Fragment 3:1
"Gue harap, lo bisa terima Andra. Dia anak baik."
Vino pergi begitu saja setelah mengucapkan serentet kalimat tidak berguna macam itu. Karena bukannya berubah pikiran, Ila malah semakin membenci Andra.
Sepeninggal Vino, Ila masih setia dengan posisi memeluk lutut. Bahkan ia sudah melupakan novel yang susah payah ia pinjam dari perpustakaan. Ila tidak pernah menyangka, kalau penolakan Vino akan membuatnya merasa sesakit ini. Ia tidak pernah tahu, kalau dadanya akan merasakan sesak yang luar biasa ditambah dengan air mata yang tak hentinya mengalir membanjiri pipinya.
Tiba-tiba saja, ucapan Vino kembali membuatnya sesak. Bukan hanya karena alasan cowok itu menolaknya, hanya saja mendengar Vino menyebut nama Andra membuat Ila semakin tidak menyukai cowok itu. Ila benar-benar benci pada Andra yang dengan seenaknya menceritakan masalah mereka pada Vino. Ila tahu kalau mereka memang sudah bersahabat sejak lama, tapi tetap saja, Ila benci pada Andra.
Tangisnya semakin pecah, seiring dengan perasaan kesalnya yang membuncah. Dadanya semakin sesak, ingin rasanya Ila berteriak, tapi lidahnya seolah kelu. Bahkan sejak tadi, cewek itu masih bertahan pada posisi memeluk lutut. Khawatir ada seseorang yang memergokinya, membuatnya takut bahkan hanya untuk sekedar mengangkat kepala.
Sampai sebuah tangan besar meraihnya kedalam dekapan. Mengusap pelan rambutnya dan membuat cewek itu tenggelam dalam aroma rokok bercampur wewangian asing dari tubuh yang kini tengah mendekapnya.
Hingga Ila terlonjak sadar. Dengan satu hentakkan, cewek itu mendorong Andra. Membuat sosok asing yang sempat membuatnya terhanyut dalam kenyamanan tadi, jatuh terduduk.
"Jauh-jauh dari gue! Gue benci lo, Ndra!"
Ila menyeka airmatanya asal, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Andra yang masih duduk di bawah pohon. Sambil menyaksikan punggung Ila yang bergerak naik turun, dada Andra semakin sesak. Bukan karena kemarahan Ila, ia terluka melihat gadisnya menangis.
***
Bel pulang sekolah mengalun merdu, mengisi suasana riuh sorak sorai para murid yang tengah menanti waktu pulang. Matahari sudah tak bersinar terik lagi, kini awan mendung mulai menutupi. Beberapa murid berlarian menuju parkiran agar bisa segera pulang dan tak terjebak hujan, tapi tidak dengan Ila. Cewek itu masih duduk di kelas yang mulai sepi. Sengaja, menunggu hujan benar-benar menyapa.
Benar saja, begitu derai hujan mulai membasahi tiap dahan dan atap-atap gedung, Ila justru keluar kelas. Cewek itu berjalan pelan menuju parkiran, membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Membiarkan titik-titik air hasil kondensasi di atmosfir itu membelai lembut permukaan kulitnya.
Dari jauh, seseorang tengah menyaksikan adegan melankolis yang kini tengah dilakoni Ila. Satu-satunya cewek aneh yang mandi hujan di tengah lapangan. Dari tempatnya, Andra merasakan perasaan yang entah bagaimana tidak bisa ia gambarkan. Tapi jika boleh jujur, ia amat terluka melihat Ila yang tampak rapuh seperti itu. Ingin rasanya membawa Ila ke dalam dekapannya, tapi mengingat kejadian tadi siang sudah membuat Andra bergidig ngeri.
Entah apa yang membuat Ila sampai hancur dan menjadi serapuh itu. Melihat sosok Ila yang sudah hilang di balik tembok pembatas parkiran dengan gedung sekolah, buru-buru Andra mengikuti cewek itu. Dan benar saja, lagi-lagi Ila menangis. Cewek yang selalu terlihat ceria dan tidak bisa diam itu terlihat kacau. Ila berjongkok di samping motornya, sembari menutupi wajah dengan telapak tangan. Pundaknya bergerak-gerak, menandakan kalau ia tengah menangis lagi.
"La!" panggil Andra.
Ila sama sekali tidak merespons panggilan barusan, membuat Andra dengan cepat kembali meneriakkan nama Ila, takut hujan membuat suaranya tak terdengar. Namun respons yang didapatnya justru sama sekali tidak terduga. Ila mengangkat kepalanya, memperlihatkan raut berantakkan yang membuat Andra seketika terdiam. Tatapannya tajam, namun ada luka yang tersembunyi dibaliknya. Sampai kemudian cewek itu berdiri, lalu mendorong keras tubuh Andra sampai terhuyung.
"Pergi! Gue benci sama lo, Ndra! Jangan pernah lo tunjukkin diri di hadapan gue. Karena dengan lo berbuat begitu, justru malah membuat gue semakin benci sama lo!" ucap Ila penuh penekanan.
Tanpa menoleh, Ila segera menyalakan motornya dan meninggalkan parkiran. Meninggalkan Andra yang masih terdiam, sembari merasakan tiap tetes hujan yang menghujamnya.
Lagi-lagi, semesta masih punya rencana lain. Sebuah alur yang amat menyakitkan. Membuat luka sekaligus kekuatan. Jemarinya mengepal erat, matanya masih tertuju pada punggung Ila yang kini sudah menghilang dari pandangan. Luka ini takkan membuatnya menyerah, tapi justru membuatnya kebal.
***
Malam kian larut, bahkan awan tidak membiarkan bulan bersinar lagi. Langit malam berawan, disertai semilir angin dingin sisa hujan tadi sore mulai berhembus. Membelai lembut wajah Andra yang kini tengah duduk di ambang jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka.
Di sela luka hatinya, nama Ila masih tersemat di sana. Nyeri di hati Andra memang belum sepenuhnya sembuh, perkataan Ila terlalu tajam dan cukup untuk melukainya lebih dalam. Tapi entah bagaimana, Andra malah terus-terusan menghawatirkan cewek itu. Benaknya terus bertanya-tanya, apa yang membuat Ila sampai serapuh itu. Ditambah dengan kalimat menyakitkan yang terus-terusan keluar dari bibir mungilnya.
Kalau saja bintang muncul malam ini, sudah pasti Andra akan berkeluh kesah pada kerlipan idahnya. Sayangnya, langit pun seolah enggan menyapa. Hanya ada gumpalan awan hitam, yang siap menumpahkan isinya.
"Bahkan langit pun ikut terluka. Jangan khawatir La, gue akan carikan obat untuk semua luka lo."
Andra bermonolog. Matanya menatap kosong pada langit luas yang kian mendung. Hanya ada satu obat penyembuh luka hatinya, namun sebelum itu, ia harus menemukan obat untuk Ila terlebih dahulu. Karena obat untuknya hanyalah senyuman Ila.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top