Fragment 5:2


Suasana bus kian sesak, seiring semakin banyaknya orang yang memaksa menjejalkan dirinya masuk ke dalam. Wajah lelah, serta peluh di tubuh sudah cukup menggambarkan betapa berat hari yang telah dilewati. Begitu pula pada seorang gadis yang tengah berdiri di dalam bus yang penuh sesak itu. Genggamannya kian erat pada pegangan yang menggantung di langit-langit bus. Sesekali, angin kencang menelusup masuk, melewati puluhan orang yang tengah sibuk pada pikirannya masing-masing. Hari ini, Ila memang sengaja tidak membawa motor ke sekolah. Tidak ada alasan khusus, hanya sedang malas saja. Dan alhasil, sore ini ia terpaksa berjejal bersama puluhan orang lainnya di dalam bus.

Di tempatnya, Ila masih saja memikirkan kejadian di lapangan tadi sore. Hari ini, ia memang tidak langsung pulang ke rumah dan memilih mengerjakan tugas kelompok di sekolahnya. Namun tidak disangka, saat tengah menyusuri koridor dirinya malah menangkap adegan mengerikan yang terjadi antara Andra dan Vino. Ila tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tapi ia melihat dengan jelas api kemarahan yang meluap dari sorot mata Andra. Entah apa yang membuat cowok itu sampai terlihat sangat marah bahkan sampai kalap memukul Vino, membuat ribuan pertanyaan bergelayut dalam benak Ila.

Andra berubah. Tidak ada lagi Andra dengan senyum ramahnya. Tidak ada lagi Andra yang kikuk. Tidak ada lagi Andra yang alay. Semuanya sudah berubah. Yang Ila lihat, hanya ada sorot dingin yang terpancar dari mata cowok itu. Dan sorot itu akan memancarkan luka, apabila manik hitamnya bertemu dengan mata kecil Ila.

Seketika bayangan wajah dingin serta tatapan Andra malah terbesit dalam ingatannya. Buru-buru Ila menggeleng. Tidak, semua ini tidak ada kaitannya dengan dirinya. Ila masih mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran aneh dari kepalanya, saat kemudian bus berhenti tepat di depan kompleks rumahnya.

***

“Oke, materi ini kita sudahi sampai di sini. Minggu depan kita lanjutkan lagi,” ucap seorang guru dari yang sedari tadi memang sedang mengajar.

“Ila, kamu yang kembalikan buku teman-temanmu ke perpustakaan! Dari tadi Bapak perhatikan kamu bengong terus.”

Tidak ada jawaban, hanya helaan napas dari Ila beserta ejekan menyebalkan dari seisi kelas. Satu persatu, murid-murid XII IPS 3 itu mulai menumpuk buku paket sejarah yang sebelumnya mereka pinjam ke meja Ila.

“Nitip ya, La!”

“Semangat Ila, gue ke kantin duluan ahh....”

“Sori, gue nggak bisa bantuin La, perut gue udah minta diisi.”

Dan masih banyak lagi ujaran laknat yang sesungguhnya membuat Ila mual. Sampai seorang cowok yang berjalan sembari membawa dua buah buku cetak sejarah, kemudian mendekat menghampirinya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, cowok itu mengambil semua buku yang sudah tertumpuk rapi di atas meja Ila.

Ila yang masih belum menyadari apa yang terjadi, hanya bisa diam memperhatikan sikap Andra yang kelewat aneh itu. Sampai ketika punggung Andra menghilang dibalik pintu, cewek itu buru-buru berlari mengejar Andra.

“Andra!” Tidak ada jawaban.

Sekali lagi, Ila berteriak sembari mencoba menyamakan langkahnya dengan langkah besar Andra.

“Ndra!” panggil cewek itu sekali lagi.

Kali ini berhasil. Andra sempat meliriknya sekilas, namun kemudian cowok itu kembali mengarahkan pandangannya ke sembarang arah. Kaki jenjangnya tak henti melangkah, seiringan detak jantungnya yang berdentum tak sesuai ritme. Sebisa mungkin Andra menyembunyikan kegugupannya dengan melangkah cepat. Semakin cepat dirinya sampai ke perpustakaan, maka semakin cepat pula ia berpisah dengan Ila.

Berkat sikap tergesa-gesa yang ia miliki, tanpa sadar Andra malah terjebak dalam situasi ini. Ada penyesalan yang terbesit dalam hatinya sebab telah membantu Ila, namun ia akan lebih merasa jahat apabila membiarkan Ila membawa tumpukan buku-buku itu sendirian. Dan yang Andra bisa lakukan saat ini hanyalah melangkah secepat mungkin, menembus keramaian koridor di jam istirahat begini, serta sebisa mungkin mengabaikan panggilan Ila. Sampai matanya menangkap sebuah pintu di ujung lorong yang masih tertutup rapat.

Andra berhenti tiba-tiba ketika dirinya tiba persis di depan pintu ruangan tadi. Cowok itu menoleh, mendapati Ila yang kini tengah mengatur napasnya. Gadis itu terlihat lucu dengan tampang kesal dan napasnya yang masih memburu. Sebelum Ila mengomel, Andra buru-buru memindahkan tumpukan buku yang sebelumnya ia bawa ke tangan Ila kemudian pergi begitu saja. Melihat sikap Andra yang begitu ajaib membuat Ila tidak bisa berkata-kata. Padahal seharusnya ia berterima kasih, tapi tatapan dingin serta wajah datar Andra sudah cukup membuat lidahnya kelu.

Hanya ada satu pertanyaan yang terus terngiang di kepala Ila, tentang bagaimana bisa Andra masih bersikap baik padanya setelah apa yang terjadi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top