yang kini sudah begitu intens menatapnya.

“Kamu nggak papa?”

“Hmm? Giman—“

Vino tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya, saat jemari lembut Zara sudah menelusuri sudut bibirnya yang masih membiru akibat pukulan Andra. Gadis itu tidak bicara, hanya menatap Vino lembut kemudian kembali menempelkan kaleng dinginnya ke wajah cowok itu.

“Aw, sakit tau!”

“Siapa suruh nggak diobatin? Sengaja ya?!” ucap Zara sarkas yang justru dapat kekehan pelan dari Vino.

“Iya, sengaja. Biar kamu yang obatin.”

Vino berucap pelan, dan hal itu sukses membuat semburat itu muncul lagi di wajah ayu Zara. “Ish, alay!”

Lagi-lagi Vino hanya bisa terkekeh pelan melihat reaksi gadisnya. Entahlah, meskipun status mereka kini bukan lagi sepasang kekasih, Vino tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan Zara tetap berada disisinya, ia tidak akan mengharap apapun dari gadis itu.

***

Sore mulai menyelinap menggantikan siang. Bel pulang bahkan sudah berbunyi sejak setengah jam lalu. Hiruk-pikuk kegiatan anggota OSIS sudah hampir mencapai puncaknya, sebab acara pensi angkatan Dua Delapan sudah tinggal dua hari lagi. Semua orang sibuk, terutama ketua OSIS dan juga Vino yang banyak mengurus ini-itu. Begitu pula Andra yang kini sudah menanggalkan seragam putihnya, menyisakan kaus hitam yang melekat pada badannya.

Bercak-bercak cat tembok berwarna putih sudah mengotori kausnya, tapi cowok itu seolah tidak peduli. Matanya masih terfokus pada papan besar di hadapannya. Dengan cekatan, Andra mengecat papan kayu itu. Melapisi semua bagiannya dengan warna putih.

“Ndra, ngecatnya sebelah sana aja. Panggung mau dipasang soalnya.”

Andra hanya menoleh sekilas, mengangguk kemudian mengangkat papan berukuran 1x2 meter itu ke sisi lain lapangan. Beberapa jam terlalui, tapi Andra masih sibuk melapisi papan kayu tadi dengan cat sembari mengunyah permen karet pemberian Vino. Namun ditengah kesibukannya, telinga Andra menangkap suara bising dari arah lapangan. Suara-suara besi yang bertubrukan, ditambah jeritan serta teriakkan beberapa siswa yang membuat perhatiannya teralihkan.

Matanya terbelalak ketika mendapati Ila malah berjalan dengan santainya di sudut lapangan sembari menyesap susu kedelai. Entah apa yang dilakukan cewek itu sekarang, sedang di atasnya beberapa orang sudah meneriaki gadis itu untuk menyingkir dari sana.

“Neng, awas!”

“Ila!”

“AILA!”

BUGH!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top