Fragment 5:1


Hiruk-pikuk keramaian di sekolah, sama sekali tak jadi persoalan bagi Ila. Cewek itu masih asyik menyelami kehidupan setiap karakter dalam novel yang ia baca. Sampai telinganya tanpa sadar menangkap tawa seseorang. Tawa yang terdengar amat merdu, sekaligus menenangkan. Kepalanya terangkat, hanya untuk mengalihkan atensinya dari buku ke si empunya tawa menenangkan barusan. Namun sayang, yang didapat malah goresan luka lagi.

Tidak sedalam yang sebelumnya memang, namun pemandangan Vino yang tengah bergurau dengan Zara sudah cukup membuat luka Ila bertambah perih. Bagai disiram air garam, luka yang bahkan belum kering itu makin terasa nyeri saat melihat kebersaan Vino dengan gadis lain.

Seketika, ucapan Vino tempo hari malah terngiang di telinganya.

"Gue masih sayang sama Zara."

Ila tersenyum pahit. Sekali lagi, gadis itu menatap Vino yang kini tengah membuat sesuatu di lapangan, ditemani Zara dan beberapa anggota OSIS lainnya. Satu hal lagi yang Ila pahami hari ini, bahwa bahagia seorang Alvino Bastian hanyalah Izzara Nadya. Dan Aila hanyalah seonggok batu kerikil yang tak terlihat di mata Vino.

***

Satu bulan lagi. Tinggal satu bulan lagi, waktu yang tersisa bagi seluruh anggota OSIS untuk mempersiapkan acara yang amat spesial bagi mereka. Tahun ketiga adalah tahun terakhir bagi anggota OSIS angkatan Dua Delapan. Dan sebelum mengakhiri masa jabatan, mereka ingin membuat sebuah persembahan spesial yang ditujukan sebagai ucapan terima kasih kepada para guru dan juga sebagai tanda perpisahan untuk para adik kelas mereka.

Jangan tanya betapa sibuknya para anggota OSIS saat ini. Bahkan Vino tidak punya waktu untuk sekedar mengetik SMS di ponselnya. Semua orang sibuk, tidak terkecuali Andra. Meskipun bukan anggota OSIS, Andra juga turut berkontribusi dalam menyukseskan acara ini. Atau bisa dibilang, Andra hanya mencari kesibukan untuk melupakan perih hatinya. Menenggelamkan diri dalam kesibukan yang tiada habisnya, membuat Andra sedikit melupakan Ila. Meskipun tidak benar-benar lupa. Tidak akan pernah bisa.

Vino yang melihat sahabatnya yang kini tengah membuat tulisan besar di lapangan, perlahan menghampiri. Ditatapnya Andra yang bekerja macam orang kerasukan. Pagi hingga siang belajar di kelas, sore sampai malam membantu OSIS dan sampai di rumah pun, Andra masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, lalu baru tidur ketika larut malam. Begitu terus dan ini sudah tiga minggu. Vino hanya takut, tubuh Andra tidak siap menerima semua tekanan ini dan malah mengakibatkannya jatuh sakit.

Cowok itu kemudian mendekat pada Andra yang masih sibuk pada gambarnya.

"Ndra, makan dulu," ucap Vino.

Tidak menjawab, Andra hanya mengangguk. Bahkan tanpa menoleh sedikitpun pada Vino.

"Makan sekarang! Gue udah beli nasi Padang, nih!"

"Dikit lagi," Andra menjawab datar, dan jawaban itu sukses membuat Vino geram.

Wakil ketua OSIS itu menarik kerah baju Andra dari belakang, hingga membuat cowok itu hampir terjengkang. Andra yang terkejut dengan gerakan tiba-tiba Vino reflek berteriak.

"Apaan sih, lo?!"

"Bisa nggak, lo jangan berbuat kayak gini? Lo pikir dengan nyiksa diri begini semuanya akan selesai?" ucap Vino sarkas.

"Maksud lo apa?" Andra mencoba untuk terdengar tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan hal lain.

"Buat apa lo nyiksa diri lo begini? Toh Ila juga nggak akan mau jadi pacar lo!"

BUGH!!

