Fragment 2:2


***

Malam kian larut. Langit luas tak bersekat bertaburan bintang kecil menemani malamnya hari ini. Malam ini, Ila tidak bisa tidur. Memikirkan bagaimana dengan jahatnya ia bisa mengatakan kata-kata yang begitu kejam pada Andra. Hati kecilnya tidak menerima perbuatan itu, tapi di sisi lain, ia tidak mau lebih menyakiti Andra dengan memberikan harapan.

Alunan nada-nada merdu dari lagu milik Fourtwnty kini memenuhi pendengarannya. Dalam keheningan malam, cewek itu terus saja memikirkan kejadian hari ini. Langit malam tak berawan yang dihiasi bintang seolah sedang mengejeknya, membuatnya tanpa sadar mendesah kencang. Sampai suara lain terdengar menggantikan alunan musik dari band favoritnya.

Matanya terbelalak seketika saat melihat sebuah nama yang tertera di layar ponsel. Dengan ritme jantung yang tidak beraturan, cewek itu menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya menggeser tombol hijau di ponselnya.

"Halo?"

Suara merdu nan enak di dengar itu seketika memenuhi pendengaran Ila. Entah ada hal penting apa, sampai orang sesibuk Vino sampai menelponnya malam-malam.

"Halo, kenapa, Vin?" tanya Ila, mencoba terdengar normal.

"Ada yang mau gue omongin sama lo. Tapi nggak enak kalo bicara lewat telepon, besok pulang sekolah gue tunggu di warung Mang Deden."

Ila tidak langsung menjawab, hanya bergumam pelan sambil menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dikatakan Vino.

"Oke, sampai besok kalau begitu."

Klik.

Sambungan terputus. Perlahan, alunan merdu lagu fana merah jambu milik Fortwnty mulai mengalun lagi. Menggantikan suara berat nan enak didengar milik Vino.

Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering, serta membawa hawa dingin sekaligus keheningan. Ucapan Vino tadi sungguh membuat Ila salah tingkah. Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi besok, dan mau tidak mau Ila harus siap menerima kemungkinan apa pun. Semenyenangkan atau semenyakitkan apa pun kemungkinannya.

***

Seharian penuh kelas hanya diisi jam pelajaran kosong sebab semua guru tengah disibukkan oleh rapat yang sesungguhnya tidak dimengerti oleh para murid. Hari yang aneh penuh dengan tanda tanya, sebab sekolah tidak dibubarkan pun tidak ada tugas sama sekali. Membuat semua murid satu sekolah hampir mati karena bosan.

Di tempatnya, Ila masih asyik menenggelamkan dirinya ke dalam novel yang tengah ia baca. Suasana halaman belakang sekolah yang cukup sepi, menjadi teman membaca yang bagus siang ini. Sampai seseorang datang, mengacaukan siang hari penuh ketenangan miliknya.

"Hey," ucapnya tanpa basa-basi.

Ila tidak langsung menjawab, hanya menutup buku di pangkuannya kemudian menatap lurus pada cowok jangkung yang kini sudah duduk lesehan di sampingnya.

"Berhubung sekarang jam kosong, gue nggak mau membuang waktu dan nunggu sampai pulang sekolah. Jadi, tentang omongan gue yang semalem, gue akan bilang sekarang."

Ila menelan ludahnya. Tenggorokannya tercekat. Harusnya ia menanyakan hal apa yang ingin dikatakan Vino, tapi cewek itu hanya diam membiarkan angin mengisi keheningan yang mendebarkan itu.

Vino menggeser posisi duduknya hingga menghadap Ila. Cewek itu refleks menggeser posisinya juga, terlalu dekat dengan Vino tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Sebelumnya gue mau minta maaf sama lo, karena udah buat lo menunggu terlalu lama. Maka dari itu, gue bilang kalau, gue nggak bisa."

Hening lagi-lagi menguasai suasana. Angin perlahan menelusup masuk di antara dua orang berlainan jenis yang kini tengah duduk berhadapan itu.

"T-tapi ke-kenapa?" tanya Ila terbata. Seolah butuh usaha ekstra hanya untuk mengucap dua kata itu.

"Gue masih sayang sama Zara."

Vino menggeser posisi duduknya lagi. Dirinya tahu betul, kalau sikap tanpa basi-basi yang baru saja ia terapkan pada Ila sukses membuat gadis itu terluka. Tapi Vino juga tahu, kalau ia hanya diam dan membiarkan Ila terus berharap, itu justru akan jauh lebih melukai cewek itu.

Tidak ada kata lagi yang mampu terucap dari bibir mungil Ila. Cewek itu menggigit bibir bawahnya, berusaha sebisa mungkin menahan agar cairan hangat itu tetap tertahan di pelupuk matanya. Sampai Vino kemudian bangkit, menepuk pelan puncak kepalanya dan mengucapkan sebuah kalimat.

Satu kalimat yang sukses membuat Ila makin membenci seseorang yang disebut Vino. Ila benci orang itu. Sangat benci.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top