Fragment 2:1
Angin berhembus kencang, menerbangkan serta dedaunan kering bersamanya. Ditengah suasana sore hari yang syahdu itu, Andra masih setia duduk di atas motornya sembari menyesap sebatang rokok dengan perasaan yang tidak bisa dibilang baik. Sore ini, adalah waktu yang dijanjikan Ila tadi. Tepat di warung depan sekolah, Andra masih menunggu teman satu kelompoknya-sekaligus pujaan hatinya-dengan hati berdebar.
Sesekali, cowok berantakkan itu merapikan rambutnya asal. Meskipun tidak benar-benar rapi, tapi Andra percaya kalau pesonanya memang terletak pada rambutnya yang hitam dan tebal. Yah, meskipun Ila sama sekali tidak terpesona. Andra melirik jam tangan hitam yang melekat di pergelangan tangannya. Sudah pukul setengah lima sore, dan Ila belum juga muncul, membuat cowok itu mendesah frustrasi.
"Sori, gue telat, Ndra! Kita langsung mulai aja ya?"
Ila memarkir motornya asal di sebelah motor Andra. Cewek itu merapikan kuncirannya yang sedikit berantakkan karena helm, kemudian memasuki warung dengan terburu-buru. Meninggalkan Andra yang masih terpaku-tepatnya terpesona-di tempatnya. Entah bagaimana, Ila yang mengenakan kaus polos warna hitam plus celana jeans dengan rambut dikuncir asal bisa kelihatan amat memesona. Cewek itu bisa kelihatan casual sekaligus keren di waktu yang bersamaan. Dan hal itu cukup untuk membuat detak jantung Andra menggila.
"Ndra cepet, nanti kesorean!"
Sampai kegiatan bengong Andra terhenti karena panggilan Ila. Cowok kumal yang saat ini hanya memakai kaus belel, celana pendek plus sandal jepit itu buru-buru mengambil bukunya yang ia letakkan di dalam jok motor. Mendadak Andra jadi menyesal karena berpenampilan macam gembel begini saat bertemu dengan Ila.
***
Angin berhembus lagi. Entah sudah yang keberapa kalinya dada Andra terus-terusan berdesir sebab cewek ceriwis di hadapannya. Berkat sempitnya warung Kang Deden, ditambah banyaknya orang yang datang, akhirnya Andra dan Ila terpaksa duduk berhadapan di sebuah meja yang terletak paling pojok. Meskipun sempit, tapi warung Kang Deden punya banyak fentilasi dan juga jendela yang besar, sehingga angin bisa keluar masuk kapan saja. Seperti saat ini.
Saat Ila sibuk menulis bagiannya pada buku catatan, helaian rambutnya terus saja bergerak. Menggelitik perasaan Andra dan membuatnya secara refleks mengulurkan sebelah tangannya untuk menyelipkan anak-anak rambut Ila ke telinga cewek itu.
"Em, so-sori. Duh...."
"Nggak pa-pa."
Melihat respons datar dari Ila, membuat perasaan Andra seketika kacau. Akibat kebodohan dan kelancangannya, ia harus melewati sore hari yang syahdu ini dengan dengan suasana super canggung.
Saat Andra sibuk merutuki dirinya sendiri, Ila justru malah sibuk merapikan rambutnya. Takut Andra mengulangi kegiatan tiba-tiba tadi. Suasana semakin canggung, saat Ila melihat Andra hanya diam sambil sesekali menggaruk pelipisnya.
"Ada yang lo nggak paham?" tanya Ila. Lebih kepada formalitas antar anggota kelompok.
"Ha? Eh, pa-paham kok!"
Ila hanya mengangguk pelan menjawab respons gelagapan Andra. Entah kenapa, Ila melihat hari ini Andra benar-benar tidak seperti Andra yang biasanya. Andra yang santai dan pendiam. Bukan Andra yang canggung dan alay macam begini. Karena jujur saja, sikap Andra membuat Ila jengah.
Sampai kemudian cewek yang sebelumnya sibuk mengerjakan tugas itu, mengubah posisi duduknya dan menatap Andra lurus.
"Ndra, gue mau ngobrol bentar," ucap Ila yang sukses membuat bahu Andra menegang. Cowok itu balik menatapnya, sebelum bertanya. "Ngobrol apa?"
"Jujur, gue nggak suka sama perubahan sikap lo," ujar Ila terus terang. "gue nggak suka lo yang begini, gue nggak suka lo bertingkah alay begini. Gue tau lo suka sama gue, tapi gue nggak bisa maksain perasaan gue. Gue nggak bisa, Ndra. Gue lebih suka kita berteman seperti dulu. Jadi tolong, bersikap biasa aja sama gue."
