Fragment 4:1


“Memaksa Ila untuk mencintai dia, Yah.”

Dani menggeleng pelan, kemudian tersenyum pada putri kecilnya. Tidak disangka, kalau Ila yang cuek justru akan membahas masalah cinta.

“Tidak ada paksaan dalam mencintai, kalau dia memaksa kamu, artinya itu bukan cinta.”

Ila diam sejenak, masih bingung dengan jawaban yang diberikan Ayahnya. “Bukan cinta?”

“Iya, itu hanya obsesi. Atau mungkin, justru hanya perasaan sesaat.”

Ila mengangguk, mengiyakan ucapan Ayahnya. Ya, Andra tidak sungguh-sungguh. Itu hanya perasaan sesaat, yang suatu hari bisa hilang. Setidaknya, hal itu bisa membuat dirinya yakin kalau Andra hanya main-main dan tidak bersungguh-sungguh.

***

“Gue mau nyerah aja, Al.”

Satu kalimat singkat yang baru saja keluar dari mulut Andra, sukses membuat Vino tidak bisa berkata-kata. Pasalnya, Andra tidak pernah main-main ketika bicara. Seorang cowok dengan komitmen kuat seperti Andra, akan sangat sulit dalam mengubah keputusannya.

“Segampang itu? Lo bukan Andra yang gue kenal.”

Andra bangkit dari posisinya, kemudian duduk dan menatap lurus sahabatnya itu dengan tatapan tak terbaca. Yang Vino lihat, ada sorot penuh luka dari manik hitam milik Andra.

“Menyerah bukan berarti kalah, Al. Gue hanya mau berhenti menyakiti perempuan yang gue sayang, dan gue nggak main-main.”

Seperti ditikam ribuan sembilu, hati Andra terasa nyeri ketika mengatakan kalimat barusan. Bibirnya menyunggingkan senyum pahit pada Vino, sebelum akhirnya meninggalkan cowok itu. Di tempatnya, Vino lagi-lagi dibuat bungkam. Biar bagaimanapun dirinya tahu betul, kalau sebelumnya Andra memang belum pernah jatuh cinta pada siapa pun. Dan Ila adalah cinta pertama, sekaligus patah hati pertamanya.

Dalam diam, Andra berjalan gontai menyusuri koridor yang seakan tak berujung. Ketika luka hatinya semakin dalam, hanya ada dering suara bel tanda jam istirahat berakhir yang memekakkan telinga, menemani siang hari kelabu Andra.

Dalam hati, dirinya terus memikirkan bagaimana cara untuk meminta maaf pada Ila. Kalaupun lukanya malah akan semakin membesar, setidaknya ia ingin melihat Ila sembuh terlebih dahulu.

***

Sore ini, bahkan langit pun tak sudi menampakkan jingganya pada Andra. Hanya ada awan gelap, yang menjadikan sore ini kelabu. Andra memacu lebih cepat laju motornya. Keputusannya sudah bulat, komitmen yang ia buat sudah patah oleh keputusannya sendiri.

Bukan. Bukan karena Andra plin-plan dan berprinsip lemah. Hanya saja, saat situasi dan beberapa hal justru membuat apa yang ia pertahankan terasa salah, tidak ada cara lain selain menyerah. Toh, menyerah bukan berarti kalah. Hanya berhenti berjuang, dan menjauh dari kata ‘menang’.

Setelah sebelumnya memaksa Stella–teman sebangku Ila–untuk mengatakan alamat Ila, akhirnya Andra sampai juga di depan sebuah rumah bercat putih. Stella sempat marah-marah tadi, dan mengatakan kalau Ila pasti akan marah.

Andra sudah tahu konsekuensinya. Dan karena sudah kepalang tanggung, ditambah sejak awal Ila memang sudah membencinya, jadi Andra sudah mempersiapkan diri. Yah, setidaknya kalau nanti Ila akan memukul atau menendangnya, Andra sudah tidak kaget lagi.

Cowok itu menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan lewat mulut. Beberapa kali Andra melakukan hal itu, sampai kemudian ia berani mengetuk pintu berwarna cokelat di hadapannya.

“Permisi!” Cowok itu berteriak sembari terus mengetuk pintu.

Tak lama, muncul seorang pria paruh baya, tubuhnya tinggi tegap dan terlihat berwibawa. Pria itu tersenyum pada Andra, sebelum akhirnya bertanya.

“Cari siapa, Dek?”

Buru-buru Andra mencium tangan orang itu, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya.

“Perkenalkan Om, saya Andra. Saya kemari mau minta maaf sama Ila,” ucap Andra sungguh-sungguh.

Dani yang agak terkejut dengan kedatangan tiba-tiba Andra, plus pakai bilang ingin meminta maaf segala, buru-buru meminta cowok itu masuk dan menjelaskan lebih detil maksud dari ucapannya barusan.

“Saya Dani, Ayahnya Ila. Jadi, boleh saya tahu maksud kedatangan kamu?”

Andra mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk, tidak mampu rasanya jika harus membalas tatapan Dani.

“Saya udah buat salah sama Ila, Om. Maka itu saya mau minta maaf.” Andra berkata pelan, sembari meremas jemarinya.

“Memangnya apa kesalahan kamu?”

Sontak, Andra mengangkat kepalanya dan menatap lurus manik tajam milik Dani. Tidak ada amarah dalam tatapannya, tenang namun tajam.

“Sa-saya yang buat Ila jadi sakit, Om.”

Dani mengangguk pelan. “Kamu mau bertemu dengan Ila?”

“Kalau boleh, Om.”

Lagi-lagi, pria itu hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya meninggalkan Andra sendirian. Cowok itu sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi ketika memutuskan untuk datang ke rumah Ila. Termasuk apabila mendapatkan penolakan.

Beberapa menit berlalu begitu saja, membuat Andra semakin tidak bisa diam. Kakinya terus saja bergerak-gerak. Tatapan matanya tak henti menyapu seisi rumah yang sederhana itu. Di ruang tamu, tempatnya berada hanya ada kursi kayu, meja kecil serta beberapa pigura yang terpajang di dinding putihnya. Dari sana, Andra bisa melihat meja makan serta dapur yang juga tidak besar, dan dua kamar yang pintunya tertutup rapat.

Tak lama kemudian, Dani keluar dari salah satu pintu dengan banyak stiker yang Andra yakini adalah kamar Ila. Pria itu kemudian duduk di hadapan Andra sembari menghela napas pelan.

“Maaf Dek, Ila sedang istirahat sekarang. Kalau ada yang mau kamu bicarakan, beritahu saya aja. Nanti saya sampaikan.”

Andra sudah menduga hal ini sejak awal. Lagipula, dirinya juga tidak berharap banyak pada kedatangannya ke rumah Ila kali ini. Cowok itu akhirnya tersenyum pada Dani dan menyerahkan sesuatu yang ia ambil dari dalam tas.

“Saya titipkan ini aja, Om. Sekali lagi, terima kasih. Dan sampaikan juga pada Ila, semoga lekas sembuh.”

“Akan saya sampaikan. Maaf ya, kamu sudah jauh-jauh datang malah nggak ketemu Ila.”

Andra menggeleng pelan. “Nggak apa-apa Om, kalau begitu saya pamit.”

“Hati-hati.”

Andra mencium tangan Dani sebelum pergi. Ada kilat kekecewaan dalam sorot matanya, dan Dani menyadari itu. Sekali lagi Andra mengakui, bahwa jatuhnya tidak seindah derai hujan yang membasahi bumi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top