Fragment 10.1
Februari, datang bersama desau angin dan awan mendung yang bergerumul di angkasa. Angin kencang menerpa, bersama dedaunan kering yang lagi-lagi menampar wajah Andra. Membuat cowok dengan penampilan berantakkan yang tengah merokok di belakang sekolah itu mengumpat kesal.
"Ah! Banyak amat daun sih?!" kesalnya sambil menggaruk pipinya yang gatal terkena daun.
Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, tapi Andra dan juga murid kelas dua belas yang lain belum juga pulang. Ujian akhir yang tinggal beberapa bulan lagi, ditambah Andra yang memang tidak mengikuti bimbel tambahan mengharuskannya ikut pendalaman materi di sekolah setelah pulang sekolah. Dan saat ini, cowok itu tengah tiduran santai di belakang sekolah sambil menghembuskan asap putih dari dalam mulutnya sembari menunggu waktu pendalaman materi dimulai.
Sebelah tangannya meraih sebuah novel usang dengan sampul plastik yang sudah robek di sana-sini. Ia mengusapnya pelan, sebelum kemudian membuka halaman paling belakang. Bukan, Andra bukannya mau membaca bagian akhir dari alur cerita novel itu, tapi ia hanya ingin melihat tulisan indah Ila yang tertera di sana.
Memorinya mulai memutar ulang kembali, tiap adegan juga tiap kalimat yang Ila lontarkan padanya di parkiran sekolah dua bulan lalu. Tatapan, juga ekspresi gadis itu masih tercetak jelas dalam ingatan Andra, dan masih tidak ingin ia lupakan.
Sore itu....
"Yang udah lalu, biar aja berlalu. Nggak perlu diungkit lagi," ucap Andra, sedikit menukas.
Tak ada yang bersuara lagi setelahnya, membiarkan hening menguasai atmosfir. Hingga Ila berdehem pelan, dan dengan ragu menatap mata Andra.
"Gue... mau pindah ke Surabaya bulan depan," ucapnya pelan.
Hati Andra lagi-lagi mencelos. Mendengar pernyataan itu untuk yang kedua kalinya dan langsung dari mulut Ila, membuat perasaan Andra terbolak-balik. Entah untuk apa Ila harus mengatakan ini padanya, justru akan lebih baik bagi Andra kalau Ila tak pernah mengatakannya.
"Kenapa lo harus bilang ke gue? Kenapa lo nggak pergi aja? Oh, lo mau gue kasih salam perpisahan, atau apa?" tanya Andra sarkas, membuat Ila kembali tertunduk.
"Gue cuma... mau lo tahu, Ndra."
"Dan gue nggak akan nahan lo. Jaga diri lo, jangan sampai sakit," ucap Andra pelan sambil melangkah pergi, namun lagi-lagi jemari kecil Ila kembali menahan lengannya.
"Ndra... ini, anggap aja hadiah perpisahan dari gue," ucap Ila sambil berusaha menahan isak.
Andra mengangguk, menerima buku yang diberikan Ila kemudian berlalu begitu saja. Di tempatnya, Ila tak lagi bisa menahan tangisnya. Entah mengapa, rasanya bisa begitu menyakitkan. Bukan karena harus meninggalkan Andra dan segala kenang yang tertinggal, tapi karena sikap ketus dan dingin yang Andra tujukan padanya. Kalau boleh jujur, Ila merasa terluka.
***
"Maafin gue, La," bisik Andra pelan.
Jika saja Andra bisa memutar waktu, ia sangat ingin kembali ke masa itu dan mendekap Ila. Menahannya lebih lama dan tidak akan pernah membiarkan gadis itu pergi. Namun Andra segera menggeleng pelan, mencoba membuang pikiran itu jauh-jauh. Melepaskan Ila adalah pilihan terbaik yang pernah ia ambil, karena dengan begitu setidaknya ia bisa menepati janjinya pada Ila juga kepada dirinya sendiri.
Terdengar egois memang, tapi Andra tahu, kalau perasaannya pada Ila memang tidak pernah terbalas. Atau mungkin juga tidak, Andra tidak pernah tahu.
Cowok itu menarik napas pelan sembari merubah posisi tidurannya menjadi duduk. Ia membuka kembali halaman terakhir pada novel yang diberikan Ila. Sebuah novel karangan Kahlil Gibran yang berjudul Air Mata dan Senyuman. Sebuah karya luar biasa, yang sampai detik ini, meskipun dibaca berulang kali, Andra tetap tidak mengerti maksud dari novel itu.