Andra terdiam sejenak, mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari bibir mungil nan tajam milik Ila.
"Gue juga nggak bisa, La," ucap Andra tanpa nada.
Ila tidak langsung menjawab, membiarkan angin mengisi keheningan di antara mereka.
"Gue nggak bisa maksain perasaan gue dengan bersikap biasa aja sama lo. Gue suka sama lo, dan gue terima fakta itu. Kalau emang lo masih belum bisa terima gue, gue akan menunggu sampai lo siap," lanjut Andra.
"Nggak! Jangan pernah menunggu, karena perasaan gue nggak ada buat lo! Lupain gue, itu yang terbaik."
Buru-buru Ila merapikan alat tulis serta buku-bukunya dari atas meja. Cewek itu menatap Andra sekali lagi. "Tugasnya lanjutin di rumah aja, gue duluan," ucapnya kemudian berlalu.
Andra masih termangu di tempatnya. Tatapan tajam Ila sebelum pergi masih terus terngiang dalam benaknya. Kenapa dunia harus sekejam ini? Kenapa semesta harus memainkan skenario menyedihkan begini untuknya? Pikiran Andra berkecamuk. Tapi kemudian cowok itu menggeleng kuat.
"Gue udah terlanjur jatuh, angin pun nggak akan menolong gue. Terus kenapa gue harus berhenti?" ucapnya bermonolog.
Ila adalah cinta pertamanya, dan buat Andra cinta itu harus diperjuangkan.
***
"Ngapain lo?!"
Andra hanya bisa menyandarkan kembali punggungnya pada sandaran kursi rotan di teras rumah Vino, saat yang punya rumah bukannya menyambutnya malah melontarkan kalimat menyebalkan macam 'ngapain lo?' begitu.
"Ada tamu, tawarin minum kek, apa kek," gerutu Andra yang hanya dapat gelengan dari Vino.
"Ck, udah masuk! Biasanya juga langsung nyelonong, ini pake gaya-gaya ngetok pintu segala."
Andra hanya bisa nyengir sebelum kemudian melipir masuk ke kamar Vino yang super lega plus adem sebab ada AC di ruangan itu. Vino melipat tangannya di depan dada, sambil memperhatikan aksi melankolis Andra yang kini sudah tiduran sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Ada apaan?" tanya Vino langsung ke intinya. Dirinya paham kalau Andra mendadak alay begini, pasti ada yang tidak beres.
"Daun yang jatuh, tidak pernah membenci angin." ucap Andra.
"Tere Liye."
Vino berujar datar yang hanya dibalas anggukan oleh Andra.
"Gue adalah daun itu, dan gue udah terlanjur jatuh. Salah nggak sih, kalau gue memohon pada angin supaya dia membiarkan gue terus terombang-ambing?"
"Kenapa?" tanya Vino yang sudah sepenuhnya mengerti arah pembicaraan ini. Pasti tidak jauh-jauh dari Ila.
"Karena angin itu mau gue benar-benar jatuh. Nyentuh tanah. Dia nggak mau membawa gue pergi."
Vino menghela napas kencang, pandangannya ikut menerawang langit-langit kamarnya. "Kalau gitu jangan jadi daun, jadi hujan aja."
Andra membalikkan badannya, menatap lurus pada Vino yang kini balik menatapnya.
"Gue belom siap nerima luka sebanyak itu."
"Kalau lo siap jatuh, artinya lo juga harus siap nerima luka. Dan setiap luka itu pasti sakit, ninggalin bekas, dan hilang gitu aja."
Andra mendengkus kencang. Semua perumpamaan ini malah membuat kepalanya pening.
"Aaarrghh! Ila nyuruh gue berhenti, gue harus apa, Al?"
"Perasaan itu milik lo, dia nggak ada hak minta lo berhenti. Lagian emangnya lo mau?" Vino menatap Andra dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ya nggak lah, gue udah terlanjur jatuh."
"Makanya itu, lo udah terlanjur jatuh. Jadi sekalian aja lo guling-gulingan sambil jumpalitan sampe lo capek sendiri dan tubuh lo nggak sanggup lagi nerima luka. Sampai saat itu, pasti akan ada seseorang lagi yang bantuin lo untuk bangkit dan mulai semuanya dari awal."
Hening. Tidak ada yang melanjutkan pembicaraan. Andra diam, sembari memikirkan perkataan Vino dan nasib cintanya pada Ila. Sementara Vino, seolah kata-katanya justru menamparnya balik. Dirinya meminta orang lain berjuang untuk seseorang yang justru tengah memperjuangkannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top