Satu pukulan mendarat mulus di wajah tampan Vino. Semua orang yang sebelumnya sibuk dengan urusannya masing-masing, sontak menghentikan kegiatan mereka. Di tempatnya, Andra mencoba menahan untuk tidak lagi memukul Vino. Rahangnya terkatup, buku jemarinya kian memutih seiring semakin kuat kepalan tangannya. Matanya masih menatap nyalang pada Vino yang kini sudah jatuh terduduk di tengah lapangan.

Andra maju satu langkah, kemudian menunduk dalam. Mencoba mendekatkan bibirnya pada telinga Vino.

"Ini masalah gue, biarin gue beresin sendiri," ucapnya pelan.

Tidak ada reaksi apapun yang ditunjukkan Vino. Cowok itu masih duduk termangu di posisinya, sama sekali tidak menyangka kalau Andra sampai akan bereaksi seperti itu. Sepertinya, ucapannya kali ini sudah keterlaluan.

***

Hari sudah semakin sore, hiruk pikuk kendaraan di jalan pun kian sibuk. Perlahan, Andra menghembuskan asap nikotin itu ke udara. Entah sudah berapa batang rokok yang ia habiskan sampai sekarang. Mencoba membiarkan perasaannya menguap bersamaan asap putih itu. Perasaannya masih berkecamuk. Ingin rasanya ia marah, berteriak, bahkan mengamuk seperti orang kesurupan. Namun ia tidak bisa.

Perkataan Vino seratus persen benar. Mau ia menyiksa dirinya ataupun mengamuk sekalipun, Ila tidak akan pernah menjadi miliknya.

"AARGHH!!"

Cowok itu menggeram kesal. Bukan kepada Vino, apalagi pada keadaan. Andra hanya kesal pada dirinya sendiri yang terlalu pengecut dan bodoh. Pelan, angin sore menerpa lembut wajahnya. Dalam riuh ramai suara kendaraan di jalan, Andra memejamkan matanya. Merasakan hembusan angin yang menerpa lembut kulitnya, sekaligus membawa serta aroma wewangian masakan dari warung Kang Deden.

Saat ini Andra memang tengah duduk di bawah pohon besar persis di belakang warung Kang Deden. Tempat yang lumayan asri dan tidak diketahui banyak orang, atau mungkin hanya Andra dan si pemilik warung yang mengetahui tempat itu.

"Jang, udah makan?" ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Andra.

Tidak langsung menjawab, Andra hanya menoleh dan mendapati Kang Deden dengan sepiring nasi beserta lauk-pauknya dan segelas besar es teh tawar.

"Belum, Kang." Andra menjawab pelan.

"Yaudah, ini dimakan dulu, Jang. Saya tinggal ke depan dulu."

Andra mengangguk paham sembari meraih piring beserta gelas berisi makanan dan minuman tadi dari tangan Kang Deden. Dihisapnya batang rokok terakhir, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyantap sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan sambal itu. Entah darimana Kang Deden bisa tahu kalau Andra belum makan, padahal sejak datang cowok itu sama sekali tidak memesan apapun.

Harusnya menu nasi, ayam goreng plus sambal lengkap dengan es teh tawar adalah hidangan lezat yang ia makan sore ini, tapi entah mengapa menu lezat itu kini justru terasa hambar. Ucapan Vino seketika kembali membuat tenggorokannya tercekat.

"Andra!"

Tidak menoleh, Andra hanya menyesap es teh tawar di hadapannya hingga tandas. Ia sudah mengenal betul, siapa pemilik suara tadi.

"Maafin gue, Ndra," ucap Vino sembari duduk di sebelah Andra.

"Untuk apa?"

Andra bertanya pelan, kini sembari menyuap sesendok nasi ke mulutnya.

"Gue sadar, kalau omongan gue tadi udah keterlaluan. Nggak seharusnya gue ngomong begitu," ucapnya tulus.

Andra terkekeh pelan. "Lo emang harus ngomong begitu, setidaknya biar gue sadar kalau apa yang gue lakuin itu sia-sia."

Ada luka dari setiap kalimat yang terucap dari mutut Andra, dan Vino menyadari betul akan hal itu. Meski senyum tak luput dari bibirnya, namun sorot matanya selalu memancarkan luka. Vino hanya mendesah pelan, tidak tahu harus mengatakan apa. Andra tetaplah Andra yang keras kepala. Dan saat ini, sikap itu kian menjadi lebih dingin seiring banyaknya luka yang menghujam hatinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top