Hanya ada satu halaman yang menjadi favorit Andra. Halaman terakhir dengan tulisan tangan Ila yang terukir indah di sana.
Dear Andra,
Gue nggak pandai nulis kata-kata seperti lo, yang gue tahu, saat lo baca tulisan ini pasti gue udah pergi ke Surabaya. Atau, saat lo membaca ini, lo lagi pusing mikirin maksud dari isi novel ini.
Lo nggak perlu baca sampai selesai, atau kalau lo sudah terlanjur baca sampai selesai, gue ucapin selamat, deh wkwk
Oh iya, gue hanya mau bilang maaf dan sekali lagi terimakasih sama lo, Ndra.
Terimakasih karena sudah nyelamatin gue, terimakasih karena lo sudah mau mengenal gue, dan terimakasih karena sudah menjadi hujan dan menerima luka sebanyak itu.
Gue memang jahat, Ndra. Nggak seharusnya lo maafin gue semudah itu. Dan satu hal yang perlu lo tahu, Ndra. Gue adalah manusia yang paling beruntung karena bisa mengenal lo.
Terimakasih, Andra.
Tertanda, Aila.
Berapa kalipun Andra membaca tulisan itu, tangannya tetap bergetar. Meski dirinya tidak menangis seperti saat pertama kali membacanya, hati Andra masih terasa seperti disayat sembilu.
Menyadari sikapnya pada Ila terakhir kali, juga mengetahui perasaan Ila terhadapnya membuat Andra merasa amat bersalah. Namun waktu sudah berlalu, dan dirinya sama sekali tak berkuasa untuk memutar ulangnya. Hidup hanya akan berjalan maju, dengan atau tanpa sebuah penyesalan.
***
"Kalian mau lanjut kuliah di mana?" tanya Zara di tengah-tengah waktu makan siang.
Siang ini, entah ada angin apa, Vino mengajak Andra makan bersama. Bahkan dirinya mengajak Zara, yang Andra tahu adalah manusia paling gila belajar.
"Di univ mana aja yang mau nerima gue," jawab Andra asal.
"Kalau kamu, Vin?"
"Jelas di univ mana aja yang ada Zara-nya!" jawab Andra lagi, yang kini dapat tendangan dari Vino.
"Salah apa lagi, sih gue?"
"Pake nanya!"
Andra hanya tertawa saat Vino misuh-misuh dan mencoba memberi pembenaran di hadapan Zara. Di tempatnya, Vino teramat bersyukur bahwasannya Andra sudah kembali seperti Andra yang ia kenal dulu. Meskipun masih sering menyendiri, tapi Andra sudah bisa tertawa lepas bahkan bertingkah menyebalkan seperti dulu.
Kepergian Ila yang begitu mendadak, tidak hanya berdampak bagi Andra. Juga bagi Vino, yang bahkan belum sempat meminta maaf dengan benar kepada Ila.
"Sebenarnya gue malah mau kuliah di kampus yang sama dengan lo, Ndra," ucap Vino tiba-tiba yang sukses membuat Andra tersedak es kelapa.
"Ngomong apaan sih, lo brengsek! Keselek gue!" omel Andra yang justru dapat kekehan dari Vino.
"Gue serius padahal," jawab Vino sambil tersenyum.
"Geli gue dengernya, sialan!"
"Kalian ini berantem mulu deh!" ucap Zara yang mulai kesal pada pertengkaran dua sahabat di hadapannya itu. "Yaudah, kita kuliah di tempat yang sama aja. Supaya bareng-bareng terus."
"Nggak mungkin, Zara. Lo udah pasti diterima di universitas unggulan, sedangkan gue paling mentok-mentok masuk univ swasta. Atau malah nggak kuliah," jawab Andra kelewat santai.
"Kalau usaha, apapun pasti bisa kok. Iya, kan, Vin?" ucap Zara sembari menyikut lengan Vino
"Iya dong!"
"Dasar bucin!" cibir Andra pelan.
"Ngomong apa lo barusan?!"
"Gue sumpahin lo berdua nikah!" ucap Andra sembari kabur meninggalkan Vino dan Zara.
"AAMIIN!"
"Kok disumpahin bilang aamiin?" tanya Zara yang bingung dengan reaksi alay Vino.
"Itu doa, bukan nyumpahin. Harus diaminkan."
Dengan polosnya, Zara malah mengangguk-angguk membuat poninya bergerak lucu sekaligus membuat Vino gemas dan mengusapnya pelan. Dalam hati Vino berdoa, semoga gadis yang ada di hadapannya kini benar-benar adalah seseorang yang dipilih Tuhan untuk menjadi pendampingnya kelak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top